8
Hehe update yahh.
Maaf, aku sibuk banget dan updatean C4 juga menunggu wkwkw. Aku usahakan kalau bisa update ini ya update.
Banyakin vote dan komen yaaah hehehe siapa tahu aku jadi rajin update.
Happy reading!
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Gimana keadaannya, Pak?" tanyaku panik begitu kami berada di sebuah ruangan kosong yang terdiri dari tiga buah ranjang berukuran single. Ruangan ini seperti ruangan yang ada di dalam rumah sakit. Hmmm apa Jorda juga melakukan praktiknya sebagai dokter di mansion milik Tirga ini?
Aku tambah kaget ketika memasuki ruangan ini karena ada dua orang suster di dalamnya seolah menunggu kedatangan Jorda. Begitu Kiran dibaringkan ke atas ranjang, Jorda langsung mengambil stetoskopnya dari tangan salah satu suster tersebut.
Jujur, aku lagi-lagi terpana dengannya. Geraknya sebagai dokter sangat cepat. Bahkan ia tidak peduli dengan muntahan Kiran pada kemejanya.
"Jangan panggil aku, Pak," ucapnya singkat di sela proses mengecek keadaan Kiran dengan stetoskopnya.
Aku yang sedang berdiri sembari memperhatikan keadaan Kiran jelas bingung. "Kenapa?"
"Karena aku bukan bapak-bapak."
Iya sih. Dia memang bukan bapak-bapak. Lalu aku memanggilnya apa? Jorda? Apa Mas Jor menyerupai panggilan Dodo? Lagipula, apa barusan? Kenapa dia berbicara padaku menggunakan aku-kamu? Bukankah aku-kamu itu hanya panggilan antara pria dan wanita jika mereka memiliki kedekatan?
"Kamu panggil aku Jorda saja. Jangan Bapak. Umur kita tidak beda jauh kok. Kita cuma beda empat tahun."
Pria ini aneh sekali. Pasti dia melihat cv-ku sampai-sampai dia mengetahui identitasku? Usiaku saat ini adalah 24. Itu artinya usia Jorda 28. Terus kenapa gitu?
"Bapak tahu dari mana usia saya 24?" tanyaku curiga.
Jorda tidak menjawab pertanyaanku dan malah memanggil suster. "Kasih dia vitamin ya, Sus."
"Gimana keadaan Kiran?" tanyaku penasaran. Jorda pintar sekali menghindar dari pertanyaanku.
Jorda menoleh melihatku jutek. "Kamu tadi nggak larang dia untuk mengurangi makannya?"
"Memangnya kenapa, Pak?"
Jorda memutar bola matanya ke atas. "Panggil saya Jorda. Jangan, Pak," pintanya lagi.
Aku menelan salivaku. "Oke. Memangnya kenapa dengan Kiran, Jorda?" tanyaku mulai sebal.
Seulas senyum pun merekah di wajahnya. "Dia kebanyakan makan, jadi dia muntah. Kamu sebagai teman dekatnya seharusnya perhatian dong sama dia. Sekarang dia pingsan karena tenaga dia habis akibat muntahnya itu. Dan aku harus kasih vitamin biar dia segar lagi."
Aku menghela napas lega. Ternyata Kiran pingsan hanya karena kekenyangan. Dasar Kiran. Dan apa barusan? Gara-gara Kiran pingsan aku seenaknya dituduh tidak perhatian dengan Kiran oleh Dokter ini?
Jorda pun bangkit berdiri.
"Aku tahu teman kamu itu pasti doyan makan, tapi seharusnya kamu bisa melarangnya. Lihat nih. Baju aku jadi kena muntahan teman kamu," dumelnya sambil melihat jijik muntah di kemejanya.
Kutatap ia datar. Daripada lama-lama berdebat dengannya, lebih baik aku segera menyelesaikannya.
"Maaf, Pak. Lain kali saya akan perhatikan Kiran. Makasih ya, Pak, sebelumnya karena telah menolong Kiran," ucapku semanis mungkin.
Jorda malah memelototiku. "Panggil aku Jorda. Jor-da. Jangan, Pak. Dan nggak usah ngomong terlalu formal sama aku. Ingat aku itu nggak beda jauh umurnya sama kamu. Jadi biasa aja ya."
Kenapa dia kesannya maksa ya?
Aku mendengkus. "Yaudah iya. Makasih ya, Jorda."
Jorda langsung menyengir. "Iya sama-sama. Kan emang ini tugas seorang dokter."
Aku tersenyum seadanya.
"Yasudah. Saya tinggal dulu. Hari ini kebetulan hanya perkenalan masing-masing peserta. Jadi kalau kamu harus lama-lama di sini nemenin dia, tidak akan masalah. Kalau mau datang juga tidak apa. Aku harus ganti baju dulu. Bau soalnya. Dadaah, Mudya ...."
Lalu Jorda mulai melangkahkan kakinya menuju ke luar. Dua suster tersebut juga menyusulnya. Selama kami berbicara tadi suster tersebut telah menjalankan perintah Jorda. Aku pun terus memperhatikan Jorda sampai ia benar-benar meninggalkanku.
"Pak!" panggilku kencang.
Jorda berhenti melangkah. Ia memutar tubuhnya menghadapku. Dinaikkan alisnya sebelah tanda tak suka dengan panggilanku barusan.
"Jorda. Kalau kamu sekali lagi memanggil dengan sebutan pak maka kamu akan saya cut. Atau kamu mau panggil aku dengan nama lengkap saya? Farjorda? Seperti ...." Kalimatnya mendadak terhenti.
Hatiku jujur degdegan mendengar nada bicara Jorda yang seperti ini. Aku bingung sekali kenapa dia berani bersikap seperti ini padaku. Dan barusan dia itu mengancamku. Apa coba maksudnya?
"Seperti apa?" Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
Ia menggeleng. "Nggak apa-apa. Panggil aku Jorda. Jangan, Pak. Paham?" tanyanya tegas. Terpaksa aku mengangguk. "Terus kenapa kamu panggil aku barusan?"
Ah iya. Hampir saja aku lupa.
"Kiran nggak bakal dieliminasi kan karena muntah di baju kamu barusan? Dia pasti nggak sengaja. Plis, jangan karena hal ini, Kiran di-cut ...," pintaku. Kupasang wajah memohonku dan kusatukan kedua telapak tanganku.
Jorda menatapku datar. Bahkan ia sibuk memainkan alisnya seolah menimang permohonanku barusan.
"Tahu dari mana kamu kalau dia nggak sengaja?"
"Karena tadi aku sama dia pas makan. Dan Kiran itu terlalu bahagia makanya dia makan banyak. Dan dari awal sebenarnya perutnya udah sakit, tapi dia tahan karena dia takut di-cut kalau mundur. Dan aku nggak tahu kalau dia bakal nanya sama kamu. Itu pun udah aku tahan-tahan. Aku juga syok ketika dia muntah dan mengenai kemeja kamu," terangku panjang lebar.
Aku tahu Kiran sangat mengidam-idamkan posisi sekretaris ini. Ia sangat bahagia bisa lolos pada tahap pertama. Dan aku sangat tahu Kiran sama sekali tidak ada motif atau maksud untuk memuntahkan makanannya di depan Jorda. Lagipula emaknya Kiran pasti sedih kalau Kiran sudah dipulangkan secepat ini.
Bukannya menjawab pertanyaanku. Jorda malah senyam senyum sambil terus memandangku.
"Pramudya ...."
Ia malah menggumamkan namaku. Matanya kembali berkaca-kaca. Jorda ini kenapa sih?
"Kenapa?"
Jorda menggeleng. "Seandainya saja Tirga ...."
Tirga?
"Kenapa, Pak?"
Jorda memejamkan matanya sejenak. Ditariknya napas sejenak lalu ia keluarkan perlahan. Ia menggelengkan kepalanya kemudian.
"Kiran aman. Aku tahu dia pasti nggak sengaja. Kamu nggak usah cemasin dia. Mending kamu cemasin diri kamu."
Aku mengerutkan dahiku. "Loh? Kok saya?"
"Karena kamu panggil aku pak lagi! Jorda. Jorda. Jorda. Susah banget ya sebut nama aku?" tanyanya sembari memanyunkan bibirnya.
Aku menghela napas. "Yauda. Maaf, Jor."
Jorda menyengir. "Oke." Jorda pun membalikkan tubuhnya.
"Lalu bagaimana dengan nasib Kiran? Dia nggak apa-apa kan?" tanyaku lagi.
"Iya. Dia aman."
Fyuuuh! Lega rasanya mendengar hal ini. Nasib Kiran pada audisi ini berarti tidak perlu aku cemaskan. Aku tersenyum simpul mendengar kalimatnya. Jorda pun melanjutkan langkahnya. Sementara aku membalikkan tubuhku untuk melihat keadaan Kiran namun ....
"Mud ...." Mendadak Jorda memanggilku. Aku pun urung melihat Kiran dan kembali memutar tubuhku melihat dirinya.
Mata kami bertemu. Ia menatapku dalam. Cukup lama kami berpandangan sampai akhirnya senyuman miring tercetak di wajahnya.
"Kamu cantik, Mudya. Dan akan selalu cantik."
Aku termangu di sini. Maksud si Jorda apa barusan? Di saat aku ingin bertanya lebih lanjut, Jorda malah melengos begitu saja hilang dari pandanganku.
Sebenarnya ada apa sih dengan Jorda? Kenapa dia bisa bilang aku cantik? Apa dia mengenalku? Setahuku, aku itu jelek semenjak kecelakaan naas waktu itu.
"Mud ...," panggil lirih seseorang.
Itu suara ....
"Ya ampun, Kiran! Akhirnya lo bangun juga."
Kiran pun berusaha bangun. "Mud, ada apa? Kok gue bisa di sini? Ini di mana?" tanyanya bingung seraya melihat ke segala sudut di ruangan ini.
"Lo pingsan, Mud. Terus tadi lo muntah di bajunya Jorda coba."
Mata Kiran membesar. Mulutnya menganga lebar. "Ya ampun! Mati aye! Mud, jangan-jangan setelah ini aye yang di-cut. Huaaaa. Mati aye! Mati aye!" ujarnya panik sambil meremas-remas rambutnya.
"Tenang aja. Nggak usah panik, Ran. Jorda bilang lo aman kok."
Kiran menghela napas kencang tanda dia amat sangat lega sembari memegang dadanya. Aku pun memilih duduk di tepi ranjang. Aku tersenyum memandangnya.
"Ya ampun, Mud. Aye benar-benar kagak sengaja ...," ujarnya lirih.
"Iya. Jorda tadi bilang aman kok. Lo tenang aja."
Kiran mengangguk.
"Terus lo mau di sini apa mau ikut ke aula lagi? Keadaan lo udah mendingan kan? Soalnya katanya hari ini cuma perkenalan aja, jadi nggak masalah kalau nggak join," terangku.
"Perut aye udah kagak sakit lagi sih. Dan badan aye udah kagak lemas. Ikut aja yuk. Lagian aye bosan di sini. Kita ngapain juga kan di sini?"
Aku berpikir. Ehmm benar juga sih. Daripada di sini lebih baik aku ke aula. Aku juga penasaran apa yang sedang terjadi di aula sekarang.
"Yaudah, yuk!" ajakku. Kiran pun berusaha turun dari atas ranjang. Aku membantunya. Aku yakin pasti karena vitamin yang sudah disuntikkan oleh suster tadi makanya Kiran sudah agak kuat. Lagipula kan ia cuma muntah karena kebanyakan makan.
Dan kini aku dengan Kiran sedang berjalan menuju aula. Kami mengikuti penunjuk arah hingga akhirnya sampai juga.
Dapat kusaksikan bahwa para wanita peserta audisi sedang duduk di jejeran kursi yang terletak di tengah aula ini dan di layar terdapat wajah para peserta sambil mengenalkan dirinya.
Aku dan Kiran pun masuk lalu bergabung di kursi paling belakang.
"Sheira Miranti!" seru Dodo kencang.
Oh jadi dipanggil seperti ini. Kepalaku pun menoleh ke seorang wanita yang mengangkat tangannya. Hmmm aku sudah dipanggil belum ya?
Jorda masih belum kelihatan batang hidungnya. Ia tak berada di depan. Kursi tempat duduknya yang berada di samping Dodo kosong.
Seorang wanita pun maju. Ya aku mengingat wanita itu. Wanita yang satu ruangan denganku pada saat audisi tahap pertama.
Ia imut dan aku ingat dia tidak lolos hanya karena parfum yang ia gunakan sama seperti Prita.
"Selamat sore semuanya, gue Sheira Miranti. Panggil gue Sheira. Bokap gue itu rektor di univ ternama. Nyokap gue dosen. Umur gue 26. Kenapa gue pengen jadi sekretaris Tirga? Karena Tirga pernah janji untuk nikahin gue pas di wisuda gue empat tahun yang lalu. Tapi tiba-tiba dia mutusin gue dengan alasan yang nggak jelas. Dan sekarang gue harus nemuin dia untuk tahu alasannya dan jujur gue penasaran banget sama Tirga sekarang. Makasih."
Lalu Sheira pun kembali ke tempat duduknya. Ternyata lebih tua Sheira dibanding aku. Satu per satu pun nama dipanggil dan kurasa Dodo memanggilnya secara acak.
Aku menyimak penjelasan mereka baik-baik. Hmmm alasan mereka beragam macam dan status sosial mereka juga berbeda-beda. Rata-rata dari mereka masih memiliki keluarga utuh dan cukup berada. Hanya sebagian yang orang biasa-biasa saja. Kesimpulan yang kudapat adalah bahwa perempuan cantik di sini rata-rata dijanjikan menikah oleh Tirga. Dasar playboy!
"Kiran Rohaye!" panggil Dodo kencang.
Wah sekarang giliran Kiran. Aku dan Kiran pun saling berpandangan sejenak. Kelihatan sekali ia sangat degdegan. Tapi aku menenangkannya dengan menggenggam tangannya. Kiran menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan.
Kiran pun memberanikan diri untuk maju ke depan. Ia melewatiku dan kini ia sudah berdiri tegap di hadapan kami semua. Sangat terlihat jelas bahwa Kiran sangat gugup. Kedua tangannya saling menggenggam. Bola matanya mengarah kepadaku. Aku tersenyum dari belakang sini berusaha menyemangatinya.
"Na ... na ... nama aye Ki ... Ki ...."
"Kiran Rohaye kan?" Dodo menyela ucapan Kiran dengan tampang judesnya itu.
Ya Tuhan, tak kusangka Kiran yang dihadapanku berani dan cablak, ternyata ia termasuk orang yang gugup jika bicara di depan umum. Kiran pun menoleh menghadap Dodo.
"I ... iya," jawabnya gagap.
Dodo menghela napas sembari memutar bola matanya ke atas. "Yaudah. Lo bilang asal lo dari mana, umur lo terus pekerjaan lo sebelumnya. Orangtua. Ya kayak identitas biasa."
"Ha ... harus ya, Do?" tanya Kiran.
Dodo mengangguk. "Iya dong. Buruan! Masih banyak orang yang belum dapat giliran," ujar Dodo ketusnya bukan main.
Aku jadi kasihan melihat Kiran. Apa aku membantunya saja ya?
"Lama lo! Turun aja lo, Gendut!" seru seseorang kasar.
"Heh! Nggak boleh hina fisik. Siapa tuh yang ngomong!" Marah Dodo. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya dengan mata melotot.
"Gue! Kenapa?!" Lontaran kalimat dengan nada tinggi keluar dari salah satu wanita di antara kami. Bahkan ia dengan percaya diri yang tinggi menampakkan dirinya.
Dia adalah ....
"Nama kamu siapa? Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya. Tiap perlakuan tidak sopan yang terjadi di depan saya makan poinnya akan dikurangi lima. Masing-masing dari kalian kan nilainya 100." Dodo pun mengeluarkan catatan kecilnya. Lalu ia seperti menulis sesuatu. "Mira, nilai kamu 95."
Kami semua pun terdiam. Karena posisi Mira yang membelakangiku, maka aku tak bisa melihat ekspresinya. Dilihat dari belakang, Mira cukup menarik dengan rambut panjang hitam pekat dan tubuh tinggi semampai.
"Tapi Do ...."
"Tidak ada tapi-tapi. Dengar ya. Kalian semua di sini sama. Saya tidak memandang status. Mengerti?!"
Dodo menyeramkan juga ya kalau marah.
"Yasudah. Lanjutkan perkenalan kamu. Jangan gugup. Gue nggak makan orang kok," ujar Dodo ketus.
Kiran pun memandang Dodo sendu. Lalu ia kembali melihat kami semua. Bola matanya mengarah padaku. Aku tersenyum padanya dan mengatakan kalimat semangat padanya. Kemudian Kiran menarik napasnya sejenak lalu mengeluarkannya perlahan. Dipejamkan matanya sebentar untuk menenangkan rasa degdegannya.
"Oke. Nama aye Kiran Rohaye. Aye sebelumnya kerja kantoran di perusahaan kecil. Aye cuma punya Emak. Emak aye dagang sarapan di depan rumah. Tapi tenang, Emak aye masih sanggup kok nyekolahin anaknya. Makasih."
Kami semua pun hanya diam begitu mendengar lontaran kalimat Kiran. Tak ada komentar apapun. Aku yakin pasti semua wanita di sini mulai sekarang mulai berjaga-jaga pada setiap kalimat yang akan meluncur dari kalimat mereka. Bahkan semua mata memperhatikan Kiran yang berjalan kembali ke tempat duduknya yaitu di sampingku.
"Ya ampun, Mud, aye degdegan banget sumpah. Aye kagak biasa ngomong di depan kayak tadi. Alhamdulilah akhirnya selesai juga ye, Mud," ucap Kiran pelan.
"Iya, Mud."
"Pramudya Sasqrina!" Itu namaku!
Aku pun mengangkat tanganku. Jantungku berdetak cepat kali ini. Jadi ini yang dirasakan Kiran tadi ketika ingin maju ke depan? Aku pun melangkahkan kakiku. Kutelan salivaku berulang kali. Dan kini aku sudah berdiri tegap di depan mereka semua. Jemariku saling tertaut untuk meredam kegugupanku. Tatapan mereka semua persis seperti singa yang ingin menerkam musuhnya. Mereka amat sangat tidak menyukaiku.
"Ayo, Mudya ...." Teguran Dodo membuatku sadar bahwa aku harus secepatnya mengenalkan diriku.
Tak sengaja mataku lurus melihat ada dua orang pria sedang berada di pintu. Satunya pria yang sedang duduk di sebuah kursi roda berpakaian baju dan celana tidur berwarna biru dongker dengan sebuah kupluk abu-abu yang terpasang di kepalanya sehingga menutupi rambut panjang berantakannya. Pria itu mengenakan kacamata hitam. Sementara di belakangnya ada Jorda yang sedang memegang gagang kursi roda tersebut.
Apakah ini perasaanku saja? Mereka berdua menatapku ....
"Mudya ...," panggil Dodo lirih.
Aku menarik napasku, "Perkenalkan nama gue Pramudya Sasqrina. Kalian panggil gue Mudya. Sebelumnya pernah bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar. Terimakasih," ucapku singkat dan padat.
"Orangtua?" tanya salah satu wanita di sini.
"Gue udah nggak punya orangtua." Jawaban yang sebenarnya cukup menyekit hati.
"Oh lo sebatang kara?" timpal lainnya. Aku mengangguk.
"Do, gue boleh nanya apa pun sama Mudya?" tanya Tayana sembari mengacungkan tangannya.
Kulirik Dodo. Ia mengangguk. "Apa pun boleh selama tidak kasar seperti tadi," jawab Dodo ketus.
Tayana tersenyum miring. Ia melipat tangannya di depan dada. Sebelum itu ia mengibaskan dulu rambut panjangnya. Matanya pun menatapku. Tampak sekali bahwa ia membenciku.
"Muka lo. Kenapa muka lo gitu? Penuh luka. Lo pernah niat oplas, tapi gagal ya karena kekurangan uang?"
Astaga. nyes sekali mendengar kalimat yang tercetus dari mulut Tayana. Semua orang pun langsung berusaha menahan tawa mereka. Tanganku ingin sekali menamparnya namun, kutahan sekuat tenaga. Ya aku bukan tipe orang gampang tersulut emosi, tapi lama kelamaan hatiku panas juga diperlakukan seperti ini. Mulut Tayana itu ....
"Gue rasa lo nggak perlu tahu alasannya dan muka gue begini bukan urusan lo."
"Gue cuma mau tahu aja. Bukankah di sini kita semua harus terbuka. Iya kan, Do?" tanya Tayana dengan nada remeh tanpa beban.
Aku langsung menatap sadis Dodo. "Do, ini urusan pribadi gue. Urusan muka gue bukan untuk dikonsumsi publik!" bentakku kuat.
Dodo terlihat ciut. Ekspresinya bingung. Kemudian kudongakkan kepalaku ke atas menahan agar air mata ini tak mengalir. Ya Allah ....
"Selamat sore, apa kabar kalian semua? Gue Tirga. Sebelumnya gue mau ngucapin terimakasih kepada kalian yang mau ikut audisi sekretaris ini dan gue juga ngucapin selamat kepada kalian yang lolos pada tahap pertama ini. Maaf, gue nggak bisa nunjukin diri gue ke kalian semua karena hanya satu orang yang berhasil sampai tahap akhirlah yang akan bisa lihat gue. Kepada kalian yang ikut audisi ini karena menagih janji gue, maaf sebelumnya. Janji berupa menikah gue nggak bisa tepatin. Kalian silakan sumpahi, benci, dan segala macamnya. Gue terima. Tapi kalau berupa harta, nanti kalian bisa diskusiin sama Jorda. Maaf. Sekali lagi maaf. Cuma ini yang bisa gue ucapin. Kalau ada yang kalian ingin tanyakan sama gue, kalian bisa menghubungi Jorda atau Dodo. Mau telponan? Kalau gue sempat mungkin gue mau. Tapi sori gue nggak bisa ketemu kalian.
"Pesan gue, gue akan selalu mengawasi kalian. Keputusan final semua tetap di tangan gue. Ketika Jorda mengeliminasi kalian, pasti berdasarkan keputusan gue. Dia nggak akan eliminasi kalian tanpa minta persetujuan gue. Dan gue mohon, kalian di sini tidak bisa berbohong. Gue akan menilai semuanya secara adil. Semoga kalian nanti akan siap menjadi sekretaris gue. Gue harap kalian tetap bertahan sama gue sampai akhir. Oke. Gue tutup. Terimakasih semuanya."
Dan suara Tirga menghilang. Kami semua terpaku di tempat kami masing-masing. Suaranya benar-benar menunjukkan itu adalah Tirga asli. Suara berat khas pria dengan nada slengeannya. Aku ingat karena Tirga dan aku pernah berkomunikasi tiga tahun yang lalu.
Aku pun kembali menatap lurus ke depan untuk melihat keberadaan Jorda dan seorang pria di kursi roda namun, mereka sudah menghilang.
"Oke, Mudya. Lo bisa kembali ke tempat lo."
Aku cukup berterimakasih pada Tirga karena perkataannya barusan membuatku tidak harus menjawab pertanyaan menyebalkan Tayana. Sekilas kulihat Tayana, ia menatapku sinis. Aku pun melangkahkan kakiku meninggalkan Dodo yang berada di depan dan kembali duduk di samping Kiran.
"Kurang ajar emang si Tayana. Udah, Mud. Cuekin aja. Doain aja muka dia cacat. Kesal aye," dumel Kiran.
"Iya, Ran. Nggak apa-apa kok hehe."
Waktu terus berjalan. Semua telah mengenalkan dirinya masing-masing. Saatnya kembali ke kamar. Dodo juga menjelaskan bahwa mulai besok akan diadakan kompetisi yang sesungguhnya. Kami semua mengiyakan dan sekarang kami dipersilakan untuk membuat acara bebas. Kami diperbolehkan mengelilingi mansion ini. Aku memilih ke kamar sebentar untuk mengambil kameraku lalu akan keluar lagi dan mencari tempat untuk menenangkan diri.
Begitu sudah tiba di kamar, aku langsung membuka koperku. Kuambil kameraku lalu kutaruh ke dalam kantong bajuku. Untung kamera ini kecil. Aku pun bergegas untuk ke luar namun ....
"Mau ke mana, Mud?" Pertanyaan Kiran menghentikan langkahku.
"Gue pengen cari tempat untuk nenangin diri. Lo di sini aja. Gue sendirian bisa kok. Kan tadi dibilang hari ini acara bebas. Lagipula gue belum sanggup lihat si Tayana kalau di ke kamar."
Kiran menganggukkan kepalanya sembari menguap. Aku lirik ke luar. Langit sudah mulai gelap. Wajar sih karena perjalanan kami cukup melelahkan hari ini. "Yaudah kalau gitu. Aye di sini ya, Mud. Aye capek banget."
Aku mengangguk lalu langsung melengos ke luar. Kususuri lorong di jalan ini di mana banyak pintu-pintu yang berisikan kamar-kamar. Beruntung sekali selalu ada penunjuk arah di mansion yang sebesar ini. Tak sengaja mataku menangkap sebuah panah yang tak bertuliskan apa-apa dan di sampingnya ada sebuah pintu. Aku pun melangkahkan kakiku dan ternyata ada sebuah taman bunga dengan lampu-lampu yang makin membuat taman ini terlihat takjub begitu aku membuka pintu.
Aku terus berjalan dan tak kusangka di taman ini juga terdapat danau kecil. Aku lihat ke kanan kiri tak ada orang sama sekali. Untung langit belum terlalu gelap. Aku masih bisa merekam kegiatanku. Sayang kursi tamannya jauh dari danau. Lebih baik aku duduk di atas rumputnya saja.
Aku pun duduk. Kemudian membuka kameraku. Kamera ini adalah rekaman-rekaman tawaku bersama keluargaku dan jika aku gelisah dan galau, aku akan selalu merekam diriku menceritakan kisahku di hari ini. Di kamera ini juga terdapat wajah asliku. Aku tersenyum getir. Sudahlah. Lebih baik aku meredam kesedihanku dulu dengan menceritakan apa saja yang kulalui hari ini.
Aku pun mengangkat tanganku lalu mengarahkan lensa kamera tersebut ke wajahku.
"Hai, Cam. Udah lama ya Mudya nggak curhat. Ya maklum selama ini Mudya galaunya cuma karena satu hal yaitu kerjaan jadi Mudya malas curhat. Sekarang kenapa curhat? Karena Mudya lagi di sebuah tempat baru yang megah banget. Mansion. Ya, Cam. Mudya ikut audisi. Nggak nyalahin Kak Melanie sih, tapi yaudahlah. Kayaknya emang nasib Mudya kayak gini. Mudya harus mengikuti sesuatu yang sebenarnya Mudya nggak pengen ikutan. Dan Mudya sebenarnya cukup ngebatin di sini ketika mereka mempertanyakan wajah Mudya. Sedih deh ...."
Air mataku tanpa kuminta turun begitu saja. Buru-buru kuhapus. Ya, Cam itu adalah panggilanku untuk kameraku ini.
"Bahkan tadi ada yang nanyain soal orangtua. Mudya ciut karena mereka rata-rata dari keluarga terpandang sedangkan Mudya ...."
Aku tak bisa membendung lagi. Tangisanku pecah saat itu juga. Ayah ... Ibu ... Nerta ... Arta .... Aku pun mematikan kameraku. Lalu kupeluk lututku. Kutenggelamkan wajahku. Semua rekaman kembali terputar di pikiranku. Ya Allah ....
"Siapa itu? Ini tempat gue. Jangan ke sini!" Sebuah suara mengejutkanku. Buru-buru aku menghapus air mataku. Jangan sampai aku ketahuan menangis.
Aku pun beranjak dan terkesiap begitu mengetahui pemilik suara itu adalah suara orang yang tadi duduk di kursi roda. Suaranya mirip sekali dengan ....
"M--Maaf ...." Hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Pria itu menatapku dari balik kacamatanya. "Oh kamu adalah seorang perempuan. Ehm ... tahu dari mana kamu tempat ini?" nadanya berubah sedikit lembut, tapi nada ketusnya masih berasa.
"Maaf. Tadi aku nggak sengaja ke sini dan nemu taman ini," jelasku. Jujur, aku cukup degdegan begitu berhadapan dengan pria ini dari dekat.
"Oke. Jangan ke sini lagi. Ini tempat aku dan hanya aku yang boleh ke sini," ucapnya ketus.
Aku mengangguk. Apa mungkin orang ini adalah Tirga? Suara, ya mirip sekali.
"Hey, jawab!" serunya.
"Iya. Aku nggak akan ke sini lagi," ucapku. Ya mana kutahu ini adalah tempatnya.
"Yasudah. Pergi sana!" Kini ia mengusirku.
Aku menatapnya kesal. Tapi ia sama sekali tak peduli dengan pandanganku. Aku pun meninggalkannya.
"Tunggu!"
Terpaksa aku berhenti.
"Hey, jawab! Kamu belum pergi jauh kan?"
Orang ini kenapa sih? Kenapa dia seenaknya memarahiku? "Iya. Aku masih di sini."
"Ehm, tolong putar kursi roda ini menghadap danau. Setelah itu kamu silakan kembali ke kamarmu," suruhnya tanpa beban dan sanga arogan.
"Kenapa aku harus menolong kamu? Kamu nggak bisa putar sendiri kursinya?" tanyaku.
"Kamu terlalu banyak tanya. Putar saja," perintahnya lagi.
"Kamu siapa sih?"
"Aku adalah orang penting di sini. Cepat putar. Aku takut terjatuh kalau memutar kursi roda ini. Biasanya aku hapal sampai putaran roda ke berapa aku akan berhenti, tapi gara-gara kamu aku jadi lupa dan aku tidak tahu apakah aku di depan danau atau tidak."
Orang penting? Apa benar dugaanku kalau dia adalah Tirga?
"Kamu Tirga?"
Pria ini tampak terkejut. "Bukan. Kamu tidak lihat wajah saya berbeda dengan Tirga? Tirga ada. Tapi yang jelas aku orang penting. Cepat putar!" perintahnya lagi.
Aku mendengkus kesal. Daripada aku terus berdebat dengannya tanpa henti, lebih baik kuturuti saja permintaanya. Setelah itu kutunggu beberapa menit untuk mendengar ucapan terimakasihnya, tapi ucapan itu tak kunjung datang.
"Kamu silakan kembali ke tempat kamu dan jangan pernah ke sini lagi."
Sialan. Yasudah. Aku pun membalikkan tubuhku dan meninggalkannya. Menyebalkan sekali sih pria itu. Tapi tunggu, dia bukan Tirga? Dan wajahnya akan kuingat dengan jelas sekarang. Aku memang belum pernah melihat Tirga. Tiga tahun silam hanya melihat matanya dan sekarang ia mengenakan kacamata. Ya mana bisa aku lihat.
Ah google. Nanti akan kucari tahu rupanya melalui internet. Sebelum melangkah lebih jauh, kutolehkan kepalaku ke belakang dan pria itu diam memandang danau di depannya. Ehm ... lalu dia siapa?
***
Note : tanggapannya gimana? Hehe panjang yah chapt ini wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top