Chapter 8 - Supply
Indonesia, Maret 2018
Shinobi Coffee
Hai, kembali bersama Alvi, barista tampan dengan sejuta pesona. Haha. Sebentar aku selesaikan seduhanku dulu.
Ting ...
Aku menekan bel tanda seduhanku sudah selesai dan siap diantarkan pada pelanggan. Dalam sekejap mata, Rosi sudah berada di depanku dan mengambil pesanannya lalu kembali menghilang. Udah mirip ninja beneran.
"Alvi awas!"
Aku baru akan menoleh, tiba-tiba bajuku di tarik kencang dan membuatku sedikit kehilangan keseimbanganku.
Tak!
Wanjay, hampir jadi sate nih kepala. Aku yang masih berpegangan pada tembok menetralkan degup jantungku, aku melirik kepada pelaku penarikan bajuku, dan kulihat Nadila sedang menatapku dengan tatapan datarnya. Aku mengelus puncak kepala penyelamat nyawaku ini, "Nad, makasih banyak," seruku.
"Um .. " nadila menganggukkan kepalanya sekali dan kembali pada pesanannya yang belum selesai dibuat.
Rere yang terlihat berlari menghampiriku di dalam bar. "Alvi, kamu gapapa?" tanyanya panik. Aku menoleh padanya, meski detak jantungku masih belum normal, aku tetap memberikan senyuman terindahku pada Rere, agar dia tak khawatir "Aku gapapa," jawabku.
Tanganku kembali sibuk dengan sebuah Caffe Latte yang sedang kubuat, dan sedikit menghiaukan Rere yang masih berdiri disampingku. Aku bukan marah padanya, hanya saja aku harus cepat menyelasaikan pesananku dan itu membutuhkan konsentrasi. Sabar sebentar yah nona manis.
Setelah selesai, aku kembali menghadap pada Rere yang masih setia disampingku. Wajahnya masih terlihat panik, "Alvi, maaf yah ... " serunya lagi, "Gapapa Re, aku masih hidup kok." Melihat Rere dalam jarak sedekat ini, membuatku sadar akan sesuatu.
Aku mendekatkan wajahku agar bisa melihatnya lebih dekat. "Re, wajah kamu pucat banget. Kamu sakit?" tanyaku. Aku melihat sebuah semburat merah muncul di pipinya, kuangkat tanganku dan meraba keningnya, mengecek suhu tubuh Rere. Wajah Rere semakin terlihat memerah, dia terlihat gugup dan perlahan menarik tanganku, "A..aku gapapa kok," jawabnya.
Ting ...
Suara bel menarik perhatianku untuk menoleh pada sumber suara tersebut. Kulihat Nadila telah menyelasaikan tugasnya. Sorot mata datarnya memperhatikan kami berdua, tiba-tiba saja dia berjalan menghampiri dan menarik Rere keluar dari area Bar. Entah mau kemana.
Aku yang bingung dengan kelakuan Nadila yang selalu tiba-tiba itu hanya bisa mengembuskan nafas kasar. Jalan fikirannya memang sangat sulit ditebak. Ah sudahlah, aku mendudukkan diriku.
"Itu tangan alus banget bro. Kurang-kuranginlah," seru Fandy, dia sedang menatapku dengan pandangan yang cukup aneh.
Aku menatapnya dengan pandangan bertanya, dan dia hanya mengangkat kedua bahunya. Kami berdua melanjutkan obrolan kami yang sempat tertunda sejenak.
Ditengah obrolan yang sudah pasti tidak berfaedah ini, Nadila kembali. Dia duduk disampingku dengan wajah yang terlihat sedikit menyeramkan, mata yang memancar tajam serta pipi yang sedikit dikembungkan. Ini anak kenapa lagi dah?
"Rere mana Nad?" tanyaku.
"Di ruang ganti," jawabnya singkat, padat, dan sangat jelas.
"Dia sakit?" tanyaku lagi.
"Um ... " Nadila menganggukkan kepalanya. Dia mulai mengambil buku ceritanya dan kembali membaca. Hedeh ...
Sebaiknya aku melihat keadaan Rere terlebih dahulu. "Bentar ya bre," seruku pada Fandy. Aku bergegas meninggalkan Bar, menuju ruang ganti perempuan. Sebenarnya sangat tidak diperbolehkan bagi kami kaum Adam untuk memasuki ruang ganti perempuan, soalnya ya, kalian tau sendiri, disana terdapat berbagai macam hal yang sensitif. Tapi, kalo sekali-kali gapapa lah, lagian niatku baik kok.
Aku sudah berada di depan pintu ruang ganti perempuan. Dari sini saja hidungku sudah mencium aroma-aroma surga, sumpah, wangi banget. Beda sekali dengan ruang ganti untuk pria, dimana terdapat aura-aura hitam pekat di pojok ruangan.
Kuketuk pintu berwarna coklat itu tiga kali. "Re? Aku masuk yah," seruku. Tanpa menunggu jawaban apapun, kutarik tuas pintu dan mendorongnya.
Jduk! ...
"Aww ..."
Merasa ada suara-suara yang sangat tak asing lagi, aku bergegas melihat ke balik pintu. Disana ada Rere yang sedang terduduk sambil mengusap-usap dahinya. "Re? Ngapain kamu duduk disana?" tanyaku polos.
"Nyari kucing!" serunya. Aku membantunya untuk berdiri dan memapahnya menuju ranjang yang tersedia disana. "Emang ada kucing masuk tadi?" tanyaku. Dia hanya memukul pundakku.
Setelah selesai mendudukkan Rere pada ranjang, pandanganku berkeliling melihat ruangan ini. Sungguh berwarna sekali, terlihat sangat lucu dengan banyak pernak-pernik berbagai macam warna yang menggantung memenuhi ruangan. Kalian pernah ke taman bunga? Yap, seperti itulah aroma yang memenuhi ruangan ini, wangi sekali, bikin betah. Mungkin sebaiknya aku pindah saja ke ruangan ini, daripada di ruangan sebelah, bisa kena penyakit paru-paru.
Wangi bunga membuat imajinasiku menjadi liar, bayanganku menangkap fenomena dimana para wanita itu sedang mengganti bajunya sambil asyik bercanda, saling mengomentari bagian tubuh masing-masing sambil tertawa.
Hingga sebuah tepukan pada pundakku membuyarkan semua imajinasiku. "Alvi! Kok malah ngelamun si?" Rere menyadarkanku dari ilusi bejat yang diciptakan oleh ruangan ini. Aku menoleh padanya, dia menatapku dengan pandangan aneh. Okey, situasi yang canggung sekali.
"Kamu ngapain kesini? Ketauan sama Kak Rubi, dimarahin ntar."
"Aku, hehe .. Cuma mau nengokin kamu Re. Gimana keadaan kamu?" tanyaku.
"Mmm .. aku, Cuma pusing aja kok. Tiduran bentar juga sehat lagi."
"Umm .. okey." Rere mulai rebahan lagi di kasurnya, aku masih setia duduk di pinggiran kasur memperhatikan Rere dengan wajah pucatnya. "Kamu ngapain masih disini? Keluar gih, aku mau istirahat,"serunya padaku.
"Aku udah baik padahal mau nengokin, malah diusir."
"Keluar! Atau aku laporin Kak Rubi nih?" ancamnya. Buset dah ni cewe satu galak banget.
Tak ingin posisiku di kedai ini terancam, sebaiknya aku segera keluar dan kembali ke Bar. Aku mengangkat diriku, melihat wajah pucatnya yang mengkhawatirkan. Sebenarnya masih tak tega meninggalkanya sendirian disini, ntar ada yang nyulik, gimana? Kuusap puncak kepalanya sambil memberikan senyuman termanisku, "Cepet sehat ya Re."
Kulangkahkan kakiku meninggalkan ruang ganti ini sebelum barang-barang disana mulai beterbangan ke arahku, dan kembali ke arena pertarunganku.
Saat sampai di meja bar, Fandy kembali menyambutku "Gimana bro? Mantap gak?" aku mengernyitkan dahi padanya, pertanyaannya sangat tak kumengerti.
Mantap apanya coba?
Nadila yag sedang fokus membaca pun melontarkan pertanyaan padaku "Kak Alvi, kok keluarnya cepet banget? Baru juga sepuluh menit udah keluar."
Ini kalian ngomongin apa sih?
Mereka berdua cekikikan melihat wajah bingungku, bodo amat dah.
Waktu kini menunjukan jam sepuluh malam, pengunjung pun sudah mulai sepi, hanya sisa-sisanya saja yang masih betah bertahan dengan jamuan kami. Pada saat seperti inilah ke-gabut-an melanda. Kalian tau bubble wrap? Nah itulah yang sedang kulakukan saat ini, meletuskan gelembung udara pada bubble wrap ini satu persatu. Aku tau, ini memang tidak berfaedah sama sekali, tapi, mau ngapain lagi coba? Kalian ada saran?
Pintu kedai bergeser menandakan ada pelanggan yang datang, hal itu membuat perhatianku teralih. Dari balik pintu itu, nampaklah seorang gadis manis dengan rambut sebahu. Dia mengedarkan pandangannya dan berhenti saat melihat meja bar, tepatnya saat melihatku. Senyumnya berkembang, "Kak Alvi," teriaknya, dia berlari menghampiri meja bar dan langsung duduk di hadapanku. Senyuman manisnya tak luntur sedikitpun.
"Vina?" tanyaku heran, dia semakin melebarkan senyumannya, "Kamu sama siapa kesini?"
"Sama papa."
"Papanya kemana?"
"Di mobil."
Sumpah, ini bapa sama anak sama aja. Baiklah, sepertinya harus kuubah pertanyaanku lagi. "Motivasi kamu datang kesini mau apa?"
"Ngopi lah kak, ngapain lagi coba?"
Iya juga sih, haha.
"Okedeh. Dek Vina yang manis mau pesen apa?" tanyaku, disertai senyum andalanku.
Seketika, semburat merah muncul di pipinya, senyuman lebarnya hilang, berganti dengan cengiran kikuk. Dan pada saat yang sama, Nadila, juniorku yang menggemaskan menyikut perutku cukup keras, Duk!
Aku meringis dan menolehnya, "Anak orang jangan dibaperin mulu!" serunya, dan dia kembali membaca novelnya.
Aku kembali menoleh pada Vina, dia masih sibuk melihat-lihat daftar menu yang kuberikan tadi. Rona merah masih setia menghiasi pipi cubitable-nya itu. "Aku, cappucino aja kak," serunya.
Aku yang mendengar pesanannya siap mengangkat tubuhku, namun saat kulihat di hadapan mesin espresso, Nadila sudah disana, sedang mengoprasikan grinder dan siap melakukan tamping.
"Nad, biar aku aja." Kataku pada Nadila yang sudah memencet tombol pada mesin espresso.
"Gak! Ntar di jadiin bahan modus. Udah kak Alvi diem aja."
Lah? Ni bocah kenapa? Kelakuan Nadila hari ini benar-benar ajaib. Ah, sudahlah. Aku kembali duduk di hadapan Vina, dan mengajaknya mengobrol sedikit sambil menunggu pesanan selesai.
"Baru ditinggal bentar, udah digodain aja," ujar sebuah suara yang tak asing lagi. Profesor Frik datang dengan sebuah koper di tangannya. Dia datang dengan senyuman yang berkembang di bibirnya, kemeja coklat yang sudah lusuh dipadu dengan jas lab yang masih dia kenakan. Rambutnya masih seperti biasa, acak-acakan. Dia mendudukkan dirinya di samping Vina.
Tak lama pesanan Vina datang, secangkir hot cappucino dengan double swan art. Melihat gambarnya yang bagus, senyum Vina merekah, dia dengan semangat menerima cangkirnya. Kemampuan Nadila memang tidak bisa dianggap enteng.
"Single Espresso sama Bali Kintamani V60 yah." Itulah yang dikatakan Professor Frik, aku menengok pada Nadila. Dia kembali fokus pada bukunya. "Nad," panggilku.
"Kak Alvi aja. Aku cape," ujarnya tanpa menoleh.
Junior sialan. Aku berdiri dan mulai membuat pesanan dari Profesor Frik. Satu cangkir single espresso sudah jadi, dilanjutkan dengan tanganku yang bergulat dengan Beby -ketel Brewing andalanku-. Meski sedang konsentrasi, aku sedikit melirik pada Vina, dia terlihat antusias melihatku menyeduh. Hihi, baiklah, sepertinya jalannya bakal cukup mulus.
Kusuguhkan cangkir seduhanku pada Profesor, dia menerimanya dengan senang hati. Yak, saatnya melancarkan serangan pertama. "Vina," panggilku "Tertarik belajar nyeduh kopi?"
Matanya berbinar, dia menganggukkan kepalanya dengan cepat, mirip seperti boneka yang ada di dashboard mobil, kalian faham kan? Tapi seketika wajahya berubah sedih, "Tapi aku gak tau harus belajar sama siapa kak."
Aku tersenyum melihatnya, "Tenang aja, nanti kakak ajarin."
"YAK, MASUK PAK EKOO ... " teriak Fandy dan diakhiri dengan gelak tawa darinya, Profesor pun ikut tertawa, Vina yang tersipu malu, aku yang menunjukan cengiran polosku, dan Nadila ...
Buk!
Wajah tampanku dihadiahi oleh sebuah benda keras yang membuatku terhuyung hingga tiga langkah ke belakang. Aku mengusap-usap hidungku, yang sudah pasti panas, nyut-nyutan, sakit sekali.
Aku melihat pelaku tindak kekerasan itu, Nadila sedang menatapku datar sambil memegang sebuah ... buku? Buku novel yang tadi? Eh anjir, itu tebel banget, nyampe kali seribu halaman lebih, hard cover lagi.
Aku melihat yang lainnya, mereka sedang tertawa, puas sekali. Bagus, tertawalah kalian diatas penderitaanku.
Setelah kejadian menyakitkan itu, obrolan kamipun terus berlanjut, membahas berbagai macam hal yang sudah pasti lebih berfaedah daripada meletus-letuskan gelembung bubble wrap.
Hingga akhirnya, profesor Frik dan si manis Vina bersiap untuk pulang karena waktu sudah menunjukan jam sebelas malam.
"Alvi, bisa ikut sebentar?" tanya Profesor Frik padaku. Aku yang sedikit heran pun mengaggukkan kepalaku.
Sesampainya di luar, "ini," serunya sambil menyerahkan koper yang sedari tadi dibawanya padaku. Kuraih koper itu, berat juga ternyata. Saat aku ingin bertanya perihal isi dari koper tersebut, Profesor sudah menjawabnya terlebih dahulu.
"Isinya sepuluh buah Blend ALPA, tiga puluh keping Coffee Coin dan alat komunikasi untukmu."
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku. Seolah mengerti dengan apa yang diberikannya. Yah, anggap aja ngerti dulu, gampang ntar ditanyain lagi.
"Untuk selanjutnya, aku akan menghubungimu lewat alat komunikasi itu jika terjadi sesuatu."
"Oh iya, satu lagi. Kita tidak tau kapan monster-monster itu akan menyerang lagi. Jadi, aku harap kamu selalu siap sedia jika terjadi penyerangan," pungkasnya.
Aku menatap koper di tanganku sejenak, dan kembali menatap Profesor. Aku mengangguk mantap, "Baik, serahkan padaku."
Dan akhirnya kami berpisah di depan kedai ini. Profesor bersama Vina berjalan menuju parkiran, sedangkan aku kembali kedalam.
Sudah hampir waktunya untuk tutup juga sih, sebaiknya aku segera membantu Nadila membereskan bar agar tidak terlalu repot besok.
Sampai Jumpa lagi. Selamat malam.
*=*
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top