Chapter 14 - Gadis Coklat
Indonesia, Mei 2018
Shinobi Coffee
Selamat pagi para jama'ah kafeiniyah. Bukan pagi sih, ini sudah jam dua siang. Bagiku, ini masih pagi, karena aku baru saja bangun dan langsung bersiap meluncur ke kedai. Hampir saja kesiangan.
Hari ini akan kuperkenalkan owner Shinobi Coffee yang gila ini pada kalian. Kebetulan hari ini akan ada briefing rutin yang dilakukan sebulan sekali. Hanya diskusi ringan antara owner dan karyawan.
Kini kami sudah duduk melingkar dalam sebuah meja. Di sebelah kananku ada Nadila, Rosi, Rere, dan Kak Rubi, di sebelah kiri ku terdapat para lelaki kurang belaian yaitu Teguh, Aldo, Ray, Doni, Arfa, dan di samping Kak Rubi, owner kita yang tergila, Pak Gina.
Ginanjar Alfaris, lahir bulan Oktober 1981. Dia sudah menjadi wibu saat menginjak usia 17 tahun, dan ke-wibu-an nya terus berkembang hingga dia menyukai salah satu tokoh kartun zaman dahulu, Ninja Hattori. Ketertarikannya pada sosok ninja yang bisa menghilang dalam gelap, melakukan penyusupan dan bersembunyi di bilik-bilik rumah membuatnya semakin memperdalam jalan ninjanya hingga berdirilah Shinobi Coffee tiga tahun lalu. Dan yah, kamilah para founder Shinobi Coffee, yang bertahan.
Beliau adalah owner yang sangat pengetian pada para karyawannya. Dulu, sebelum Shinobi Coffee dibuka, kami dilatih secara intensif untuk bergerak dan berlaku seperti ninja betulan, lengkap dengan penerapan filosofi ninja sebagai pedoman utama, sudah seperti pelatihan wajib militer. Banyak juga kawan-kawan seperjuangan kami yang gugur karena tidak kuat dengan pelatihan militer ala Pak Gina ini, dan kamilah yang bertahan.
Dibalik kebaikan dan kedekatan Pak Gina dengan para karyawannya, ada satu hal yang mengganjal hatiku. Ya, nama panggilannya. Aku pernah menanyakan secara langsung kenapa harus dipanggil 'Pak Gina', jawabannya simpel, 'agar bisa lebih akrab dengan kami', tapi, yah, kalian tau sendiri, pelafalan 'Pak Gina' itu sedikit ... ... ... yah itulah. Aku sendiri kadang masih tak kuasa untuk memanggilnya 'Pak Gina'. Yah, kurang enak ajasih.
Ssstt ... diem dulu, pembahasannya akan segera dimulai.
"Jadi, teman-teman. Selamat pagi, " ujar Pak Gina memulai perbincangan kami.
Kami menjawab spontan sebagai formalitas, "Pagi."
"Baiklah, para Shinobi mudaku. Sebutkan Tiga Pilar Utama Shinobi Coffee, Rere!"
Rere sontak menjawab, "Melayani dengan cepat, senyap, dan akurat."
"Ray!"
"Bergerak efektif, efisien, dan tanpa kesalahan."
"Nadila!"
"Menyelesaikan misi, walaupun nyawa taruhannya."
Pak Gina, mengangguk mantap mendengar jawaban jadi ketiga shinobinya. Begitulah hasil cuci otak dari owner kami, sangat mengerikan.
"Baik, ada masalah apa saja di kedai?" ujar Pak Gina.
Kak Rubi angkat bicara, "Sepertinya kita harus menambah limit stock di kedai, saya menyarankan menambah 50% dari limit stock yang biasa. Alasannya sudah jelas, tahun ini, saya melihat peminat kopi sudah mulai meningkat, bahkan dari kalangan pelajar. kadang juga kami sampai kehabisan stock mau itu di bagian dapur atau bar."
Pak Gina hanya mengangguk sambil melihat rincian stock pada selembar kertas. "Oke, laksanakan!" seru Pak Gina, "Tapi usahakan rincian stocknya terus kamu pantau dan laporkan padaku."
Kak Rubi mengangguk sambil menulis pada selembar kertas, tangannya terus bergerak mencatat hasil diskusi hari ini.
"Pak," seruku mengangkat tanganku. "Masalah supplier coklat, gimana pak?"
"Nanti sore dia datang, kebetulan keponakanku yang akan menjadi supplier coklat kita."
Aku hanya manggut-manggut seperti boneka dashboard mobil. Sepertinya masalah coklat akan beres, karena minggu kemarin supplier coklat bubuk yang biasa kami pakai memutuskan kontrak, entah kenapa, padahal kami rutin membayar setiap pembelian bahan, bahkan sebelum jatuh tempo.
Sepertinya pembahasan kali ini sudah habis, kami memang jarang menemui masalah, karena tim kami sangat kompak dan dapat diandalkan. Sisanya hanya diselingi obrolan ringan tentang keseharian kami.
Obrolan pun berakhir, kami kembali pada posisi kami masing-masing karena genderang perang sebentar lagi akan ditabuh. Aku dan gadis lucu kesayanganku sudah siap sedia dibalik meja bar. Tak lama, para pelanggan pun mulai berdatangan, aku dan Nadila mulai disibukkan dengan berbagai macam pesanan.
Tiba-tiba, seseorang duduk di meja bar dengan wajah kusut, dia datang, duduk, dan langsung membuka komputer tabletnya, lalu garuk-garuk kepala?
"Oi Subroto? Knape lu?" tanyaku.
Dia hanya menoleh sedikit padaku, lalu kembali fokus pada layar tabletnya, dan kembali garuk-garuk kepala. Ni bocah kenapa sih? Kesambet setan kutu?
"Alvi, single shoot espresso, please," serunya tanpa menoleh.
What? Wah beneran kesambet ni bocah. Yang kutahu Ren tidak terlalu menyukai espresso, apalagi ini single espresso.
"Lu yakin?" tanyaku.
Dia mengangguk satu kali. Baiklah, karena itu pesanannya aku pun berpindah ke mesin espresso, dan mulai mengoprasikannya. Tak lama, secangkir single espresso pun telah siap, segera kusajikan kepada temanku ini.
"Single espresso-nya mas Renaldi Subroto," ujarku sambil menyuguhkan padanya. Ren menoleh padaku dengan tatapan siap membunuh, aku hanya memberikan cengiran tak berdosa, kalian tau, dia tidak terlalu suka jika nama lengkapnya disebut. Haha.
Ren lalu meraih cangkir espressonya dan meminumnya dalam satu tarikan nafas. Keren, akupun sampai terpukau dibuatnya. Wajahnya mulai meringis, "Al, air bening dong!" perintahnya. Wahahaha.
Aku tertawa puas melihat ekspresinya, bahkan Nadila juga ikut cekikikan dibelakang sana. Kali ini yang kusuguhkan adalah segelas air bening, bukan air putih yah. Ingat, air putih itu susu, air bening itu ya air bening, air mineral. Ren langsung meneguk air bening itu hingga habis.
"Haha. Lagian gegayaan sih lu, pake pesen espresso segala. Kenapa sih lu?
Ren yang terlihat lega setelah dapat menetralisir rasa pahit dari kopi yang diminumnya menghela nafas. Mukanya kembali kusut, seperti rambutnya yang tak beraturan. "Naskah gue, direvisi, " ujarnya.
"Loh? Bagus dong, artinya dikit lagi tu buku bakalan terbit."
"Revisi total Alvi," lanjutnya. "Artinya cerita gue gak masuk kriteria dan harus ganti semuanya, termasuk ceritanya. Huft."
Waduh, ganas juga. Untuk menulis sebuah cerita setidaknya seorang penulis harus menghabiskan waktu minimal tiga bulan, untuk jenis cerita yang cukup ringan, kalau cerita yang berat-berat bahkan memakan waktu lebih dari enam bulan, itu pun hanya untuk riset.
Aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh kawanku ini, meski aku tak faham tentang dunia tulis menulis, tapi aku dapat merasakan bagaimana depresinya jika naskah kita ditolak oleh penerbit.
"Tenang kawan, ada aku yang selalu menyemangatimu," ujarku. "Emang kenapa naskah lu sampe ditolak?" aku sangat penasaran, karena setauku, tulisan Ren cukup bagus dari segi karakter dan penyampaian, gaya bahasanya juga asik.
"Gue nyoba bikin cerita romance, dan kata editor gue, ceritanya gak nyambung, feel-nya gak dapet, dan ngaco kemana-mana," seru Ren sambil menggaruk kepalanya frustasi.
Baiklah, pemirsa yang budiman, saya ingin mengajak anda untuk tertawa bersamaku. Jelas aja Subroto, lu jomblo udah tiga kali reinkarnasi, gimana bisa dapet feel orang pacaran, deket sama cewe aja lu udah gemeteran. Hahaha.
Haduh, capek juga ketawa dalam hati. Nadila? Dia sedang di ruang ganti, sedang tertawa puas disana. Emang gak salah sih meski kita gak pernah pacaran tapi bikin cerita romance, tapi, aku mengenal dengan sangat kawanku yang satu ini, di otaknya hanya ada aksi dan fantasi, tanpa sedikit pun sifat romantis yang menempel pada dirinya. Jadi, ya wajar saja aku tertawa karena membuat cerita romance membutuhkan feel yang kuat dalam hal keromantisan.
"Bro," panggilku. "Lu lagi garap cerita apaan?" tanyaku.
Dia menoleh, "Cerita Romance lagi," katanya.
"Lu yakin?" tanyaku lagi, yah, aku tak mau kawanku kembali jatuh di lubang yang sama.
Dia mengangguk, "Gue penasaran sama cerita romance, di pasaran laku keras. Gue juga pengen buku gue laku keras, makanya gue coba bikin cerita romance, biar cepet terkenal."
Yah, gak salah sih. Siapa juga yang gak mau karya kita dikenal banyak orang. Tunggu, "Latar belakang cerita lu dimana?" tanyaku penasaran.
Ren kembali menoleh, "Kisah cinta anak SMA, konflik yang standar."
Pantes aja. "Ren, kenapa gak lu coba cerita romance yang sesuai dengan kemampuan lu? Fantasy - Romance misalnya. Kalo buat referensi, gue kira Nadila bisa jadi mentor yang baik."
Ren melongo. Gue sadar, ide gue ini selalu cerdas dan cemerlang.
Tiba-tiba Ren bangkit dan mencondongkan badannya padaku, lalu
...
...
Bletak!
...
ADAW!
"Siapa lu? Lu bukan Alvi temen gue. Alvi temen gue gak mungkin bisa mikirin ide cemerlang kaya gitu. Lu pasti alien yang nyamar kan? Ngaku lu!" teriak Ren sambil mengacungkan telunjuknya padaku. Ini kenapa ga ada yang percaya sama otak cemerlang gue sih? Gak si Ren gak si Frans, sama aja.
Baiklah, sepertinya Ren memerlukan sedikit refreshing. Aku berjalan keluar bar, menghampirinya yang masih berdiri dengan wajah gak nyantai. Aku memejamkan mataku, memfokuskan tenagaku pada kepalan tangan, dan,
DUAKH
...
Bruk ... (you have slain an enemy).
Ren pingsan dengan satu pukulan di kepalanya.
Nadila terlihat kaget, dia menatapku dengan tatapan tidak percaya. "Nad, jangan bengong. Bantuin ngangkat Ren ke pojokan. Biar dia bisa beristirahat dengan tenang."
Nadila berjalan ke arahku, "Kak Alvi jahat banget," ujarnya, tapi dia tetap membantuku mengangkat Ren ke pojok ruangan.
Akhirnya ketenangan kembali di Shinobi Coffee. Aku kembali duduk menunggu pesanan selanjutnya, sambil memainkan ponsel pintarku. Kedai cukup sepi hari ini, karena memasuki hari kerja, jadi aku bisa sedikit santai.
Sore menjelang, Shinobi Coffee mulai ramai didatangi oleh para pekerja yang ingin merilekskan badan dan fikirannya dengan secangkir kopi. Kedua tanganku tak berhenti meracik puluhan cangkir kopi. Untung saja meja bar sepi, jadi aku bisa sedikit fokus dengan pekerjaanku.
Tiba-tiba saja duduk seorang gadis muda di hadapanku. Aku yang melihatnya memberikan seutas senyuman hangat sebagai sambutan. "Selamat sore kak, mau pesan apa?" tanyaku pada gadis itu. Wajahnya cukup familiar di ingatanku.
Dia menoleh padaku, "Caffe Latte satu mas," jawabnya. "Eh? Alvi?" panggilnya.
Aku yang merasa terpanggil pun kembali menoleh padanya. Kuperhatikan wajahnya sambil terus menggali memori dalam otakku. Cukup lama, hingga aku menyadari sebuah nama, "Vivi?" tanyaku.
Dia mengangguk dan tersenyum, senyuman yang cukup manis buat seorang,
,
,
,
Mantan.
Yatuhan, kenapa dia kembali dengan wajah yang jauh lebih menggemaskan.
"Lu apa kabar Alvi?" tanyanya. Diakhiri senyuman yang membuatku teringat akan masa lalu yang cukup indah.
"Gue baik kok, seperti yang lu liat sendiri."
Oh ayolah, fokuslah diriku. By the way, buat mantan enaknya gambar apaan ya? Ah sudahlah, make it flow aja. Kutuangkan steamed milk itu pada espresso di dalam cangkir, kuputar-putar, kulukis sebuah gambar dengan seluruh curahan hatiku.
"Silahkan. Secangkir caffe latte dengan sentuhan cinta dariku," ujarku sambil menyuguhkan hasil seduhanku pada Vivi.
Dia kembali tersenyum, ya ampun, senyumannya membuat hatiku semakin luluh. "Makasih loh," ujarnya. "Hihi, rabbit, lu tau aja kesukaan gue."
Aku hanya tersenyum, dia masih mengingat panggilannya dulu. "Lu sendiri apa kabar Vi? Udah kerja?" tanyaku.
"Gue sehat kok. Nah kan, hampir gue lupa. Gue kesini disuruh om gue. Katanya mau ngambil coklat dari tempat gue."
"Hah?" kagetku, "Jadi lu supplier coklat yang baru? Kebetulan banget. Haha."
"Iya, gue kesini mau ngasih sampel, sama mau ngobrol sama manajernya."
"Hoo, oke bentar," aku bergegas memanggil Kak Ruby. Diapun datang dan berkenalan dengan Vivi. Kami bertiga ngobrol sebentar hingga Vivi memberikan satu pack coklat bubuk padaku. "Coba bikin," ujarnya, "gue gak sembarangan nyari pelanggan, cuma mereka yang bisa memaksimalkan coklat gue yang bakal gue kasih."
Buset, serem juga. Jadi singkatnya, jika aku gak bisa memaksimalkan rasa coklat yang diberikan Vivi padaku, kontrak kita batal. Baiklah, kuterima tantangannya.
Aku membawa pack yang berisi coklat bubuk itu pada Nadila. Kami seperti dua orang peneliti handal, menciumi baunya, menjilatnya, dan memperhatikan teksturnya dengan seksama untuk bisa memperlakukannya dengan pas.
"Gimana Nad?" tanyaku. Nadila tidak mengeluarkan sepatah katapun, dia berbalik dan mengambil gelas dan menyimpannya diatas scale. Nadila mulai menyendok coklat bubuk itu pada gelas dan menimbangnya.
"10 gram, airnya 30 mililiter dengan suhu 90," ujarnya. "Kakak steam susu aja, seperti biasa, 90 ml."
Baiklah, sepertinya Nadila sudah menemukan celah dari coklat bubuk ini. Sudah kuduga, Nadila sangat bisa diandalkan. Akupun melakukan apa yang diperintahkannya, membuat steamed milk dan siap melakukan latte art.
Nadila memberikan coklat bubuk yang sudah dicairkan itu padaku. Aku pun mulai menuangkan steamed milk yang sudah kubuat pada coklat itu dan mulai mengaduknya.
Secangkir choco latte pun telah siap. Kusuguhkan pada Vivi yang masih ngobrol dengan Kak Ruby. "Silahkan," ujarku.
Vivi menoleh padaku, dia tersenyum. Please atuh lah, senyumnya nanti aja, gakuat akutuh. Vivi meraih cangkir yang kusuguhkan, mulai menghirup aromanya. Dengan perlahan bibir mungilnya menyesap choco latte dengan sangat perlahan.
Vivi kembali tersenyum, dia menjulurkan tangannya padaku. Aku bingung, kenapa dia ngajak kenalan lagi? Aku menyambut uluran tangannya, dengan senyuman yang masih menggantung indah di bibirnya dia berkata "Senang bekerjasama denganmu."
See You Next Time.
*=*
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top