36

Maafkan ya lama banget updatenya. Karena cerita ini berat dan banyak teka-teki aku harus spare banyak waktu. Udah gitu kadang baca yang kemarin2 lagi biar nyambung hehe maaf yaaaa.

Vote dan komen plis :)

Happy reading!

----------------------------------------------------------------


Prita pun sudah meninggalkan tempat ini. Kelegaan luar biasa bagiku karena tak perlu ada drama lagi. Kini tinggal aku berdua dengan Tirga di ruangannya. Aku pun mengutip serta membersihkan makanan di atas meja tengah ruangan ini. Tirga masih diam tak bergerak dengan posisi membelakangiku. Aku juga tidak mengobrol dengannya karena aku tahu suasana hatinya pasti sangat buruk.

"Mudya ...," panggilannya menyentakku. Aktivitasku membersihkan meja jelas terhenti.

"Iya, Tir ...."

"Menurut kamu, aku harus gimana sekarang? Aku benar-benar bingung. Aku nggak tahu mesti gimana sama Jorda setelah dengar penjelasan Prita tadi."

Hmmm mana kutahu. "Hmmm ...." Aku berusaha memutar otak.

"Memang sebenarnya terlalu banyak hal yang Jorda lakukan buat aku. Aku ingat sekali ketika pertama kali kami bertemu di audisi pemain musik orkestra. Yang mendaftar untuk ikut orkestra itu lumayan banyak dan setiap minggunya selalu ada proses penyaringan. Karena peserta yang semakin mengerucut, mau tak mau aku, Tirga, dan Alysam akhirnya menjadi dekat. Ya saat itu ada Alysam juga. Awal audisi biasanya kami hanya bermain di depan para juri, tapi menjelang ke babak akhir kami harus bermain di sebuah panggung. Aku ingat sekali di saat sudah memasuki panggung, kami diminta untuk menyediakan nama panggung. Di saat inilah kami baru mengetahui rahasia masing-masing. Waktu itu aku belum memegang jabatan tinggi di Rabatik jadi menjadi pemusik tidak masalah bagiku. Alysam juga memang hanya berfokus pada biolanya selama ini.

"Lain halnya dengan Jorda. Ternyata dia adalah seorang dokter. Mungkin aku masih bisa menolerir namaku saat di panggung, tapi Jorda nggak bisa. Akhirnya aku nawarin nama aku ke dia sebagai Zafrin. Selama dipanggung saat audisi pun, Jorda dipanggil Zafrin dan terus mengenakan topengnya. Di luar dugaan kami bertiga lolos. Sayang tak berapa lama setelah itu status Jorda sebagai pemusik diketahui keluarganya. Ya namanya seorang dokter harus berdedikasi dan ia pun mundur. Karir aku dan Alysam terus menanjak bahkan kami sampai dianggap sebagai duo pemain andalan di musik orkestra itu. Jorda nggak ninggalin kami gitu aja. Jika dia punya waktu pasti dia selalu mendampingi kami berdua.

"Sampai suatu hari aku diberi kabar bahwa aku harus menjadi pemimpin Rabatik. Semua rencana dalam hidupku hancur. Kamu pasti udah pernah dengar cerita yang ini kan?" tanyanya.

Otakku pun berputar ke masa itu. Ya saat itu Tirga dan Jorda pernah menceritakan kronologi mengapa Tirga bisa memimpin perusahaan sebesar ini. Ditambah usianya yang masih muda. Ya Om Riko ketahuan korupsi oleh neneknya sehingga Tirga lah yang meneruskan perusahaan berdasarkan keputusan neneknya. Aku baru tahu ternyata momen itu bertepatan dengan karirnya di dunia musik. 

Aku pun memutuskan untuk duduk di sofa. Tirga terus menatap lurus ke depan. Tatapannya sangat kosong. Ya aku bisa mengerti kenapa Tirga begini. Ia pasti sangat sedih. Pasti sama halnya dengan Jorda sekarang. Sayang, aku tak tahu di mana keberadaan Jorda dan aku juga tahu jika aku menanyakan keadaannya, ia pasti tak akan membalasnya. Lebih baik kudengarkan saja curahan Tirga. 

"Iya. Kan kamu pernah cerita sama aku, Tir," sahutku menjawab pertanyaannya. 

"Aku bukan kayak Jorda yang bisa mundur gitu aja dari dunia musik, Mud. Menjadi pemusik adalah impian aku sedangkan menjadi seorang presdir nggak pernah mampir dalam bayangan aku. Aku bahkan sampai bertanya sama Bunda dan Ayah kenapa mesti aku yang dipilih padahal aku tahu betul bahwa Tante Gia dan Om Riko sangat ingin menguasai Rabatik. Karena aku nggak bisa melepaskan diri dari dunia musik, aku sampai memilih cara lain yaitu dengan menyamar menjadi Zafrin dan mengenakan topeng ketika harus show. Kebetulan sosok Zafrin sesungguhnya di dunia musik sudah tak ada semenjak Jorda mengundurkan diri dan itu tergantikan dengan sosok aku. Saat itu sudah tak ada Jorda mau pun Tirga melainkan Zafrin--Si Topeng Ultraman dan Alysam." Tirga langsung tersenyum getir begitu menyebut kalimat barusan.

Satu hal yang kuketahui soal Alysam. Dia adalah perempuan yang sangat berarti bagi Jorda dan Tirga. Dan aku tak menyangka bahwa perjuangan mereka bertiga telah dimulai dari sejak lama karena Alysam ada di dalam mimpi dua pria itu yaitu musik. Aku sudah pernah mendengar cerita Alysam dari sisi Jorda dan sekarang giliran Tirga. 

"Alysam. Wanita pertama yang berada di antara aku dan Jorda. Wanita yang menjadi perentara kami berdua. Dia itu perempuan yang menarik dan cerewet banget. Hubungan kami bertiga sangat dekat. Bahkan sebenarnya aku tahu kalau Jorda itu menyukai Alysam. Aku sering sekali menangkap Jorda memperhatikan Alysam diam-diam. Jujur, sebenarnya pun dari awal aku suka dengan Alysam. Tapi karena aku tahu Jorda menyukainya, aku mundur dan mengubur perasaan ini dalam-dalam. Kan Jorda yang lebih dulu mengenal Alysam daripada aku. Aku nggak tahu perasaan Alysam sebenarnya ke Jorda gimana. Tapi ya aku tahu bahwa mereka berdua lebih akrab dari aku dan Jorda nggak tahu hal ini sama sekali. Aku lebih takut kehilangan Jorda daripada Alysam. Dia satu-satunya orang yang bisa kupercaya di dunia ini." Tirga mengembuskan napasnya panjang.

Sayang, sosok Alysam itu sudah tiada. Aku jadi penasaran sebenarnya sebesar apa pesonanya sampai membuat dua pria tampan menyukainya. Selama ini Jorda selalu bercerita padaku bahwa ia menyukai Alysam, tapi dia tak tahu bahwa Tirga juga sempat memiliki perasaan terhadap Alysam. Aku ingat betul Jorda pernah bilang bahwa ia merelakan wanitanya demi Tirga. Ini sungguh membingungkan. Jadi mereka berdua intinya sama-sama tidak tahu bahwa mereka merelakan wanita yang mereka cintai demi persahabatan mereka? Kenapa aku jadi terharu mendengarnya?

"Masalah mulai muncul ketika tiba-tiba orangtua Alysam dan Jorda memutuskan untuk menikah. Ya meskipun kami berkecimpung di dunia musik cukup lama, kami nggak pernah mengenalkan orangtua kami. Gejolak mulai muncul. Di situ aku semakin sadar bahwa Jorda sungguh-sungguh mencintai Alysam. Aku lihat sendiri betapa Jorda menentang pernikahan kedua orangtua mereka pada awalnya. Tapi aku nggak tahu kenapa tiba-tiba dia menyatakan bahwa ia menyetujui pernikahan kedua orangtua mereka. Setiap kali aku tanyakan alasannya, Jorda cuma bilang ini demi kebahagiaan orang di sekitarnya. Dia bilang ini sebagai tanda balas budi juga karena dia telah membuat ibunya pergi dari dunia ini terhadap ayahnya. Ia mau semua orang bahagia."

Astaga, ini persis dengan yang Jorda katakan sebelum ia menciumku kala itu. Ia juga bilang bahwa ia merelakan semuanya demi orang-orang yang ia cintai. Ia melakukan itu juga demi Tirga agar kepercayaan Tirga tidak hilang padanya. Mereka berdua pria yang sama-sama tak punya teman dan untuk pertama kalinya mereka menemukan apa itu arti kepercayaan dari persahabatan. Karena tak ingin persahabatan mereka rusak, mereka pun merelakan semuanya. Aku jadi paham sekarang. Kenapa Jorda sampai segitunya dengan Jorda. Begitu pula sebaliknya.

"Aku nggak pernah tahu sebenarnya soal kisah Jorda tentang kematian ibunya. Ketika aku bertanya pada Shagam, dia cuma bilang itu hanyalah salah paham. Aku juga tahu alasan Jorda menjadi dokter itu sebagai bentuk balas dendam dia agar tak ada yang mati seperti ibunya. Aku nggak tahu ibu Jorda sakit apa. Jorda juga nggak pernah bilang. Dia lagi-lagi hanya bilang bahwa dia pengen lihat semua orang di dekat dia bahagia. Kamu tahu ketika dia bilang gitu? Hati aku cuma bisa meringis sedih. Apalagi melihat ekspresi cerianya yang selama ini hilang semenjak orangtuanya dan Alysam sudah sah menjadi suami istri. Aku tahu Jorda pasti takut kalau aku bersama Alysam meskipun dia nggak pernah bilang hal itu padaku."

Tirga pun menarik napasnya dan mengeluarkannya perlahan. Tatapannya kosong dan terlihat menerawang jauh mengingat kejadian silam yang sedang ia ceritakan padaku.

"Setahun kemudian, Prita datang. Aku berpikir, mungkin dengan cara ini senyum Jorda bisa kembali. Dari awal aku memang berniat untuk memacarinya. Aku memang banyak dekat dengan perempuan, tapi satu-satunya perempuan yang bisa intens berhubungan denganku adalah Prita karena dia akan menjadi sekretaris aku. Ketika dengan Tayana dan perempuan lainnya, aku berpikir kalau hubungan kami tidak mungkin berlanjut karena kami juga akan jarang bertemu. Ya nggak dipungkiri, dengan kondisiku dan Alysam yang sudah menjadi duo pemusik handal, membuat hubungan kami makin erat dengan Jorda yang tidak selalu berada di samping kami. Apalagi ketika pekerjaannya menuntut ia untuk hadir. 

"Aku pun menerima Prita sebagai sekretaris aku. Ternyata sikapnya sangat agresif. Ini malah memudahkan aku untuk menjadikan Prita sebagai kekasih aku. Ya awalnya aku mengajak Prita menjadi pacarku bukan karena suka, tapi agar Jorda tahu bahwa aku tidak akan bersama Alysam. Ya bedanya aku dan Jorda adalah aku sangat gampang dekat dengan wanita dan tidur dengan mereka. Sedangkan Jorda termasuk tipe pria yang sulit dekat dengan wanita kecuali ia benar-benar menyukainya dan wanita yang ia sukai cuma Alysam. Ya kupikir rencanaku berhasil karena begitu tahu kalau aku berpacaran dengan sekretarisku, wajah cerianya kembali. Tapi ternyata itu juga salah karena begitu Jorda bertemu Prita, ia langsung mengungkapkan bahwa ia tidak menyukai Prita."

Tirga tersenyum kecut. Ia mengusap wajahnya sejenak. Lalu kembali memandang ke depan. 

"Mud, kamu masih sama aku kan?" tanyanya lembut.

"Iya, Tir. Aku masih di sini dan siap dengarin semua cerita kamu. Mungkin dengan begitu hati kamu akan tenang."

Senyum kecutnya berubah menjadi manis. Kembali ia menarik napas dan mengembusnya pelan. 

"Apalagi Alysam. Ia secara terang-terangan bilang bahwa dia tidak menyukai Prita. Ia bilang Prita itu seperti punya maksud lain. Kali ini Jorda dan Alysam satu pikiran. Tapi mungkin karena egoku yang nggak mau dibilang salah pilih, aku masa bodoh dengan ucapan mereka. Aku malah semakin mesra dengan Prita. Perlahan tapi pasti, aku pun jatuh hati dengan Prita. Meskipun dia angkuh dan kadang menyebalkan namun, karena kami sering bersama perlahan perasaan ini tumbuh. Aku juga semakin jarang berperan sebagai Zafrin. Aku bahkan sampai melupakan wanita lain dan hanya fokus dengan Prita. Perlahan tapi pasti Alysam pun menghilang dari pikiran dan perasaan aku. Sampai akhirnya suatu hari ...."

Tirga merundukkan kepalanya. Badannya kembali bergetar. Ya ampun, apa ia menangis lagi? 

"Seperti yang kamu dengar tadi, Alysam pun mengungkapkan perasaannya padaku dan saat itu juga semuanya langsung kacau. Semua hal yang kukubur dalam-dalam selama ini langsung buyar dan perasaan itu seolah makin kuat. Perasaan aku nggak bisa menolak perasaan Alysam gitu aja. Kehadiran Prita selama ini di hati aku seolah lenyap. Jelas pada awalnya aku nggak semudah itu percaya ungkapan Alysam. Aku tantang dia untuk aku lukis tanpa mengenakan apa pun. Di luar dugaan aku dia setuju. Ya ini persis seperti yang tadi aku bilang ke Jorda. Pada akhirnya aku nggak tahan untuk nggak melakukan hal itu dengannya dan lagi-lagi aku jadi semakin nggak bisa ngontrol perasan ini. Aku ingin selalu berada di dekatnya. Aku seolah tersihir dengan Alysam tanpa mempedulikan perasaan Jorda mau pun Prita."

Otakku secara otomatis berputar kembali ke tempat ruang rahasia Tirga di mana aku melihat ada dua wajah terlukis di sana. Satunya adalah Prita dan satunya lagi adalah Alysam. Kuhela napasku pelan. Jadi ini sebenarnya yang terjadi? Tak pernah kuduga bahwa Tirga pun selama ini mencintai Alysam diam-diam. Apa ini bisa disebut keberuntungan?

"Pada awalnya aku ingin menjaga kerahasiaan hubungan kami berdua dari Jorda. Tapi Alysam menganggap bahwa Jorda baik-baik saja. Ia juga bilang kalau tidak ada hal yang perlu ditutupi dari Jorda karena Jorda adalah keluarganya sekarang. Alysam juga mengakui hubungan kami di depan Prita. Serius, kalau kuingat lagi hal itu, aku menyesal sekali. Semua kemarahan baik dari Prita dan Jorda membuatku nggak berani lihat mereka. Tapi bagaimana lagi. Di saat itulah aku diminta oleh Prita untuk memilih siapa antara dirinya dan Alysam. Tanpa ragu aku menjawab Alysam. Jorda cuma diam saat itu. Dia nggak bilang apa-apa. Karena hal itu aku jadi sependapat dengan Alysam. Kami pun tak malu lagi ke mana-mana berdua. Bahkan satu kantor juga tahu hubunganku dengan Alysam."

Tirga menarik napas dan mengeluarkannya perlahan. Terlihat sekali bahwa ia sangat sedih mengingat semua ini. Kupikir juga drama percintaan mereka memang complicated sekali. Berbeda sekali denganku yang tidak memiliki pengalaman cinta apa pun yang menarik. Aku tidak pernah pacaran atau minimal merasa dicintai. Selama ini hidupku hanya diisi oleh kerja keras dan berpikir bagaimana caranya bisa melalui hidup tanpa merugikan orang lain. Aku bisa kuliah saja syukur. Mendapatkan pekerjaan sudah bahagianya minta ampun. Kupandang kalut Tirga. 

"Dan keesokannya hal naas itu pun terjadi. Tiba-tiba Alysam menghilang bagaikan ditelan bumi. Kami semua panik. Aku dan Jorda sama-sama heboh waktu itu. Kami sampai mengerahkan petugas negara untuk mencari keberadaan Alysam. Aku nggak bisa fokus ngapa-ngapain. Sama halnya dengan Jorda. Alysam menghilang sampai tiga hari. Rasanya aku mau gila saat itu. Namun, akhirnya aku bisa tahu di mana keberadaan Alysam karena Prita tiba-tiba nelpon aku. Dia bilang bahwa dia menculik Alysam. Tentu dia nangis pas ngasih tahu semuanya. Dia bilang dia benci sama aku dan dia minta agar aku jemput Alysam sendiri. 

"Aku tanpa banyak berpikir pun langsung bergerak sigap dan harus ketemu Alysam secepatnya. Ya mungkin ini cerita yang udah kamu dengar, Mud. Ternyata mobil yang aku pakai saat itu remnya sudah dibuat blong oleh Prita sendiri. Hasil penyelidikan itu diberitahu oleh polisi dan bodohnya, aku nggak menyadari bahwa Prita selama beberapa hari Alysam menghilang dia juga nggak hadir ke kantor."

Dan ternyata kejutan hadir lagi bahwa ternyata yang menculik Alysam adalah Prima--saudara kembar Prita yang hingga detik ini tak tahu di mana rimbanya. Penyelidikan polisi benar bahwa Prita yang membuat rem mobil Tirga blong, akan tetapi baru tadi juga Tirga dan Jorda tahu kalau niat Prita ternyata bukan untuk mencelakai Tirga melainkan Jorda. Astaga, kenapa mendengar cerita mereka semua saja sudah membuat kepalaku pusing?

Tirga pun memegang dadanya. "Semua terasa berlalu begitu cepat, Mud. Karena rasa ini, ternyata banyak sekali yang dirugikan. Aku cacat seperti sekarang, Alysam yang meninggal tanpa memberi salam perpisahan sama sekali, Prita yang aku mengerti bahwa hatinya sangat terluka, Prima yang nggak tahu di mana sekarang, Jorda yang aku tahu juga sama menderitanya seperti aku. Bahkan mungkin lebih menderita. Termasuk kamu. Aku memang nggak tahu, Mud, kenapa bisa kamu juga terhubung dengan kisah ini. Seandainya saja aku bisa melihat seperti apa kamu yang sesungguhnya ...."

Aku tersenyum getir. Tirga saja penasaran dengan kisahku. Apalagi diriku yang sama sekali tak mengerti kenapa bisa tersangkut paut dengan komplikasi kisah percintaan mereka. Tapi Tirga sama halnya dengan diriku. Kami sama-sama tak tahu karena yang memegang kunci jawaban ini adalah Jorda.

"Mud ...." Tirga memanggilku.

"Ya ...," jawabku lembut.

"Aku takut dengan Jorda ...."

Kukerutkan dahiku bingung. "Kenapa, Tir?"

Tirga meneguk salivanya. "Kamu dengar sendiri. Dia bilang bahwa nggak akan ada lagi kata mengalah dalam hidupnya. Ketika aku dengar kalimat itu tadi langsung dari mulutnya, tubuhku merinding. Aku nggak pernah dengar suara Jorda yang lantang kayak tadi. Dia pasti dendam banget sama aku .... Aku tahu kalau aku sudah merebut Alysam darinya, tapi semua itu juga di luar kendaliku. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberi Alysam pada Jorda. Tapi Alysam bertindak di luar dugaan ...."

Air mata kembali mengalir dari sudut mata Tirga. Ia merundukkan kepalanya sedih. Kuhela napasku panjang. Selama menjadi sekretaris Tirga, hal yang selalu kujumpai adalah menangis dan marah-marah. Jarang sekali ada tawa di sini. Aku tahu masalah di sini besar. Tapi menghadapi hal yang sama terus terkadang membuatku jenuh. Seandainya saja aku tak pernah berada di sini ....

"Mud, kamu bisa nelpon Ayah aku?" tanya Tirga. 

"Pak Rewa? Buat apa?"

"Aku minta dia gantiin kerjaan aku sementara di sini."

"Emangnya kamu mau ke mana?" tanyaku tak mengerti.

Tirga mendongakkan kepalanya ke arahku. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. "Aku mau ke mansion lagi."

Tirga aneh-aneh saja. "Mau ngapain ke sana, Tir?"

"Mud, aku paham maksud Jorda untuk nggak mau mengalah lagi. Aku tahu di sini dia yang pegang kendali atas aku dan semua kisah yang berhubungan dengan kecelakaan dua tahun silam. Rahasia setelah kecelakaan itu, keberadaan Prita, dan terakhir kamu. Mungkin ini memang balasan atas semua perbuatan aku selama ini ke Jorda. Tapi aku nggak bodoh, Mud."

"Tir, kamu jangan aneh-aneh deh. Kerjaan kamu di sini masih banyak. Kamu juga baru bekerja di sini dan karyawan kamu butuh kamu sebagai pemimpin Rabatik. Kamu nggak kasihan lihat Pak Rewa bekerja keras membantu kamu lagi? Dua tahun sudah cukup Pak Rewa untuk ngegantiin kamu, Tir." Aku menolak dengan tegas permintaan Tirga untuk kembali ke mansion. Itu gila.

"Kamu telpon saja Ayah aku sekarang atau Bunda. Beritahu bahwa aku selama sebulan akan ke mansion." Tirga tetap bersikeras pada pendapatnya. Ia masa bodoh dan tak menanggapi pernyataanku barusan sama sekali.

"Terus aku mesti bilang apa ke mereka kalau mereka nanya alasannya?"

"Aku mau latihan berjalan. Aku butuh waktu sebulan dan aku cuma mau berdua sama kamu. Bilang sama mereka dalam sebulan ini aku janji aku akan kembali dalam keadaan bisa berjalan."

Mataku membesar mendengarnya. "Aku bukan dokter, Adtirga," ucapku sambil berdiri bangun. Kenapa mesti seperti ini sih?

Raut Tirga berubah serius. Rahangnya mengeras. "Kamu nggak usah cemas. Peralatan untuk kesembuhanku semua sudah tersedia manis di mansion. Kamu cukup membantu aku. Nggak perlu ada dokter. Aku percaya kamu itu wanita yang serba bisa buat aku. Lagipula cuma latihan berjalan. Toh kamu selama beberapa hari ini juga udah lihat kan gimana aku latihan jalan sama dokter? Nggak ada bedanya diajarin sama dokter dan kamu."

Kuhembuskan napasku kasar. "Tapi ini gila, Tirga."

"Mudya, mungkin ini terdengar egois. Tapi aku tahu maksud Jorda bahwa dia nggak akan mengalah lagi. Aku rasa kali ini aku yang akan mengalah buat dirinya. Tapi aku benar-benar butuh waktu sama kamu. Sebulan aja. Aku harus mempersiapkan segalanya sebelum benar-benar kehilangan lagi untuk yang kedua kalinya."

"Aku nggak ngerti maksud kamu, Tir ..." ucapku lirih. 

"Setidaknya ketika udah nggak ada kamu, aku bisa berjalan lagi. Aku juga penasaran dengan wajah kamu. Cuma di mansion aku bisa menghabiskan waktu banyak sama kamu tanpa halangan. Tenang, aku nggak akan macam-macam sama kamu. Ini semua aku lakukan agar aku tahu bahwa kamu pernah berada dalam hidup aku. Aku sayang Jorda. Aku nggak bisa kehilangan dia dan ya aku tahu satu-satunya yang bisa membuat Jorda bahagia adalah kamu."

Aku makin tak paham. "Kenapa aku?" Tapi di sisi lain dadaku kembali berdentum cepat.

"Meskipun aku tidak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan betapa Jorda bahagia di dekat kamu." 

Jorda bahagia di dekatku? "Tir, kamu jangan ngaco. Udah deh ya. Kamu balik kerja lagi aja. Ada beberapa dokumen yang mesti aku bacain dan ditandatanganin sama kamu." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Ini tidak benar. 

"Kamu telpon Ayah sekarang, Mud. Pekerjaan itu bisa dilanjutkan nanti setelah kamu memberitahu Ayah. Aku butuh sebulan dan setelah itu aku akan ngasih pilihan ke kamu."

"Pilihan apa?"

"Kamu mau stay atau pergi? Aku harus bisa jalan dan tahu kamu lebih dalam. Tapi setelah itu, aku akan memberi kebebasan sama kamu. Nggak akan maksa kamu untuk masuk ke dalam kehidupan aku lagi."

Aku tertegun mendengarnya. Kebebasan? Benarkah itu? Apa itu artinya aku akan pergi meninggalkan Rabatik? Wah ini tawaran yang menarik. Lagipula hanya sebulan. Tak akan memakan waktu lama. Aku pun mengeluarkan ponselku. Kucari kontak Pak Rewa. Tak berapa lama Pak Rewa mengangkatnya.

"Halo, Pak. Ini saya Pramudya. Mulai besok Pak Rewa bisa kembali ke Rabatik?" tanyaku setelah mengucapkan salam pada Pak Rewa di seberang sana.

"Loh kenapa? Memangnya ada apa dengan Tirga?" Nada bicara Pak Rewa terdengar panik.

Kulirik Tirga. Ia memandang ke arahku menyimak tiap kata yang keluar dari mulutku. "Tirga mau kembali ke mansion, Pak. Mau latihan berjalan. Hanya sebulan saja Bapak menggantikan Tirga." Aku berbicara dengan sangat meyakinkan.

"Berjalan? Tapi dia sehat-sehat saja kan? Dia akan latihan bersama siapa di mansion? Jorda? Setahu saya Jorda sudah tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sebagai dokter dan hanya terfokus pada Tirga saja."

"Dia alhamdulilah sehat, Pak. Tirga akan latihan bersama saya. Kata dia semua peralatan untuk melatih dia berjalan lengkap di mansion."

"Lalu bagaimana dengan Mbak Gia dan Mas Riko? Mereka sudah tahu?"

Nah pertanyaan ini membuatku bingung. Sebaiknya aku serahkan saja pada Tirga. Kuraih tangannya dan memberikan ponselku padanya.

"Ayah kamu nanya soal Tante Gia dan Om Riko," laporku dengan suara berbisik.

Tirga pun tanpa basa basi langsung menempelkan ponselku ke telinga kanannya. "Bilang aja aku ada urusan ke luar kota yang nggak bisa ditinggalkan. Kalau misalkan pun mereka cari tahu kebenaran ancam aja soal bobrok mereka yang mau celakain aku ke polisi. Mereka pasti diam, Yah." Tirga berbicara tanpa keraguan sedikit pun.

Dan mereka terus melanjutkan obrolan mereka. Aku memilih untuk tidak menyimaknya. Ah iya, apakah Jorda perlu tahu hal ini? Lebih baik kutanyakan saja pada Tirga. Tirga sudah berhenti berbincang dengan ayahnya. Ia mengembalikan ponselku.

"Ayah udah setuju. Besok kita pergi ya, Mud." Tirga pun memutar kursi rodanya.

Namun, terhenti karena .... "Aku perlu kasih tahu hal ini ke Jorda, Tir?"

"Jangan kasih tahu dia. Jorda lagi ingin sendiri. Aku juga tahu dia pasti nggak akan mengizinkan aku hanya berdua sama kamu di mansion. Ini rahasia kita. Ingat, Mudya. Kamu sekretaris aku. Jorda memang juga punya kendali terhadap kamu, tapi kamu tanamkan dalam ingatan kamu. Perintah siapa yang seharusnya kamu turuti duluan. Aku atau Jorda."

Tirga kembali menjalankan kursi rodanya ke meja kerja. Aku masih terpaku di sini menatap dirinya. Kenapa di sini aku diberikan pilihan untuk memilih. Jorda atau Tirga? Sebenarnya apa sih peranku? Kuhela napasku. Dua pria yang sama-sama membingungkan. 

"Mana dokumen yang perlu kamu bacakan?" Pertanyaan Tirga menyentak pikiranku.

"Ah iya." Aku pun setengah berlari ke mejaku mengambil beberapa dokumen dan berjalan ke meja Tirga. 

Kupandang dirinya sejenak. Meskipun sosoknya menyebalkan, tak kuduga ternyata dia juga sepeduli itu pada Jorda. Dan di sisi lain, aku pun memikirkan Jorda. Apa yang sedang ia lakukan sekarang ya? Selama sebulan tak akan bertemu dirinya mengapa hatiku sedikit sedih? Astaga, Mudya. Apa yang dirimu pikirkan? Aku pun mulai membacakan dokumen ini ke Tirga dan kembali bekerja seperti sedia kala.

***

Plis tanggapan dong soal chapter ini :D Vote yahh jgn lupa.

Ah iya terimakasih juga pada Febi temannya Elen yang setia sama cerita kakak :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top