38
Maaf lama update yaaaa. Butuh vote dan komen aja. Aku lihat respon utk cerita ini makin seret. Mungkin karena updatenya nggak cepat dan konfliknya ribet. Nggak apa-apa kok hehehe.
Happy reading!!
-----------------------------------------------
"Hehe, yaudah kalau gitu, aku turunin aja ya, Tir, lukisan mereka." Daripada melanjutkan obrolan barusan yang menurutku tak masuk akal, lebih baik aku segera bertindak saja. Aku pun maju dan mengambil kursi tinggi yang berada di pojok ruangan untuk menurunkan lukisan wajah Alysam dan Prita.
Sebenarnya dadaku agak berdenyut menyaksikan tatapan mata kedua wanita itu dari lukisan itu. Entah perasaanku saja atau bagaimana. Tapi aku bisa merasakan sedikit kemarahan. Tapi yasudahlah. Toh itu cuma lukisan. Bukan orang asli. Setelah menurunkan lukisan-lukisan itu, aku pun meletakkan lukisan tersebut di pojok ruangan dengan posisi yang sengaja kubalik. Kuedarkan lagi pandanganku ke dinding-dinding ini. Wah serasa hampa sekali ruangan ini tanpa wajah mereka.
Kembali aku menolehkan wajahku ke Tirga yang masih duduk di tempat yang sama. Masker masih menutupi setengah wajahnya. "Tir, lukisannya udah aku turunin. Aku lanjut bersih-bersih ya."
"Iya," jawabnya singkat. Kuhela napasku. Ini akan jadi pekerjaan panjang buatku karena ruangan ini juga tak sempit. "Maaf, aku nggak bisa bantu apa-apa, Mud. Susah juga kan bantu dalam keadaan nggak bisa lihat kayak gini," sambungnya lagi.
Aku tersenyum kecil. "Santai aja. Lagipula kalau kamu bisa lihat, emangnya kamu bakal bantu aku juga?"
Kakiku mulai melangkah mengambil kemoceng dan lap yang berada di pojok ruangan juga. Tak lupa aku juga mengenakan masker. Ya di ruangan khusus ini terdapat beberapa peralatan untuk bersih-bersih. Anggap saja ruangan khusus ini seperti rumah di dalam rumah. Sangat lengkap perabotannya. Aku mulai mengelap beberapa perabotan yang sangat kotor dan berdebu.
"Nggak juga sih, hehe. Pasti aku akan suruh pelayan aku. Aku kan bos. Kenapa aku harus turun tangan untuk bersih-bersih." Ia berkata dengan nada remehnya.
Aku sudah bisa menduga jawabannya. "Yaudah. Nggak usah sok bilang maaf nggak bisa bantu apa-apa," jawabku ketus.
Tirga hanya terbahak. Aku terus mengelap perabotan ini satu per satu. Tirga pun diam. Hanya suara gerakan bersih-bersihku yang menemani kami sekarang. Dan ini jujur cukup melelahkan. Berkali-kali tanganku menyeka keringat yang terus mengucur dari pelipisku.
"Mud ...,"panggil lirih Tirga.
"Iya, Tir ...," jawabku di sela bersih-bersih ini.
"Masih banyak hal yang aku belum ketahui soal kamu."
"Terus?"
"Aku mau nanya boleh?" tanyanya sedikit ragu.
Posisiku yang cukup jauh darinya, membuatku sulit untuk melihat wajahnya. "Tanya apa?"
"Kenapa kamu bisa ikut audisi ini? Aku ingat kamu pernah bilang jadi sekretaris di sebuah perusahaan besar. Emang perusahaan apa? Kesibukan kamu selama ini apa aja? Apakah kamu pernah tahu Rabatik sebelumnya?"
Mendengar pertanyaannya sontak membuat kegiatanku terhenti. "Tumben kamu nanya kayak gini. Itu udah ke ranah pribadi loh, Tir."
Tirga mengembuskan napasnya lembut. "Karena aku merasa jahat aja. Sebagai bos kamu, harusnya aku tahu soal kamu lebih detail. Tapi aku merasa malah Jorda yang lebih banyak tahu. Aku nggak tahu apa karena kondisi fisik dia lebih normal dan dia bisa bersikap sesuatu tanpa aku ketahui makanya dia bisa lebih leluasa untuk tahu tentang kamu."
Kembali aku meneruskan pekerjaanku. Memang Jorda lebih tahu banyak soal aku. Bahkan mungkin dia tahu segalanya dibanding aku sendiri. Kupandang Tirga sejenak. Pada dasarnya nasib kami berdua sama di sini. Banyak hal yang kami sendiri tidak ketahui dibanding Jorda.
"Ya bukankah kamu selalu memberikan segala kuasa kamu ke Jorda ya? Mungkin karena itu dia bisa lebih tahu. Lagipula kan kamu fokus sama kesehatan kamu, Tir. Aku maklum kok kalau kamu nggak tahu soal aku lebih banyak daripada Jorda."
"Kadang aku merasa dibodohi Jorda, Mud ...."
Aku berpindah posisi ke perabot di ruang berikutnya. Ya ruangan tengah sudah aku bersihkan. Kini ke area tempat tidur Tirga.
"Jangan merasa gitu ah. Jorda itu orang yang paling peduli sama kamu loh. Dari awal dia selalu jaga kamu di mansion ini. Bayangin coba kalau nggak ada Jorda."
Aku bisa mendengar helaan panjang napas Tirga. "Oke. Ganti topik. Kita nggak usah bahas Jorda. Balik ke pertanyaan aku di awal. Aku pengen dengar semua tentang kamu langsung dari mulut kamu sendiri. Kamu siapa? Kerjaan kamu apa sebelumnya? Kamu kuliah di mana? Apa aja yang kamu lakukan sebelum ke Rabatik? Kenapa bisa nyasar ke Rabatik?"
Aku tersenyum. Entah kenapa aku merasa senang ditanya seperti ini. Akhirnya setelah sekian lama, ada juga orang yang mau bertanya padaku menyangkut hal pribadi. Semenjak wajahku menjadi buruk rupa seperti ini, tak ada satu pun lagi pria yang mendekatiku. Ya semua itu hanya sekedarnya saja. Apalagi sejak aku menjadi pengangguran. Hubunganku dengan pria di luar sana bahkan tak ada sama sekali. Hanya Atan seorang yang dekat denganku dan aku tidak ada apa-apa dengan dirinya.
Bicara pacaran? Ya kisah percintaanku juga biasa-biasa saja. Dulu ketika SMA aku pernah pacaran. Tapi tidak lama karena menurutku pacaran tidak penting. Lagipula saat itu kami sangat labil sehingga selalu bertengkar. Setelah itu aku tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Karena ya banyak hal yang aku kerjakan dan tidak ada waktu bagiku untuk dekat dengan pria.
"Aku dulu pernah kerja di Cokro grup sebagai sekretaris. Kehidupanku biasa aja, Tir. Nggak ada yang menarik. Kerja, pulang, tidur, makan. Terus aku resign karena nggak suka sama bosnya dan tatapan mereka ketika lihat aku. Eh ternyata cari kerja jaman sekarang itu susah banget. Cukup lama nganggur dan yaudah ada lowongan di sini ...." Aku berhenti sebentar. Haruskah aku menceritakan soal trio cokro itu pada Tirga sekarang?
"Terus kamu melamar ke sini?"
Sebaiknya tak kuberitahukan yang sebenarnya dulu pada Tirga. Belum saatnya. Semua ini masih abu-abu.
"Iya," jawabku singkat masih sambil terus mengelap perabotan di area tempat tidur.
"Sendirian?"
"Aku dibantu sama teman aku." Untuk hal ini aku jujur saja.
"Lalu sebelumnya kamu kuliah di mana? Aku jadi ingat ketika pertama kali kamu memperkenalkan diri dan saat itu aku dengar suara kamu, kamu bilang keluarga kamu udah nggak ada. Sebenarnya sejak kapan mereka nggak ada?"
Rentetan pertanyaan Tirga membuat gerakanku terhenti. Kutolehkan kepalaku ke arahnya. Baru kusadari ternyata memang banyak sekali hal tentang diriku yang tidak diketahui Tirga. Kenapa aku jadi kasihan pada Tirga ya? Seberapa banyak hal yang Jorda tutupi darinya?
Tapi di sisi lain hatiku sedih. Pertanyaannya mengenai keluargaku membuatku bingung harus menjawab apa. Kalau Tirga harus mendengar kisah kematian orangtuaku yang berhubungan dengan Alysam, pasti dia akan sedih lagi.
"Mud ...." Panggilan Tirga menyentak pikiranku. "Pertanyaan aku salah ya? Maaf, aku mau tahu soal kamu lebih banyak aja. Ya ini sebagai tanda perhatian aja sih. Kalau kamu nggak berkenan kasih tahu nggak apa-apa. Atau setelah aku sehat dan bisa berjalan, kita bisa berkunjung ke keluarga kamu. Sekalian aku mau minta maaf sama mereka karena bawa kamu ke kehidupan aku yang berat ini. Sori ya, Mud ...."
Bukannya risih, mendengar cerewetnya Tirga malah membuat dadaku meringis. Hatiku sesak rasanya. Aku ingin menceritakan semuanya, tapi aku tidak mau melihat Tirga kenapa-napa. Aku ingat betul ketika Jorda bilang bahwa Alysam meninggal, Tirga masuk rumah sakit. Masalah Prita dan Prima juga belum sepenuhnya sembuh. Tirga sampai detik ini belum tahu apa hubungannya antara kisahnya dengan keluargaku.
Semua perkataan Jorda mendadak melintas di pikiranku membentuk sebuah kesimpulan yang baru kusadari. Aku sudah tahu kisah dibalik kecelakaan itu. Ada drama apa sehingga kecelakaan naas itu bisa terjadi. Jorda juga pernah bilang bahwa aku di luar perkiraannya. Aku lah korban yang tak sengaja terlibat di antara mereka semua. Ya Tuhan, kenapa aku baru sadar sekarang? Dan karena kecelakaan itu juga, aku kehilangan semua keluargaku. Termasuk wajah ini.
"Mud, kamu masih ada di sana kan?" tanya Tirga lagi.
Tanpa kusadari, air mataku menetes begitu saja. Kenapa ini terasa menyakitkan? Kali ini tak mampu kubendung lagi. Kutolehkan kepalaku menatap Tirga yang masih berada di tempat yang sama. Meskipun wajahnya tertutup masker, aku bisa melihat dirinya yang mulai cemas karena aku tak menjawab beberapa kali panggilannya. Ia bertanya atas dasar sekedar ingin tahu.
"Mud ...," panggil Tirga lagi pelan.
Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan. Kututup juga rapat-rapat mulut ini agar suara tangisku tak terdengar. Aku harus menahan ini. Tirga tidak boleh tahu. Aku tidak mau Tirga kenapa-kenapa. Aku pun mengatur napasku. Kutarik perlahan kemudian mengeluarkannya. Kuhapus air mataku kemudian.
"Mud, kamu nggak kenapa-napa kan? Kamu di mana? Kamu nggak mungkin pergi dari sini kan?Untuk keluar dari tempat ini hanya bisa melalui aku, Mud. Maaf banget kalau pertanyaan aku buat kamu sedih ...."
Aku pun beranjak dan berjalan menghampiri Tirga. Tangannya mulai meraba-raba mencari keberadaanku. Ia juga mulai menggerakkan kursi rodanya namun, kuhentikan karena segera kuraih tangannya. Aku berlutut di depannya menyamakan posisi kami.
"Kamu nggak dengar pesan aku, Tir? Jangan bergerak dan pergi ke mana-mana," ucapku pelan.
Tirga menghela napas lega. "Ya ampun, Mud. Aku takut sumpah kalau kamu pergi. Aku udah mikir yang macam-macam."
Aku tersenyum memandangnya. "Aku di sini kok ...." Kenapa dadaku sesak melihat Tirga sedekat ini?
Tiba-tiba tangan Tirga menyentuh pipiku. Aku jelas kaget dan tak terduga, dia malah mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi. Astaga, lagi-lagi aku tak menyadari bahwa aku menangis.
"Ya Allah, kamu jadi beneran nangis?"
Kutepis pelan tangannya. "Nggak kok. Aku cuma kelilipan debu. Ruangan ini banyak banget debunya, Tir," bohongku.
"Kamu bohong. Aku bisa dengar jelas kalau kamu nangis dari suara kamu, Mud. Aku salah banget kayaknya nanya soal keluarga kamu? Yaudah. Abaikan aja, Mud." Nada Tirga mencerminkan perasaan bersalah.
Aku menggeleng. Tapi sepertinya Tirga tak percaya. Ia malah menggenggam tanganku erat dan tangan satunya menurunkan masker yang menutupi setengah wajahnya. Sebuah senyuman langsung merekah di sudut bibirnya.
"Maaf. Kalau kamu emang nggak bisa cerita nggak apa-apa kok. Mungkin memang belum saatnya aku untuk tahu." Tirga tiba-tiba merundukkan kepalanya. "Meskipun agak miris, karena sekali lagi aku merasa ketinggalan jauh dari Jorda. Dia pasti udah tahu banyak soal kamu ...."
Kusentuh dagu Tirga lalu kuangkat wajahnya sehingga jarak wajah kami sangat dekat. "Mereka pergi di hari perayaan kelulusan wisuda aku."
Aku tak perlu bilang kapan tepatnya mereka pergi dan semoga Tirga tidak bertanya lebih lanjut lagi. Dan sebaiknya hanya hal itu yang kuceritakan. Tak perlu lebih detail seperti penyebabnya apa. Aku sungguh tak mau terjadi sesuatu yang buruk dengan Tirga. Tujuanku dengannya ke sini adalah agar membuat Tirga bisa berjalan yang artinya kondisi tubuhnya harus fit. Apalagi sekarang tak ada Jorda yang biasanya langsung tahu apa yang harus dia lakukan jika Tirga kenapa-kenapa. Aku bukanlah dokter.
Raut Tirga berubah seketika. Ia terlihat syok. "Ya Tuhan, bukankah harusnya hari itu adalah hari bahagia?"
Harapanku meleset. Tirga malah melanjutkan pertanyaannya. "Iya, tapi karena ada kecelakaan itu. Hari bahagia itu menjadi hari tersuram. Aku harus kehilangan semua keluargaku." Tirga tampak sedih. "Tapi tenang. Karena meskipun nggak ada mereka, aku masih bahagia. Aku punya teman di Cokro Grup yang masih akrab banget sama aku. Mereka baik banget. Ada Atan juga. Mereka semua udah aku anggap kayak saudara aku sendiri," sambungku.
Mata kami terus bertatapan. Bola mata Tirga lurus mengarah padaku. Aku tahu dia tak bisa melihat, tapi kenapa rasanya tatapannya sangat dalam dan lekat? Ia bahkan tak berkedip. Dan jujur, membuat jantungku secara perlahan mulai berdetak kencang. Kuteguk ludahku gugup.
"Atan yang waktu itu aku marahi ya?" tanyanya lagi.
"I--iya," jawabku yang langsung mundur dan menjauhkan diriku darinya. Kulepaskan juga tanganku darinya lembut. Untungnya, Tirga tak masalah. Aneh sekali dengan diriku. Kenapa aku jadi mendadak gugup begini?
"Ehm ... kok aku jadi merasa jahat ya? Kata-kata aku kasar banget waktu itu sampai ngatain dia polisi detektif kere. Aku juga nangguhin posisinya sebagai polisi sementara supaya kamu balik jadi sekretaris aku. Maaf. Ide aku emang jahat banget waktu itu. Sampaikan maaf aku ya sama dia. Bilang aku nyesal banget."
Aku terkekeh mendengarnya. "Emang jahat kamu, Tir. Atan itu sahabat aku banget tahu." Ya sahabat yang membantu aku untuk mengungkapkan keganjilan dari kecelakaan itu dan kenapa wajahku bisa begini.
Dan tiba-tiba ponselku berdering. Ada telpon dari Kiran. Segera kuangkat. Kiran memintaku untuk ke ruang makan bersama Tirga karena makanan sudah siap. Aku mengiyakannya. Telpon pun terputus. Kutatap lagi Tirga. Ia memandangku polos.
"Dari Kiran. Dia bilang makanan udah siap. Kamu makan dulu aja. Nih aku mau panggil Dodo untuk jemput kamu," terangku sembari mencari kontak Jema di ponselku.
"Kamu nggak makan?"
"Aku perlu bersihin ruangan ini, Tir. Masih banyak yang belum aku pegang. Kamu mending makan dulu. Nanti kalau aku udah selesai bersihin, aku akan telpon Dodo atau Jem. Sementara kamu sama Dodo ya," ujarku.
"Terus kamu kapan makannya?" tanyanya lagi.
Kini aku sedang mengetik agar Dodo ke lantai di mana ruangan ini berada. "Aku bisa makan kapan aja. Tenang aja. Yang penting kamu makan dulu. Nggak ada dokter di mansion ini. Kalau kamu kenapa-napa gimana? Kamu mau aku panggil Jorda ke sini?"
Tirga terdiam tak bisa menampik kata-kataku. Ia hanya memanyunkan bibirnya. Ya dia pasti tak akan melawan jika aku mengancamnya memakai nama Jorda.
Ponselku bergetar. Ada balasan dari Dodo. Ia mengiyakannya. Aku pun bangkit berdiri dan berjalan ke belakang Tirga menyentuh pegangan kursi rodanya. "Sekarang, kita keluar. Dodo lagi jalan mau ke sini." Aku pun mulai mendorong pelan kursi roda Tirga.
Tirga menggoyangkan tubuhnya tanda berontak. "Aku mau disuapin kamu, Mud."
"Saat ini Dodo dulu."
"Aku kan maunya kamu!"
Kuhembuskan napasku kasar. "Kamu mau aku panggilin Jorda?"
"Kamu ngancam aku?"
Aku terkekeh. "Aku realistis aja. Kalau kamu sakit, aku nggak akan bisa nyembuhin kamu. Aku nggak tahu gimana caranya buat kamu sembuh. Yang tahu kan Jorda," ucapku sinis dibuat-buat.
Tirga meninju pahanya pelan. Ia pun diam dan hanya mendengkus kesal pasrah. Kini kami sudah di depan pintu. Aku ingat posisi di mana Tirga harus menempelkan tangannya. Kuberi perintah padanya. Tirga menurutiku. Pintu pun terbuka. Ternyata Dodo sudah menunggu di sana. Dodo tersenyum melihat kehadiran kami. Aku pun menyerahkan Tirga ke Dodo. Kini Tirga sudah bersama Dodo.
"Do, jaga Tirga ya. Suapin dia makan. Pastikan makanannya habis. Gue bersihin ruangan ini dulu. Nanti gue hubungi lo atau Jema."
"Siap, Mud," jawab Dodo antusias.
Aku pun berbalik badan dan masuk ke ruangan ini lagi. "Tir, tutup pintunya," suruhku. Hanya Tirga yang bisa menutup dan membuka pintu di ruangan ini. Mereka berdua menghadapku.
Tirga tanpa perlawanan melakukan apa yang kuminta. Ia menempelkan jemarinya pada dinding area pintu. Pintu secara otomatis tertutup. Kupandangi mereka berdua sampai pintu benar-benar tertutup. Saat sudah tertutup total, langsung kutumpahkan kesesakan yang membuncah dadaku. Kematian keluargaku terngiang lagi di pikiranku.
Aku adalah korban tak disengaja itu. Ya memang, adegan kecelakaan itu karena ada truk dan bukan salah mereka semua. Tapi tetap saja menyesakkan dada. Jawaban atas pertanyaan kenapa aku bisa terhubung dan kenapa wajah ini bisa ada tetap nihil. Sampai kapan sebenarnya ini menjadi tanda tanya?
***
Ruangan semua sudah bersih dan rapi. Kulap wajahku dengan tisu karena pelu yang terus mengalir. Lelah juga ternyata. Kupandangi area di ruangan ini. Gila juga aku bisa membersihkan ruangan ini seorang diri tanpa bantuan siapa pun. Tirga parah. Seandainya dia membolehkan Kiran, Jema, atau pun Dodo untuk membantuku, tentunya aku tak perlu sampai selelah ini. Mana belum makan. Tapi aku senang juga karena lega akhirnya Tirga nanti bisa tidur pulas dan nyaman di ruangan ini.
Saatnya kuhubungi Dodo. Tak menunggu lama karena Dodo langsung menjawabnya secepat kilat. Belum sempat aku bicara, Dodo langsung menyerocos cepat. "Ya ampun, Mudyaaaa. Akhirnya lo nelpon juga. Gila, Mas Tir nanyain lo mulu dari tadi. Gue berkali-kali minta dia sabar."
Aku tersenyum mendengarnya. "Iya. Baru kelar nih. Ruangannya luas banget dan kotor. Jadi agak lama deh," jawabku sembari melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah enam sore. Ya ampun ternyata lama juga ya. Hampir empat jam aku di sini sendirian.
"Berarti gue bisa minta antarin Mas Tir ke ruangannya? Dia dari tadi nyuruh gue nganterin, tapi gue kan ingat pesan lo untuk ke sana kalau lo udah nelpon dan ngabarin."
"Iya. Suruh aja dia ke sini. Oiya, sama bawa makanan ya, Do, kalau ke sini. Perut gue lapar banget. Belum makan kan dari tadi."
"Nah itu dia yang dicemasin Mas Tir. Dia bilang lo belum makan."
Aku tertawa kecil mendengarnya. "Iya. Lo bawa Mas Tir ke depan ruangan ya."
Dodo mengiyakannya. Telpon terputus. Kini aku duduk di salah satu kursi yang berada di tengah ruangan tempat tergantungnya lukisan-lukisan wajah Prita dan Alysam tadi. Hmmm kosong sekali rasanya. Kuhela napasku panjang. Kali ini aku sudah tak begitu sedih lagi. Masalah keluargaku nanti akan kucoba cari tahu sendiri setelah keluar dari Rabatik. Apalagi ada bantuan dari Trio Cokro yang senantiasa membantuku. Ditambah dengan adanya Atan. Aku yakin bisa memecahkan semua masalah ini.
Tak berapa lama ponselku kembali bergetar. Ada nama Dodo tertera di layar. Dodo memberitahuku bahwa ia sudah di depan bersama Tirga. Aku pun turun dari kursi dan berjalan menuju pintu yang perlahan mulai terbuka. Dodo dan Tirga kini tepat berada di depanku. Dodo tersenyum melihatku. Aku membalas senyumannya. Ia segera menyerahkan meja saji dorong berisi beberapa makanan kep
"Tuh Mas, Mudya udah di depan."
Tirga menyengir. "Hehe iya. Makasih ya, Do."
"Kalau gitu, aku tinggal ya, Mas." Tirga mengangguk. Dodo melihatku. "Mud, Mas Tir belum mandi. Tadi mau gue mandiin. Tapi dia maunya elo."
Aku terhenyak mendengarnya. "Kok gue?"
"Karena saya maunya kamu. Tadi Dodo yang menyuap saya. Masa Dodo juga yang mandiin saya," keluh Tirga tak suka.
Aku merengut. "Tapi aku kan cewek. Kamu cowok. Dodo juga cowok."
Tirga mendengkus. "Kamu nggak tahu bahwa jaman sekarang lebih bahaya cowok sama cowok dibanding cewek sama cowok?"
Seketika aku terkikik mendengarnya. Dodo cemberut mendengarnya. "Mas Tir ih! Dodo tuh udah mulai berubah, Mas. Dodo mau jadi cowok normal aja. Dodo juga nggak mau mandiin Mas Tir. Takut kegoda."
Mataku terbelalak. Sama halnya dengan Tirga. "Tuh dengar, Mud. Bahaya kan si Dodo ini."
Mau tak mau aku tertawa mendengarnya. "Do ...."
Dodo juga ikut tertawa. "Nggak kok, Mas. Semenjak patah hati sama Mas Shagam. Dodo mau berubah. Dosa juga kalau suka sama cowok. Dodo mau normal. Berubah. Soalnya Dodo udah mulai dengarin ceramah-ceramah. Serem, Mas, azab buat penyuka sesama jenis.
Sontak tawa kami berdua semakin keras. "Do, lo keren banget. Gitu dong haha," kata Tirga.
Dodo hanya menyengir. "Yaudah deh kalau gitu. Dodo tinggal dulu. Dodo mesti bantu si Kiran juga di belakang. Oiya, ini barang-barang medis Mas Tir masih di luar. Perlu Dodo bantu bawa masuk nggak?"
"Nggak usah, Do. Biar Mudya aja. Lo balik aja bantu si Kiran." Tirga menyebalkan! Benda itu memang tidak berat, tapi lumayan banyak.
Dodo pun tanpa banyak interupsi langsung pergi meninggalkan kami. "Oke deh kalau gitu. Dodo pergi ya. Jangan lupa mandiin Mas Tir ya, Mud," ujar Dodo memperingatiku. Aku hanya diam tak membalas ujarannya. Sebal dengan Tirga.
Aku pun mendekati Tirga dan mendorong kursi rodanya masuk ke ruangan. Kupandangi benda-benda ini. Aku tak ingin menghina fisiknya, tapi Tirga seenaknya. Coba saja dia bisa melihat barang-barang ini. Aku yakin dia pasti tidak akan tega menolak tawaran Dodo. Huft! Menyebalkan!
Sudahlah. Langsung saja aku bawa benda-benda ini ke dalam. Mulai dari kruk, tongkat, walker, dan tripod. Serta ada beberapa alat pasang kaki agar kaki Tirga kuat menahan tubuhnya. Sekarang semua benda ini sudah di dalam dan kuletakkan di dekat tempat tidur Tirga. Aku pun masuk. Kemudian Tirga menutup pintu. Kembali hanya kami berdua di ruangan ini.
"Kamu makan dulu aja," suruhnya begitu aku mendorong kursi rodanya.
"Iya. Nih mau makan." Aku mendorongnya ke dapur. Di sana ada meja dan kursi yang digunakan untuk makan. Setelah membawa Tirga, aku kembali ke dekat pintu mendorong meja saji ke dapur.
Hmmm wangi sekali makanan dari Kira. Kelihatannya juga enak. Aku pun mengambil piring dan segelas minuman berisi air kemudian meletakkannya di atas meja. Lalu duduk. Tirga duduk di seberangku.
"Kamu udah makan?"
"Nih lagi mau makan," jawabku sembari menyuapkan sendok pertama ke dalam mulutku. Aku mulai mengunyah dengan lahap makanan ini. Kiran memang juara. Masakannya enak sekali.
"Enak ya masakan Kiran?"
"Iya. Enak banget."
"Aku jadi ingat roti gosong kamu waktu audisi itu haha."
Hampir saja aku tersedak mendengar ucapan Tirga. Kenapa dia masih saja mengingat kejadian memalukan itu? Aku pun segera minum dan meneguknya sampai tandas.
"Nggak usah diingat," ujarku ketus dan melanjutkan acara makanku lagi.
"Aku jahat banget ya sampai lempar makanan kamu. Tapi itu beneran parah banget, Mud. Kamu nggak pernah masak ya?"
Aku cemberut. "Aku emang nggak bisa masak. Dari dulu aku selalu beli," jawabku jujur.
"Kalau nggak ada Kiran nanti gimana? Katanya nggak bisa masak. Terus aku makan apa dong?"
Aku mencoba berpikir. "Nanti aku belajar masak. Kalau nggak enak ya tanggung sendiri akibatnya. Yang penting kan aku udah coba. Dan jangan sampai ada adegan lempar piring lagi. Sakit tahu digituin!" ucapku dengan makanan penuh di mulutku.
Tirga menyengir. "Diusahakan ya."
Mataku melotot. "Kamu harus latihan menghargai orang deh. Yang penting kan aku usaha."
"Haha ya sebenarnya sih aku nggak masalah siapa yang masak. Memaksa seseorang untu melakukan hal yang dia nggak bisa itu juga nggak baik. Daripada aku harus sakit perut gara-gara masakan kamu kan? Yang penting kamu selalu sama aku nantinya. Itu aja udah cukup."
Lagi-lagi aku hampir tersedak dibuatnya. "Nanti gimana? Kan aku sama kamu cuma dalam sebulan aja, Tir."
Kali ini Tirga menatapku tajam. Lagi-lagi bola matanya mengarah padaku seolah bisa menembus mataku. Dia bisa sekali sih membuatku gugup. Padahal aku tahu matanya itu tidak berfungsi, tapi kenapa aku merasa dia bisa melihatku? Kurundukkan kepalaku malu. Tirga ini kadang-kadang membuatku tak mengerti dengan lontaran yang meluncur dari mulutnya.
"Aku juga nggak tahu. Feeling aku kamu nggak cuma sebulan sama aku."
Oke. Kali ini serius. Jantungku rasanya mau copot mendengarnya.
"Ngaco kamu," ucapku ketus padanya masih dengan makanan di mulutku.
Tirga malah menyengir. "Yaudah. Kamu cepat makannya. Aku mau mandi. Aku gerah."
Untuk kesekian kalinya aku dibuat terkejut dan lagi-lagi hampir tersedak. Jadi dia serius memintaku untuk memandikannya? Tirga gila!
***
Tanggapan ya untuk chapter ini :))
Aku minta maaf banget ya untuk cerita ini selalu lama update. Bukannya mengenyampingkan tapi butuh waktu dan fokus yang tinggi utk cerita ini. Aku sebenarnya udah ada kerangkanya sampai tamat. Tapi begitu dituangin ke naskah tetap aja nggak bisa cepat dan harus fokus. Maaf yaaaa.
Sambil menunggu bisa baca : Cita-cita : menikah!!
Itu cerita somplak dan easy going. Nggak ribet dan nggak penuh konflik kayak cerita ini.
Ah iya. Follow instagram aku ya utk info2 update.
Instagram : gegeong
Sama baca C4. Ka(ncut)radingta anak IT di cabaca.id yaaaa atau kalau mau ikut PO, cukup DM aku di instagram yaaaa
Terima kasih,
penulisanon
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top