Chapter 6 - Lahirnya Sang Pahlawan


"Pakai di pinggangmu!" 

Um? Baiklah. Aku meraih benda misterius itu dan berdiri. menempelkan alat tersebut tepat dibawah perutku.

Srrreek ...

Wohooo ... apa ini? Tiba-tiba saja alat tersebut mengeluarkan tali dan mengikat pas pada pinggangku. Kereeenn ... ini seperti di film Kamen Rider. Alat ini sepertinya adalah alat untuk berubah, atau biasa disebut Rider-Belt.

"Haha, sepertinya kau sudah mengerti Alvi. Baguslah, aku tak perlu menjelaskan panjang lebar lagi padamu. Nih!" Prof. Frik melemparkan sebuah alat lagi. Bentuknya kotak seukuran handphone, berwarna hitam ber-plat merah dengan sebuah simbol di depannya. "Pasangkan pada slot yang ada di depan."

Wohoo ... aku semakin bersemangat. Baiklah, agar terlihat dramatis dan menjiwai peran sebagai pembela kebenaran. Sebelum memasangkannya aku akan bergaya terlebih dahulu. Berdiri tegap dan kuangkat tangan kiriku sambil menggenggam kotak kecil itu. dan berteriak "BERUBAH ... " lalu kupasangkan alat tersebut pada slot yang tersedia.

Ckrek 

... "Alpa" ... "Ready" ...

...

...

...

...

...

Tak terjadi apapun.

"Loh? Prof. Kok gak berubah?"

*tepokjidat* "Haduh, Tarik dulu tuasnya baru teriak."

"Ooohhh ... hehe ... hehe ... bilang dong dari tadi."


-_-


Baiklah, maaf tadi ada kesalahan teknis. Kali ini aku akan benar-benar berubah. Yeah. Kugenggam pegangan tuas dengan tangan kananku, lalu kutarik ke atas.

Pssshhh ...

Kutahan tuas itu kurang lebih lima detik, lalu dengan satu hentakan kukembalikan pada posisi semula, dan berteriak "BERUBAH ... !!!"

Seketika, cahaya merah menyelimuti tubuhku, rasanya hangat. Perlahan tubuhku diselimuti kain yang menutupi seluruh bagian tubuhku, mulai dari kaki sampai kepala. Pakaian ini melekat pas di tubuhku.


... "Blend Alpa" ... "Lord of Speed" ... 

... "Complete" ...


Sinar yang menyelimuti tubuhku perlahan meredup. Pssshh ... diakhiri dengan asap yang menyembur keluar dari setiap celah pakaian yang kunenakan.

Kulihat kedua tanganku, terselimuti sarung tangan hitam dengan plat merah di punggung tangannya, kuraba badanku, sudah menggunakan semacam armor, kuraba wajahku, sudah terpasang helm yang menutupi seluruh wajahku.

"Wohoooooo ... keren banget," aku berteriak kegirangan, hingga tak sadar aku melompat-lompat di tempat saking senangnya.

"Oh iya, Prof? Siapa namanya?"

"Namanya Alpa, Satria Kafein Alpa."

"Wosha ... mantap," aku maju dua langkah, "Membela kebenaran dan menumpas kejahatan," kuangkat tangan kananku ke depan dengan jari telunjuk mengarah pada monster-monster di depan sana, "Satria Kafein," kutarik tangan kananku, menyilangkannya di depan dada, jari telunjuk dan jari tengahku membentuk huruf 'V', "ALPA."


DUAARR ...

"Eh copot .. copot .. copot," sebuah ledakan terjadi tepat di belakangku. Buset, untung gak punya penyakit jantung gue.

Hah, sudahlah, abaikan ledakan tadi. Pokoknya hari ini aku akan membalaskan ketakutan para warga yang kalian serang. "Yosh, Let's Dance, Baby."

Aku berlari menerjang salah seekor monster itu. "Ini pembalasan untuk yang tadi," gumamku. Kuarahkan tinjuku tepat pada dada monster di hadapanku, dan BUAKH ... Monster itu terlempar jauh ke belakang dan meledak.

"Wohooo ... Keren dah. Tinju maut."

Dengan semangat membara aku merangsek maju ke arah sekumpulan monster dan menghabisinya satu-persatu. Samperin-hajar, samperin-hajar. Wuhuuu menyenangkan sekali. Monster-monster yang mendapat hadiah pukulan atau tendangan dariku langsung terlempar jauh, sebagian ada yang meledak, sebagian lagi kembali bangun dan menghampiriku lagi.


Dua menit.

Buakh ... Buakh ... Buakh ... Grraaahh ... Duarr ...


Tiga menit.

Buakh ... Buakh ... Buakh ... Grraaahh ... Duarr ...


Empat menit.

Buakh ... Buakh ... Buakh ... Grraaahh ... Duarr ...


Aku sudah menghabisi sekitar dua puluh ekor monster, tapi masih banyak monster yang mengerubungiku. "Sial, gak abis-abis."

Aku terus memberikan tonjokan dan tendangan pada para monster itu, sesekali aku meliukkan tubuhku untuk menghindari serangan dari cakar monster yang mengarah padaku.

Pertarungan ini lumayan menguras tenagaku, hingga akhirnya tersisa empat ekor monster, mereka berada di hadapanku sedang mengambil ancang-ancang untuk menyerang. Namun, mereka hanya diam saja, memasang posisi siap tapi tak bergerak selangkahpun.


Biizzzzz ...

Tiba-tiba, seekor monster terbang di atas sana dan mendarat dihadapan para monster-monster tadi. Sepertinya dia pemimpinnya.

"Haha, hebat sekali kau bisa mengalahkan para anak buahku," ujar sang pemimpin monster itu. "Perkenalkan, aku Monster Lalat. Dan hari ini aku akan membalaskan dendam anak buahku yang sudah kau hancurkan."

Lah? Ni monster sopan banget pake ngenalin diri segala. Haha.

"Woi a***ng, jangan banyak b**ot lu. Sini maju lu Ka**et. Gua abisin lu sekarang juga ban**at."

"Hish, gaboleh ngomong kasar gitu. Gak baik."

"Oh iya kak, maaf kak. Saya masih anak baru kak, jangan di Bully yah kak."

*tepokjidat*

Keadaan semakin tegang, aku berhadapan dengan lima ekor monster yang menyeramkan. Aku memasang posisi siaga, mereka pun sama. Angin besar berhembus menerbangkan debu-debu dan pasir di arena pertandingan. Tak ada yang berani bergerak terlebih dahulu antara kami ber-enam.


... Ting nung ... ting nung ... ting nung ...

Eh? Suara apaan tuh? Kayak pernah denger.

"Alvi!" teriak Profesor Frik. Aku menoleh padanya, dengan tatapan bertanya 'kenapa?'. Yaa, meski gabakal keliatan juga sih, kan muka gue pake topeng.

"Saya lupa. Waktumu untuk berubah hanya lima belas menit, dan suara itu menandakan waktumu tinggal lima menit lagi," teriaknya dari kejauhan. Profesor gila, kenapa gak bilang dari tadi sih? Tau gitu langsung hajar aja.

Tanpa fikir panjang lagi, karena mengingat waktuku dalam bentuk ini hanya tinggal lima menit, aku menerjang maju. Kelima monster dihadapanku pun terlihat sudah siap untuk menyambut kedatanganku.

Empat ekor monster maju menghampiriku, kutarik tangan kananku ke belakang dan dengan satu hentakkan kulepaskan pukulanku tepat mengenai dada monster itu, dia terlempar jauh dan meledak. Tiga lagi, aku masih disibukkan dengan para keroco lemah ini. Lemah sih, tapi kalo banyak ya bikin encok juga.

Duar .. Duar ... Duar ....

Sip, ketiganya sudah hancur. Sekarang tinggal si-bos monster lalat itu. Eh? Ilang kemana tuh monster? Pandanganku berkeliling mencari monster lalat itu. tapi tak kutemukan juga batang hidungnya. BUAKH ... sesuatu yang keras menghantam punggungku, hingga aku jatuh tersungkur.

"Hahaha ... Mencariku?"

Monster itu terbang diatasku. Kampret, gue lupa kalo dia bisa terbang.

"Oi, turun lo," teriakku.

"Gak mau."

"Terus gimana berantemnya ini?"

"Terbang dong!" -_-

"Gue mana bisa terbang, gila. Udah sini turun!"

"Oohh ... Okey ... " dan diapun turun perlahan menapakkan kakinya dibumi. Lah? Dia nurut.

Baiklah, sekarang kami sudah berhadapan. Siap untuk bertarung satu lawan satu. Aku berlari, diapun melakukan hal yang sama, jarak kami semakin dekat. Kulayangkan tinjuku padanya dan tepat mengenai wajahnya, monster itu mundur dua langkah, dia maju kembali dan membalas pukulanku.

Baku hantam antara aku dan monster itu berlangsung sengit, terkadang salah satu dari kami terlempar jauh, lalu kembali maju untuk saling beradu pukulan.

Pertarungan berlangsung cukup lama hingga kini aku dan monster lalat itu sedang berhenti sejenak, untuk mengatur nafas. Tenagaku sudah hampir mencapai batasnya, rasanya seluruh tubuhku ngilu. Monster itu juga terlihat sudah terluka sangat parah, terlihat dari gerakannya yang semakin melemah.

"Tidak ada waktu lagi, aku harus segera menyelesaikannya," gumamku.

Istirahat cukup, tenagaku sudah pulih meski cuma sedikit. Terlihat disana, monster itu sudah siap untuk bertarung lagi. Baiklah, kita selesaikan pertarungannya sekarang juga. Kembali aku berlari, menarik tangan kananku, bersiap melepaskan pukulan. BUAKH ... monster lalat itu terpukul mundur, tak cukup sampai disitu, aku maju dan terus memukulinya secara brutal, pukul kiri, pukul kanan, pukul kiri, pukul kanan, diakhiri dengan sebuah tendangan dariku yang membuatnya terlempar sejauh satu meter.

"Alvi!" kembali Profesor berteriak. "Sekarang saatnya. Lakukan serangan spesial!"

"Caranya gimana Prof?"

"Pakai ini!" Profesor melemparkan sebuah benda lagi. Aku menangkapnya. Bentuknya seperti koin kaca dengan serbuk hitam didalamnya. Pinggiran koin itu dihiasi gerigi berwarna kuning, mirip seperti gear. Aku kembali menatap Profesor dengan tatapan bertanya 'gimana cara pakenya?'.

"Pasangkan pada slot di kaki kananmu! Lalu tarik tuasnya!" teriaknya.

Oke sip, aku faham. Aku berbalik menatap monster yang sudah tak berdaya di depan sana. Kasihan sih, tapi mau gimana lagi. Baiklah. Kupasangkan koin itu pada slot yang tersedia di kaki kananku.


... Cring ...


Oke, sudah terpasang dengan baik dan benar. Sekarang tinggal tarik tuasnya. Kugenggam pegangan tuas pada alat berubahku, kutarik ke atas dan kutahan selama lima detik ... Pssshh ...


... "Kick Strike" ... "Ready" ...


Kukembalikan tuas itu dalam satu hentakan dan langsung melompat tinggi.

Di udara, aku bersalto satu kali lalu mengarahkan kaki kananku pada monster lalat dibawah sana. Seperti ada sebuah dorongan, aku meluncur cepat ke arah monster itu.

"URRAAAAAA ... "

BUAKH ...

DUARR ...

Tendanganku tepat mengenai dada monster lalat dan dia terlempar jauh lalu meledak. Aku menikmati pemandangan ledakan hasil karyaku itu, huft, sepertinya tugasku sudah selesai, lelah sekali. Aku berbalik, bermakud menghampiri Profesor Frik.

Di depan sana, Profesor Frik sedang tersenyum senang ke arahku. Langkah gontaiku perlahan mendekatinya, hingga kini kami berhadapan. "Kerja bagus," katanya senang.

Aku mencopot sabuk perubahanku, dan kini aku kembali jadi manusia biasa.

Dia masih menatapku sambil mengembangkan senyuman khasnya, aku pun ikut tersenyum menanggapinya. Alat berubah yang berada di tangan kananku, kuserahkan kembali padanya. Namun dia tak menerimanya, dia masih tersenyum. "Alvi, kau mau membantuku lagi?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaanya. "Aku membutuhkanmu untuk menumpas kejahatan," katanya. "Jadi, Piston Belt itu kupercayakan padamu."

"Eh? Tapi Prof ... "

"Aku sudah terlalu tua untuk bertarung. Jadi, maukah kau menumpas kejahatan, bersamaku?"

Aku mengangguk mantap menjawab pertanyaanya.

Kembali kami saling melempar senyum. "Eh iya Prof. Boleh aku bertanya?"

"Mmm?"

"Sebenarnya, monster tadi itu apa? Dan kenapa dia bisa menyerang manusia? Lalu alat apa ini?" aku menunjukan Piston Belt yang masih berada di tanganku. Jujur, hari ini terlalu aneh, serangan monster, aku yang berubah jadi Satria Kafein, dan masih banyak lagi pertanyaan yang akan kulontaran padanya.

Profesor Frik melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, lalu kembali menatapku. "Besok datanglah kerumahku! Akan kujelaskan semuanya," dia memberikan sebuah kartu, kartu namanya, lengkap dengan alamat , nomor telepon dan foto dirinya.

Keningku sedikit berkerut memperhatikan foto yang terpampang pada kartu namanya, pasalnya dia terlihat sedikit lebih muda.

"Sebaiknya kau segera pergi Alvi."

"Eh? Kenapa Prof? Kok disuruh pergi sih?"

Profesor Frik mengangkat tangan kirinya dan menunjukan jam tangannya padaku. "Bukannya, sudah waktunya buka kedai?" serunya.


*tepokjidat*

"Mampus, bisa telat gue. Ahh .. oke Prof. Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi." Aku langsung berbalik dan berlari menjauh menuju pintu keluar taman.

Aku sudah berada di pintu keluar taman. "Hosh .. Hosh .. ini bocah kemana lagi?" aku celingukan mencari keberadaan Nadila yang tadi aku suruh tunggu di depan taman. "Masa ilang sih tu anak? Apa mungkin diculik om-om pedofil ya?"

"Kak Alvi!"

Pandanganku berkeliling mencari sumber suara yang sudah kupastikan itu suara Nadila. Tapi tak kutemukan wujudnya.

"Kak Alvi. Disini!"

Aku mempertajam pendengaranku. Di sebelah kiri. Aku yakin sekali. Maka kususuri jalanan sebelah kiri taman, dimana banyak semak-semak yang terpotong rapih.

"Lah? Kamu ngapain ngumpet disini?"

Kutemukan Nadila sedang berjongkok disamping semak, menyembunyikan tubuhnya yang pendek secara sempurna. Pintar.

"Aku kan takut kak, jadi ngumpet aja disini," serunya, sambil memasang wajah sendu yang menggemaskan. Benar-benar menggemaskan.

"Udah aman kok. Yuk! Udah waktunya buka kedai," ajakku. Kuraih tangannya, bermaksud untuk menggandengnya dan berjalan bersama menuju ke parkiran. Tapi, baru tiga langkah, tanganku terasa tertarik kebelakang. Kutengok, ada apa dengan Nadila, dia tiba-tiba diam dan menundukan kepalanya.

"Kenapa Nad?" tanyaku.

Dia mulai mengangkat kepalanya, menatapku dari bawah sana. Mmm ... kalian tau kan Nadila lebih pendek dariku, jadi ya gitu. Nadila menatapku dengan tatapan sayu yang menggemaskan, dia menggigit kecil bibir bawahnya.

Sumpah ini kalo bukan tempat umum bisa khilaf beneran. "Kenapa Nadila?" tanyaku lagi.

Dengan sedikit ragu-ragu, Nadila mulai menggerakan bibirnya. "Anu, mmm ... bukunya kak Rere mana?"



*tepokjidat*


Mampus gue, double mampus.

Tanpa mengucapkan satu patah katapun, aku langsung melesat kembali ke tempat kejadian perkara dan berharap buku pembawa kematian itu masih ada disana. Kalo gak ada bisa mati beneran gue. Huft.


Sampai Jumpa lagi.




*=*

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top