5

Votenya dooong hehe cerita ini akan aku usahakan update cepet ya. Maklum sibuk di dunia nyata.

Komen yang banyak yaaa hehe

Happy reading!


-----------------------------------------------------------------------------


"Mud, bangun, Mud. Banguuuuuun!" teriak Kak Citra sambil menggedor-gedor pintu kamarku.

Ya Tuhan! Aku masih mengantuk. Semalam aku, Kak Citra, Kak Melanie, dan Kak Nyayu sibuk mengobrol sampai lupa waktu. Tema pembicaraan kami kemarin jelas adalah soal Tirga, Jorda, Prita, dan Prima.

Oke kesimpulan yang kudapatkan adalah bahwa Tirga ini memang playboy akut. Kalau dari keterangan Kak Melanie, pasti Tayana adalah salah satu wanita yang pernah diberikan janji oleh Tirga. Ckck. Aku hanya menggelengkan kepala mendengarkan hal itu. Dia juga bilang kalau sosok Tirga itu termasuk sosok bos yang semena-mena pada bawahan. Salah sedikit saja, kata-kata pecat langsung keluar dari mulutnya.

Astaga, apa kabar diriku nanti ya? Semoga aku tidak menjadi sekretarisnya ya Allah. Doaku saat itu. 60 juta itu memang menggiurkan namun, kalau model bosnya seperti Tirga, siapa yang bisa betah?

Aku mendengar dari Kak Melanie bahwa Tirga dan Jorda itu memang teman akrab sekali. Bahkan Jorda diberi jabatan khusus di Rabatik sebagai dokter pribadi para petinggi Rabatik. Padahal Kak Melanie bilang, Jorda sudah bekerja di rumah sakit ternama dan ia sudah cukup terkenal di kalangan dokter bedah. Tak kusangka Kak Citra dan Kak Nyayu juga ternyata mengenal Jorda karena salah satu keluarga mereka pernah dicek oleh Jorda.

Aku juga mengetahui fakta baru bahwa Jorda itu ada hubungan saudara dengan psikiater ternama Indonesia yang bernama Shagam Prasrari. Ini semua tidak mungkin aku ketahui kalau tidak keluar dari mulut mereka. Lagipula aku memang sudah menduga pasti Jorda itu memiliki keluarga yang sebelas dua belas tampan dengan dirinya.

"Iya, Kak," jawabku seraya meregangkan otot-ototku. Lalu berusaha bangun dan membuka pintu kamar. Terlihat wajah Kak Citra dengan rambut acak-acakannya itu. Ia melihatku dengan mata sayunya dan mulut yang terus menguap.

"Lo harus sampai sana jam enam pagi kan? Sekarang masih jam lima sih. Buruan lo siap-siap," suruh Kak Citra.

Jujur, hatiku terenyuh sekali melihat sikap Kak Citra padaku. Ia benar-benar baik dan peduli padaku. Padahal kami hanyalah seorang teman satu kos. Tapi ia rela bangun pagi demi membangunkan aku seperti ini.

"Kak, lo baik banget sih ...," ucapku.

Kak Citra tersenyum miring. "Gue tahu, Mud, lo itu nggak punya siapa-siapa di dunia ini. Siapa lagi yang bisa bantu lo kalau bukan gue, Melanie, dan Nyayu? Lagipula kita mau lo ubah status pengangguran lo itu. Udah buruan siap-siap. Nanti gue bangunin Melanie sama Nyayu. Terus kita antar lo ke sana. Mandi sono," perintahnya sembari berlalu meninggalkanku menuju kamarnya.

Aku menyengir. "Iye. Thanks loh, Kak."

Kak Citra malah mengepalkan tangannya ke arahku. "Norak lo bilang thanks segala."

Aku hanya menyengir melihat sikap Kak Citra barusan. Setelah wujudnya tak tampak lagi, aku pun menutup pintu. Kupandangi koperku. Bahkan baju-baju dan barang-barang yang akan kubawa untuk karantina juga dibantu oleh tiga sekawan wanita cantik itu. Aku benar-benar tak tahu lagi kalau tidak ada mereka di sekitarku.

Tak sengaja mataku berhenti pada sebuah bingkai foto yang bertengger manis di atas nakas samping tempat tidurku. Ya itu foto kami sekeluarga pada saat hari kelulusanku sebagai seorang sarjana. Kuambil foto itu lalu kupandangi wajah keluargaku satu per satu. Senyum Ibu dan Ayah yang benar-benar membuatku ingin memeluk mereka sekarang juga. Lalu senyum Nerta dan Arta. Meskipun kami dulu suka sekali berantem, tapi tetap saja kehilangan mereka membuat hidupku hampa.

Ya Tuhan. Air mata ini menetes lagi. Seandainya saja tak ada acara ke puncak. Seandainya saja waktu itu aku tidak memaksa keluargaku ke puncak demi merayakan hari wisudaku, tentunya aku masih bisa bercengkrama dengan mereka saat ini. Sayang, semua hanya angan. Bahkan di detik terakhir mereka hidup saja, aku tak bisa menyaksikan kepergian mereka.

Ya dokter bilang. Aku waktu itu koma selama tiga bulan. Panjang sekali sebenarnya kisah waktu itu. Dan sebenarnya wajah ini adalah wajah ....

"Mud, udah mandi belum?!" tanya Kak Nyayu kencang dari luar.

Astaga! Aku malah melamun. Buru-buru aku menghapus air mata ini dan memasukkan bingkai foto ini ke dalam koper.

"Iya, Kak. Ini mau mandi!" jawabku. Aku langsung berlari kencang ke kamar mandi yang berada di dalam kamarku.

Ayo, Mud. Cepat! Batinku memperingatiku.

***

Semuanya sudah ready. Mulai dari peralatan mandi, make up, sampai obat-obatan yang kuperlukan. Kak Citra, Kak Melanie, dan Kak Nyayu juga sibuk dari tadi bertanya apakah barang yang seharusnya kubawa sudah kumasukkan apa belum ke dalam tas. Termasuk cv. Barangkali ketika di sana mereka masih membutuhkannya.

"Mud, lo pakai baju dari gue. Udah cukup ya lo dihina-hina sama cewek-cewek yang lulus itu. Baju gue barang branded. Harganya mahal. Gue yakin mereka nggak akan rendahin lo lagi begitu lihat mereknya apa," ujar Kak Citra sembari melempar sebuah dress padaku. Dengan sigap aku menangkapnya.

Aku menautkan alisku. "Kak, nggak, Kak. Gue pakai baju gue aja. Lagipula baju ini bagus banget, Kak. Gue ngerasa nggak pantes aja pakainya. Lagipula ini kependekan. Malu gue pakainya," tolakku lembut sembari membuka dress biru muda ini lebar-lebar di hadapanku.

Gaunnya bagus sih, tapi aku harus memperlihatkan pahaku. Aku takut salah kostum juga. Lengan pendek dan bagian bawahnya yang agak lebar pasti membuat tubuhku agak terlihat seksi.

Kak Citra, Kak Melani, dan Kak Nyayu kini sedang berada di dalam kamarku. Mereka benar-benar orang yang lebih sibuk daripada aku sendiri.

"Mud, seperti yang lo bilang. Ini tuh audisi gila. Pas dengar cerita lo kemarin, gue yakin semua cewek di sana akan lebay-lebay penampilannya. Percaya sama gue. Jadi mending lo terima dress dari Citra. Gue nggak terima seorang Pramudya, teman gue direndahin sama cewek-cewek itu. Apalagi ada Tayana. Lo harus cantik, Mud!" timpal Kak Nyayu.

Aku memandangi mereka bertiga dari balik cermin panjang yang ada di hadapanku. Kutatap mereka bingung.

"Kak, apa gue nggak usah datang ya? Masa gue mendadak takut?"

Kak Melanie mendekatiku. Dipegangnya bahuku. Kami saling memandang melalui cermin. "Mud, kita begini karena kita peduli sama lo. Lo mau emang di-blacklist dari semua perusahaan yang berkaitan dengan Rabatik? Jujur sih, gue jadi ngerasa bersalah tahu, Mud, sama lo. Tapi gimana lagi? Semuanya udah terlanjur. Padahal gue tahu lo pernah diusir sama teman-teman lo dulu. Maaf banget, Mud," ujar Kak Melanie penuh penyesalan. Aku bisa melihat dari matanya bahwa Kak Melanie tulu mengucapkan deretan kalimatnya barusan.

Aku tersenyum getir. Kupegang tangan Kak Melanie yang masih berada di atas pundakku. "Kak, jangan gitu. Ini kan audisi. Mungkin emang jalan gue begini. Lagipula siapa yang nyangka gue bakal lolos tahap satu? Siapa juga yang nyangka kalau ternyata audisi ini lumayan menguras emosi?"

Kami berempat pun menghela napas bersamaan.

"Yaudah. Buruan lo pakai dress gue. Habis ini kita dandanin lo. Pokoknya kita nggak akan rela lo direndahin sama mereka-mereka. Gue bakal buat mereka mati kutu!" ucap Kak Citra semangat.

"Nggak usah pikir macam-macam, Mud. Buruan pakai dress dari Citra. Sekarang udah jam lima. Belum dandan dan jalan ke sananya," timpal Kak Nyayu.

Aku menghela napas. Sepertinya aku tak bisa mengelak lagi dari permintaan mereka. Apalagi begitu melihat tatapan mereka yang semuanya tajam. Dengan amat sangat terpaksa, aku pun mengenakan dress mahal ini. Namanya sama-sama cewek dan sudah terbiasa bersama, maka tak ada malu-malu lagi di depan mereka jika ingin mengganti baju.

Aku kembali berkaca. Wow. Cantik juga jika aku mengenakan dress ini. Kak Citra memang tidak salah. Kini kami bertiga sama-sama melihat ke kaca. Tanpa banyak bicara, mereka pun menyuruhku untuk duduk dan saat itu juga mereka langsung mengeluarkan amunisi mereka lengkap untuk mempermakku. Bubuhan bedak dan foundation mulai menyentuh permukaan kulit wajahku.

Tidak lama karena dalam waktu lima belas menit mereka menarik tubuhku untuk berdiri.

"Buka mata lo sekarang," bisik Kak Citra.

Aku pun membuka mataku perlahan. Ya ampun aku benar-benar terlihat cantik. Dan inilah Mudya yang sebenarnya. Ya sebenarnya wajah ini bukanlah wajahku yang sesungguhnya. Tidak ada yang mengetahui rahasia ini karena memang tidak ada fotoku bersama keluargaku di kosan ini. Aku sengaja menyembunyikannya.

Kecelakaan dua tahun silam itu memang sangat parah. Keluargaku kehilangan nyawanya sedangkan aku kehilangan wajahku. Ya pada saat itu aku mengalami luka bakar yang sangat serius sehingga aku harus dioperasi. Dan tentunya ada sedikit cacat pada wajahku di bagian dahi yang untungnya bisa kututup menggunakan poniku. Ah sudahlah. Mengingat hal itu membuatku sedih lagi. Lebih baik aku melupakannya.

Aku menghela napas. Pada dasarnya kan aku memang cantik. Apalagi rambut pendek hitamku disisir rapi dan melengkung ke dalam sehingga modenya seperti rambut bop. Kemudian perpaduan warna di wajahku yang membuatku terlihat berbeda.

"Tuh kan, Mud. Lo cantik. Nah sekarang, lo pakai sepatu gue," tawar Kak Melanie.

"Dan lo bawa peralatan make up gue. Gue nggak beliin lo barang abal, Mud. Semuanya udah gue taruh ke koper lo. Nggak ada penolakan," tambah Kak Nyayu.

Astaga. Mereka semua ini kenapa baik sekali sih padaku?

"Mud, gue tahu lo nggak mau lolos sebagai sekretaris Tirga, tapi minimal lo bisa buat orang yang menghina lo kicep. Mereka nggak akan hina lo orang miskin lagi. Pokoknya lo jangan mau kalah sama orang tipe mulut comberan kayak si Tayana dkk. Gue penasaran beneran kerja Bapaknya apa sampai hina lo segitunya," ujar Kak Citra kesal.

Aku menghela napas. Ya ampun aku sungguh-sungguh terenyuh dengan sikap mereka bertiga ini. Langsung kurentangkan tanganku dan kupeluk mereka bertiga.

"Ya ampun, kalian baik banget sih sama gue. Doain semua baik-baik aja ya. Doain nggak lolos dan setelah itu cepat dapat kerja," ucapku dengan suara bergetar.

Tak kusangka air mataku malah menetes. Buru-buru kuhapus air mata ini. Jangan sampai mereka menyadari bahwa aku baru saja menangis. Kini aku lepaskan pelukan mereka. Kami saling bertatapan.

"Yaudah yuk berangkat. Pengalaman Mudya akan dimulai!" seru Kak Melanie.

Dan kami berempat pun terbahak bersama. Kemudian aku siap-siap lagi. Kukenakan sepatu high heels berwarna peach dari Kak Melanie. Memang ya harga itu tidak berbohong karena begitu kupakai, rasanya sangat nyaman sekali.

Dan sebelum aku keluar dari kamar, kembali aku pandangi diriku. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, barangku baru-baru semua dan ini pemberian dari mereka bertiga. Kakak-kakak Cokro itu memang terbaik.

Dan terakhir kupandangi kamarku secara menyeluruh. Kuatur napasku sejenak. Semoga aku bisa kembali ke kamar ini seminggu lagi. Aamiin.

"Ayo, Mud!" ajak Kak Citra.

"Iya!" jawabku.

Dan aku mulai melangkahkan kakiku. Semoga semuanya lancar sesuai keinginanku. Tak lupa juga aku membawa kameraku karena di situlah semua rahasia soal keluargaku dan aku yang dulu berada.

***

Aku, Kak Citra, Kak Melanie, dan Kak Nyayu berdiri berjejer tepat di depan gedung pusat Rabatik.Siapa sangka di sini suasananya sangat ramai sekali. Banyak sekali gerombolan para wanita bersama dengan keluarga mereka. Bisa kulihat ekspresi para orangtua yang sedih akan meninggalkan anaknya. Melihat para tatapan orangtua itu membuatku teringat akan Ayah dan Ibu. Mungkin kalau mereka ada di sini, raut wajah Ayah dan Ibu akan serupa dengan para orangtua tersebut.

"Mud, ada kita sebagai pengganti orangtua lo," bisik Kak Citra.

Kali ini aku tak bisa membendungnya lagi. Air mataku tak bisa diajak kompromi. Kurundukkan kepalaku dan kubiarkan air mata ini mengalir.

"Mud ... ada kita, Mud. Udah, Mud," timpal Kak Melanie.

Mereka bertiga pun memelukku erat. Tangisanku semakin hebat. Aku menangis terisak-isak. Ya Allah. Kenapa sulit sekali rasanya untuk ikhlas? Kepergian keluargaku yang secara tiba-tiba masih menyesakkan hati jika dipikir ulang. Ayah ... ibu ... Nerta ... Arta ....

"Mud, udah. Sumpah deh. Tiap kali lihat lo nangis karena orangtua lo lagi. Gue suka nggak tahan. Udah, Mud. Ntar bedak lo luntur lagi," ujar Kak Nyayu.

Astaga. Iya juga. Make up-ku nanti luntur. Mereka bertiga pun melepaskan pelukannya padaku. Kemudian kuusap mataku. Lalu aku tunjukkan senyumku kepada mereka menandakan bahwa aku sudah baik-baik saja.

"Untung aja alat make up gue mahal. Jadi bedak lo nggak luntur-luntur amat, Mud," cibir Kak Nyayu.

Aku terbahak. "Maaf, Kak. Lihat mereka gitu buat gue ingat sama keluarga gue ...."

Mereka bertiga tersenyum. "Mud, ingat. Ada kita. Lo kalau ada apa-apa panggil kita. Atau hubungi kita. Mereka macam-macam sama lo, lapor sama kita. Gue nggak kalah tajir kok dari si Tayana itu. Kasih tahu aja identitas mereka, tar kita cari cara. Pokoknya kita bertiga pasti bantu lo!" ujar Kak Citra sangat meyakinkan. Nada bicaranya terdengar sangat sungguh-sungguh. Tak ada keraguan sama sekali.

"Iya, Mud. Lo santai aja. Gue akan siap sedia kalau lo butuh gue pas di karantina. Kabar-kabarin aja semuanya sama gue."

Aku mengangguk.

"Kepada peserta yang lolos tahap satu harap berkumpul di lobi utama." Suara mikrofon terdengar membahana di seantero gedung. Jelas saja hal ini langsung membuat kami semua bersiap-siap untuk menuruti perintah tersebut.

Aku dan ketiga para pekerja Cokro ini ikut-ikutan panik. Jantungku berpacu cepat dan napasku naik turun begitu mendengar perintah mik tersebut. Ya Tuhan. Kenapa hanya untuk menjadi seorang sekretaris rasanya semenakutkan ini ya?

Bisa kulihat juga raut ketiga Kakak ini cemas.

"Ya ampun, Mud. Masa gue degdegan sih?" tanya Kak Citra bingung.

"Sama gue juga," timpal Kak Nyayu.

"Gue juga. Gila, Mud. Jadi ini yang lo rasain kemarin? Gue juga ikut degdegan padahal gue bukan peserta. Duh, Mud. Banyak doa ya," tambah Kak Melanie.

Aku mengangguk cepat. "Iya, Kak. Doain gue semoga nggak lolos plis," mohonku.

Kami berempat pun saling bergenggaman. Bisa kurasakan telapak tangan mereka dingin sama seperti aku. Tuh kan! Apa kataku. Audisi ini memang agak menyeramkan. Aku kembali melihat ke depanku. Orang-orang mulai berjalan memasuki lobi. Aku menghela napas. Ini saatnya aku memasuki dunia audisi ini.

Aku pun melepaskan genggaman mereka bertiga. Mereka serasa tak rela melepaskan tanganku. Tanganku meraih gagang koperku. Saatnya aku melambai pada mereka. Aku mulai melangkahkan kakiku.

"Kak, doain gue ya. Nanti gue hubungi kalau gue kenapa-napa. Semoga minggu depan kita bisa ketemu lagi ya!" seruku.

Mereka terlihat sangat sedih atas kepergianku. Entah kenapa, aku merasa ini akan menjadi pertemuan terakhirku dengan mereka bertiga. Aku takut tak akan bisa bertemu dengan mereka lagi. Ini belum terlambat. Aku harus mengucapkan banyak permohonan maaf dan terimakasih pada ketiga kakak terbaik itu.

Sebelum langkahku semakin menjauh, aku kembali berlari kencang menghampiri mereka bertiga. Lalu kupeluk erat.

"Kak Citra, Kak Nyayu, Kak Melanie, maafin kesalahan gue selama dua tahun ini ya. Gue makasih banget atas kebaikan lo bertiga. Gue sayang banget sama lo semua. Kalian wanita-wanita cantik mau berteman dengan perempuan jelek dan miskin kayak gue. Sumpah! Gue nggak tahu mesti bilang apa lagi untuk mengungkapkan bahwa gue bersyukur kenal kalian bertiga sebagai peneman kesepian gue ...."

Suasana ini menjadi haru. Air mataku mengalir begitu saja. Sama halnya dengan mereka karena aku bisa merasakan tubuh mereka yang bergetar dan sesegukan mereka akibat menangis.

"Mud, kok gue sedih sih, Mud? Lo kayak mau pergi jauh aja sih ...," isak Kak Nyayu.

"Ya ampun, Mud. Gue juga beruntung kenal lo. Lo wanita terkuat yang pernah gue temui. Lo bisa tegar menjalani hidup ini meskipun lo cuma sendirian. Gue nggak tahu kalau gue jadi lo bisa apa nggak hadapi hidup ini. Mud, gue sayang sama lo. Semoga lo nggak lolos ya," tambah Kak Citra.

"Untung aja Citra punya teman kos kayak lo, Mud. Jadinya kita bisa kenal juga. Semangat ya, Mud. Gue tunggu lo minggu depan. Semoga lo nggak lolos. Aamiiin."

Ya ampun hatiku terenyuhnya bukan main mendengar pernyataan mereka. Sedih sekali rasanya. Aku amat sangat beruntung mengenal mereka.

"Pramudya Sasqrina ...." Ah itu namaku! Namaku dipanggil oleh pengeras suara di lobi sana.

Aku pun segera melepas pelukan mereka semua. "Kak! Gue masuk ya! Hati-hati pulangnya! Love you!" ucapku pada mereka.

Kemudian aku berlari terbirit-birit ke dalam sembari menggeret koperku. Kusempatkan menoleh ke belakang untuk melihat wajah cantik mereka bertiga. Semoga saja aku tidak lolos dan minggu depan aku bisa bertemu mereka.

Kini aku sudah memasuki lobi. Namaku masih menggema di lobi. Aku pun mengangkat tanganku.

"Saya Pramudya!" seruku.

"Oke. Kamu ke sini!" teriak seorang pria kecil hitam yang berada di tengah-tengah lobi. Semua mata pun memandangku.

Ternyata benar dugaan para kakak cokro itu. Penampilan mereka sangat wah bahkan bisa dibilang menor. Ya ini seperti kontes kecantikan jatuhnya. Bukan untuk menjadi sekretaris. Aku amat sangat berterimakasih sekali lagi pada ketiga kakak cokro itu.

Aku pun berjalan mengikuti arahan pria kecil itu. Wajah pria itu sangat judes. Tak ada keramahan sedikit pun. Dan di sini sudah ada kumpulan wanita berbaris rapi. Setelah aku masuk ke barisan, nama berikutnya pun kembali terdengar.

Kulihat ke sekeliling. Sainganku lumayan berat-berat juga karena mereka cantik-cantik. Meskipun ada juga sebagian dari mereka yang bentuknya berbeda 180 derajat. Persaingan di sini bisa dibilang tidak fair karena ada golongan hampir sempurna yang harus bersaing dengan golongan tidak ada bagus-bagusnya sama sekali dan aku masuk dalam golongan tidak ada bagus-bagusnya.

Sampai akhirnya setengah jam kemudian, semua wanita sudah berbaris rapi. Kuintip ke suasana di luar masih ramai diisi oleh para kerabat dari kami para wanita calon sekretaris Tirga. Bisa kulihat juga Kak Citra, Kak Nyayu, dan Kak Melanie yang melambaikan tangannya padaku. Aku hanya tersenyum dari sini.

"Oke. Perkenalkan nama saya adalah Surodo. Panggil saja saya Dodo. Saya asisten Jorda. Saya yang akan bertanggungjawab pada perjalanan kalian ke rumah karantina saat ini. Saya mohon kerjasamanya. Terimakasih," kata pria pendek hitam kecil tersebut.

Oh jadi dia asisten Jorda?

"Jorda ke mana?" tanya salah satu wanita di antara kami.

"Iya. Masa pagi-pagi kita udah lihat pemandangan nggak bagus sih?" Salah satu wanita menimpali dengan kata-kata kasar.

Mereka ini benar-benar kasar. Kasihan Dodo dikatakan pemandangan tidak bagus. Biar bagaimana pun kan dia ciptaan Tuhan.

"Siapa yang bilang barusan pemandangan nggak bagus?" Wow! Dodo bertanya dengan nada tinggi. Mukanya menunjukkan ekspresi marah.

"Gue! Kenapa?" Seorang wanita dengan bangga mengaku bahwa ia telah menghujat Dodo.

Saat itu juga Dodo langsung membuka ponselnya. Ia menelpon seseorang. Hanya beberapa menit dan setelah itu ia matikan. Kemudian ia membaca secarik kertas yang memang sejak awal ia pegang.

"Nama Anda Hera Afini. Berumur 26 tahun. Anda di-cut karena berkata kasar. Terimakasih telah mengikuti audisi sekretaris ini," ucap Dodo sangat tegas.

Kami semua tercengang dan terpelongo. Gila! Hanya karena itu, wanita tersebut langsung dieliminasi? Astaga. Ini terlalu cepat.

"Apa?! Lo gila?!" seru wanita bernama Hera tersebut.

"Maaf. Memang seperti ini aturannya dan saya hanya menuruti perintah Jorda."

"Tapi Tirga ada janji sama gue!" teriak wanita itu tak terima.

Dodo tersenyum miring. "No excuse. You out! Satpam! Keluarkan dia!"

Dan para satpam bertubuh kekar langsung menghampiri Hera. Hera menolak mentah-mentah dan ia berusaha bertahan di tempatnya namun, apa mau dikata. Tenaga para satpam pria jelas membuat Hera kalah.

Dan ya Hera lumayan cantik. Ia memang tidak tinggi, tapi rupanya enak dipandang mata. Hera terus berteriak memberontak selama digeret paksa keluar oleh dua satpam bertubuh kekar itu. Aku meneguk salivaku takjub. Audisi ini memang gila.

"Oke. Satu orang telah out. Bagi kalian yang ingin mengikuti jejaknya silakan berkata kasar. Apa ada yang mau lagi?"

Suasana hening. Tak ada satu pun orang yang mau mengeluarkan suaranya lagi. Aku yakin pasti kami semua kaget dengan proses out yang sangat pagi ini. Belum juga jalan masa sudah main cut saja?

"Oke. Tidak ada. Nah kami telah menyediakan dua buah bus. Urutan satu sampai dua puluh lima masuk ke bus satu yang berwarna merah dan urutan dua puluh enam ke belakang masuk ke bus dua yang berwarna biru. Untuk urutan pertama silakan ikuti saya dan urutan kedua bisa berjalan setelah urutan pertama masuk bus. Terima kasih."

Aku ingin tidak lolos, tapi di-cut seperti tadi itu memalukan. Aku ingin ke luar dari audisi ini dengan cara yang tidak memalukan. Minggu depan, pasti aku akan keluar.

Aku sebagai urutan pertama pun ikut berjalan mengikuti rombongan ke bus pertama. Lagi-lagi kepalaku celinguk mencari keberadaan para Kakak Cokro dan mereka masih berdiri di tempat yang sama. Tangan mereka melambai dengan mulut yang berkomat-kamit mengucapkan semangat.

Aku hanya mengangguk. Terharu sekali rasanya melihat masih ada orang yang mau peduli denganku seperti mereka bertiga. Kembali aku memandang ke depan.

Oke, Mudya. Now, your journey begins!

***

Plis kesannya doooong hehhehee dan biar nyambung bisa baca Kata Mereka dan He's not NORMAL ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top