Chapter 15 - Kalah

Indonesia, Mei 2018

Shinobi Coffee


Vivi kembali tersenyum, dia menjulurkan tangannya padaku. Aku bingung, kenapa dia ngajak kenalan lagi? Aku menyambut uluran tangannya, dengan senyuman yang masih menggantung indah di bibirnya dia berkata "Senang bekerjasama denganmu."

...

Vivi masih setia menemani malamku di kedai, melontarkan banyak cerita-cerita tentang pengalaman hidupnya yang cukup menarik perhatianku. Bukan ceritanya sih yang menarik, tapi senyumannya yang manis yang selalu menarik perhatianku.

Tak terasa waktu begitu cepat memisahkan kita. Tepat jam sebelas malam Vivi pamit pulang, bertepatan juga dengan kedai Shinobi Coffee yang sudah close order. Tinggal menunggu para pelanggan yang masih stay disini untuk pulang.

Sebelum pulang, aku dan Vivi bertukar kontak dengan dalih agar lebih mudah jika ada complain atau pemesanan coklat nantinya. Alasan klasik untuk sebuah tujuan mulia, merajut kembali kisah kasih yang telah lama terpendam. Hahaha, modus harus selalu diutamakan bos.

Pelanggan terakhir sudah pulang, dan ini waktunya untuk membereskan semuanya. Tugas terakhir. Hari kerja memang seperti ini, pengunjung masih tidak terlalu banyak dan aku bisa pulang cepat. Berbeda dengan malam weekend dan weekday, aku bisa pulang jam tiga pagi.

Tiba-tiba Nadila menghampiriku yang sedang mengelap meja bar. "Kak Alvi, itu kak Ren gimana?" tanyanya.

"Haduh, hampir lupa. Dia masih pingsan?" tanyaku balik. Nadila hanya menganggukkan kepalanya. Ah sudahlah, sebaiknya aku membangunkannya. Tapi bagaimana caranya? Kalian ada saran yang baik bagaimana cara membangunkan orang yang pingsan?

Aku menghampiri Ren yang masih tak sadarkan diri di pojok ruangan. Melihatnya menutup mata dengan damai aku tak tega untuk membangunkannya, tapi kalau tak dibangunkan kesian, bisa tidur sama tikus ni bocah.

Nadila menghampiriku, "Nih kak," serunya sambil membawakan segela air bening. Ah, benar juga, siram pake air. Aku menerima gelas tersebut, dan langsung menyiramkan semuanya ke muka Ren.

Sontak Ren bangun dan panik. Nafasnya terengah-engah karena kaget dibangunkan seketika. Nadila menepuk punggungku keras, "Ish kak Alvi. Dicipratin aja, gak disiram semuanya. Dikira taneman apa."

"Eh?" aku menggaruh kepalaku yang tak gatal sambil nyengir kuda. "Hehe. Gapapa Nad, biar sekalian mandi."

Ren masih celingukan kesana-kesini, sambil menetralkan nafasnya. "Alvi, gue ada dimana?" wah, geger otak ni anak.

Aku jongkok di hadapan Ren, "Ren, kamu ingat aku siapa?" tanyaku.

Dia mengangguk, "Barista gila yang nonjok kepala gue sampe pingsan. Bang**t lu!" dia mau menglayangkan kepalan tangannya padaku, untung aku masih sigap dan bisa menghindarinya.

"lagian lu, dikasih ide bagus malah nuduh gue alien. Bukannya bilang makasih," ujarku membela diri.

"Iya juga sih," dia termenung. "Tapi gak nyampe pingsan juga panjul!"

"Sori kelepasan."

Ren pun bangun dan merapihkan dirinya. "Thanks Al, tar gue bales tonjokanlu," ujarnya dan dia pun pergi.

Teman yang aneh.

Aku kembali ke meja bar untuk membereskan yang harus dibereskan. Tiba-tiba saja terdengar suara genderang yang ditabuh. Semakin lama semakin cepat. Huft, kayaknya malam ini bakalan panjang.

Kurogoh saku baju dalamku. Kalian tau kan seragan Shinobi Coffee, tak ada saku luarnya, sakunya ada di balik baju. Benda kotak dengan banyak tombol sudah dalam genggamanku, segera kutekan tombol berwarna hijau dan kudekatkan benda kotak itu ke telingaku.

"Hawlooowww, dengan siapa dimana?"

"Kak Alvi. Taman Mawar. Sekarang!" seru suara disebrang sambungan ini yang sudah kutau adalah suara dari Vina. Dan sambungan telfon pun diputuskan sepihak oleh Vina.

Gabisa apa gue istirahat dulu bentar gitu. Udah 5L-1H nih badan. Dengan secepat kilat aku membereskan bagianku, bahkan Nadila yang berniat membantuku pun aku usir karena jika sedang dalam mode kilat aku tak mau diganggu, akan menghambat kinerja seorang Alvi Pravidian.

Bagianku sudah beres, aku langsung berlari ke ruang ganti. Aku berpapasan dengan Nadila yang sudah menggunakan pakaian biasa, dia baru saja keluar dari ruang ganti. "Nad, aku duluan yah," ujarku sambil terus berlari.

Nadila menghentikan laju lariku, "Terus aku pulang sama siapa kak? Kan katanya mau anterin aku pulang."

Haduh, mampus. Gue lupa kalo udah janji mau nganterin Nadila pulang. 

"Nad, kamu pulang sama kak Rubi aja yah," jawabku.

"Kak Rubi kan pulang sama kak Rosi."

"Sama Aldo gimana?"

"Kak Aldo, Kak Rey, sama Kak Arfa udah pulang duluan."

Haduh, gimana ya? Masa anak orang mau diajak perang dulu. "Yaudah, tunggu bentar," itulah keputusanku, bodoamat deh. Daripada ni bocah ditinggalin disini sendirian, bisa rusak dunia perlolian indonesia.

Dengan gerakan kilat aku berganti baju, berlari keluar kedai dan menghampiri Nadila yang sudah menunggu diluar sana. Seperti anak hilang. Haha.

"Yuk," ajakku pada Nadila. Sambil memberikan Helm pada Nadila. Nadila mengenakannya dan segera naik ke jok belakang Galeon, motor kesayanganku. Kupacu Galeon secepat mungkin menembus jalanan malam yang cukup sepi. Bahkan protesan Nadila yang menyuruhku untuk mengurangi kecepatan pun tak kuindahkan, di depan sana ada puluhan nyawa yang sedang menunggu untuk diselamatkan, dan juga monster-monster yang akan segera kuhancurkan.

Sepuluh menit, waktu tercepat yang bisa kutempuh untuk sampai di Taman Mawar. Keadaan disana sudah porak poranda, banyak monster yang mengacau. Teriakan para pengunjung pun masih terdengar jelas. "Kak Alvi kenapa malah kesini sih?" tanya Nadila.

Aku turun dari sepeda motor kesayanganku, dan mengambil Piston Belt yang kusimpan di dalam tasku. Kutengok Nadila yang masih diam mematung, memandang tak mengerti apa yang akan kulakukan. "Nad," panggilku. "Nanti kuceritakan jelasnya. Sekarang, kamu jangan kemana-mana, duduk manis dan jagain si Galeon," lanjutku.

Aku berbalik menghadap para monster di depan sana, kupasang Piston Belt pada pinggangku. "Baiklah, ini saatnya untuk beraksi." Kumasukan Blend Alpa yang sedang kugenggam pada Piston Belt.

Ckrek ...

... "Alpa" ... "Ready" ...

Kutarik tuas pegangan pada Piston Belt dan kutahan selama lima detik. ... Pssshh ... dan kukembalikan tuas itu pada tempatnya dalam satu hentakan sambil berteriak, "BERUBAH ..."

... "Blend Alpa" ...

... "Lord of Speed" ...

Sinar merah mulai menyelimuti tubuhku. Kain hitam melilit tubuhku, dan terpasanglah armor-armor berwarna hitam dengan plat merah.

... "Complete" ...

Diakhiri dengan asap yang menyembur dari setiap celah armor yang kukenakan.

"Membela kebenaran dan menumpas kejahatan."

"Satria Kafein," kutarik tangan kananku menyilang di depan dada dengan jari membentuk huruf 'V' ... "ALP ... ... ..." gak jadi. Hahaha.

Bahaya kalo aku sampai menyelesaikan Rolling Call-ku. Kalian pasti tau kan? selalu ada ledakan di belakangku jika aku menyelesaikan Rolling Call-ku. Sekarang dibelakangku ada Nadila, bahaya kalo sampe meledak, bisa jadi loli gosong, haha.

Aku ingin melihat reaksi Nadila setelah melihatku berubah dengan form yang keren ini. Kutoleh Nadila yang masih duduk manis diatas Galeon, wajahnya terlihat ... biasa aja? Oh ayolah, ini gue udah berubah dengan bentuk yang sangat diidam-idamkan semua orang. Terkejut kek, histeris kek, jungkir balik kek, atau apalah itu.

Ah sudahlah, sebaiknya aku menyelesaikan tugasku. "Nad, tunggu disini!" perintahku yang dijawab dengan satu kali anggukan. Aku berbalik dan berlari menuju kerumunan monster itu, "Oke,saatnya mengamuk. Let's Dance Baby."

Seperti kesetanan, aku tiba dan langsung menghajar monster-monster yang sedang mengamuk dengan membabi buta. Masih banyak warga yang harus aku selamatkan, jadi tak ada waktu banyak, pokoknya semuanya harus selamat dengan aman dan tentram, itulah tujuanku kali ini.

Bugh ... Bugh ... Duar ..

Bugh ... Bugh ... Duar ..

Bugh ... Bugh ... Duar ..

Tiga sudah meledak. Aku berlari menyelamatkan seorang gadis yang terjatuh. "Kamu gapapa?" tanyaku. Saat dia menoleh, aku benar-benar terkejut dengan gadis yang berada dihadapanku. Pasalnya, beberapa menit yang lalu gadis ini masih tersenyum ceria dihadapanku dan sekarang wajahnya diliputi ketakutan dan kepanikan. Ya, Vivi sedang berada dalam pelukanku dengan wajah penuh keringat dan memancarkan ketakutan. Dia menatapku, bibirnya perlahan menyinggung sebuah senyuman, "Aku gapapa. Terima kasih," ujarnya.

Sedikit lega aku melihatnya bisa tersenyum kembali. "Larilah, selamatkan dirimu!" perintahku yang diangguki oleh dirinya. Dia bangkit dan berlari menjauhi keramaian.

Melihat seseorang yang kukenal dan kusayangi sampai dibuat ketakutan oleh monster-monster itu membuat darahku mendidih. Kuraih Pour Over Sword ku dan kembali bangkit. Merangsek maju dengan satu tujuan. Membinasakan monster.

Pour Over Sword yang berada dalam genggamanku terus kuayunkan tanpa henti hingga tersisa dua ekor monster terakhir yang berada di depan sana. Peluh sudah memenuhi badanku, mungkin jika memakai baju kain biasa, baju itu jika diperas bisa mendapat satu ember penuh keringat. "Serangan penghabisan."

Aku berlari menerjang monster terakhir, Pour Over Sword kusiapkan disamping tubuhku, siap untuk ditebaskan. Namun, lima langkah lagi aku akan mencapai monster terakhir itu, sebuah gelombang yang sangat berat memaksaku mundur dan menerbangkanku jauh ke belakang, dan mendarat dengan pantat terlebih dahulu. Bisa kalian bayangkan, sakitnya sebelah mana.

Aku mencoba berdiri, sekali lagi sebuah gelombang yang tak terlihat kembali mendorongku ke belakang, dan aku kembali terlempar.

Aku kembali bangkit. Menatap monster yang jauh disana. Tiba-tiba dari atas dua monster itu turun perlahan seekor monster lagi dengan sayap yang membentang. "Khikhikhi ... salam satria. Namaku Monster Kelelawar," sahutnya diselingi tawa yang membuat bulu kuduk berdiri.

"Sudah kuduga."

Hebat kan? Aku bisa memprediksi monster yang akan muncul? Iyalah, jelas. Kalian pasti tau, setiap adegan film yang identik dengan malam hari pasti hewan kelelawar yang muncul. Mana ada kelelawar yang keluyuran siang-siang, kecuali emang lagi lembur. Haha.

"Huft, monster yang bisa terbang. Sepertinya aku membutuhkan pistol ketel itu. Sekarang yang harus kucari terlebih dahulu adalah Vina, dimanakah aku bisa menemukan Vina?"

"Dimana?"

"Katakan lebih keras!"

"Katakan sekali la...

Bugh ... 

Klontang ...

"ADAW."

Sebuah ketel seduh yang terlihat berat berhasil mencium kepala belakangku. Oh, ayolah Vina, ngasih senjatanya gak pake dilempar bisa gak sih? Bisa geger otak nih lama-lama.

"Kak Alvi, buruan! Keburu malem. Besok harus sekolah," teriak Vina dari belakang. Haah, oke-oke. Kulakukan secepatnya.

Aku berdiri dengan menggenggam Pour Over Sword di tangan kanan dan Kettle Gun di tangan kiri aku siap berlari menerjang monster-monster gila itu. Kulihat monster-monster itu memasang kuda-kuda dan langsung maju ke arahku. Pertarungan yang tak terelakan pun terjadi. Kutembak monster-monster itu sebisaku.

Jarak kami semakin dekat, kuayunkan tangan kananku secara vertikal dan dua dari tiga monster itu terpental jauh kebelakang dan meledak. Monster kelelawar yang menjadi incaran utamaku terbang dan lewat begitu saja diatas kepalaku menghindari tebasanku tadi.

Sial. Aku berbalik, berniat untuk mencari keberadaan Monster Kelelawar itu dan menembaknya namun apa daya, aku kalah cepat. Monster kelelawar itu dengan cepat menyerangku dengan cakarnya hingga aku jatuh berguling.

Aku mencoba untuk berdiri namun kembali cakar itu menyerangku, dan aku kembali berguling. Kejadian yang terus berulang hingga lima kali. Bayangkan, lima kali. Sampe pusing kepala gue guling-guling di tanah terus. Serangannya kali ini cukup berbeda, aku tak sampai berdiri, aku duduk bertumpu tumitku dan saat Monster Kelelawar itu datang, aku menebasnya dengan Pour Over Sword-ku hingga cakarnya tertebas dan melayang di udara.

Monster Kelelawar itu terbang tinggi sambil mengerang kesakitan. Erangan yang memekakan telinga. Aku berdiri, dengan Kettle Gun aku menembaki Monster Kelelawar itu di udara.

Dsyuu ...

Dsyuu ...

Dsyuu ...

Setelah entah tembakan ke berapa puluh akhirnya Monster itu tertembak dan jatuh ke tanah dengan cepat hingga menghasilkan bunyi yang sangat indah di telinga, 'BRUGH'.

Baiklah, serangan penghabisan. Kumasukan dua buah Coffee Coin ke dalam Pour Over Sword.

... Cring ... Cring ...

Kutarik tuas pada Piston Belt.

... Pssshhh ...

BUAKH!!!

Sesuatu yang keras menendang punggungku hingga badanku terpelanting cukup jauh. Aku berguling-guling ditanah, membuat kepalaku pusing delapan keliling. Ini siapa lagi sih yang berani ngancurin scane keren gue?

Aku kasihan sama Profesor, sepertinya dia harus kembali mencuci kostum ku akibat pertarungan malam ini. Bisa kalian hitung, berapa kali aku berguling-guling diatas pasir taman ini.

Pandanganku berkeliling mencari pelaku penendangan yang berhasil menggagalkan scene keren ku. Seekor monster lagi dengan bentuk yang terlihat garang kini sedang berdiri gagah di samping Monster Kelelawar yang masih tergeletak tak berdaya.

Oke kujelaskan, kesan garangnya itu dari mana. Tubuhnya hitam mengkilat dengan otot lengan dan kaki yang mengalahkan binaragawan kelas dunia. Dikepalanya mencuat sebuah tanduk yang ujungnya membelah jadi dua. Dipunggungnya, monster itu mengenakan tempurung kura-kura. 

Terbayang?

Belum?

Oke oke. Perawakannya seperti kumbang tanduk, atau mungkin benar itu adalah Monster Kumbang Tanduk.

Terbayang? 

Okesip!

Monster Kumbang itu menatapku, dan menunjukku, "Satria Kafein. Kali ini kau tak akan berhasil," ujarnya, selesai dengan ucapannya Monster Kumbang itu berlari kearahku. Aku memasang posisi siap bertarung. Jarak kami terpaut lima meter, kusiapkan kepalan tanganku. Kuangkat dan kutarik kebelakang, mempersiapkan tenaga untuk menghantamnya. Monster tiba, tinjuku pun sudah meluncur mulus siap menghantam bagian manapun yang sampai.

BUKH ... TING ...

"HUUWAADAAAW ... SAKIIIIT ..."

A, EN , to the JIR. Berasa ninju tiang bendera gue. Keras banget. Tu monster bahkan gak geser sama sekali. Intinya, ini tangan gue sakit banget anjir.

Aku berjingkrak-jingkrak sambil menggoyang-goyangkan tanganku yang masih bergetar karena kesakitan. Semoga dapat meredakan rasa sakit dari tanganku. Kutiupi tanganku yang masih panas, tapi malah kaca helmku yang berembun. Haduh, serba salah.

"Huahaha ... ternyata cuma segini kemampuan Satria Kafein yang sudah membunuh teman-temanku. Tak seberapa, geli pun tidak," ujar sang Monster Kumbang.

"Berisik kampret. Tangan gue bengkak ini."

Aku tak mau berdebat sekarang, tanganku masih gemetar, dan itu bukan hal yang baik.

"Hahahaha ... lemah."

Monster itu kembali tertawa. Sialan. Gue cincang abis lu. Aku berlari mengambil Pour Over Sword-ku yang tergeletak tak jauh dariku, dan kembali menyerang Monster Kumbang itu.

"Hyaaa ... "

TRING ... TRANG ...

Masih bergeming. Monster Kumbang yang semula berdiri sekarang mendudukan dirinya dengan sangat santai dihadapanku.

"Ayo, serang lagi!" pintanya.

Gak bisa dibiarin emang ni kunyuk satu.

Kembali kulancarkan serangan membabi buta pada si Monster.

TRING ... TRANG ... TRING ... TRANG ...

TRING ... TRANG ... TRING ... TRANG ...

"Udah?"

Sialan, keras amat ni monster. Emaknya ngidam paku beton apa gimana sih?

Ditengah aku yang masih mengatur nafasku yang tersenggal-senggal, Monster Kumbang itu berdiri. "Udah kan? Kalau begitu saya pergi dulu," pamitnya. Anjir, gue ditinggal gitu aja.

"Woi, urusan kita belum selesai!" teriakku sarkas. Monster itu terus berjalan hingga sampai di dekat temannya yang masih tergeletak, mengangkatnya dan menggendongnya di bahu. Monster Kumbang kembali menatapku. "Sampai jumpa Satria Kafein, semoga kita bertemu lagi. Dan kuharap, kau bisa menandingiku nanti."

Monster Kumbang itu pergi

Meninggalkan luka di hati

Yang akan membekas berhari-hari

Hingga saatnya kita akan bertemu kembali

Dalam laga yang mempertaruhkan jiwa petarung sejati.

"Aaargh... " geramku kesal. Aku menginjak-nginjakkan kakiku ke tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Ternyata begini rasanya diremehkan oleh lawan yang sangat kuat. Kesel setengah mampus.

"Kak Alvi," panggil Vina yang kini sudah berdiri dihadapanku. Aku mencopot Blend dan Piston Belt yang kukenakan, dan kembali menjadi manusia biasa. Kuserahkan kedua benda yang kupegang pada Vina. Vina memandangku dengan kepala yang sedikit dimiringkan dan wajah polos tanda tak mengerti.

"Sepertinya aku gagal. Jadi alat ini kukembalikan."

Vina yang sepertinya sudah mengerti maksudku menjawab, "Kakak simpan dulu. Besok siang kerumah aja. Aku pulang dulu, ngantuk," jawabnya, dan berbalik sambil menguap.

Lah? Gak ngambek? Sambil berjalan Vina memungut Pour Over Sword dan Kettle Gun yang masih tergeletak, menghampiri moge-nya, menyalakannya, dan langsung pergi.

Aku masih berdiri mematung setelah melihat kelakuan ajaib Vina. Ajaib menurutku, karena hari ini dia hampir tak ada ekspresi, selain teriak-teriak gajelas. Yaudah deh.

Aku berjalan dengan langkah gontai, menghampiri Galeon dengan Nadila yang masih tetap setia diatasnya. Nadila terlihat begitu tenang sambil bersedekap dada menanti kepulanganku. Wajahnya terlihat tentram dan dia ... sianjir malah molor. Haduh, kayaknya kelamaan nunggu nih anak. Untung kagak jatoh.

Kuguncang tubuhnya yang mungil itu. "Nad, Bangun!" tak lama Nadila Bangun dan menggeliat pelan. Gerakan yang lumrah untuk orang yang baru bangun tidur.

Yang gak lumrah? Lu bangun terus benerin rumah. Dah ah, udah malem juga, masih ada aja yang nanya aneh-aneh.

"Kak Alvi, monsternya mana?" oke Nad, itu pertanyaan yang aneh. "Aku tadi mimpi Kak Alvi berubah terus pake kostum gitu, terus lawan monster banyak banget."

Oh, waw. Mimpi yang sangat nyata sekali. Aku hanya menjawabnya dengan cengiran khasku. "Dah ah, yuk pulang."

Nadila hanya mengangguk, aku naik ke bagian kemudi. Menghidupkan mesin motorku dan melaju ditengah keheningan malam, dengan Nadila yang sudah kembali tertidur dibelakangku.

Malam yang melelahkan, dengan hasil yang sama sekali tidak memuaskan. Huft.

Sampai jumpa besok.

*=*

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top