Chapter 5 - Taman Kota


Indonesia, Maret 2018

Taman Kota



Siang ini aku sedang berjalan-jalan dengan juniorku, Nadila. Menikmati sejuknya udara siang dibawah bayangan pohon besar yang sangat rindang. Duduk berdua saling diam. Yap, saling diam. Kalian tau sendiri Nadila seperti apa, dan pasti sudah menebak apa yang sedang dia lakukan saat ini.

Tidur? Salah, Nadila sedang tenggelam dalam dunianya sendiri. Mengeja tiap huruf pada buku yang sedang dia genggam. Sedangkan aku, sudah jelas sedang menikmati alunan nada indah melalui headphone yang menutupi telingaku sambil menikmati pemandangan taman yang damai saat siang, sambil sesekali melihat muda-mudi yang lewat. Yakali aja ada yang nyantol, jodoh gak ada yang tau yakan?

Kencan? Sama Nadila? Yang benar aja.

Kami baru saja pulang dari kedai kopi teman kami, main saja sih, memper-erat hubungan silaturahmi antar sesama penyeduh kopi. Karena sebenarnya bisnis dalam dunia kopi itu tidak bisa saling menjatuhkan. Jadi kami para penyeduh biasanya sering ngumpul bersama sambil sharing pengalaman dan teknik nyeduh serta membahas segala macam mengenai kopi.

Bukan tanpa alasan aku mengajak Nadila menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Aku mengerti akan dirinya, Nadila menyukai ketenangan. Terbukti saat sampai ke tempat ini, dia langsung duduk dan tenggelam dalam dunianya sendiri. Lihatlah, betapa aku mengerti akan dirimu, Nadila. Tapi, tak ada yang mengerti aku sama sekali. Ini tragis.

Sudahlah, aku tak mau ambil pusing. Biarkan dia asyik dengan dunianya, sedangkan aku dengan duniaku sendiri. Aku kembali menikmati terpaan angin siang yang hangat, mengibarkan helai-helai rambutku yang sedikit panjang. Tenang, hanya itu yang kurasakan saat ini.

Duk...

Tiba-tiba ada yang menimpa bahu kiriku. Lah? Ni bocah tidur?

Nadila kalau lagi tidur terlihat cantik dan lucu. Aku berinisiatif menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya. Mataku terus memperhatikan wajah tenangnya saat tertidur. Pipinya yang berisi, hidungnya yang mirip prosotan taman, dan bibir pink-nya yang tipis akan membuat siapapun terpana melihatnya. Ini kalo gak inget tempat umum bisa khilaf nih.

Aku masih menikmati wajah samping Nadila, bahkan nafas teraturnya sampai terdengar jelas di telingaku. Nadila memang sudah kuaggap seperti adikku sendiri, maklum, gak punya adik cewek. Tapi, kalo keadaanya kaya gini sih ya, gimana ya? Semoga hatiku tidak sampai goyah, semoga saja.

"Mesum"

Eh?

Sontak aku memalingkan wajahku. Buset, kaget gue.

Aku yang sedikit gugup karena ketahuan memperhatikannya pun hanya bisa cengengesan gak jelas. "Hehe .. Kirain kamu tidur Nad. Hehe .. "

Tak ada jawaban yang kudengar. Bahkan gerakan pun tak kurasakan. Ini aneh. Secara teori, Nadila akan menjawabnya meskipun berupa geraman, eh, maksudnya 'hmmm' gitu. Dan dia pasti mengangkat kepalanya dari bahuku dan kembali membaca. Tapi, ini tidak terjadi apapun.

Karena penasaran, aku mengintip melalui celah mataku. Dia masih menutup matanya dengan damai. Ngigo? tebakku. Karena masih penasaran, kulambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya.

"Dasar mesum."

Dengan cepat kutarik tanganku kembali. Badanku menegang, keringat dingin mulai membasahi tengkuk dan dahiku. Bukan nahan pup yah, ini karena kaget bercampur deg-degan.

"Kalo mau beli kopi ya beli kopi aja, gausah liat-liat begitu. Dasar mesum."

Lah, beneran ngigo ni bocah.

Sekuat tenaga aku menahan tawaku. Cukup tertawa dalam hati saja, karena tertawa keras-keras akan di cap sebagai orang gila. Kali ini aku sudah bisa memastikan bahwa Nadila sedang tertidur pulas.

Selesai dengan 'tertawa dalam hati'ku, aku menghela nafas. Capek juga ternyata tertawa dalam hati. Aku menoleh ke samping, dimana wajah tenang Nadila masih terpampang jelas disana. Melihatnya dalam mode damai seperti ini aku tak kuasa mengganggunya, jadi lebih baik kubiarkan saja dia dengan bantal ternyamannya.

Kembali pada kesibukanku sebelumnya, menikmati angin, musik, dan pengunjung taman yang tak sengaja masuk dalam indera pengelihatanku. Banyak gadis-gadis yang berjalan melewatiku, bahkan ada gadis yang sampai memutar lehernya saat menatapku. Iya, aku sadar, sepenuhnya sadar bahwa aku tampan. Tapi, ngeliatinnya jangan gitu banget dong. Yang kulakukan hanya memberikan senyum manis maksimal dari bibirku. Manis banget pokoknya. Mau coba?

Cukup lama ketenangan ini berlangsung. Hingga sebuah jeritan membuatku tersentak. Kuedarkan pandangaku guna mencari sumber suara ketakutan itu berasal.

Aku melihat banyak orang berlari panik. Mereka lari seperti dikejar setan, saling dorong, saling timpa, bahkan ada yang terjatuh. Kasihan sekali.

Ada apa ini?

Sinyal tanda bahaya dalam tubuhku mulai berfungsi. Kutegakkan badanku dan mulai berlari menghampiri arus manusia yang sedang saling dorong. Kuhentikan seorang ibu-ibu, "Maaf bu, ini ada apa ya?" tanyaku.

"Itu di Super Market depan ada diskon sale. Minggir!" dan ibu-ibu itu pun kembali berlari kencang. Kampret, salah gue nanya ibu-ibu.

Aku tidak boleh menyerah, misteri ini harus kupecahkan. Kembali kuhentikan salah seorang yang sedang berlari. Kali ini seorang pria paruhbaya yang sudah ngos-ngosan. "Maaf pak. Ini ada apa ya?" kembali aku bertanya.

"Gak tau dek, haaah. Bapak, haaah. Cuma, haaah. Panik, terus ikut-ikutan lari, haaah."

"-_-" seketika ingin berkata kasar.

"Udah ya Dek, Bapak mau lari lagi." Pria menyebalkan itupun berlalu.

"Iya pak, hati-hati. Jan sampe Asmanya kambuh."

Kurogoh saku celanaku guna mengambil ponsel pintar. Kubuka aplikasi yang memberitahukan tentang ramalan bintangku hari ini. 'Hari ini adalah hari keberuntunganmu, berbahagialah' begitulah katanya. Bahagia apanya? Dari tadi bikin kesel semua.

Grraaahh ... Grraaahh ... Grraaahh ... Grraaahh ...

Kok kayak pernah denger ya?

Kutolehkan kepalaku untuk melihat asal suara geraman tersebut. "ASDJKF ... MONSTER!!! ..."

Lututku lemas, aku jatuh terduduk tak berdaya. lidahku kelu, rasanya untuk berteriak pun susah sekali. Salah satu monster jelek itu berjalan pelan ke arahku. Tangannya terangkat, dia siap menerkamku hidup-hidup. Aku hanya bisa beringsut mundur. Oh tuhan, apakah ini akhir dari hidupku?

Kini disekitarku sudah banyak monster hitam bertanduk, mereka berkeliaran mencari mangsa. Jerit ketakutan pun semakin banyak terdengar. Aku teringat seseorang yang kutinggalkan di bawah pohon. Kualihkan pandanganku, Gawat!. Salah seekor monster sedang mengendap-endap menghampiri Nadila yang masih tertidur?

Aku harus menyelamatkannya, bisa gawat dunia per-lolicon-an kalo Nadila sampe kenapa-napa.

Dengan segenap tenaga yang tersisa dan semangat yang mulai membara, kuangkat badanku, dan mulai berlari. Lima langkah lagi aku sampai, aku bersiap untuk melakukan serangan pada monster jelek itu, aku kumpulkan semua tenaga pada kaki kananku, dan DUAKH! ... monster jelek itu jatuh tersungkur. "Mampus lu!"

Segera kuhampiri Nadila. Dia tak bergerak, deru nafasnya masih halus teratur, bertumpu pada lengan kanannya yang menjadi bantalan, Nadila masih berselancar di alam mimpi. Seutas senyum berkembang pada bibirnya, "Kereeenn."

Asem ni bocah, keadaan lagi gawat gini masih sempet-sempetnya tidur. Pake ngingo lagi. Aku berjongkok di sampingnya, menggoyang-goyangkan tubuhnya. "Nad ... Oi Nadila! Bangun!"

"Mmmmm ... Berisik ih Kak Alvi!" dengan satu gerakan Nadila merubah posisinya memunggungiku.

"Lah ... " -_-

Tak ada waktu lagi, di sekelilingku sudah banyak sekali monster yang berkeliaran. Mau tidak mau aku harus menggunakan jurus terlarangku. Kudekatkan wajahku pada telinganya, "Bangun boncel."

Pletak!

"Adaw ..."

"Ngomong apa barusan? HHMMM?"

"Ahehe .. iya iya ampun, pis, pis, hehe," hanya cengiran andalan yang bisa kukeluarkan. buset ni bocah kalo ngejitak gak kira-kira, bisa benjol inimah.

Grraaahh ... Grraaahh ...

"Kyaaa!!!" teriakan melengking dari seorang Nadila sukses membuat telingaku berdenging, pasalnya dia berteriak sambil berlindung di belakang tubuhku dan otomatis dekat dengan telingaku. Huft.

Tapi bukan itu masalah sebenarnya, karena saat ini ada masalah yang lebih gawat darurat sekali. Tiga ekor monster sedang mengelilingi kami. Aku berpose seperti sedang melindungi dengan Nadila yang masih menggenggam erat bajuku. Kulihat sedikit wajahnya yang begitu ketakutan, baiklah, sepertinya inilah waktuku untuk bersikap seperti seorang kakak yang melindungi adiknya. "Nadila, Mundurlah!" seruku.

"Kak, jangan."

Aku tak memperdulikan larangannya. Tekadku sudah bulat untuk melindunginya. Dengan langkah yakin aku maju menghampiri salah satu monster yang sedang menggeram tak jelas itu. niatku adalah menjatuhkan salah satu monster itu untuk membukakan jalan bagi Nadila untuk lari menyelamatkan diri. Baiklah, tiga langkah lagi aku akan tepat berada di hadapan monster itu, kuangkat kepalan tanganku, kukumpulkan seluruh tenaga dan keberanian yang kupunya, dengan sedikit hentakan kulayangkan tinjuku tepat pada dada monster itu.

BUKH ...

Tinjuku tepat mengenai dadanya. Namun, tak ada gerakan sama sekali. Monster itu bergeming, bahkan bergeser satu sentipun tidak. Wajahku mulai pucat, keringat dingin mulai membasahi tengkuk dan dahiku. Kutatap wajah monster itu, "GRRAAAAAAAHHHH..." ... ... ... BUAKH ... ... ...

Sebuah benda keras menghantam pipi kiriku, keras sekali. Aku terpelanting sejauh tiga meter. Untungnya aku masih sadar, hanya pipi bagian kiriku saja yang terasa panas, nyut-nyutan. sakit banget. Aku bisa melihat Nadila yang menerobos diantara monster-monster itu dan menghampiriku. "Kak Alvi gapapa?" ujarnya dengan wajah datar. Hellloooo, keliatannya gimana?

Aku berusaha berdiri, dia sigap membantuku, menopang tubuh bagian kananku. "Makanya, Jangan so' jago!"

Nadila, akan kucoret kau dari Kartu Keluarga. Gue begini kan buat nyelametin lu. Sumpah ini kalo gak lagi genting udah gue lempar ni bocah ke jurang.

Oke, lupakan umpatanku tadi, keadaan saat ini lebih gawat lagi. Delapan ekor monster bersiap menerkam kami. Aku sudah tak memiliki tenaga lagi untuk lari, sedangkan Nadila, kulihat kakinya sudah gemetaran, tak ada harapan lagi. Kami seperti anak domba yang dikelilingi serigala lapar, menunggu untuk menjadi santapan makan malam dari sang serigala.

Monster-monster itu semakin dekat, aku hanya bisa pasrah menanti ajal. Oh Tuhan, apakah ini akhir dari petualangan hidup seorang Barista tampan sepertiku?

Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam berlari melewatiku, dan menerjang salah satu monster hingga terlempar jauh. 

Buakh ...

Akhirnya, pahlawanku datang. Dia berdiri tegap dihadapanku. Melindungiku dan Nadila. Sungguh keren, seperti kata pepatah 'pahlawan selalu datang di saat-saat terakhir'. Gak tau pepatah dari siapa, tapi yang jelas, kami selamat.

"Larilah!" ujarnya tanpa menoleh.

"i..iya," jawabku. Aku mengajak Nadila untuk berdiri, meninggalkan tempat yang sudah porak-poranda ini dan menyerahkan semua urusan penumpasan monster-monster jelek itu padanya.

Kugandeng tangan Nadila dan mengajaknya pergi. Setelah berlari cukup jauh, tiba-tiba saja Nadila berhenti, dan otomatis aku pun ikut berhenti "Kak, bentar!"

"Kenapa? Ayo cepetan!"

"Anu ... Itu ... "

"Anu? Anunya kenapa?"

"Buku aku ketinggalan." ASDJKF ... -_-

"Duh, udah ntar aku beliin yang baru!" kembali kutarik tangannya, namun dia tetap tak mau bergerak.

"Gak bisa kak, itu punya kak Rere. Kalo sampe ilang aku bisa dimarahin Kak Rere."

"Eh? Punya Rere?" tanyaku. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali. Waduh, gawat juga, kalo beneran sampe ilang ni bocah bisa digantung idup-idup.

Yah, mau gimana lagi. Demi kelangsungan per-lolicon-an Indonesia, dan demi keselamatan nyawa Nadila, mau tak mau aku harus mengambil kembali buku itu. "Oke. Sekarang kamu lari ke tempat yang aman. Aku cari bukunya."

Dia mengangguk mantap. Sip deh. Segera aku berlari kembali ke tempat kejadian perkara, dan berharap tempat itu sudah lumayan aman untuk dapat dijelajahi oleh manusia.

Ternyata dugaanku salah, tempat itu masih dikerumuni oleh monster-monster mengerikan itu. Dan, apa aku tak salah lihat? Pahlawanku sedang kewalahan di keroyok oleh beberapa ekor monster. Dia dipukuli, ditendang, bahkan sampai dilempar. Kasian sih, tapi gue harus bagaimana? Ditonjok aja gak geser sama sekali.

Aku yang masih terpaku ditempat melihat kejadian mengenaskan itu pun tak mampu melakukan apa pun. hanya sebuah doa yang mampu kukirimkan agar dia selamat.

Oh tidak, NO. Pahlawanku terlempar jauh setelah menerima tendangan dari monster itu mentah-mentah. Aku harus membantunya. Aku berlari menghampirinya, membantunya untuk berdiri, tapi dia kembali terjatuh. "Kau tak apa?" tanyaku.

Tiba-tiba kostum yang dikenakannya bersinar, dan dia kembali menjadi manusia. Aku tersentak setelah mengetahui identitas asli dari pahlawan yang telah menyelamatkan nyawaku dua kali ini. Sungguh tak bisa dipercaya.

"Profesor?"

Yap, orang dibalik kostum hitam merah itu adalah Pofesor Frik. Orang yang hampir setiap malam mampir ke kedaiku untuk minum kopi.

"Ahaha ... hai Alvi."

Kondisinya sekarang bisa dibilang parah. Luka lebam disekujur tubuhnya, terutama pada wajahnya, dan darah keluar dari sudut bibirnya. Dalam kondisnya yang luka parah ini dia masih bisa mengembangkan sebuah senyuman. Aku salut pada niatnya untuk dapat membela kebenaran dan membantu menumpas kejahatan. Maafkan segala tuduhanku selama ini Profesor.

"Ahaha ... uhuk .. uhuk ... aaahhh ... sepertinya aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal ini."

"Prof, bertahanlah!"

"Alvi, maukah kau membantuku?"

"Iya Prof. Apa yang bisa kulakukan? Aku pasti akan membantumu," jawabku mantap. Kalau bisa membantu, kenapa tidak. Dia sudah menyelamatkan nyawaku, jadi aku harus berterima kasih padanya.

"Pakailah ini," sahutnya sambil memberikan sebuah alat yang tak tau apa itu. bentuknya kotak, ada pegangan tuas di salah satu sisinya, dan seperti sebuah slot untuk memasukan sesuatu. "Apa ini?" tanyaku penasaran.

"Ini alat yang akan membantumu menumpas kejahatan, Alvi."

Aku menatap bingung pada alat yang diberikannya. Alat sekecil ini dapat membantuku menumpas kejahatan? Menghajar monster-monster itu maksudnya?

"Pakai di pinggangmu!" Um? Baiklah. Aku meraih benda misterius itu dan berdiri. menempelkan alat tersebut tepat dibawah perutku.

Srrreek ...

Wohooo ... apa ini? Tiba-tiba saja alat tersebut mengeluarkan tali dan mengikat pas pada pinggangku. Kereeenn ... ini seperti di film Kamen Rider. Alat ini sepertinya adalah alat untuk berubah, atau biasa disebut Rider-Belt.

"Haha, sepertinya kau sudah mengerti Alvi. Baguslah, aku tak perlu menjelaskan panjang lebar lagi padamu. Nih!" Profesor Frik melemparkan sebuah alat lagi. Bentuknya kotak seukuran handphone, berwarna hitam ber-plat merah dengan sebuah simbol di depannya. "Pasangkan pada slot yang ada di depan."

Wohoo ... aku semakin bersemangat. Baiklah, agar terlihat dramatis dan menjiwai peran sebagai pembela kebenaran. Sebelum memasangkannya aku akan bergaya terlebih dahulu. Berdiri tegap dan kuangkat tangan kiriku sambil menggenggam kotak kecil itu, dan berteriak "BERUBAH ... " lalu kupasangkan alat tersebut pada slot yang tersedia.

Ckrek 

... "Alpa" ... 

... "Ready" ... 




*=* TBC

Next Part  yah ... 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top