Chapter 11 - Welcomeback

Indonesia, April 2018

Shuffle Coffee


Hai. Kembali lagi bersama Alvi, Barista tampan dan berani. Ngobrolnya nanti saja, aku sedang fokus menyetir nih. Menembus jalanan kota yang tidak terlalu ramai karena masih siang, belum jamnya macet.

Hari ini, aku bersama Nadila dan tunggangan kesayanganku Galeon akan menyambangi kedai kopi yang baru saja buka. Bukan, bukan untuk menjadi pendekar kok, itu kebiasaan duluku, kalau sekarang, yaa.. masih sih, kalau ada kesempatan, haha.

Aku akan menghadiri soft opening kedai kopi kawan lamaku, Frans. Dia yang dulu sempat gulung tikar karena kesalahan management yang kurang rapih dan sempat vakum dalam kurun waktu yang lama hingga akhirnya dia kembali ke dunia hitam. Frans itu bisa dibilang teman seperjuanganku, kami mulai memasuki dunia kopi bersama, kami belajar bersama, hingga akhirnya bekerja di balik bar yang berbeda.

Hah? Nadila? Ada tuh di belakang. Kok malah nanyain Nadila sih? Ini gue lagi curhat nih. Dasar, lolicon akut.

Dah ah, mau gas dulu, bentar lagi nyampe.

kling kling ...

"Selamat datang," sapa seorang pelayan yang cantik. Aku melemparkan senyuman padanya, dan bertanya, "Frans-nya ada?"

"Kak Frans ada di belakang, biar saya panggilkan," jawabnya. "Kakak duduk saja dulu," dan dia pun berlalu.

Hmm...manis juga pelayan itu, bibirnya bikin gemes. Eh? Maaf, salah fokus. Hmm ... aku terkesima dengan design interior yang disuguhkan. Biar kujelaskan, kalian tahu arsitektur zaman romawi kuno, yah, kurang lebih seperti itu, dan aku juga baru menyadari kalau karyawan disini menggunakan kostum ala-ala zaman romawi. Mulai dari tiang, tembok, hingga pernak-pernik yang ada juga sangat kental dengan zaman romawi, "Frans memang terbaik," gumamku.

Nadila lagi? Nih, lagi megangin ujung bajuku sambil baca buku, mirip anak ilang. Nadila mulu yang ditanyain.

Hoho, retina mataku menangkap sesuatu yang menyegarkan di depan sana. Seorang gadis dengan paras yang sangat cantik sedang berada di balik bar, dia sedang mengoprasikan mesin espresso. Mangsa segar nih, hahaha.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung berjalan menghampiri bar, dan duduk dihadapannya yang sedang membuat secangkir caffe latte. Aku memperhatikan wajah seriusnya yang sedang melukis di sebuah cangkir, sungguh menawan, hingga tak sadar bibirku tertarik mengeluarkan sebuah senyuman. "Frans memang terbaik," gumamku lagi.

Aku terus memperhatikannya hingga dia menyelesaikan sebuah caffe latte dengan art unicorn yang indah. Detik berikutnya dia baru menyadari kehadiranku. Aku bisa melihat raut kagetnya, sungguh lucu.

Gadis itu memberikan sebuah senyuman yang sangat indah dan berkata "Selamat siang kak, mau pesan apa?"

Baiklah, ikan sudah datang, saatnya melempar kail pancing, jangan lupa umpannya. It's show time.

"Aku ingin secangkir caffe latte yang dibuat dengan penuh cinta, dilukis dengan gairah dan ditutup dengan senyum manismu," kataku yang tentu saja diakhiri dengan sebuah senyum manis yang bisa membuat semua kaum hawa kejang-kejang.

BUKK ... (First Blood)

"Anak orang jangan dimodusin mulu!"

Bocah laknat. Kalian tau apa yang baru saja Nadila lakukan? Dia memukul wajahku dengan buku setebal 1.567 halaman, dan tepat mengenai hidungku. Kalo bukan junior udah gue paketin ni bocah ke Afrika, biar makin cebol diinjek gajah.

BUKK ... (Double Kill)

LUCKNUTT. Ini siapa lagi yang berani mukul kepala gue dari belakang.

"Karyawan gue jangan dimodusin juga gila."

Sebentar, suaranya sepertinya tak asing lagi di telingaku. Aku menoleh ke belakang dan melihat kawan lamaku sedang berdiri dengan sebuah buku majalah yang digulung. "Gak di pukul juga bambang. Bisa geger otak ni gue," seruku padanya.

Kami saling pandang dengan tatapan sinis selama beberapa saat, hingga akhirnya senyum di bibir kami berdua berkembang dan kami saling berpelukan. "Hoho ... Frans kawan lamaku, apa kabar? Sehat?" seruku sumringah menyambut pertemuanku dengan Frans.

"Alvi, gue kangen sama lu bro," Frans melepaskan pelukan kami, "Gue? Ya bisa lu liat sendiri, gue tetep gini-gini aja."

"Haha, ya lu tetep aja cungkring, hahaha."

"Nadila mana? Gak lu bawa kesini?" tanya Frans. Lah? Gak keliatan apa ya?

"Nih, di sebelah gue," jawabku.

"Yatuhan, maaf - maaf," Frans dan Nadila bersalaman, berpelukan, dan berci ... okey cukup jangan diteruskan. "Kamu tak banyak berubah ya Nad, masih tetap ... " aku menyikut perut Frans agar tak mengeluarkan kata terlarang, "Manis," lanjutnya diakhiri dengan cengiran tanpa dosa. Fyuh, untunglah. Hidupmu kali ini terselamatkan Frans.

"Ayo ayo, pesan apapun yang kalian suka," ucap Frans, yang kemudian dia duduk di sebelahku.

"Kakak, silahkan caffe latte nya," seru barista cantik dihadapanku, dia memberikan secangkir caffe latte dengan art blank heart padaku, disertai senyuman manis darinya. Apakah ini sebuah pertanda?

"Ah iya, terima kasih cantik. By the way, kakak cantik hari minggu ada acara gak? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat agar kita bisa mengenal lebih dekat," tanyaku. Dia tersipu malu, bisa kulihat semburat merah di pipinya, dan wajahku.

BUKK ... (Triple Kill)

Adaaw, buku setebal 1.567 halaman yang semula tersimpan rapih diatas meja bar kini kembali menyapa wajah tampanku. Hidung gue lagi yang kena.

BUKK ... (Maniac)

"Bukan karyawan gue juga yang lo pesen, setan."

Oke, ada lagi yang mau mukul kepala gue? Biar sekalian.

BUKK ... (SAVAGE...)

Duh tuhan, ini siapa lagi yang mukul. Mana sakit lagi.

Aku memegangi kepala belakangku, rasa sakitnya membekas cukup lama. Tiba-tiba seorang anak laki-laki menghampiriku "Om, maaf. Tadi bolanya terbang sendiri," serunya, dengan wajah yang tentu saja tanpa dosa.

Aku celingukan mencari benda tumpul yang digunakan oleh pelaku yang mengaku 'bolanya terbang sendiri' itu. Kutemukan barang bukti tersebut, tepat di bawah kakiku. Aku membungkuk, kuambil bola baseball itu dengan tangan kananku dan berdiri menghadap sang pelaku dengan kuda-kuda siap menerkam mangsa.

Tiba-tiba saja seorang gadis cantik dengan dandanan sangat seksi menghampiri bocah tersebut. Dia memeluk bocah laki-laki itu sambil memandang padaku dengan tatapan memohon "Kak, maafin adek saya. Adek saya gak sengaja tadi. Maafin yah," ujarnya sambil terus memeluk bocah yang katanya adiknya itu. Sungguh beruntung sekali bocah laki-laki itu.

Aku yang memang orangnya tidak tega-an ini tak bisa berbuat apa-apa. Aku ikut berjongkok dihadapan bocah itu dan memberikan bolanya. Aku tersenyum sambil berkata "Jangan main bola di dalam ruangan yah, bahaya." Lalu aku tersenyum pada kakaknya, ya tuhan dari jarak sedekat ini dia terlihat makin cantik.

Bocah itu mengambil bolanya dari tanganku, "Iya om. Maafin Deni ya om," serunya.

Aku harus bisa bersabar. "Jangan panggil om, panggil kakak aja yah," ujarku sambil mengelus rambutnya. Bocah bernama Deni itu mengangguk. "Iya Om." -_-

Suara cekikikan puas terdengar di belakangku. 

Gue masih tampan gini dipanggil om? Wadahell.

"Kak, sekali lagi maaf untuk kelakuan adik saya," kini kakaknya Deni angkat bicara, suaranya seperti lantunan nada indah di telingaku, senyumku tak bisa luntur. "Iya, gapapa kok."

Saat mereka hendak pamit, aku buru-buru mencegahnya. "Anu, maaf nona manis. Boleh kutahu namamu?"

Gadis cantik itu menoleh "Namaku Casandra," ujarnya, diakhiri dengan senyuman yang sangat manis. Aduh tuhan, bisa meleleh kalo kalo tiap hari dikasih senyuman kaya gini.

"Casandra ... Casandra ... Casandra ... " Aku masih berada di dunia khayalanku, membayangkan senyuman manisnya, wajah cantiknya, rambutnya yang coklat tergerai indah, bodinya yang putih mulus, serta ...

BUKK ... (Monster Kill)

"Orangnya udah pergi kak," Nadila kembali memukulku dengan buku setebal 1.567 halaman itu lagi, lalu menarikku untuk kembali duduk. Mirip seperti seekor anjing yang kabur dan ditemukan oleh pemiliknya, digeret. Huft.

Aku kembali dengan tujuan utamaku kesini, yaitu untuk bercengkrama dengan kawan lamaku, Frans. Berbincang hangat yang dipenuhi dengan canda tawa. Ditemani oleh Nadila dan Barista yang akan menjadi partner Frans nanti, namanya Manda, Amanda Putri Parvati. Sungguh nama yang indah sesuai dengan rupanya.

Manda itu orangnya sangat ceria, sangat sulit membuatnya berhenti untuk tersenyum dan tertawa. Aku sangat suka saat tawa renyahnya meledak karena candaan kami bertiga, tentu saja aku yang selalu menjadi korban bully-an Frans dan Nadila. Tapi tak apa, Manda sangat cantik ketika tertawa.

Diluar sana, jingga sudah membumbung tinggi memenuhi langit. Tak terasa waktu berlalu sangat cepat jika kita menikmatinya. Topik yang kita obrolkan pun sudah hampir habis, mulai dari pengalamanku dan Frans dahulu saat masih berkerja di balik bar, banyaknya para pendekar yang masih saja tak bosan-bosan bertanya ini dan itu, sampai bahasan random.

Ditengah keheningan antara aku dan Frans, Frans mulai membuka obrolan serius. "Al, punya saran gak buat Grand Opening kedai gue nanti?" tanyanya.

"Grand Opening ya? Kenapa gak bikin lomba nyeduh? Atau bikin acara gede-gedean sekalian adain live music atau apapun itu," saranku. Saat ini hanya ada aku dan Frans, Manda sedang sibuk membuat pesanan pelanggan yang mulai ramai dan Nadila, dia kembali ke dunianya.

"Halah, live music udah biasa. Lomba seduh juga udah biasa, terlalu mainstream."

Aku kembali berfikir, permintaan Frans terlalu berat untuk otakku yang isinya hanya kopi dan kopi. Aku menyesap sedikit kopi keduaku hari ini, secangkir kopi original dari daerah Kintamani-Bali dengan metode AeroPress. Aromanya yang pekat dan rasanya yang nikmat seperti memberikan efek meditasi tersendiri bagiku. Gear dalam otakku mulai berputar sedikit demi sedikit, dan diatas kepalaku muncullah sebuah lampu yang menyala terang.

"Frans, kenapa gak bikin Charity Event? Pengunjung yang datang menukarkan barang-barang mereka yang sudah tak terpakai dan ditukarkan dengan secangkir kopi. Judul acaranya nanti 'Kami Hadir Kembali Untuk Berbagi'. Hasilnya bisa kamu sumbangkan ke panti asuhan atau ke mereka yang membutuhkan," ujarku spontan.

Aku bisa melihat wajah Frans yang melongo dengan usulanku. Aku tau, Frans pasti terkesima dengan usulanku yang sangat brilian. Aku aja kaget dengan yang baru saja terlontar dari bibirku ini.

Aku melambai-lambaikan tanganku di depan wajah Frans yang masih melongo. Ayolah Frans, puji saja hasil pemikiranku, puji aku, puji kejeniusanku.

BUKK ... (Legendary)

Yang kudapatkan adalah sebuah majalah yang digulung padat dan menghantam tepat di kepalaku. "Frans Kampret, kepala gue kenapa dipukul sih? Salah gue apaan?"

"Lu bukan Alvi," sargahnya. "Alvi gak mungkin bisa mikir sampe kesana, apalagi ngasih ide yang cemerlang kaya gitu." -_-

"TERUS ELU DARI TADI NGOBROL SAMA SIAPA SARTONO???"

Akhirnya gue nge-gas juga. Iyalah, gak di gas gak bakalan maju bre.

"Santai dong, gak usah ngegas juga," seru Frans. Dasar manusia, udah di gas baru nyuruh santai. "By the way, ide lu oke banget tuh. Gue setuju. Ntar bantuin gue ya pas Grand Opening, sekalian bantuin cari panti asuhan yang siap nampung."

"Ogah," jawabku singkat.

"Yah elah, si pehul ngambek. Jangan ngambek dong Al, ide lu mantep kok."

"Udah pasti."

"Ngopi lagi yah, gue bikinin kopi yang paling enak deh."

"Ogah. Kembung."

"Laper? Gue pesenin makanan yah."

"Lagi puasa."

Kemudian Frans mendekatkan bibirnya ke telingaku,"Gue kasih nomer kontak Manda," serunya.

"Okeh, jadi apa yang bisa aku bantu?"

"Eits. Berani mukul gue lagi, gue obrak-abrik ni kedai," aku langsung mencegah tangan Frans yang selalu berinisiatif untuk melayangkan gulungan majalah kearah kepalaku ini.

Dan akhirnya, diskusi untuk mensukseskan acara Grand Opening Shuffle Coffee pun berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Tentu saja setelah transaksi nomor kontak Manda telah berhasil dilakukan. Aku dan Frans saling bertukar ide-ide cemerlang yang terlontar begitu saja. Kalian sendiri tau kapasitas otakku seperti apa.

Hingga ditengah obrolan panas itu berlangsung, seorang pria paruh baya datang mendatangi kami berdua, dan bertanya. "Maaf dek, ada perlu apa dengan saya?"

Aku? Tentu saja melongo dengan kedatangan pria tersebut. Aku menunggu Frans untuk angkat bicara, karena mungkin saja dia yang ada urusan dengannya. Tapi, ekspresi yang dikeluarkan Frans sama denganku, melongo.

Aku berinisiatif untuk menyelesaikan adegan saling pandang yang tak berfaedah ini. "Maaf pak, bapak cari siapa?" tanyaku.

"Loh, tadi adek manggil saya. Harusnya saya yang nanya, adek ada perlu apa sama saya?" jawab pria tersebut, dan disertai raut wajah bingung.

"Manggil bapak?" tanyaku lagi. Aku yang heran terus mengorek informasi yang kubutuhkan. Siapa tau orang yang mau nipu yekan? Kita harus waspada. Tapi entah kenapa, hati ini mulai merasa gelisah.

"Nama saya Sartono."

Mampus ... (you have been slain)

Disaksikan oleh jingga yang beringsut turun ke peraduan, didalam sebuah kedai kopi yang hangat, aku menutup hari ini dengan bersujud memohon maaf atas kesalah-fahaman yang tidak sengaja terjadi. Diiringi gelak tawa dari kawan-kawanku serta wajah merah padam dari pria paruh baya bernama Sartono itu.



Special Tribute for @CoffeeVaganza #CoffeeFirstBecauseAdultingIsHard #BrewWithPride

Sampai Jumpa lagi.



*=*

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top