37
Hehehe maaf banget ya updatenya lama. Maklumin ya ceritanya berat banget.
Boleh dong vote dan komen yang banyak. Terima kasih yaaaaaa
Happy reading!
-------------------------------------------------------
"Halo, Kak Citra ...," sapaku begitu telponku diterima dari seberang sana.
Jantungku tak berhenti berdetak kencang sejak awal aku menyentuh tombol call pada ponselku. Kupikir awalnya telpon ini akan lama diangkat, tapi ternyata tidak. Setelah satu kali bunyi tut, langsung ada jawaban salam dari seberang.
"Huaaa Mudyaaaa akhirnya lo nelpon gue juga. Ya ampuuun. Berapa kali telpon gue dan anak-anak nggak lo angkat. WA kita di grup juga nggak ada satu pun yang lo balas. Gue nggak nyangka banget akhirnya lo nelpon gue," ujar Kak Citra histeris. Terdengar sekali betapa ia sangat senang begitu mendapatkan telpon dariku.
Kuhela napasku panjang. Ya tak kupungkiri bahwa aku cukup merindukan suara Kak Citra. Sudah berapa lama ya aku tak mendengarkan suaranya? Mungkin sudah hampir dua bulan. Aku juga tidak meladeni segala panggilan termasuk WA dari mereka karena masih sebal dengan sikap mereka yang ternyata sengaja menjerumuskanku ke tempat ini, tapi kalau dipikir lagi sikap mereka sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Mereka bilang kalau mereka berbuat seperti itu karena mereka ingin membantuku.
"Mud ...," panggil lirih Kak Citra menyentak lamunanku.
"Iya, Kak," jawabku pelan.
"Maafin gue, Melani, sama Nyayu plis. Sumpah, kita sama sekali nggak bermasuk rugiin lo dengan masukin lo ke Rabatik. Niat kita sebenarnya baik. Ini semua demi memecahkan teka-teki Rabatik dengan kisah lo. Kita tuh peduli, Mud ...." Penjelasan Kak Citra terdengar sangat bersungguh-sungguh.
Ya saat ini aku sudah berada di kamarku di rumah Tirga. Baru saja aku menyusun bajuku ke dalam koper untuk dibawa ke mansion. Tadi kami langsung pulang begitu Pak Rewa datang ke Rabatik yang bersiap menggantikan Tirga. Ia juga sudah mendengarkan penjelasan kami. Untungnya Pak Rewa mengerti. Aku pun segera mengabarkan Dodo bahwa kami ingin kembali ke Mansion. Dodo tanpa banyak bertanya segera kembali ke rumah Tirga. Saat ini ia sedang membantu Tirga membereskan beberapa bajunya. Dodo nanti juga akan ikut ke mansion termasuk Kinan yang akan menjadi tukang masak khusus Tirga. Jadi total akan ada empat orang yang ke sana.
Dan tiba-tiba saja aku teringat akan Trio Cokro itu. Seseorang yang paling kuingat adalah Kak Citra. Maka dari itu aku menghubunginya seperti saat ini. Mataku bahkan berkaca-kaca saking rindu dengan dirinya. Dadaku mendadak sesak.
"Iya, Kak ...." Aku tak sanggup mengeluarkan kata-kata lebih dari itu. Mengingat aku terjebak di sini karena mereka tentu saja membuat emosiku menyeruak.
Dapat kudengar juga dari seberang sana samar-samar terdengar isakan. "Mud, lo mau dengar penjelasan gue? Biar lo nggak salah paham sama kita bertiga ...."
Kali ini aku sudah tak bisa menahan sesak di dadaku. Pada akhirnya air mataku turun. Tentu saja hal ini membuatku teringat atas kematian orangtuaku. Ya ampun, sudah lama sekali rasanya aku tak menjenguk Ayah, Ibu, Nerta, dan Arta. Maafkan, Mudya ....
"Mud, jangan nangis ...." Sekarang sudah bukan samar-samar lagi, Kak Citra juga ikut menangis dari seberang sana.
kurebahkan diriku di atas kasur dengan posisi ponsel yang tetap menempel di telingaku. "Ceritain semua yang lo tahu, Kak ...," pintaku terisak-isak.
"Iya, Mud. Iyaaa ...." Aku bisa mendengar tarikan napas Kak Citra dan hembusan napasnya yang kasar. "Mud, ini semua berawal dari ketika lo ceritain penyebab wajah lo rusak kayak sekarang dan kejadian itu berlangsung di puncak. Lo juga bilang kecelakaan di puncak itu yang merenggut semua kebahagiaan lo karena keluarga lo meninggal. Lo ceritain hal itu detail termasuk hari kejadian, jam kecelakaan, dan penyebabnya adalah karena mobil keluarga lo tabrakan sama truk. Lo tahu nggak, tiap lo nangis pas ngaca, itu juga buat gue dan anak-anak yang lain sedih. Sampai akhirnya suatu hari Teddy--cowoknya Melani cerita soal presdir mereka yang udah dua tahun itu nggak masuk kantor karena kecelakaan dua tahun silam. Dia cerita juga bahwa Tirga kecelakaan di puncak dan hari yang sama. Teddy emang nggak tahu jamnya. Dan hal itu yang buat kita penasaran sampai akhirnya pas Melani dengar Rabatik lagi ada audisi sekretaris, dia bersikeras ngotot, Mud. Semua hal yang dia dengar dari Teddy mirip banget sama kisah kecelakaan lo," jelas Kak Citra panjang lebar dengan tangisan di sela ceritanya.
Hatiku kembali pilu mendengarnya. Tebakan mereka tidak sepenuhnya salah karena memang semua ini ada hubungannya denganku. Ya aku tak tahu harus berterima kasih atau bagaimana namun, mendengar hal ini tak menampik rasa sesak itu muncul. Pengandaian untuk tidak berada di sini dari awal kembali membelenggu pikiranku. Aku lelah. Jujur ... sangat lelah ....
"Lo tahu sendiri karakter Melani gimana, Mud. Gue sama Nyayu juga pada awalnya berat untuk nyuruh lo ke Rabatik. Secara gue tahu kisah lo yang pernah diusir Tirga pas jaman kuliah. Tapi saat itu kondisi lo juga lagi nganggur. Toh pikiran kita di awal, kalau misalnya kisah lo nggak ada hubungannya sama Rabatik, setidaknya lo bisa dapat duit dari hasil audisi dan itu bisa lo gunain buat kehidupan lo. Apalagi sori, muka lo itu adalah muka yang operasinya nggak dilanjut, Mud. Lo bisa minta ganti rugi kalau benar penyebab kecelakaan itu adalah orang Rabatik. Sumpah, kita nggak pernah mikir kalau ternyata nasib lo bakal separah itu di Rabatik. Maafin kita, Mud ...," pinta Kak Citra penuh penyesalan dengan tangisan yang terus menderu-deru.
Jelas saja mendengar suara tangis Kak Citra yang seperti itu bukannya meredakan tangisku, tapi malah semakin membuatku sedih. Aku memang tak bisa menyalahkan mereka bertiga. Kalau tidak ada mereka mungkin aku tidak akan pernah tahu ada rahasia apa di balik kecelakaan itu dan kerusakan wajah ini. Ini adalah bentuk rasa peduli mereka terhadapku.
"Kak ...." Aku berusaha memanggilnya.
"Iya, Mud. Iyaaa. Maafin kita bertiga, Mud. Demi Allah, gue dan anak-anak nggak pernah punya maksud buruk. Kita murni begini karena kita sayang kebangetan sama lo. Nggak ada niat apa pun untuk celakai lo. Ya kita bertiga emang salah karena dengar cerita lo yang udah dikerjain sama Tayana dan kita tetap maksa lo. Tapi kita nggak tahu aja kalau lo bakal semenderita itu. Mud, plis maafin kita. Gue sekarang di kosan sendirian. Nyayu dan Melani selalu bilang sama gue agar nggak lupa bilang bahwa mereka berdua juga nyesal banget. Kita bertiga siap, Mud, bantu lo kabur dari sana. Kita bakal kerahin tenaga kita dan ...."
"Nggak perlu, Kak ...." Kupotong kalimat Kak Citra.
"Kenapa?" tanya Kak Citra histeris.
"Gue udah nggak bisa lari dari sini. Semuanya udah terlalu jauh, Kak," jawabku lagi di tengah isakan tangisku.
"Lo kenapa di sana? Jadi benar bahwa ini semua ada hubungannya sama lo kan? Ya Allah, Mud, apa lo diperlakukan tambah buruk di sana? Maaf, Mud. Maaf ...." Kak Citra menangis tersedu-sedu.
Apa aku harus menjelaskannya ke Kak Citra sekarang? Siapa tahu dari ceritaku nanti dia bisa membantu. Apa semua ini tetap ku-keep sendiri? Lebih baik kuceritakan saja. Yang tahu kunci jawaban dari kisah ini adalah Jorda. Mengharapkan Jorda sama saja dengan mencari jarum di dalam tumpukan jerami alias mustahil.
"Kak, gue boleh minta bantuan lo?" Kuusap air mataku kemudian.
"Apa, Mud? Apa? Gue sama anak-anak pasti bantu."
Kutarik napasku sejenak dan mengeluarkannya perlahan. Aku pun mulai menceritakan kisah detailku di sini terutama soal kecelakaan yang menimpa keluargaku. Cerita dari sisi Atan dan Dodo. Tapi aku tidak menceritakan soal cinta segitiga antara Tirga, Jorda, dan Alysam. Murni ini semua tentang kisahku. Tentu saja sesekali isakan menyertai obrolanku dengan Kak Citra.
"Ya ampun, Mudya ...," ujar Kak Citra tak menyangka setelah aku menceritakan semua yang kutahu padanya. "Air mata gue nggak bisa berhenti ngalir dengarnya. Mud, kok lo sedih banget? Jadi sebenarnya waktu itu di saat yang sama lo dan Alysam kecelakaan nabrak truk yang mau nyebrang itu? Di tempat lain masih di puncak, Tirga juga ngalamin hal yang sama?"
Kuanggukkan kepalaku. "Iya, Kak."
"Terus apa yang gue bisa bantu, Mud?" tanya Kak Citra antusias.
Aku pun menghapus air mataku. Kali ini tak ada air mata karena pembicaraan kami sudah mulai serius. Semoga saja dengan adanya Kak Citra cukup bisa menguak masalah yang sebenarnya terjadi pada wajahku. "Semua rahasia di sini dipegang Jorda, Kak. Gue dan Tirga itu sama-sama banyak nggak tahunya. Bahkan di saat gue minta bantuan Atan--teman polisi gue dan Dodo--teman akrab gue di sini, mereka pun sulit mencari tahu ada hubungan apa antara wajah gue dengan Rabatik. Meskipun gue tahu kalau gue adalah salah satu korban di kecelakaan naas itu. Nah kalau misalnya gue boleh minta bantuan lo. Lo ada kenalan Brasta nggak sih, Kak? Tepatnya rumah sakit Brasta. Yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di dua tahun silam pada kecelakaan itu?"
"Kenalan Brasta? Ada nggak ya? Gue nggak tahu, Mud. Nanti gue coba deh cari tahu ya."
"Ehm sama soal Jorda, Kak. Dia itu kan dokter bedah jantung. Atan pernah bilang sama gue kalau Jorda terlibat sama kecelakaan keluarga gue waktu itu. Dia salah satu dokter yang nanganin keluarga gue waktu itu. Nah Jorda kan dokter bedah jantung. Gue penasaran aja apa hubungan antara dokter bedah jantung sama kecelakaan dua tahun silam dan semua yang terlibat intinya, Kak. Gue minta bantuan Atan belum ada kabar sampai sekarang. Atan baru kasih tahu sampai kasus kecelakaan itu aja."
Aku sebenarnya tak enak meminta bantuan ini kepada Kak Citra. Apalagi aku telah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya karena salah paham. Dan tiba-tiba menghubunginya lagi sambil memohon bantuannya. Itu jahat tidak sih?
"Nanti gue coba cari tahu ya, Mud. Lo tenang aja. Melani sama Nyayu juga pasti dengan senang hati bantu lo. Kita kan sayang Mudya ...."
Hatiku terenyuh mendengarnya. Air mataku sampai menetes saking terharunya. Aku sangat bersyukur di hidupku yang lumayan naas ini, aku masih mempunyai beberapa orang yang baik hati padaku. Ada Atan, Kak Citra, Kak Melani, Kak Nyayu, dan Dodo. Ya mereka lah orang-orang yang senantiasa tulus menolongku.
"Kak, maafin gue ya. Sumpah, gue jadi nggak enak sama lo. Gue udah jahat pasti ya sama lo bertiga. Maaf ...," pintaku pada Kak Citra sangat menyesal.
"Mud, udah. Kita juga salah kok nggak bilang maksud kita dari awal. Kalau dari awal kita tahu nasib lo di sana sampai begini juga nggak bakal kita nyuruh lo ke sana. Udah ya. Jangan nangis. Gue insya Allah bantu. Lo tenang ya."
"Iya, Kak. Makasih banyak ya. Salam sama Kak Melani dan Kak Nyayu dan ...."
"Mudya!" Panggilan dari luar menghentikan kalimatku. Itu adalah Tirga. Aku harus menghentikan obrolan ini segera.
"Kak, gue udah dipanggil. Nanti gue telpon lagi ya kalau sempat. Gue juga bakal nyapa grup. Gue matiin ya."
"Iya, Mud. Lo baik-baik ya. Kalau sedih cerita aja sama kita bertiga."
"Siap, Kak." Dan aku pun memutuskan telpon ini. "Iya, Tir," jawabku kencang dari dalam kamar. Aku harus segera keluar. Kupandangi sejenak kamar ini. Oke. Untuk sementara akan kutinggalkan. Aku tidak tahu apa akan kembali ke sini atau tidak.
Terima kasih, kamar. Ucapku dalam hati. Aku pun segera mengambil koperku yang berisi pakaian dan segala kebutuhanku. Kutarik napasku dan kuhembuskan perlahan. Pengalaman baru kembali di mulai.
***
Akhirnya setelah beberapa jam perjalanan menuju mansion, aku, Tirga, Kiran, Dodo, dan Jema pun sampai juga. Ya Jema seoranglah pengawal yang membawa kami ke sini dan dia juga yang menyetir. Untungnya mobil yang dibawa Jema kali ini cukup besar dan muat untuk lima orang. Begitu kami tiba di depan mansion, Tirga mengeluarkan sebuah remote dari dalam kantongnya dan pintu terbuka secara otomatis.
Jantungku berdegup kencang menantikan apa yang akan terjadi di kehidupanku selama sebulan ke depan di mansion ini. Rentetan kenangan yang pernah terjadi selama di mansion jelas saja kembali berputar di ingatanku. Mansion ini menjadi awal mula rahasia hidupku secara perlahan terkuak. Di mansion ini aku bisa kenal dan dekat dengan Tirga mau pun Jorda. Tapi sayangnya kali ini tidak ada Jorda. Apa kabar dia ya sekarang? Dia sama sekali tak menghubungiku.
"Mud ...." Panggilan Tirga membuat lamunanku buyar.
"Iya ...."
Tiba-tiba Tirga menyodorkan remote yang ia pegang padaku. Jelas aku bingung dan langsung memandang ke Kiran, Dodo, dan Jema yang juga tampak heran sepertiku. Kami semua tak mengerti. Aku masih bergeming tanpa menerima remote itu. Aku tahu remote itu adalah pengendali semua gerak-gerik di mansion ini. Mulai dari penyadap suara, cctv, dan semuanya. Tentu kalian ingat dengan ruangan khusus di dalam ruangan rahasia Tirga pada waktu mereka berdua memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi di mansion ini. Menerima remote itu sama saja artinya memberiku kuasa untuk mengetahui segalanya dan tentu tanggungjawabnya sangat besar.
"Kamu yang pegang remote ini," tambah Tirga lagi.
Kuteguk salivaku gugup. Aku tidak sanggup menerima tanggungjawab lagi. Sudah cukup menyimpan rahasia Tirga, menjaga kesehatan, mengawasi Tirga hampir setiap detik dan melakukan akting di mana pun kami berada. Lalu sekarang ditambah hal ini lagi? Bebanku terlalu berat sebagai seorang sekretaris.
Aku harus menolaknya. "Nggak, Tir. Aku nggak bisa," ucapku pelan.
Kurasa Tirga sudah menebaknya. Ia langsung mengembuskan napasnya kasar. Tangannya yang memegang remote ia turunkan. "Aku udah nebak pasti kamu nggak mau."
Aku melirik ke tiga orang yang berada di belakang Tirga memohon bantuan mereka. Tapi tampaknya mereka juga bingung. "Kenapa mesti aku? Di sini kan ada Jema dan Dodo. Mereka lebih pas untuk menjadi pemegang remote kendali mansion itu," jelasku.
Tirga tersenyum. "Ya mereka memang bisa. Tapi pemegang remote ini bukan hanya untuk mengawasi mansion, tapi juga mengawasi segala sesuatu yang bisa membahayakan aku. Kamu adalah orang yang akan terus bersama aku di sini. Kamu penentu keselamatan aku di sini, jadi memang harus kamu yang bertanggungjawab paling depan ketika terjadi sesuatu sama aku. Masing-masing dari mereka sudah kuberi tab agar terkoneksi dengan remote ini. Tapi pengendali utamanya tetap kamu, Mudya, dan bukan mereka."
Kupandang lagi ke arah mereka bertiga. Kali ini mereka terlihat setuju. Dodo, Jema, dan Kiran tersenyum sambil menganggukkan kepala mereka pelan. Haruskah ini terjadi?
"Tapi aku takut, Tir ...."
"Takut kenapa? Coba jelaskan sama aku," katanya sembari menyilangkan tangannya di depan dada.
Kutarik napasku dan mengeluarkannya perlahan. "Terlalu banyak hal yang aku pegang dan semua tanggungjawab itu besar. Oke. Mungkin soal menjaga kamu dan berakting seolah kamu adalah orang yang sehat sudah biasa aku lakukan. Tapi memegang kendali terhadap kamu di mansion ini jujur buat aku takut kalau aku nggak bisa memenuhi hal itu. Aku takut nggak bisa menjaga kamu ...."
Tiba-tiba tangan Tirga terangkat. Ia seperti mencari-cari sesuatu. "Kamu di mana?" tanyanya. Ternyata dia begitu karena mencariku. Aku pun meraih tangannya. Tak kusangka ternyata Tirga langsung menggenggamnya erat dan ia taruh tanganku di dadanya. "Aku percaya kamu dari awal, Mudya. Aku tahu cuma kamu yang sanggup menjaga aku. Kenapa aku berani ke sini tanpa Jorda karena aku tahu bahwa kamu yang bisa aku harapkan selain dia. Aku nggak bisa melihat dan berjalan. Dan setelah sekian lama aku menghabiskan waktu bersama kamu, aku mengerti bahwa hanya kamu yang bisa memenuhi segala yang aku mau. Kamu sekretaris pilihan aku dan pemenangnya."
Aku tertegun mendengar penjelasannya sampai membuatku tak tahu harus menanggapi apa. Tirga terdengar sangat jujur dan tulus kali ini. Wajahnya sangat serius. Kemudian Tirga pun membuka tanganku dan ia taruh remote itu ke tanganku. Aku tak bisa menolaknya kali ini.
"Mulai detik ini, kita berlima akan tinggal di mansion ini dalam sebulan. Untuk kamar silakan kalian pilih masing-masing. Nanti Mudya yang akan membuka pintunya dari remote yang ia pegang sekarang. Tidak ada yang boleh memasuki ruangan rahasia saya kecuali Mudya. Jika kalian membutuhkan saya, cukup melalui Mudya. Tab yang kalian gunakan itu mengarah ke luar mansion. Jadi jika ada tamu yang tidak diharapkan tolong segera lapor ke saya dengan cara tekan tombol emergency pada tab itu. Mudya juga akan saya kasih tab, tapi tab kamu berada di ruangan saya."
Kami semua menyimak perkataan Tirga. Kulirik Tirga. Tangannya kini berganti memegang pergelangan tanganku. Remote ini benar-benar menjadi tanggungjawabku. Ya semoga saja aku bisa menjaga Tirga sesuai harapannya.
"Saya pasti bisa keluar dari mansion ini dalam keadaan kaki yang sudah berfungsi normal. Cuma kalian lah orang yang saya percaya, jadi saya mohon sekali. Jangan ada pengkhianat di antara kita. Ah iya. Saya hampir aja lupa kasih tahu. Kali ini Jorda tidak berada di tim kita. Jadi anggap dia orang di luar kita. Yang boleh berada di mansion hanya kita berlima. Aku, Mudya, Dodo, Jema, dan Kiran. Tidak ada orang lain lagi di luar itu. Dengar?"
"Iya," jawab kami semua serempak sesuai dengan panggilan masing-masing pada Tirga di akhir kalimat.
Tirga menghela napas. "Oke. Kita masuk sekarang. Kiran, kamu langsung masak ya buat kita semua. Saya lapar."
"Iya, Tir," jawab cepat Kiran.
Kami semua pun mulai memasuki mansion ini. Pompa jantungku kembali bekerja ekstra. Ya semoga saja tidak ada kejadian yang tidak diinginkan selama di mansion ini.
***
Kamar kami semua berdekatan. Kami berada dalam satu lorong yang berada selurusan dengan ruangan rahasia milik Tirga. Terpaksa Tirga memberitahu kepada Dodo, Jema, dan Kiran soal ruangan rahasianya meskipun ia tetap melarang mereka semua untuk masuk. Tirga juga memberitahu untuk masuk ke ruangan ini hanya boleh atas kendalinya dan hanya aku yang boleh. Mereka menurutinya tanpa interupsi sama sekali.
Kiran pun mulai bergerak cepat dengan memasak terlebih dahulu. Jema dan Dodo ikut membantu Kiran. Sementara aku saat ini sudah berada di ruangan rahasia Tirga. Aku masih ingat sekali cara membuka pintunya yaitu dengan menggunakan telapak tangan kanan Tirga. Pintu secara otomatis terbuka. Begitu kami di dalam dan pintu sudah tertutup kembali, cukup banyak debu yang menghampiri kami. Aku langsung bergerak sigap membuka koper berisi kebutuhan medis Tirga dan memakaikan masker ke wajah Tirga. Tak ada perlawanan dari Tirga.
"Kamu bawa masker juga, Mud?" tanyanya setelah aku selesai memakaikan dirinya masker.
"Aku bawa semua kebutuhan medis kamu, Tir. Aku udah sadar pasti mansion ini akan berdebu banyak dan itu pasti rentan banget sama kamu," jelasku dengan posisi setengah berdiri di depannya. Jarak wajah kami cukup dekat.
Mata Tirga pun melengkung ke atas. Walaupun wajahnya sudah tertutupi masker, aku bisa tahu bahwa ia sedang tersenyum sekarang. "Aku nggak kebayang kalau sekretaris aku bukan kamu, Mud."
"Ya makanya jangan dibayangin," kataku.
Aku juga ikut tersenyum dan kembali berdiri tegap. "Ya makanya untungnya kamu sekretaris aku."
Aku memilih untuk tidak meladeni ucapannya dan kembali memandang keseluruhan ruangan ini. Langkah yang pertama harus kutempuh adalah membersihkan mansion ini. Lalu setelah itu memasukkan semua barang-barang yang dibutuhkan Tirga untuk berjalan ke dalam ruangan ini. Ya barang untuk Tirga berjalan itu cukup besar. Ia mengetahui hal itu, tapi ia tetap kekeuh melarang Jema memasuki ruangannya. Alhasil nanti aku sendirian yang membawa barang-barang berat itu ke ruangan ini. Menyebalkan memang, tapi bagaimana lagi. Namanya juga Tirga. Kadang ia tak sadar bahwa ia sangat merepotkanku. Tapi mengingat perkataannya yang bilang bahwa aku hanya butuh sebulan dan setelah itu bebas mau ke mana kembali membuat semangatku muncul. Semoga saja aku bisa bebas dari dirinya dan akan kukerahkan tenagaku sekuat mungkin agar ia bisa berjalan lagi.
"Tir, kamu di sini dulu ya. Aku mau bersihin mansion ini. Soalnya banyak debu. Kamu jangan gerak dan pakai masker itu terus di wajah kamu."
"Iya, Pramudya ...," sahutnya lembut.
Aku pun mulai bergerak. Tapi langkahku terhenti karena mataku bersinggah pada lukisan-lukisan berukuran besar yang menunjukkan wajah Alysam dan Prita. Haruskah aku mengelap lukisan itu? Kenapa rasanya berat ya?
"Mud, kamu berhenti melangkah?" tanya Tirga menyadarkanku.
"Ah iya, Tir. Aku bingung soalnya."
"Bingung kenapa?"
Lebih baik aku jujur saja karena aku sedikit tak nyaman melihat lukisan itu. "Lukisan-lukisan di sini buat aku kurang nyaman ...."
Ya aku tahu Tirga pasti kaget mendengarnya, tapi sepertinya dugaanku salah karena .... "Yasudah. Kamu copot saja lukisan wajah kedua wanita itu."
Kali ini aku yang kaget. Mataku terbelalak tak percaya. "Kamu serius?!"
"Prita sudah aku hapus dari hati aku mulai detik ini, Mud."
"Lalu Alysam?"
"Aku belum menghapusnya, tapi aku mau meletakkan dia di sudut lain di hati aku."
"Maksud kamu?" tanyaku tak mengerti.
Tirga mengembuskan napasnya lembut. "Ruangan ini sama kayak hati aku. Kenapa ada wajah mereka berdua di sini? Karena pada saat itu, mereka berdua memang berada di hati aku. Kamu juga bisa lihat lebih banyak lukisan Alysam di sini dibanding Prita. Kenapa? Karena kenyataannya memang begitu. Alysam lebih membuat aku merasa gila dibanding Prita."
Aku kembali memandang ruangan ini. Jika lukisan itu diturunkan maka ruangan ini akan sepi sekali. Bayangkan saja ruangan ini itu hampir semuanya serba putih dan lokasi lukisan itu berada di tengah. Pusat ruangan ini justru berada di area lukisan itu.
"Tapi Tir nanti ruangannya sepi banget kalau lukisan mereka diturunin. Aku baru nyadar aja. Jadi biarin aja deh. Aku akan coba buat nyaman diri aku," jelasku sembari memandang ruangan ini dan membayangkan betapa kosongnya nanti area tersebut.
"Tenang nanti akan aku isi ruangan itu dengan lukisan orang lain."
Otomatis kepalaku berputar ke belakang menghadap Tirga. Mataku mendelik penasaran meihatnya. "Siapa?"
"Kamu ...."
Dan rasanya detik itu juga duniaku berhenti berputar. Diriku membeku. Aku? Bagaimana bisa? Bukankah ruangan ini seperti hatinya? Apa itu artinya kalau Tirga .... Ah tidak mungkin!
***
Tanggapan yaaaaa untuk chapter ini :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top