9
Sebuah bel berbunyi kencang membuat kami semua terbangun di pagi hari. Kami disuruh bersiap-siap karena harus melakukan senam pagi. Sekarang kami bertiga tengah bersiap-siap.
"Heh! Tay! Lo minta maaf dong sama Mudya sama kata-kata lo kemarin!" suruh Kiran sembari mengenakan celana leggingnya. Kiran terlihat kesusahan.
Tayana yang sedang menyepuh bedak ke mukanya langsung memandang kami berdua sinis dari balik kaca panjangnya. Ya di kamar ini juga terdapat sebuah kaca panjang yang bisa memperlihatkan keseluruhan tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki dan ia sekarang memandang kami sinis. Tayana mengenakan rok hijau sebatas lutut dan baju dengan lengan melebar berwarna putih . Sedangkan aku memakai skinny jeans abu-abu dan kaos merah. Kiran mengenakan dress bunga-bunga sampai paha dengan legging hitam.
"Kenapa?" tanyanya sok dan masa bodoh.
"Lo udah hina muka Mudya! Minta maaf lo!" seru Kiran.
Tayana pun memutar tubuhnya menghadap kami. "Heh! Gue kan cuma nanya? Kenapa? Soalnya aneh gitu. Muka lo itu kayak mau diganti, tapi nggak jadi. Sori loh nggak bermaksud menyinggung, tapi gue jujur. Agak abstrak gitu muka lo, Mud."
Tiba-tiba ....
Plak!
Kiran mendekati Tayanan lalu menampar wajahnya keras. Aku kaget.
"Lo!" marah Tayana sembari memegang pipinya yang terkena tamparan Kiran. Di saat yang sama Tayana ingin membalas Kiran namun, dengan sigap aku menahan tangannya.
"Dengar ya, Tay. Muka gue emang abstrak, terus urusannya sama lo apa?! Muka muka gue, kenapa elo yang masalah banget? Kali ini gue bisa maafin lo. Lain kali lo permaluin gue di depan umum kayak kemarin, jangan harap tidur lo nyenyak!" ancamku sambil menghempas tangannya.
Bisa kusaksikan tatapan Tayana yang semakin garang dan napasnya yang tercekat. Ia tak bisa melawan kata-kataku.
"Syukur lo! Dasar nyamuk!" ejek Kiran.
"Yaudah yuk, Ran. Kita ke aula. Lo udah siap kan dandannya?" tanyaku.
Kiran mengangguk. Lalu kami pun berjalan meninggalkan Tayana yang masih terpaku menatap kami penuh kebencian. Sekilas kulihat Kiran menjulurkan lidahnya mengejek Tayana. Aku hanya tersenyum kecil melihat tingkahnya.
Kiran tidak tahu, tiap kali lontaran penghinaan terhadap wajahku hati ini sakitnya bukan main. Kalau saja dia tahu, bahwa wajahku menjadi seperti ini karena Dokter yang bertanggungjawab padaku saat itu hanya bilang bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan operasi ini karena mereka tidak bisa melanjutkan pembayarannya.
Aku jujur terhenyak saat itu. Ah masih banyak hal yang ganjil menurutku saat itu. Aku tahu waktu itu kecelakaan itu menyebabkan aku koma selama tiga bulan. Dan ketika aku bangun, aku syok luar biasa ketika melihat keseluruhan wajahku diperban. Apalagi ketika proses pembukaan perban dan melihat rupaku.
Aku menangis histeris saat itu. Aku sampai berteriak kencang tak terima dengan kenyataan ini. Ditambah fakta ketika aku mengetahui bahwa keluargaku sudah tiada. Dokter bilang bahwa Ibu, Nerta, dan Arta meninggal di tempat. Dan ayah menyusul mereka bertiga sebulan kemudian.
Hancur sekali rasanya hidupku waktu itu. Sudahlah kondisi wajahku begini dan aku rasa memang Tuhan belum puas menyiksaku. Keluargaku direnggut semua oleh-Nya. Ya karena hal itu aku memutuskan kabur dari rumah sakit dan ke kantor polisi.
Ah ... aku jadi teringat Atan. Ia lah satu-satunya polisi yang mau membantuku untuk menyelidiki kasus ini dan dari dia aku tahu bahwa kecelakaan itu karena kami bertabrakan dengan sebuah truk. Ia juga bilang bahwa supir truk tersebut meninggal di tempat. Entahlah. Seolah keadaan tidak ada yang mendukungku untuk mengetahui kebenaran dari kecelakaan itu.
Dan masih banyak keganjilan lainnya yaitu siapa yang membayar biaya rumah sakitku?
Dokter dan suster semuanya tak ada yang mengetahui. Bahkan Atan sekalipun ....
Aku jadi merindukan Atan. Ia sudah seperti abangku sendiri. Terakhir kali kami telponan, ia bilang ia sedang sibuk meneliti kasus pembunuhan anak kecil dan itu amat sangat menyita waktu hingga pikirannya.
Nanti kalau sempat, mungkin aku akan menelponnya.
"Mud ...." Panggilan Kiran membuatku tersadar.
"Iya, Ran."
"Lo melamun ya?" tanya Kiran.
"Hehe emang kenapa, Ran?" tanyaku balik.
"Nggak apa-apa. Lo diam aja dari tadi. Lo sakit hati banget pasti kan sama kata-kata Tayana?"
Kupandang Kiran yang sedang menunjukkan raut cemasnya padaku. Aku tersenyum manis. "Ya sakit sih, tapi bisa gue tangani kok. Lo santai aja. Gue udah biasa kok," ucapku.
Kiran menghela napas lega. "Syukurlah. Aye puas banget bisa nampar dia. Lain kali kalau dia ngomong kasar lagi, kasih tahu aye ye, Mud. Biar aye bejek mulutnya."
Aku terbahak. "Iya, Ran. Iya. Makasih loh, Ran, lo mau temenan sama cewek berwajah abstrak kayak gue ...."
Kiran langsung memukul pundakku kencang. Aku langsung mengadu seketika. "Lo tuh ya, Mud. Ngomongnya gitu. Jangan merendah. Pasti ada alasan kan kenapa muka lo begitu?"
Aku mengangguk sembari mengelus pundakku yang terkena pukulan Kiran.
"Yaudah yaudah nanti aja lo ceritanya. Bentar lagi kita sampai aula. Aye degdegan, Mud, sumpah!"
Kembali aku terbahak. "Sama, Ran."
Dan kami terus berjalan menyusuri lorong ini dan siap menanti, ujian apa yang akan aku tempuh hari ini untuk menjadi seorang sekretaris Adtirga.
***
"Kali ini lomba bersih-bersih. Siapa yang paling rapi dalam membersihkan kamar-kamar ini, maka poin kalian akan ditambah sepuluh. Sedangkan yang tidak lolos, maka akan dikurangi sepuluh. Sekali lagi berkata kasar akan dikurangi lima. Ini berlaku pada masing-masing orang. Karena peserta di sini ada 49 orang maka per tim dibagi sepuluh orang yang artinya satu tim terdiri dari lima orang dan ada satu tim beranggotakan empat orang. Akan dicari tiga tim pemenang dan tiga tim itu yang akan mendapatkan poin sepuluh. Sisanya dikurangi sepuluh," jelas Dodo panjang lebar begitu kami semua sudah berkumpul di aula.
"Pembagian timnya ditentukan atau kita nentuin sendiri, Do?" tanya salah satu wanita di sini.
Ya meskipun kemarin kami sudah melakukan perkenalan, aku masih belum menghapal semuanya. Aku hanya mengingat Kiran, Tayana, dan Sheira. Sisanya masih samar-samar.
"Kalian yang menentukan sendiri. Gue kasih waktu sepuluh menit untuk nentuin tim dimulai dari sekarang!"
Kami semua pun langsung heboh dan sibuk mencari anggota. Sementara aku dan Kiran saling berpandangan. Kami sudah saling menebak pasti tidak akan ada yang mau setim dengan kami. Lebih baik kami berdiam diri karena pasti salah satu dari mereka nanti ada yang tersisihkan dan mau tak mau harus segrup denganku.
"Ya ampun gue mau sama lo dong!"
"Ih gue sama lo. Kita kan sekamar! Lo tega nyisihin gue gitu aja?"
"Eh gue jago loh bersih-bersih. Gue yakin tim kita menang. Percaya deh. Masukin gue ke grup dong."
Dan masih banyak lagi lontaran-lontaran kalimat yang kami berdua dengar. Aku terus melirik jam di tangan kiriku yang menunjukkan bahwa dua menit lagi waktu akan habis. Dan ya dugaan kami benar, ada dua orang menghampiri kami. Bisa dilihat mereka adalah wanita yang biasa-biasa saja. Sama seperti kami.
Perempuan berambut pendek hitam menyodorkan tangannya padaku dulu. "Rista."
Menyusul perempuan yang kecil berhijab. "Anis."
Dan kami berdua kemudian saling menyebut nama masing-masing. Hmm mereka kelihatannya bisa diajak kerjasama karena wajah mereka tidak menunjukkan raut wajah meremehkan ketika melihat kami.
"Kita nggak apa kan setim? Mereka semua nggak ada yang mau setim sama gue ...," keluh Rista.
"Iya. Jahat mereka. Mentang-mentang cantik. Padahal kita kan cantik juga ya, Kak?" timpal Anis kesal.
Kami berdua tersenyum. "Iya. Apalagi Tayana dan gengnya. Mulutnya jahat banget!" dumel Rista.
Aku terkikik mendengar ocehan mereka berdua. "Boleh kok," ucapku. Ya aku mengerti sekali apa yang mereka rasakan karena aku juga mendapatkan penghinaan dari Tayana. Beberapa kali malah.
"Oke. Waktu sudah habis. Gue yakin kalian pasti sudah menemukan tim masing-masing. Untuk kamar yang akan menjadi tempat lomba akan diantarkan oleh para pengawal yang siap membimbing kalian. Keputusan ditentukan oleh Jorda. Nanti dia akan mengunjungi tempat kamar yang telah kalian bersihkan dan rapikan. Keputusan tidak bisa diganggu gugat. Waktu dimulai menunggu aba-aba pada speaker yang terpasang di tiap-tiap kamar. Begitu juga jika waktu habis yang artinya waktu tidak ditentukan sampai berapa lama akan tetapi ditentukan ketika bel berhenti berbunyi. Baik. Silakan ikuti pengawal kalian masing-masing. Pengawal!"
Para pengawal pun langsung datang berbondong-bondong begitu mendengar panggila Dodo. Mereka berjumlah sepuluh. Para pengawal yang memakai pakaian serba hitam itu pun langsung berbaris berjejer. Wajah mereka sangat kaku tak ada raut senyum sama sekali.
"Silakan pilih pengawal masing-masing." Dodo memberi arahan lagi.
Suasana kembali ricuh. Para wanita pun mulai sibuk meneliti pengawal mana yang akan menjadi pembimbing mereka termasuk kami. Wajah para pengawalnya juga lumayan-lumayan. Badan mereka tegap semua dan mereka semua juga tinggi-tinggi. Hanya satu yang pendek namun, tubuh berototnya juga bisa terlihat jelas.
Tanpa hitungan menit, para tim wanita lain langsung berlari kecil menuju pengawal pilihan mereka. Sudah tentu tim kami adalah sisanya dan tak kusangka pengawal kami adalah pria yang satu-satunya bertubuh pendek itu. Kami berempat mengembuskan napas bersamaan seolah sudah paham memang tim kami ini adalah tim sisaan.
Kami berempat pun berjalan menuju pengawal itu. Ternyata pengawal kami ini tidak pendek-pendek amat. Ia hanya tidak memiliki tinggi yang sama dengan pengawal lainnya. Ia memandang kami semua datar.
"Oke. Kalian sudah mendapatkan pengawal masing-masing. Para pengawal silakan bimbing mereka ke kamar TKP mereka."
Tanpa basa-basi pengawal kami pun mulai balik kanan dan mulai berjalan. Kami semua pun mau tak mau mengikuti ke mana langkah pengawal yang akan membawa kami. Tak ada suara yang muncul dari mulut kami. Semua larut dalam pikiran masing-masing menanti ujian pertama ini.
Aneh. Kenapa harus bersih-bersih? Bukankah tugas seorang sekretaris itu hanya berkaitan sebatas dokumen dan schedule dari atasan kami. Ya memang sih kebanyakan kerja sekretaris itu menuruti permintaan si Bos, tapi apa mungkin kami disuruh bersih-bersih nantinya? Memangnya kami ini pembantu? Aneh sekali.
Lagi-lagi kami melewati sebuah lorong. Aku rasa mansion ini terlalu luas sampai-sampai setiap tempat yang ingin kami kunjungi selalu melewati lorong-lorong dan aku yakin di mansion ini banyak tempat-tempat yang belum aku ketahui dan aku penasaran akan hal itu. Kemarin aku baru saja menemukan sebuah taman. Sayang, aku dilarang untuk datang ke sana lagi.
Dan akhirnya setelah melalui beberapa menit perjalanan, kami sampai juga di depan sebuah pintu besar. Lagi-lagi kami berempat saling berpandangan. Kami berhenti sejenak.
Pengawal tersebut pun membalikkan tubuhnya. Ia melihat kami tanpa sedikit pun senyum.
"Kamar ini yang akan kalian bersihkan. Bagaimana pun kamar ini harus tampak rapi dan bersih. Kalian bebas mau melakukan apa saja. Semoga sukses," ujar pengawal tersebut yang bisa kulirik dari pin nama yang tergantung di dadanya bertuliskan Jema Attala.
Aku mengangguk. Jema pun dengan tatapan datarnya kembali membalikkan tubuhnya lalu membuka pintu di hadapan kami lebar-lebar dan ya mulutku langsung menganga lebar melihat kondisi kamar ini yang benar-benar berantakan seperti kapal pecah. Kami berempat saling melirik syok.
"Kalian semua silakan masuk. Saya akan menunggu di luar. Ikuti aba-aba sesuai dengan perintah pada speaker. Good luck!"
Kami semua pun masuk ke kamar ini. Bau busuk menyengat pun menghampiri indera penciumanku. Gila! Ini bau sekali ya Tuhan.
"Selamat pagi semuanya. Kalian semua pasti sudah berada di dalam kamar ya. Dan saya mohon kalian harus benar-benar bersih membersihkan semua yang ada di dalam kamar. Oke. Semangat semuanya! Semoga berhasil. Waktu bersih-bersih dimulai dari sekarang!"
Oke. Jantungku berdentum cepat lagi. Aku memang sudah biasa selama ini melakukan bersih-besih di kosan namun, membersihkan kamar yang kacau balau dan bau seperti ini sungguh-sungguh di luar dugaan. Bisa kusaksikan depan mata kepalaku betapa banyak lumpur di kamar ini. Bagaimana bisa coba? Lalu seprai yang terlepas dan tergeletak sembarang di lantai. Lukisan-lukisan yang bisa dilihat memiliki debu yang sangat tebal.
Kami berempat berdecak bersamaan. Ini luar biasa hancurnya.
"Kita bagi gimana kerjaannya?" tanyaku pada mereka bertiga.
"Ehm gue nyuci seprai deh. Sekalian bersihin kasurnya," ujar Rista.
"Oke. Gue ehm bagian lantai deh. Gue sapu, gue pel. Gimana?" timpal Anis.
"Lo apa, Ran?" tanyaku pada Kiran.
Mata Kiran sibuk menjelajah ke keadaan kamar. "Gue bagian debunya deh. Gue lapin semua perabotan di sini."
Aku manggut-manggut. "Oke. Kalau gitu gue bantu kalian semua. Pertama gue akan bantu Rista. Itu nggak cuma seprai, tapi ada bed cover juga. Nanti begitu selesai gue akan bantu yang lain. Gimana?"
Mereka mengangguk setuju dengan kata-kataku.
"Dan kita harus cari tahu asal bau ini dari mana, Mud ...," kata Anis.
"Ah iya. Benar, Nis. Oke deh. Gue cari tahu dulu ya. Gue rasa bau ini dari kamar mandi deh. Lo pada mulai kerja aja. Gue ke kamar mandi."
"Oke," ucap mereka bersamaan.
Aku pun mulai berjalan mencari di mana keberadaan kamar mandi dan semakin dekat memang bau ini semakin menyengat di hidung. Sejak awal aku selalu menutup hidungku dengan tanganku. Begitu juga dengan ketiga wanita yang mulai bersih-bersih itu. Astaga, ini bau apa sih? Baunya campuran antara bau busuk dan amis.
Dan sekarang aku sudah di depan pintu kamar mandi. Jangan sampai aku dibuat syok untuk kedua kalinya. Dengan pelan, aku pun menyentuh knop pintu lalu membuka pintu kamar mandi ini perlahan dan ....
"Astaghfirullah! Ya Allah! guuuuuuys!" teriakku kuat begitu melihat pemandangan absurd ini.
Mereka bertiga langsung berlari kencang mendekatiku.
"Ya Allah, ini parah banget ...," gumam Rista syok.
"Parah. Aye kagak pernah lihat tikus berdarah membusuk kayak gini. Ya Allah. Gila apa ya nih audisi! Masa jadi sekretaris begini amat sih!" dumel Kiran.
"Kok bisa begini sih? Terus gimana dong? Yang ngerjain kamar mandi siapa? Gue jijik lihat tikus," keluh Anis.
"Gue bisa sih ...," ucapku.
"Yaudah gini aja. Yang kagak berani sama tikus ini mending bersih-bersih di luar. Pel lantai segala macam. Aye sama Mudya di sini," ujar Kiran.
"Lo berani, Ran?" tanya Rista.
"Kita kan butuh air. Kamar mandinya aja jorok begini. Untuk ngepel butuh air, nyuci butuh air. Nih lo lihat air di baknya udah keruh banget. Kita harus gotong royong untuk bersihin kamar mandinya dulu," jelas Kiran.
Benar juga apa yang dikatakan Kiran. Bersih-bersih ini tidak bisa berjalan lancar jika kami tidak mendapatkan air bersih.
"Yaudah. Gue bantu bersihin kamar mandi juga deh. Nis, lo ikut ya. Ntar lo yang siram-siram aja," kata Rista pada Anis.
Wajah Anis merengut. Ia mengangguk terpaksa. "Yaudah deh," ucapnya akhirnya.
"Oke deh," ujarku dengan senyum lebar di wajah.
Kami pun mulai bergerak. Yang maju duluan adalah aku. Untungnya memang sudah banyak kantong plastik hitam besar yang disediakan di kamar ini. Astaga betapa joroknya kamar mandi ini. Sudahlah bau. Ditambah beberapa bangkai tikus yang tergeletak di lantai. Kami juga diberi sarung tangan agar tangan kami tidak bersentuhan dengan kejorokan-kejorokan yang ada di sini.
Dengan ekspresi jijik dan seolah ingin muntah kami berusaha membersihkan kamar mandi ini. Benar-benar bekerja ekstra. Memang gila sih mereka menguji kami. Selalu ada teriakan dari Anis tiap kali tangannya hampir menyentuh bangkai tikus tersebut dan kami bertiga hanya tertawa setelahnya. Setelah bangkai-bangkai tikus ini yang mencapai delapan ekor, kami mulai kerjasama membersihkan kamar mandi ini.
Lumayan lama karena lantainya sangat-sangat kuning. Beruntung juga memiliki teman tim seperti mereka karena kami sepertinya memang sudah terbiasa bekerja di rumah. Dan akhirnya untuk lantai, bak, serta dinding kamar mandi ini bersih juga. Alhamdulilah!
Saatnya membersihkan kloset dan begitu membukanya ....
Astaghfirullah! tumpukan tinja bersarang di sana. Ih gila ih!
"Allahuakbar! Mereka gila apa?!" pekik Kiran kuat.
"Iya. Gue syok tahu lihat eek sebanyak itu ...," keluh Anis.
"Yaelah eek doang. Yaudah mending kita cepetan bersihinnya. Kalau tiba-tiba waktu habis gimana? Kita baru bersihin kamar mandi loh. Belum kamarnya," kata Rista.
Aku mengembuskan napas. "Yaudah, ayok!" ajakku.
Kami kembali bergotong royong. Untungnya flash pada kloset ini masih bekerja dengan baik. Tidak terbayang jika kami harus menyentuh benda lembek berwarna kuning itu. Setelah beberapa menit akhirnya selesai juga. Kamar mandi ini benar-benar bersih dan kinclong sekarang.
Kami menghela napas lega begitu menyaksikan keadaan kamar mandi ini. Satu tugas sudah selesai. Kami pun keluar dan kembali melanjutkan tugas sesuai kesepakatan awal tadi. Aku dan Rista menyuci seprai juga bed cover-nya. Anis mengurus lantai lalu Kiran mengelap perabotan. Waktu terus berjalan. Wajah kami sungguh menunjukkan semangat yang tinggi.
Aku bingung semakin ke sini kenapa aku semakin tak rela jika aku kalah. Ya kalau memang aku ditakdirkan untuk pulang karena nilaiku yang kurang memenuhi tidak masalah. Akan tetapi jika aku harus keluar dengan cara bodoh, sungguh itu bukan sangat Mudya sekali.
Aku dan Rista telah selesai mencuci seprai berwarna putih ini. Sekarang kami sedang menjemurnya dan aku lagi-lagi takjub, karena di kamar ini terdapat balkon. Kami menggantung seprai dan bed cover di pagar pada balkon. Bisa kulihat memang mansion ini luar biasa besarnya. Di seberang kami ternyata masih ada terusan dari mansion ini juga. Aku tak sanggup membayangkan seluas apa mansion ini dan sekaya apa seorang Adtirga.
Tapi kekagumanku harus terhenti sementara karena panggilan Kiran. Ah iya aku harus segera membantu mereka. Aku pun berjalan masuk kembali menghampiri Kiran. Anis sudah selesai mengepel dan menyapu sehingga sekarang kami membantu Kiran untuk membersihkan perabotan ini satu per satu sampai benar-benar tak ada debu yang menempel.
Waktu terus berjalan sampai akhirnya ....
"Lima belas menit lagi waktu berakhir! Diharapkan kepada masing-masing peserta agar cepat menyelesaikan ujian bersih-bersih ini. Terimakasih." Suara tegas Dodo membuat kami terkesiap seketika dan langsung panik. Pada saat yang sama, Jema pun masuk ke kamar kami dan melihat gerak kami satu per satu. Ia hanya berdiri di tengah pintu tanpa berbuat apa-apa.
"Ris, Ayo pasang seprainya lagi!" seruku.
Rista menurut padaku. Kami berdua langsung mengangkat seprai dan bed cover ini dan memasangnya pada tempat tidur. Tak lupa Kiran dan Anis membantu mengambil bantal dan guling yang juga barusan kami ikut jemur di balkon lalu memasang sarung bantalnya.
Astaga! Kenapa aku jadi degdegan begini?
"Waktu habis! Hentikan semua kegiatan dari sekarang. Para pengawal diharapkan menghentikan kegiatan semua peserta." Suara Dodo kembali menggema menandakan bahwa kami harus benar-benar melepaskan segala apa yang kami pegang. Jema juga menatap kami agak sadis sekarang.
"Baik. Kalian tunggu saja sampai tim kami datang ke kamar kalian. Terimakasih."
Saat itu juga kami langsung menghela napas bersamaan. Kuedarkan pandanganku ke seluruh sudut kamar. Semoga saja usaha kami berempat tidak sia-sia. Kami pun dipersilakan Jemi untuk duduk. Tak ada obrolan sama sekali. Semua larut dalam keheningan.
"Kriuk kriuk ...." Ada suara keroncongan yang berasal dari Kiran.
Kiran menyengir begitu melihat kami memandang dirinya termasuk Jema.
"Laper. Maaf," ucapnya.
Dasar Kiran. Kulirik jam di tangan kiriku. Ternyata sudah jam satu siang. Pantas saja Kiran kelaparan. Aku sih masih belum terlalu lapar dan kalau kuingat lagi, acara bersih-bersih ini dimulai jam sembilan. Itu artinya kami membersihkan kamar ini kurang lebih empat jam.
"Setelah mereka datang, kalian akan diberi makan. Jadi harap bersabar," ujar Jema tegas.
Kami semua hanya manggut-manggut. Tik tok tik tok. Waktu terus berputar. Kulirik lagi jam di tangan kiriku. Hmmm lumayan lama juga ya. Apalagi kami berdiri. Tidak enak kalau harus duduk.
Sejam kemudian aku mendengar langkah kaki menuju kamar kami. Kuteguk salivaku. Irama jantungku berpacu lebih cepat. Pasti Jorda dan Dodo. Kami berempat kembali berpandangan.
Ternyata dugaanku tidak sepenuhnya benar. Jorda dan Dodo memang ada, tapi di belakang mereka ada tiga orang yang mengikutinya. Sepasang suami istri tua dan seorang pria berkacamata hitam di atas kursi roda. Pria yang kemarin aku jumpai di taman!
"Tir, kenapa kamu ikut sih? Bunda kan udah bilang jangan ikut. Kamu di dalam kamar kamu aja. Tadi aman-aman aja loh Bunda ke kamar yang lain sama Jorda," dumel ibu yang memakai hijab bunga-bunga tersebut kepada pria di atas kursi roda tersebut.
Pria itu merengut tanpa menoleh kepada wanita berhijab itu. "Bun, dari tadi Adtir kayak orang begok. Adtir juga penasaran."
"Tir, gue harap lo nggak buat kacau di sini dan ingat tugas lo saat ini ngapain," tegur Jorda.
"Iya," jawabnya ketus.
"Kamu diam aja loh, Tir." Seorang pria yang dengan rambut yang sebagian sudah berwarna putih juga ikut menegur pria di atas kursi roda itu.
Adtir? Dia benar kan Adtirga? Aku pasti tidak salah lagi karena aku hapal betul dengan suaranya. Kami semuamasih terpaku di sini tanpa bergerak seinci pun mendengar percakapan mereka.
"Oke. Terimakasih kepada kalian yang sudah melakukan ujian pertama ini dengan baik. Gue sangat mengapresiasi kalian. Nah sebelumnya akan ngenalin orang-orang yang bersama gue saat ini." Tangan Jorda menunjuk wanita berhijab itu. "Kalian panggil saja Bunda Tere dan di sebelahnya adalah suami dari Bunda Tere. Panggil saja Pak Rewa. Kali ini mereka berdua yang akan menilai keadaan kamar ini."
"Lalu pria itu siapa?" tunjuk Kiran pada pria bekursi roda tersebut.
Jorda, Dodo, dan sepasang suami istri itu saling berpandangan.
"Lo Adtirga ya?" tanyaku kali ini.
Mereka semua langsung melotot menatapku. "Kenapa kamu bisa bilang begitu?" tanya Jorda serius.
"Karena saya ingat dengan suara Adtirga," jawabku jujur.
"Kamu kenal Adtirga?" tanya Bunda Tere. Suaranya benar-benar lembut.
Kini semua mata tertuju padaku kecuali pria berkacamata hitam itu. Dia malah memandang ke arah lain.
"Nggak. Saya cuma pernah mendengar suaranya saja. Dan saya yakin di ruangan ini pasti menduga kalau pria itu adalah Adtirga." kataku lantang. Kiran, Rista, dan Anis mengangguk setuju dengan pernyataanku.
"HAHAHA!"
Tiba-tiba suara tawa meledak dari mulut pria itu. Ia terbahak-bahak dan terdengar sangat puas. Ia pun melepas kacamatanya. Dari sini aku bisa melihat pupil matanya lurus tidak bergerak dan ia kini sudah mengarahkan wajahnya lurus tidak tahu memandang ke siapa.
"Kalian bisa lihat wajah gue. Gue yakin kalian pasti tahu wajah seorang Adtirga itu seperti apa kan? Nah sekarang wajah gue itu bukan wajah Adtirga seperti yang kalian bilang. Jadi jangan pernah menduga-duga gue adalah Adtirga. Ngerti?!" Nada pria ini tinggi.
Ia memang bukan pria yang sopan. Semua itu tampak dari sikapnya yang berani berbicara dengan nada tinggi seperti ini kepada kami.
"Lalu kamu siapa?" Astaga, Mudya. Berani banget sih nanya kayak gitu di depan mereka semua? Batinku bertanya.
Pria itu kembali memakai kacamata hitamnya. "Bun ...," panggilnya sangat lirih. Bunda Tere pun langsung mendekatkan telinganya ke mulut pria itu. Bisa kusaksikan dari sini mulutnya yang berkomat-kamit. Setelah selesai berbisik, Bunda Tere pun mengangkat kepalanya dan ia menatapku dalam.
Kira-kira apa yang dibisikkan oleh pria itu?
"Gue Adtir. Bukan Adtirga. Adtir! Gue orang penting di sini! Jangan banyak tanya lagi. Paham?!"
Pria ini sepertinya agak kelainan jiwa. Sepertinya ia memang tidak pernah dilatih untuk berbicara manis dan sopan di depan orang banyak.
"Yasudah yasudah. Sekarang kita mulai penilaiannya ya." Kata-kata Tirga jelas saja membuat kami kembali fokus pada ujian tahap satu ini.
Mataku pun sesekali melirik ke arah pria yang mengaku bernama Adtir itu dan tak sengaja juga bola mataku bertemu dengan bola mata Bunda Tere. Astaga. Segera aku buang wajahku. Kenapa aku jadi degdegan begini ya?
Aneh. Dan yang lebih aneh lagi, masa aku tidak percaya kalau dia bukan Adtirga? Entahlah. Diriku bingung memikirkannya. Lebih baik fokus ke ucapan Jorda saja mengenai penilaian ujian kali ini.
***
Guys, jujur nulis cerita ini berat hahaha menurut kalian sampai sini gimana? Gue sampai nggak bisa nulis c4 karena fokus nulis ini hahaha dan ya sekali lagi karena ini cerita agak berat, jadi benar-benar menguras pikiran hehehe jadi sabar yaa utk C4 nya.
Insya Allah C4 besok atau Rabu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top