Chapter 17 - Senyum Malaikat

Indonesia, Juni 2018

Shinobi Coffee


Halo, halo. Selamat siang menjelang sore. Bertemu lagi dengan saya Barista paling tampan sejagat-raya. Gak usah nanya lagi, kalian pasti tau gue lagi ngapain. Udah jelas lah, lagi nyeduh nih kopi. Bentar. Lagi fokus, diem dulu.

Untung saja meja bar sedang kosong, aku bisa dengan khidmat menuangkan air dari ketel keatas kopi. Kali ini aku sedang menyeduh menggunakan alat yang bernama Aeropress. Alat ini sebenarnya cukup rumit, kita bisa menggunakan dua dari tiga metode, yaitu Immersion atau perendaman, pouring, dan press. Kali ini aku menggunakan metode biasa, yaitu menggunakan pencampuran teknik perendaman dan press.

Bentar, nge-press dulu.

Nah udah beres. Tinggal disajikan, dan pesanan untuk saat ini sudah selesai. Berdiri terlalu lama membuat pinggangku ngilu, mungkin efek umur ya. Aku mengambil kursi dan mendudukinya, menunggu pesanan selanjutnya datang.

Tiba-tiba saja seorang gadis berambut hitam sebahu duduk di depan meja bar. Wajahnya terlihat lelah. Ikan nyamperin kail pancing nih. Aku dengan ramah menyapanya. " Selamat sore kak, mau kopi apa?"

Gadis itu tersenyum. Bahkan sebuah senyuman manispun tak bisa menutupi raut lelah di wajahnya. "Sore kak. Aku pengen V60 dong. Kopinya rekomendasi kakak aja deh, bebas."

Ini nih, yang bingungin dari para cewek. Kalo udah keluar kata 'terserah' atau 'bebas'. Bikin bingung. Kita ini para cowok juga butuh kepastian, gak semuanya juga diserahin ke cowok.

Jika kalian menemukan kasus seperti ini, salah satu caranya adalah dengan menanyakan selera dari lidahnya. Apakah dia suka kopi yang asamnya tinggi, apakah suka yang pahit, atau yang menonjolkan rasa buahnya.

"Umm, oke. Kakak suka kopi yang kaya gimana? Pahit? Asam? Manis? Atau yang bikin rindu?"

Dia pun tertawa. Tawa yang manis. "Hahaha, kakak bisa aja. Yang bikin rindu deh, kayaknya enak."

"Okesiap. Tunggu sebentar yah."

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya prolog dariku cukup membuat dirinya rileks. Terbukti dari raut wajahnya yang kini mulai kembali cerah.

Aku kembali disibukkan dengan air panas, ketel, dan biji kopi. Memberikan sesuatu yang sedang dibutuhkan oleh gadis manis dihadapanku, sebuah kenyamanan.

Sambil meracik kopi, sebagai profesional tentu saja aku harus bisa berinteraksi dengan orang yang berada di hadapanku. "Abis pulang kerja kak? Apa kuliah? Keliatannya capek banget."

"Baru pulang kuliah kak. Tugas banyak banget, Cape, badan pegel-pegel. Tadinya mau langsung pulang, tapi kayaknya ngopi dulu enak, jadi aku kesini."

Nah, lihat kan? Prolog yang baik akan menghadirkan isi cerita yang baik pula. Bisa kalian lihat, responnya positif. Dia bercerita sambil tersenyum, dan menceritakan keluh kesahnya secara gamblang. Itu tandanya, dia nyaman bercerita dengan kita. Ini sebagai pembelajaran bagi kalian-kalian yang masih menyandang status JOMBLO BERTAHUN-TAHUN.

"Ooh, emang kuliah jurusan apa?"

"Desain grafis kak. Banyak banget tugasnya. Bayangin aja, satu dosen ngasih satu tugas, belum tugas persentasi kelompok."

"Itu kuliah? Apa disuruh kerja rodi?"

"Ya begitulah kak, derita mahasiswa."

Sepertinya aku salah memilih topik. Wajahnya kembali murung, mungkin dia kembali teringat dengan tugasnya yang bejibun. "Udah kak, jangan terlalu dipikirin. Kesehatan itu lebih penting loh," ujarku. Berbarengan dengan itu, V60 Palasari Honey pun selesai kuseduh. Segera kusuguhkan padanya, tentu saja dengan sedikit tambahan kata-kata manis.

"Silahkan kak, V60 Palasari, Honey Proses. Kuseduh dengan sepenuh hati, untuk menyemangati sore harimu yang sendu," diakhiri dengan senyuman manis yang akan membuat semua kaum hawa syok berat.

Dia menerimanya. Oke, mari kita lihat responnya.

Gadis dihadapanku pelahan meraih gagang cangkir kopi, menghirup aromanya perlahan sambil memejamkan mata. Konon katanya, aroma kopi bisa menenangkan fikiran yang sedang kalut, dan memberikan sensasi rileks.

Setelah puas dengan aroma kopi yang menenangkan, kini kedua bibir akan bertemu. Bibir cangkir berisi kopi seduhanku dengan bibir gadis manis yang belum kuketahui namanya hingga saat ini.

Gadis itu menyesap kopinya perlahan, merasakan sensasi rasa yang terkandung dalam kopi. Reaksi setelah meminum kopi inilah yang aku tunggu.

Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, wajahnya datar bahkan sedikit mengernyit, itu menandakan kopi seduhan kita tak bisa diterima olehnya atau bisa dibilang, seduhan kita tak enak. Kedua, jika kopi seduhan kita nyaman untuknya, sadar tak sadar dia akan tersenyum.

Matanya terpejam. Aku fokus memperhatikan bibirnya, terlihat sangat menggoda untuk di ... oke skip. Fokus Alvi, fokus. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan sebuah senyuman yang sangat indah. Bahkan, para malaikat pun akan tunduk oleh senyumannya, aku yakin.

"Enak kak kopinya," dan senyuman indah itupun kembali hadir. Ya tuhan, fix, jodohin gue sama yang ini aja, udah gakuat.

Obrolan kami pun menapaki jenjang yang lebih serius. Maksudku, mulai membicarakan banyak hal. Mulai dari kesehariannya, tugasnya, sampai kejadian-kejadian lucu yang sering dialaminya. Meski sebenarnya dia yang lebih banyak bercerita dan aku hanya akan menanggapinya, tapi biarlah, dia memang harusnya seperti itu, membagi keluh kesahnya agar beban pundaknya bisa sedikit berkurang.

Suasana ini yang mungkin dirindukan olehku sejak dulu, ketika aku dan Frans masih mulai menapaki jenjang per-kopi-an. Kami selalu datang bersama, ke sebuah kedai kopi yang menghadirkan suasana kekeluargaan yang sangat erat. Biasanya aku dan Frans duduk meja bar sambil bercerita berbagai macam hal dengan baristanya, sebut saja 'Pajen', begitulah kami berdua memanggilnya. Pajen selalu menyambut kedatangan kami, dengan obrolan, candaan, dan tentu saja seduhan kopi yang nikmat. Suasana ini yang selalu aku pegang erat sampai sekarang dan aku berhasil mewujudkannya di Shinobi Coffee ini.

Cukup banyak informasi yang kuterima darinya. tentang dia yang kuliah sambil bekerja, tentang keluarga dan kesehariannya, dan yang pasti aku sudah tau namanya. Namanya adalah ... ... ... kok lupa yah? Ra .. ratu .. ah pokonya ada ratu ratunya gitu deh. Memang, senyuman manis itu bisa menghapuskan ingatan sesaat.

Sang gadis sudah selesai dengan kopinya. Sekarang dia sedang berhadapan dengan Kak Rubi, tentu saja melakukan kewajibannya sebagai pembeli.

Setelah membayar, dia kembali menghampiriku. "Kak Alvi, makasih yah kopinya. Nanti aku main lagi kesini. Bye kak," diiringi sebuah lambaian tangan dan senyum bak bidadari khayangan.

"Oke, terima kasih sudah berkunjung. Becarefull in the way (hati-hati di jalan) kak."

Dan dia pun pergi dengan senyuman yang masih menempel setia di bibirnya. Pandangan mataku mengikuti dirinya sampai menghilang di balik pintu. Jujur saja, aku tepana dengan pesonanya. Sungguh sosok wanita yang sempurna menurutku.

Bletak!

"AHANJIRBANGSATRIA ... WOI INI SIAPA YANG MUKUL GUE?" mana kena kepala lagi, anjir. Sakit.

Dihadapanku terlihat Fandy -salah satu sahabatku- sedang melihatku dengan tatapan penuh intimidasi. Nafasnya memburu, dan wajahnya terlihat merah padam. Ni anak kenapa ya? Kesurupan?

Biar aku cek dulu. "Fan? Halo, Fandy? Lu sehat?"

Dia tidak menunjukan respon, masih dalam posisi yang sama, muka merah padam, nafas yang memburu, dan tatapan yang semakin mengintimidasi. Fix kesurupan.

Dalam artikel yang aku pernah baca, cara ampuh menghadapi orang kesurupan adalah dengan melemparkan garam ke wajahnya. Maka, demi sahabatku ini, aku akan memberanikan diri menyadarkannya, dengan segenap tenagaku.

"Nad! Nad! Nadila."

"Kenapa kak? Loh, itu kak Fandy kenapa?"

"Sekarang kamu ke dapur, minta garem. Kita akan menyelamatkan nyawa seseorang kali ini."

"Nyawa siapa kak? Kok pake garem?"

"Udah cepetan, sebelum kehabisan!"

Dan Nadila pun pergi ke dapur dengan wajah bingung. Biarin aja lah, ntar aja jelasinnya, sekarang nyawa sahabatku lebih penting. Aku keluar dari meja bar, dan menghampiri Fandy yang masih diam. Mukanya merah, dan dia masih menatapku. Gue salah apa ya?

Aku dan Fandy masih tatap-tatapan. Semoga tidak ada hati yang tersakiti setelah ini.

"Nih kak, garemnya!"

"Sip. Thanks Nad," kuambil garam dari Nadila.

"Emang buat apa kak?"

"Ssst ... itu Fandy Kesurupan," jawabku.

"Emang kalo orang kesurupan pake garem ya? Bukannya harus panggil orang pinter?"

"Kelamaan kalo harus nunggu orang pinter Nad. Belum harus sekolah dulu, belajar dulu. Ini Cuma untuk penanggulangan pertama."

"Oooh ... emang bisa ya?"

"Gak tau sih, kita coba aja."

Berbekal satu genggam garam di tangan kananku, sekuat tenaga aku lemparkan garam itu tepat di muka Fandy. Serbuk putih mendarat dengan mulus di mukanya, tercerai berai dan berguguran, beterbangan dan tak kembali lagi.

Fandi yang terkena sambaran garam di mukanya terkejut dan buru-buru membersihkan mukanya sendiri. Hahahaha.

"Woi BANG**T, kok gue di lempar garem sih?" amuk Fandy. Dia mengumpat sambil membersihkan mukanya yang penuh bulir-bulir putih. "Mana asin lagi."

"Loh Fan? Lo gak kesurupan?"

Fandy masih sibuk membersihkan mukanya, aku memberikan empat tisu. Saat air mataku mengalir, aku tidak bisa menggunakan tisu, aku butuh empat lembar, empat lembar, saat aku menangis.

"Hahahaha, Kak Alvi sotoy sih, hahaha."

Ya, yang barusan itu Nadila, dia mentertawakan Fandi dengan muka garamnya, dan mentertawakanku. Hey, aku tak salah, Fandy yang duluan memukulku.

"Fan? Lu okey?" tanyaku. Fandy terlihat sangat kesal.

"Gak, gue gak okey. Pake dilempar garem lagi, emang gue kesurupan?" sungut Fandy. Kan bener, orang kesurupan itu dilempar garam.

"Lagian lu, maen timpuk aja. Gue punya dosa apa sama lu?" aku mengajak Fandy untuk duduk di meja bar. Meredakan ketegangan dengan secangkir kopi adalah solusi.

Fandy menyeruput kopi yang kusuguhkan dalam gelas sloki kecil, sebagai welcome drink. Kebetulan itu jatah kopiku jadi ya, dikit aja jangan banyak banyak. Kalo mau segelas ya harus bayar. Haha.

"Lu, pake lambai lambaian tangan sama idola gue. Senyum senyum lagi. Maksud lu apa?" kesal Fandy.

"Idola lu?" bingung? Sudah pasti. Idola Fandy kan banyak, mana gak pada kenal lagi.

"Ya, yang tadi lu senyumin. Lu sembarangan pake senyum-senyum segala. Gue aja belum pernah."

"Ya itu derita lu sendiri dong, ngapa nimpuk gua lagi."

Bentar, sepertinya aku terdasar akan satu hal. Ya, kejadian timpukan Fandy membuatku sadar akan satu hal yang berbahaya. Tadi Fandy bilang bahwa wanita yang baru saja keluar adalah idolanya. Kalau Fandy sampai mengidolakannya berarti wanita itu setidaknya cukup terkenal untuk bisa dikenal Fandy. Dengan kata lain, wanita tadi adalah artis, atau seorang public figure.

"Fan," panggilku. Fandy menoleh, wajahnya masih terlihat bete. "Cewek yang tadi, artis?"

"Lu gak kenal?" Fandy balik nanya.

"Kagak," jelas kagak lah panjul, kalo kenal gue udah foto-foto sama dia terus sombong di Instagram.

"Baiklah kawanku, aku akan memberi tahumu tentang dunia per-idol-an yang penuh keceriaan. Dia adalah wanita yang istri-able dengan tatapan dan senyuman yang mampu memikat para malaikat," jelas Fandy. "Dia adalah Ratu Vienny Fitrilia, dari idol grup JKT48."

"Ratu apa?" tanyaku lagi.

"Ratu Vienny Fitrilia."

Aku merogoh ponsel pintar di saku balik seragamku. Mengotak-atiknya sedikit dan menuliskan nama dari wanita tadi. Sip. Langsung beraksi.

"Al, lu dengerin gue gak?"

"Denger kok, dengan sangat jelas. Ratu Vienny Fitrilia kan?"

"Nah bagus kalo lu faham. Pokonya lu jangan sampe keliatan deket sama Vienny, ntar kena paparazzi bisa jadi bahan gossip dan kena skandal. Okey?"

"Iya iya," jawabku sekenanya. Lagi asik nih chatingan.

"Lu lagi ngapain sih? Liatin hp sambil senyum-senyum. Gila lu?"

"Gak, ini lagi chatingan ama Vienny," jawabku. Jariku masih menari diatas keypad membalas pesan singkat dari wanita pemilik senyuman bidadari tadi.

"HAH?" sontak Fandy merebut handphone-ku. "Kok lu bisa punya kontaknya?"

"Ck apaan sih? Sini!" aku merebut kembali barang yang memang menjadi milikku. Maen samber aja ni bocah, gak tau lagi asik apa ya.

"Al, kok lu bisa punya kontaknya?" Fandy kembali memberikan tatapan intimidasi padaku.

"Tadi tukeran kontak. Katanya kalo mau main kesini ntar dikabarin," jelasku. Dan memang kenyataannya seperti itu.

"Wah, pelanggaran ini sih. Sini, gue minta kontaknya," Fandy berusaha merebut handphone-ku tapi dengan sigap aku langsung mengamankannya dengan menyimpannya di saku seragamku.

"Gak, dia bilang kontaknya gaboleh di sebarin. Apalagi sama orang kayak lu," bahaya kalo Fandy si maniak dapet kontak idolanya. Bisa-bisa bidadari gue kena terror.

"Kok lu gitu sih Al sama gue? Gue gak bakalan macem-macem kok."

"Fandy sahabatku, janji seorang laki-laki itu tidak boleh diingkari. Apalagi ini janji sama bidadari khayangan. Gak bisa," jawabku tegas. Kalian harus tau, janji itu sangat berat untuk dipikul, akan banyak sekali pengorbanan yang kita lakukan. Maka dari itu, kalian jika memiliki janji, jangan sampai di khianati yah. Gak baik tuh.

"Oke Al. lo ... Gue ... End ... " dan Fandy membalikan badannya.

Lah si panjul ngambek. Biarin deh. Janji memang gak boleh diingkari. Masih ada cara lain untuk membuatnya kembali jadi Fandy yang dulu.

"Nad," panggilku. Nadila berjalan mendekat dari balik meja bar. Aku menunjuk Fandy dengan daguku. Nadila yang sudah faham langsung beraksi.

"Kak Fandy, mau kopi apa?" tanyanya, dengan gaya yang sungguh imut menurutku. Padahal biasa aja sih, tapi tetap aja dimata seorang lolicon segala gerak-geriknya pasti terlihat imut.

Dengan sigap Fandy menoleh pada Nadila disertai senyum seperti om-om mesum yang kurang piknik. "Boleh Nad, mau caffe latte dong. Pake gambar hati sama ditambah senyuman kamu yah."

Kan,kan. Apa gue bilang. Dah normal lagi tu anak.

Dahlah, sampai jumpa besok.


Tribute For @ViennyJKT48 


*=*

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top