Chapter 19 - Sakit
Indonesia, Juni 2018
Rumah Alvi
Selamat pagi khalayak ramai. Bertemu lagi dengan saya, barista paling ...
Hatchii ...
Paling tam ...
Hatchii ...
Pan dan juga ber ...
Hatchii ...
Duh elah, ganggu opening banget ni bersin.
Yah begitulah, aku sedang berada di bawah selimut tebal dua lapis dengan handuk dingin di keningku. Ya, aku demam. Menyebalkan memang, sejak kapan barista tampan dan berani bisa sakit? Kan aneh.
Hal yang paling menyebalkan saat sakit adalah: Pertama, tidak bisa melakukan apapun, bangun untuk ke buang air saja harus pegangan ke dinding. Hampir semua kegiatan yang biasa kulakukan terhenti dan itu menimbulkan masalah kedua, yaitu gabut. Coba kalian bayangkan, kalian yang biasa beraktifitas mengisi waktu dan sekarang harus diam di atas kasur di bawah selimut, dan tidak melakukan apapun. Gabut, boring, kesel, bete, gak ngapa ngapain.
Hal selanjutnya adalah hal yang paling menyedihkan. Baik aku jelaskan, aku, hidup sendirian di rumah, tetangga pada kerja, dan aku sakit.
Faham?
Oke, kuperjelas lagi, aku sakit.
Masih belum faham?
Baiklah.
"GUE KESEPIAN!"
Faham kan?
Bagus.
By the way, ini gak ada yang khawatir apa temen temen gue? Nengokin kek, atau seenggaknya kirim pesan biar cepet sembuh atau gimana gitu.
"Huft, yaudah deh. Main game aja."
Aku mengambil ponsel pintar yang kusimpan diatas nakas disamping kasur. Membuka kunci layarnya dan mencari aplikasi game yang sedang booming saat ini di kalangan remaja. Yap, catur online.
Aku sudah menemukan lawan bermainku. Sebenarnya aku tak pernah menggunakan strategi apapun, pokoknya selagi masih ada celah ya maju terus. Prinsipku selagi main catur adalah, kita harus bisa memikirkan sepuluh langkah ke depan, dan memprediksi bagaimana lawan akan menggerakan pionnya. Kini aku sedang terjepit diantara mengorbankan Knight atau Queen, yah, pengorbanan memang harus ada namun aku akan mengorbankan Knight-ku kali ini. Kenapa? Karena Knight-ku masih ada satu lagi, masih aman.
Kalian sadar gak? Permainan catur adalah sebuah gambaran hidup. Ya, gambaran hidup. Kalian yang tau aturan mainnya pasti akan mengerti. ada sebuah diskriminasi gender disana.
Coba kita perhatikan pergerakan tiap pionnya. Pawn, dalam arti lain bidak hanya bisa maju satu langkah atau dua langkah jika masih ada dalam area sendiri, menggambarkan bahwa kita yang mendapatkan peran bidak atau bawahan, pergerakan kita akan dibatasi dengan banyak aturan A B C D sampai Z. mengenaskan memang, tapi ada satu hal yang keren dari Pawn, mereka bisa mendapatkan promosi saat berhasil sampai di ujung papan, menjadi apapun yang mereka inginkan. Semoga gak ada yang ingin jadi barista. Berat.
Rook atau benteng, mereka harus bergerak lurus baik vertikal maupun horizontal. Yah, penjaga Negara memang harus memiliki tekad yang lurus sih, mau gak mau. Bishop atau mentri, ini yang paling realistis. Mentri apapun itu, kenapa pikirannya selalu miring sih? Heran, kurang apa coba, posisi enak, harta melimpah. Udahlah, jangan pada mau jadi Bishop.
Knight nih, arti lainnya ksatria. Yah, para ksatria negeri ini memang selalu melakukan hal yang lurus dan baik, namun kadang ada juga yang belok. Hahaha. Gapapa deh, yang penting kerjanya jelas, niatnya bagus, meskipun kadang punya maksud lain.
Queen sama King, para pemimpin. Bisa kita bandingkan, jalur Queen bisa sekenanya, seenaknya sendiri, gak ada yang bisa ngalahin Queen dalam hal gerakan. Beda sama King yang cuma bisa jalan satu petak. Hahaha, kasian tuh King, KKTQ jadinya. King King takut Queen. Itu yang bikin permainan catur kayaknya punya masalah deh sama istrinya.
Entah dalam permainan catur atau dalam kehidupan nyata, diskriminasi Gender selalu ada. Adanya istilah Ladies First lah, kadang lebih diistimewakan, padahal aku rasa tak ada bedanya, sama aja manusia. Menurut hasil survey-ku, para wanita juga kuat-kuat kok, malah ada beberapa yang bisa mencapai posisi puncak, tapi kenapa selalu ingin dibedakan dengan kami kaum adam? Kenapa dunia ini tidak adil? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
"Duh kalah."
Ah sudahlah. Gak baik lagi sakit kebanyakan mikir, malah tambah pusing.
Aku menyimpan kembali handphone ku diatas nakas, melirik jam dinding yang tersimpan diatas meja belajarku di pojok ruangan, jadinya jam meja dong, haha.
"Baru jam sebelas siang, ngapain ya enaknya?"
Ditengah kegabutan yang semakin menjadi, aku memutuskan untuk melakukan hal yang biasa dilakukan para pemimpi. Yap, ngelamun. Tapi ngelamunin apa ya enaknya?
Aku terlentang, memposisikan diriku se-rileks mungkin, mencoba membuka koneksi kealam bawah sadar dimana tombol menuju dunia fantasi berada. Mencoba melebarkan pandanganku tentang dunia, dan menjadikannya tak terbatas, lalu melampauinya.
Sepertinya akan sangat menyenangkan jika di dunia ini kita memiliki peliharaan yang lucu, yah, sejenis Pikachu gitu deh. Kan lumayan, gak perlu bayar listrik bulanan. Haha. Terus nanti ada pertempuran hewan peliharaan, ada turnamennya juga kan seru tuh.
By the way, ngurus Pikachu susah gak sih? Makannya apaan ya? Masa iya makan token listrik.
Sepertinya akan sangat bagus jika semua kendararaan di dunia ini itu hewan peliharaan, ya semacam kuda gitu lah. Coba bayangkan jika galleon adalah hewan peliharaanku, akan sangat membantu. Pertama, irit bahan bakar. Gak usah beli bensin, tinggal lepasin biar nyari rumput sendiri.
Kedua, bebas polusi udara. Yah, masalah umat manusia sekarang adalah polusi udara yang semakin meningkat, jadi kalau semua kendaraan diganti jadi peliharaan yang ramah lingkungan maka bumi ini akan bebas dari polusi udara. Emang, pemikiran gue selalu visioner. Cocok udah jadi presiden. Paling bau bau tidak sedap aja, mengisi jalanan, hahaha.
Yah, berhalusinasi itu menyenangkan juga ternyata. Aku kembali melirik jam meja diatas meja belajarku. "What? Baru sepuluh menit?"
Oke, sepertinya ini akan sangat memakan banyak waktu. Berhalusinasi memang memakan banyak tenaga. Aku salut pada mereka yang menulis cerita-cerita fantasi, mereka harus pandai berhalusinasi, lalu merangkainya dalam kata-kata dan menyusunnya menjadi sebuah cerita. Keren memang.
Di tengah lamunanku, handphone diatas nakasku berdering. Aku mengambilnya dan tanpa melihat siapa namanya aku langsung menggeser ikon berwarna hijau.
"Halo, dengan siapa dimana?"
... "Al, lu sakit?" ...
Suaranya sudah ku kenal dengan jelas. "Iya. Sekarang juga izin libur di kedai."
... "Lu dimana sekarang?" ...
"Di rumah lah. Gak bisa kemana-mana gue."
... "Yaudah, tungguin." ... dan sambungan telfon pun terputus.
Tungguin? Dia mau kesini? Waduh.
Sinyal tanda bahaya di dalam tubuhku bereaksi. Oke, sebaiknya aku tenang dulu, mungkin saja dia kesini bersama temannya, atau janjian dengan anak-anak di kedai, kan hal itu bisa saja terjadi. Tapi, ya tetep aja panik.
Tak lama suara deru halus mesin motor matic berhenti di depan rumahku. Sepertinya sudah datang. Dengan tenaga yang tersisa aku berusaha bangun dari tempat tidurku, gravitasi tempat tidur memang sangat berat, apalagi dalam kondisi lemas seperti ini, rasanya tarikan gravitasinya semakin berat.
Ini jarak dari kasur ke pintu berapa meter sih? Perasaan jauh banget. Aku berusaha menyeimbangkan badanku dan terus berjalan menghampiri pintu. Rasanya kakiku melayang jika kulangkahkan. Bumi terasa gonjang ganjing.
Beberapa langkah lagi aku bisa sampai ke pintu kamar. Duh, perjalanan yang panjang ternyata. Padahal kalau dalam kondisi biasa aku bisa sampai dalam hitungan detik. Sakit itu gak enak ternyata.
Hampir sampai, kuangkat tanganku untuk meraih gagang pintu. ... ...
JEDUG ...
Gubrag ...
"ADAW."
"Lah? Alvi? Lu ngapain tiduran di lantai?"
"Nyari Kucing."
"Emang lu pelihara kucing?"
"Nggak."
"Trus ngapain dicariin?"
"Biar ada kegiatan."
"Oh."
Yap, kejadian yang sudah sangat biasa jika aku tanya jawab dengannya. Pertanyaan cepat aku jawab cepat juga, kadang asal jawab juga sih. Hahaha.
Vivi berdiri dihadapanku yang sedang terduduk sambil mengelus kepala, dia segera merangkulku dan memapahku kembali keatas kasur. "Sorry, sakit ya? Lagian lu ngapain depan pintu sih?"
"Kan tadinya mau bukain pintu buat lu," wait a minute, sepertinya aku sadar akan satu hal. "Vi, lu kok bisa masuk rumah gue? Kan pintu depan gue kunci."
"Lo lupa? Gue kan punya kunci duplikat rumah lu."
Lah iya, baru inget.
Dulu, waktu kami masih menjalin hubungan, aku dan Vivi memiliki kunci duplikat rumah masing-masing. Bukan untuk melakukan hal-hal yang ada dalam pikiran kalian loh. Alasannya untuk hal darurat, jika salah satu dari kami ada yang sakit atau tertimpa masalah dadakan. Ya kadang saling nginep juga sih, tapi gak melakukan hal-hal mencurigakan kok, yaa, dikit sih. Haha.
Vivi berhasil mengantarku ke atas kasur dengan selamat, membaringkanku lalu menyelimutiku. Lalu dia duduk di tepi kasur sambil memperhatikanku, aku bisa melihat garis kekhawatiran di wajahnya.
"Al."
"Mmm? Knape?"
"Kok lu bisa sakit sih?"
-_-
"Nona Vivi yang manis. Gue masih masuk dalam kategori spesies homo sapiens, dengan kata lain gue masih manusia, jadi suatu hal yang wajar kalo gue bisa sakit."
Wajahnya berubah kesal, dan tangannya berinisiarif mengucek-ngucek wajahku. "Iiih, bukan itu. Lu kemaren abis ngapain sampe bisa sakit gini."
"Oohh, bilang dong. Haha."
"Terus?"dia kembali bertanya.
"Apanya?"
"Al, lu pernah ditampol sama gas LPG tiga kilo belum?"
"Hahaha, iya iya. Jangan ngambek-ngambek gitu, tar makin lucu," sungguh menyenangkan menggodanya.
Vivi memutar bola matanya ke atas sambil mengembuskan nafas, gesture yang mengisyaratkan dia kesal dengan perlakuanku. Namun aku dapat melihat semburat merah di pipinya. Begitulah dia, terkadang hati dan fikirannya tidak sejalan, tak jarang juga yang dilakukannya berkebalikan dengan isi hatinya.
"Jadi, lu kenapa bisa sakit?" Vivi kembali mengulang pertanyaanya.
"Tiga hari kemarin gue bantuin kedai kopi punya temen, masalah manajemen sih. Dan selama tiga hari itu gue hampir gak tidur, kayaknya sih gara-gara itu. Sama kebanyakan ngopi mungkin, gue mau bikin blend baru."
Vivi mengembuskan nafas kasar, "Hedeh Alvi. Penyakit lu gak berubah dari dulu ya."
"Penyakit apaan? Gue baru sakit hari ini doang kok."
"Penyakit lu, terlalu baik sama orang. Padahal badan lu aja udah repot, ujung-ujungnya pasti lu yang sakit. Huft," Vivi sedikit menghela nafas, tatapannya yang semula tajam berubah menjadi sayu. "Tapi, hal itu yang gue suka dari lu."
Aku hanya diam mendengar ucapannya, kami terus saling mengunci pandangan hingga waktu seakan berhenti berputar. Mata sayu yang selalu kurindukan, mengingatkanku pada kenangan lama yang telah terkubur.
Waktu terus berlalu dan keheningan masih menyelimuti kami berdua, mata yang semakin mengunci dan wajah yang kian tertarik untuk saling mendekat. Vivi memejamkan matanya, bibir mungilnya yang menggemaskan sedikit terbuka menunggu untuk dibalas.
Degup jantungku semakin tak beraturan menyambut momen yang sudah sangat lama tak kurasakan. Wajah yang semakin dekat, aku bisa merasakan deru nafasnya yang tenang. Hidungku menangkap aroma strawberry yang khas darinya.
Bibir ranum yang menunggu untuk ku santap kembali, bibir yang selalu membuatku candu akan dirinya. Sedikit lagi, aku menutup mataku dan menyiapkan diri merasakan sensasi yang sudah lama kurindukan.
TOK ... TOK ... TOK ...
"Kak Alvi. Kakak di dalem?"
Sontak aku membuka mataku, dan saat itu juga dua buah telapak tangan dengan aroma strawberry menyapa wajahku dengan sedikit hentakan membuat kepalaku kembali keatas bantal dengan tidak santai. Gak sakit sih, Cuma kaget. Tapi bukan itu yang membuatku shock, itu di depan siape si? Gangguin momen berharga gue. Sialan emang. Kentang kan jadinya.
TOK ... TOK ... TOK ...
"Kak Alvi."
Vivi menoleh padaku, "Al, itu siapa?"
Aku tak mendengar pertanyaan itu, pandanganku fokus pada bibir pink yang ranum dan sedikit basah. Melihatnya bergerak mengucapkan beberapa patah kata membuat aku semakin menginginkannya.
Sepertinya Vivi menyadari arah fokus ku, tangannya kembali berinisiatif untuk mengucek-ngucek mukaku. "Ntar lagi, sabar," dan Vivi pun berajak dari kasur.
Sepertinya dia akan membukakan pintu untuk makhluk yang mengganggu momen berhargaku, dan semoga dimarahi juga. Kenapa selalu saja ada gangguan di saat yang tidak tepat. Heran.
Aku mendengar suara Vivi dengan gadis yang aku tak tau siapa sedang berkomunikasi. Kenapa bisa tau itu suara gadis? Guys, telinga gue masih bener ya, suara cewek, sama suara om-om itu beda, banget. Dah diem.
Aku menajamkan indera pendengaranku, berharap bisa mendengar kata demi kata yang terucap oleh mereka. Namun, masih tetap saja terdengar samar. Yang jelas, si gadis yang aku tak tau siapa itu berbicara dengan intonasi yang tidak bisa dikatakan santai.
Perdebatan yang cukup lama itu selesai, suasana kembali hening, hanya suara derap langkah yang sedikit menghantak menghampiri kamarku. Wait, derap langkah?
Pintu kamarku terbuka dengan seketika menghasilkan suara yang cukup membuat jantungku melompat lebih tinggi. Diambang pintu, sesosok gadis muda dengan seragam sekolah SMA pada umumnya serta rambut sebahu menatapku dengan tatapan intimidasi.
Gadis itu langsung menghampiriku yang masih terbaring diatas kasur dan tanpa persiapan batin yang matang serta tanpa komando yang jelas, gadis itu langsung memelukku yang masih terbaring.
Aku merasakan kehangatan berpadu dengan semerbak aroma melon serta bau matahari yang memberikan sensasi nyaman, serta dua buah benda kenyal yang menempel tepat di dada bidangku membuat halusinasiku semakin menggila. Terima kasih Tuhan, sensasi ini tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.
Namun sayang, kenikmatan itu hanya bertahan sebentar. Kenyamanan yang sedang kurasakan ditarik paksa. Ya, Vivi menarik kerah baju Vina dan sedikit menyingkirkannya, seperti anak kucing.
"Gaboleh peluk-peluk. Bukan muhrim," jutek Vivi.
"Ih, kak Vivi. Kak Alvi lagi sakit jadi gapapa peluk-peluk," Vina menyingkirkan tangan Vivi dari tengkuknya dengan satu hentakan.
"Tetep aja gaboleh."
"Kata papa boleh kok. Lagian kak Vivi ngapain disini?"
"Aku jengukin Alvi lah, ngapain lagi."
"Kan udah mantan, ngapain juga masih peduli."
"Emang gaboleh jengukin mantan?"
"Ya boleh sih. Tapi kan gak berduaan juga."
"Terus aku harus ngajak satu komplek kesini? Yang ada Alvi makin sakit."
Ini kenapa duo macan jadi beringas gini si? Aku yang seorang pria sejati ditengah pertengkaran dua kaum hawa harus segera mengambil tindakan.
"Okey stop. Kalo mau lanjut debat mending di ruang tamu gih. Pusing dengarnya."
Tuh kan pada diem, syukur deh.
"Assalamualaikum. Kak Alvi, Kakak di dalem? Kok pintunya kebuka?"
Sontak kedua macan betina yang sedang 'jinak sementara' menoleh padaku dengan tatapan yang semula sudah mulai lunak kembali menajam. Aku yang memang tak tau siapa pemilik suara itu pun hanya bisa mengangkat kedua bahuku disertai cengiran tanpa dosa. lagian ini siapa lagi coba. Udah mulai adem nih, bisa bisa perang dunia lagi.
"Kak Alvi, aku masuk ya."
Kami semua menengok kearah pintu, menunggu sosok yang akan menunjukan dirinya dari balik pintu. Suara langkah kaki yang beradu diatas lantai kayu semakin terdengar mendekat. Beberapa saat kemudian muncullah sosok gadis yang memiliki senyum paling indah di dunia ini. gadis itu menyembulkan kepalanya dari balik pintu dengan rambut hitam yang terurai.
Amanda Putri Parvati, gadis ceria dengan sejuta pesona menyembulkan kepalanya lewat celah pintu dengan sebuah senyuman yang menggantung indah di bibirnya. namun, senyuman itu memudar saat melihat Vivi dan Vina yang berdiri disamping kasurku. Mereka saling pandang, aku bisa melihat percikan listrik yang keluar dari sudut mata mereka. Haduh, perang lagi inimah.
Aku sudah mempersiapkan batin dan telinga serta menjaga agar kepalaku tidak pecah jika mereka mulai berdebat tentang ini dan itu. Manda berjalan masuk menghampiriku, dia duduk di tepi kasur sambil tersenyum memperhatikanku. Tangannya terangkat dan tanpa izin membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.
"Kak Alvi cepet sembuh yah. Aku kesini bawain buah buat kakak," ujarnya sambil menyimpan sebuah kantong kresek putih yang aku yakin isinya buah-buahan. "Bentar kak," lanjutnya.
Manda berdiri dan berjalan keluar dari kamarku. Aku melihat kedua pasang mata yang sejak tadi memperhatikanku dan Manda, mengekori manda sampai menghilang dari balik pintu dan kembali melihatku dengan tatapan intimidasi.
Aku memilih untuk diam dan tak menghiraukan tatapan itu, menghindari perang lebih baik daripada ikutan perang lalu kalah. Ya kan?
Manda kembali dengan pisau dan piring di kedua tangannya, lalu duduk di samping kasur. Dia membuka kantong kresek putih yang dibawanya tadi dan mengeluarkan satu buah apel merah, terlihat masih segar.
Aku memperhatikan wajahnya yang sedang fokus mengupas apel ditangannya, terlihat sangat manis dan menentramkan hati. Aku menikmati ketentraman ini, namun tidak dengan kedua macan betina dihadapanku. Vivi mulai menggeram, eh, maksudku mulai angkat bicara.
"Perasaan kamar ini gede, kok sumpek yah? Apa cuma perasaan gue aja?"
"Iyanih, mending kalian pulang aja. Aku mau nemenin kak Alvi," timpal Vina.
"Heh bocah, lu ngusir gue?" Vivi mulai terpancing emosi.
"Nggak, tapi kalo merasa jadi pengganggu tinggal pulang."
"Ni bocah emang harus diajarin sopan santun."
Kok ini mereka makin parah sih? Harus dilerai cepet-cepet inimah sebelum ada pertumpahan darah. Aku berusaha untuk bangkit dari tidurku, namun.
"Kalian kalo mau ribut terus mending pulang aja. Kasian kak Alvi lagi sakit," ujar Manda sambil terus mengupas apel ditangannya.
"Lu berani ngusir gue?" bentak Vivi tak terima.
Manda menoleh disertai tatapan dingin yang menusuk. "Tujuan kalian kesini mau apa? Nengokin? Ngerawat? Apa mau ribut? Kak Alvi lagi sakit, kalo kalian ribut yang ada dia makin sakit. Kalo emang mau ngerawat, kalian harusnya tau apa yang harus dilakukan. Bukan cuma adu mulut."
Critical Hit
Monster Kill
RAMPAGE!!!
Amazing. Manda kembali sibuk dengan kegiatannya mengupas buah apel, sedangkan Vivi dan Vina hanya diam menunduk. Sepertinya mereka menyadari perbuatan mereka. Yah, bukan tidak senang mereka berdua kesini, tapi benar kata Manda, sejak keduanya mulai berperang kepalaku rasanya semakin sakit.
Vivi lebih dahulu tersadar, dia menatapku. "Al, lu belum makan kan? Gue masakin ya," dan dia pun berjalan keluar kamar tanpa menunggu jawaban dariku.
Vina yang masih celingukan tanpa arah pun mulai bergerak, dia menurunkan tas punggungnya dan mulai membereskan kamarku.
Kini Vivi, Vina, dan Manda sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, tentu saja mereka bergantian merawatku, memanjakanku, dan kadang aku mendapatkan sedikit servise berupa belaian di kepala dan sebagainya yang tak akan kuceritakan pada kalian. Haha.
Mendapat perlakuan seperti ini dari mereka membuatku tersadar, ternyata tak buruk juga memiliki tiga orang istri. Semoga tuhan bisa mengabulkan doaku ini.
Baiklah, karena bisa dianggap tidak sopan menolak cinta kasih dari mereka, jadi aku akan menikmati masa masa ini, tentu saja tanpa gangguan kalian. Jadi, sampai jumpa lagi.
*=*
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top