Chapter 7 - Piston Belt
Indonesia, Maret 2018
Komplek Perumahan
Brruummm ...
Aku mematikan mesin motorku di depan pagar rumah yang cukup besar. Kuteliti setiap jengkal rumah putih berlantai dua ini. Terlihat sangat biasa saja, seperti rumah-rumah pada umumnya.
Kuambil sebuah kartu pada saku kemejaku. Kuteliti alamat dan nomor rumahnya. "Bener kok, ini rumahnya," gumamku.
Entahlah, kenapa hatiku merasa sedikit tak percaya dengan keadaan rumah yang terlalu biasa ini. Yang kutahu, Profesor Frik itu orangnya sedikit nyentrik, dan dalam bayanganku rumahnya juga bakalan nyentrik. Tapi kenyataannya, ya seperti yang kalian lihat.
Yap, siang ini aku berkunjung ke rumah Profesor Frik. Setelah pertemuanku dengannya kemarin, dan setelah kejadian yang sangat tak terduga itu, aku diundang kerumahnya untuk mendengarkan semua penjelasan darinya, juga menjawab semua kepenasaranku. Sungguh, aku sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi kali ini, aku yang terseret kedalam sebuah kejadian yang diluar akal sehat. Dan itu membuatku tak bisa tidur semalaman.
Tak ingin terlalu banyak berfikir di atas motor kuputuskan untuk turun dan menghampiri pagar rumah putih tersebut. Panas juga bre.
Saat ini aku sedang berdiri di depan sebuah pagar putih yang sangat tinggi, sepertinya sekitar tiga meter, dan aku bingung, gimana cara membukanya. Aku celingukan mencari tombol bel, tapi tak ada, bahkan kunci pagar pun tak kutemukan. Kugenggam teralis pagar tersebut. Ini gimana gue masuk kedalem kalo bel rumah aja gak ada. Aku hampir putus asa.
Tiba-tiba pagar yang sedang kugenggam terasa bergetar dan beranjak turun dengan sendirinya. Sesaat aku kaget dengan kejadian tersebut. Aku mundur dua langkah, dan benar saja, pagar itu turun dengan sendirinya seperti ditelan bumi memasuki lubang panjang yang baru saja kusadari kehadirannya.
"Kereeen ... " gumamku. Kalian juga, jangan aneh dengan kejadian seperti ini. ini kemajuan teknologi namanya. Sepertinya Profesor Frik mengetahui kehadiranku entah dari mana, kamera CCTV mungkin. Dia melihatku melalui kamera CCTV yang dipasang di depan rumah atau di dekat pagar dan akhirnya membukakan gerbang untukku. Yap, pasti begitu.
Aku menunggu hingga pagar itu menghilang dengan sempurna, lama juga memasukan pagar besi setinggi tiga meter kedalam tanah. Setelah pagar itu lenyap, aku memasuki halaman rumah yang cukup luas dan rapih, tak lupa aku mengajak Leon bersamaku dan memarkirkannya di halaman.
Cukup lama aku menikmati halaman yang indah ini. Langkah kakiku pelan, menaiki tangga kecil hingga akhirnya sampai di depan sebuah pintu putih yang masih tertutup rapat.
Aku masih berdiri, menanti kejaiban datang untuk kedua kalinya. "Kok pintunya gak kebuka sendiri yah?" gumamku.
Saat kuangkat tangan kananku bermaksud untuk mengetuk pintu tersebut, tiba-tiba saja pintu itu mengeluarkan bunyi dan terbuka.
Seorang gadis berambut hitam sebahu berdiri dihadapanku. Dia terperanjat saat melihatku, aku pun sama. Kami bertatapan selama beberapa detik, saling mengunci pandangan dengan mulut terbuka.
Hingga akhirnya dia sadar terlebih dahulu dan kembali berbalik memasuki rumahnya, sambil berteriak.
"PAPA ... ADA COWOK MESUM DI DEPAN PINTU."
Aku yang tersadar akan maksud dari teriakan itupun reflek berlari mengejarnya kedalam rumah.
Aku celingukan mencari keberadaan bocah gila yang tadi meneriakiku 'cowok mesum'. Ganteng gini dibilang cowok mesum, gak bisa dibiarin. Kuedarkan pandanganku pada setiap sudut rumah yang asing ini. "Ck, kemana sih tu bocah?" gumamku.
Bukh ...
Sesuatu yang keras menghantam kepala belakangku. Aku jatuh tersungkur dan berguling beberapa kali hingga berakhir dengan tubuh terlentang menghadap langit-langit yang dipenuhi bintang dan burung yang sedang menari bahagia. Dunia berputar seketika.
"Loh? Alvi?"
Aku yang masih berusaha menahan agar kesadaranku tetap terjaga mendengar sebuah seruan yang menyebut namaku. Suaranya sudah tak asing bagi gendang telingaku. Bersama sisa kesadaranku, aku menoleh mencari sumber suara yang memanggil namaku itu. Semoga bukan Malaikat Maut yang manggil.
Sosok seorang pria tua memasuki indera penglihatanku. Dia sedang berdiri sambil memegang buku yang sangat tebal. Pria tua itu mengenakan jas lab putih dengan rambut yang berantakan sedang menatap khawatir padaku. Dibelakangnya, berlindung seorang gadis muda dengan rambut sebahu.
"Halo Prof," sapaku.
Yap, pria tua itu adalah Profesor Frik, pemilik rumah ini, dan gadis muda di belakangnya, entahlah siapa dia. Bodoamat.
Profesor berlari menghampiriku, dia membantuku berdiri. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Ingin sekali aku berteriak di samping telinganya "MENURUT LO?". Tapi apa daya, tubuhku masih limbung, dan kepala belakangku masih terasa nyut-nyutan. aku hanya mengaggukkan kepala menanggapi pertayaannya. Dia memapahku dan mendudukanku pada sofa di ruang tamu. Setelah mendudukanku dengan selamat, Profesor Frik mengambil tempat di sebelahku.
"Vina, tolong ambilkan air hangat dan handuk!" begitulah perintahnya pada gadis muda yang masih memasang wajah heran itu. Tanpa bantahan, gadis itu langsung berlari dan menghilang dibalik tembok.
Kesadaranku berangsur pulih. Aku masih mengusap kepala belakangku, berharap dapat meredakan rasa sakit yang masih menempel. Kembali Profesor Frik mengeluarkan suaranya, "Maaf, aku memukulmu tadi."
Aku menoleh padanya, wajahnya menunjukan rasa bersalah. "Tak apa Prof," jawabku.
Gadis berambut hitam sebahu yang kutahu bernama Vina itu kembali bersama tempat air di tangannya, handuk putih kecil tersampir di bahu kecilnya. Dengan perlahan dia meletakkan tampat air itu diatas meja dan mencelupkan handuk kecil yang dipegangnya beberapa kali sebelum memerasnya.
Aku tanpa sadar tertarik untuk memperhatikan wajah samping Vina, wajahnya terlihat menenangkan hati. Sesekali dia menyelipkan rambut ke belakang telinganya karena merasa terganggu. Manis juga ternyata.
Sebuah handuk putih yang sudah terlipat dengan uap mengepul mengganggu delusiku. Kuraih handuk itu dan menempelkannya di belakang kepalaku, rasanya sungguh nyaman. Hangat. Kupejamkan mataku sejenak menikmati sensasi nikmat yang diberikan sebuah handuk pada kepalaku.
"Vina, bukankah ada yang harus kau sampaikan?" Profesor kembali membuka suaranya. Aku pun tersadar kembali dan menatap wajah Vina yang masih berdiri dihadapanku, pandangan mata kami bertemu selama kurang lebih tiga detik, dan itu cukup untuk membuat semburat merah pada pipi cubitable-nya. Vina yang lebih cepat menguasai kesadarannya sontak memalingkan wajahnya, gesture-nya menandakan dia sangat gugup. Kalian harus percaya, pesona Barista tampan sepertiku memang susah untuk ditolak.
"A..anu .." serunya. Aku masih menikmati pemandangan seorang gadis manis yang sedang gugup dihadapanku, pemandangan yang cukup untuk menghiburku dan melupakan semua kekesalanku padanya. Dia masih memalingkan wajahnya, menyelipkan rambut di sela telinganya, rona merah jelas terlihat pada wajahnya. "Ma ... maafin aku kak."
"Vina, kalo ngomong sama orang, orangnya diliat dong," kembali Profesor menginstruksikan kepada anaknya. Dengan sedikit terpaksa Vina yang berdiri di hadapanku mengarahkan kembali wajah dan pandangan matanya padaku, rona merah semakin jelas tercetak pada wajahnya. "Maafin aku kak," serunya langsung menunduk dan berlari kedalam rumah.
"Hahaha ... maafkan anak saya Alvi."
"Tak apa Prof, santuy," jawabku.
"jadi? Apa yang membawamu kesini Alvi?"
"Aku minta penjelasan Prof," jawabku mantap.
"Penjelasan? Penjelasan apa?" tanya Profesor, kok malah balik nanya sih?
Aku mengambil tas punggungku dan mengeluarkan alat yang diberikannya kemarin padaku "Tentang ini Prof," kuletakan Piston Belt itu di atas meja.
"Oh, iya. Hampir lupa. Aku menyuruhmu kemari untuk mendengarkan penjelasanku kan? Haha ... maaf," cengira tanpa dosa pun tergambar diwajahnya. "Ayo! Ikut keruanganku." Aku beranjak dan mengekor di belakang Profesor Frik menuju keruanganya.
Ruangan yang kumasuki kali ini sangat berbeda, lebih terkesan bahwa ini adalah sebuah ruang penelitian khusus. Banyak layar-layar monitor dengan berbagai macam kabel yang menjutai tak beraturan, botol dengan warna yang beragam tersusun rapih pada rak yang tertempel di dinding, serta alat-alat lain yang aku tak tahu apa fungsinya. Yang jelas, ruangan ini sesuai dengan ekspektasiku.
"Duduklah," seru Profesor Frik seraya menarik sebuah kursi dan menyerahkannya padaku. Aku duduk menghadap padanya, tapi mataku masih sibuk berkeliling ruangan ini. "Kopi?" tanyanya lagi padaku, aku menganggukkan kepalaku. Dia menekan sebuah tombol pada mejanya dan berkata "Vina, tolong buatkan kopi, dua!" pada microphone kecil di atas meja, dan kembali duduk di hadapanku.
"Jadi? Apa yang mau kau tanyakan Alvi?" dia kembali bertanya. Baiklah, ini saatnya aku mengorek semua informasi yang kubutuhkan untuk menghentikan fikiran liar yang terus mengganggu otakku ini. aku menyimpan Piston Belt pada meja di sebelahku, dan bertanya "Apa ini Prof?"
"Piston belt," jawabnya singkat. Um ... okey, sepertinya pertanyaanku salah.
"Gunanya untuk apa?" tanyaku lagi.
"Untuk berubah."
Sabar Alvi, sabar.
Dan saat itu Vina masuk membawakan dua cangkir kopi yang masih mengepul asapnya. Dia sedikit melirikku saat memindahkan cangkit tersebut dari nampan ke atas meja, aku tentu saja memberikan senyuman manisku, dan kau tau? dia langsung gugup saat melihatku, dan berlari keluar setelah urusannya selesai. Pesonaku memang sulit untuk dibantah.
Aku meraih cangkir bagianku, menghirup sedikit aromanya, dan menyesapnya. Aroma dan rasa kopi yang khas dapat menenangkan kekesalanku dalam sekejap, sungguh minuman yang mengandung sihir. "Hmm ... Kerinci," gumamku.
"Haha .. lidahmu memang sulit untuk dibohongi," seru Profesor.
Aku menyimpan cangkir kopiku dan kembali menatap Profesor Frik dengan tatapan serius. Kali ini aku tak boleh salah pertanyaan lagi. "Prof. Tolong jelaskan? Alat apa ini, dan kenapa aku bisa berubah? Fungsinya apa? Efeknya apa? Mekanismenya bagaimana? Dan untuk apa Profesor membuat alat ini?"
"Hohoo ... santai anak muda. Satu-satu," jawabnya. Ck, gue nanya satu-satu jawabnya singkat, giliran dikasih borongan malah minta satu-satu.
"Jadi begini, alat yang kamu bawa itu namanya 'Piston Belt' dan alat itu adalah alat untuk men-teleport-kan kostum yang ada disana agar bisa langsung berpindah dan terpakai pada penggunanya," Profesor menunjuk tabung yang berada di pojokan dan isinya memang terdapat sebuah kostum yang sama persis seperti yang aku kenakan. Tapi kok item semua yah?
"Kostum itu sudah kukembangkan dengan nanotech sehingga bisa menaikkan kekuatan dasar dari tubuh penggunanya," lanjutnya.
"Dan ini," Profesor Frik meletakkan sebuah kotak yang sama persis seperti yang dia lemparkan kemarin padaku. Kotak sebesar telepon genggam dengan warna hitam dan sebuah simbol merah di atasnya. "Ini Blend yang kukembangkan sendiri."
"Blend?" tanyaku.
"Seperti yang kukatakan. Kostum itu hanya meningkatkan kekuatan dasar dari tubuh penggunanya, hanya meningkatkan kekuatan fisik sekitar lima kali lipat. Dan dengan Blend ini, kekuatan yang dihasilkan bisa berpuluh-puluh kali lipat dari yang seharusnya."
"Blend ini juga memiliki karakteristik tersendiri, dia bisa meningkatkan kecepatan penggunanya, dan, yah, kau sudah merasakannya sendiri kan? Dan lagi, Blend ini hanya bisa dipakai satu kali, jadi setelah kau menggunakannya, kau tak bisa lagi berubah menggunakan Blend ini, harus diisi ulang dulu."
Aku hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasannya. "Sebentar Prof. Blend? Maksudnya Blend apa?" tanyaku.
"Kopi lah, apa lagi? Di dalam kotak kecil ini terkandung berbagai jenis kandungan dalam kopi dari berbagai macam daerah, ditambah formula yang aku kembangkan sendiri. Bukan tanpa alasan aku memilihmu. Hanya mereka yang sudah lama berkecimpung dalam dunia kopi dan telah terbiasa meminum banyak kopi yang bisa menggunakan Blend ini. Kau tau kan akibatnya orang yang jarang mengkonsumsi kafein dan tiba-tiba mendapatkan asupan kafein berlebihan?"
"Tremor," gumamku.
"Benar sekali." Pantes aja badan gue gemeter terus kemaren malem.
Oke, saya jelaskan dulu pada kalian. Tremor adalah sebuah gejala dimana sebagian tubuh kalian gemetar setelah mendapatkan dosis kafein lebih dari yang tubuh kalian perlukan. Dalam minuman ber-kafein, terutama kopi, itu merupakan stimulan bagi sistem saraf pusat pada otak agar bekerja lebih keras. Akibatnya otot-otot kalian jadi terangsang untuk berkontraksi dan bergerak diluar kendali.
Tapi tenang saja, dalam kasus kopi, gejala tremor saat kelebihan dosis kafein tidak berbahaya. Gejala itu akan hilang saat tubuh selesai memproses kandungan kafein yang diterimanya, jadi jika kalian terlalu banyak minum kopi dan tremor, sebaiknya berhenti dahulu, lakukan kegiatan yang bermanfaat lainnya, oke?
"Oh iya Prof, satu lagi. Tentang monster itu. Profesor tau asal mereka darimana? Dan apa tujuan mereka?" tanyaku penasaran.
Profesor Frik hanya menggelengkan kepalanya, "Sayangnya aku tidak tau asal muasal monster yang menyerang itu. Mereka mulai menyerang umat manusia bulan lalu, hingga sekarang."
Aku kembali termenung, fikiranku penuh. Aku penganut faham sebab-akibat, dimana ada akibat pasti ada sebabnya, dan yang harus kucari tahu adalah alasan monster itu menyerang umat manusia.
Sambil menyesap sedikit demi sedikit kopi Kerinci yang diseduhkan oleh Vina, obrolan kami terus berlajut mengenai bagaimana cara menggunakan Piston Belt dan kekuatan Alpa secara efektif dan efisien serta sesekali membahas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selama pertarungan.
Sampai Jumpa lagi.
*=*
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top