34

Sori banget updatenya lama. Aku lagi sibuk hehe utk edit beberapa naskah yang lain. Belum lagi soal kerjaan dan jujur kadang mood nulis agak menurun. Maafkan yaa.

Vote dan komen plis jangan lupa.

Happy reading!

---------------------------------------------------------


"Aku, Jor?" Secara otomatis pertanyaan itu tercetus dari bibirku.

Mungkin jika aku punya penyakit jantung. Tak akan kuat diriku untuk bertahan di Rabatik sampai detik ini. Semua cerita yang diutarakan Atan dan Dodo dalam seketika terkumpul menjadi satu. Ya selama ini aku hanya mendengar dari mulut dua pria itu. Itu juga hanya semacam dugaan yang belum bisa aku temukan kesimpulannya. Akankah semuanya terungkap saat ini?

Jorda menatapku nanar. Kami saling menatap cukup lama. Aku bertanya padanya melalui ekspresi wajahku. Sementara Jorda cuma diam. Bibirnya bergetar kelu. Ia menggelengkan kepalanya pelan pada akhirnya.

"Maaf ...," ucapnya padaku tanpa suara tapi terlihat jelas dari bentuk bibirnya.

"Jor ...." Aku memohon padanya tanpa suara juga.

Jorda pun memejamkan matanya. "Aku nggak kuat ...." Masih tanpa suara.

"Aku akan baik-baik aja ...," balasku.

Air mata kembali ke luar dari sudut mata Jorda. "Aku nggak siap kehilangan kamu ...."

Ya Allah, kenapa melihat reaksi Jorda malah membuat dadaku sesak? Jawaban dari semua ini adalah Jorda. Perkataan Dodo yang ia tahu dari Shagam tak bisa dibenarkan. Pernyataan Atan dari pihak kepolisian juga sulit untuk kusimpulkan. Satu-satunya kunci hanyalah Farjorda.

Kutarik napasku sejenak. "Aku nggak akan hilang ...."

Jorda pun menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Sepertinya ini semua sangatlah berat bagi Jorda. Kuperhatikan Tirga. Ia juga terdiam syok begitu mendengar namaku disebut Jorda sebagai salah satu korban kecelakaan itu.

"Jor ... plis. Jangan buat gue bertanya-tanya terus. Gue tahu kok efek kecelakaan kemarin itu adalah hukuman terbaik dari Allah buat gue. Ya gue sadar, selama ini selalu nyakitin lo. Tapi nggak cukup emangnya merahasiakan semua ini dari gue? Gue kayak orang begok yang nggak tahu apa-apa dan selalu berharap sama lo. Gue harus tahu semuanya, Jor ...," pinta lemas Tirga.

"Lo nggak akan sanggup dengarnya, Tir. Banyak resiko besar yang akan gue hadapi ketika gue ungkap semuanya. Elo, Mudya. Gue nggak bisa kehilangan kalian ...," ucap Jorda penuh rasa bersalah. Ia sudah tak menutup wajahnya.

"A--apa ini salah satu alasan kenapa wajahku menyerupai Alysam? Karena aku memang ada hubungannya dengan kecelakaan dua tahun silam?" Aku sudah tak peduli pada mata yang memandangku. Ya seperti biasa di meja makan ini ada Dodo, Kiran, Jema dan juga pasukannya serta beberapa pelayan yang melayani kami.

Memang pantas jika isi Rabatik adalah orang-orang terpercaya. Rahasia Rabatik itu bisa dikonsumsi bagi siapa pun yang langsung terhubung ke Tirga. Tirga pun menoleh menghadapku. Sama halnya dengan Jorda. Mendadak tangan Tirga meraba tanganku dan digenggamnya erat begitu ia berhasil menyentuh jemariku.

"Mud, percuma kamu mengharapkan jawaban itu dari Jorda. Dia saja bisa merahasiakan semua ini sampai dua tahun lebih dari aku. Apalagi sama kamu yang cuma beberapa bulan mengenalnya," ucap sinis Jorda.

"Gue kenal Mudya sejak dua tahun yang lalu, Tir!" Jorda tampak tak terima.

Mataku melotot. "Dua tahun, Jor? Aku nggak ingat pernah kenal kamu kecuali sejak audisi di sini!" sanggahku. Nadaku bicara kali ini meninggi. Jorda ini lama-lama buat emosi.

"Sebenarnya apa yang terjadi sih, Jor? Gue nggak pernah kenal Mudya. Lalu kenapa bisa Mudya jadi korban kecelakaan maut itu? Lalu di mana Prita sekarang? Pusing gue, Jor, sama lo. Emang susah banget ya jelasin semuanya?!" Tirga sudah emosi.

"Iya! Semuanya emang susah gue jelasin. Lo pernah nggak sih hidup dalam beban yang berat? Gue nggak bisa kasih tahu semuanya sekarang. Akan ada saatnya. Lagipula gue tahu kondisi badan lo, Tir. Gimana misalnya kalau lo tahu, penyakit lo malah kambuh dan lebih parah dari kemarin ketika lo tahu Alysam udah meninggal? Orang yang satu-satunya gue punya saat ini cuma lo sebagai sahabat. Lo pasien gue juga. Gue nggak bisa karena kecerobohan gue, gue malah merugikan orang lain dan buntutnya gue lagi yang nyesal. Lo tunggu aja penjelasan gue."

Bibir Tirga terkatup. Ia tampak kalah tak sanggup membalas kalimat Jorda.

"Lalu aku bagaimana, Jor? Aku butuh penjelasan soal kalimat kamu barusan." Ini sudah kepalang basah. Tak akan kubiarkan Jorda kabur lagi.

Tapi lagi-lagi Jorda selalu bisa menghindar. Ia malah bangkit dan menghampiri kami berdua. Tanpa permisi, ia langsung menarik kursi roda Tirga dan mendorong Tirga ke luar rumah. What?! Jorda mengabaikanku?

"Ini kenapa udah jalan?!" pekik Tirga kencang. Pegangan Tirga otomatis terlepas dari tanganku.

"Bukan aku yang dorong, Tir!" seruku kuat.

Tirga pun bergerak berusaha memukul Jorda yang terus mendorong kursi rodanya. Aku berlari menyusul mereka. Jorda benar-benar menyebalkan. Dia masa bodoh pada aku dan Tirga yang rasanya kepala kami ingin pecah karena rahasia yang ia pendam.

"Gila lo, Jor. Kampret!" Tirga terus mengumpat sepanjang perjalanan.

Aku berusaha meraih Jorda, tapi Jorda malah menepis tanganku kasar. Hampir saja aku terjungkal. Ia hanya melirikku dan tersenyum miring kemudian. Jorda sialan!

"Udah deh. Lo berdua berisik. Bentar lagi masuk kantor. Masih aja ada drama pagi di jaman sekarang," celotehnya dan terus berjalan cepat.

Aku berdecak sebal. Drama pagi? Dia yang buat drama pagi! Tapi itu semua hanya kuucapkan dalam hati. Dan aku hanya bisa mendengkus kesal sambil mengikutinya dari belakang. Tapi lagi-lagi aku dibuat bingung. Karena Jorda malah menangkap tanganku dan digenggamnya erat. Berusaha kulepas, tapi mata Jorda membesar memelototiku. Ini kenapa jadi gantian gini sih antara Jorda dan Tirga?!

***

"Lo seharian bakal di sini, Jor?" tanya Tirga setelah aku membacakan salah satu surat yang akan Tirga tanda tangani.

Ya setibanya kami di sini, Jorda langsung duduk di sofa tengah ruangan kerja Tirga sambil membaca beberapa majalah. Sementara aku langsung sibuk dengan pekerjaanku sebagai sekretaris sesungguhnya. Sedangkan Tirga duduk manis di atas kursi rodanya sambil menunggu arahanku dan apa yang akan dia lakukan hari ini.

"Iya kayaknya," jawab Jorda seadanya. Tirga menghela napas. "Kenapa? Lo nggak suka?"

"Gue udah terbiasa berdua aja sama Mudya. Pas ada lo agak lain aja rasanya."

Sontak Jorda menoleh dan menatap kesal Tirga. Ia letakkan majalah yang ia pegang ke atas meja. "Kayaknya lo berdua udah keasyikan banget ya tanpa gue," ujarnya kesal.

Hmmm. Pasti mereka berdua akan mulai berdebat lagi. Aku hanya memilih diam sambil menggerakkan tangan Tirga ke posisi di mana ia seharusnya menandatangani dokumen di depannya. Setelah selesai ia memberikannya padaku dan aku kembali ke meja tempatku bekerja.

Tirga terbahak. "Ya salah lo juga kan sibuk terus," balas Tirga.

Jorda terkesiap. Diliriknya lagi aku, tapi aku pura-pura tidak melihat dan fokus ke layar macbook. Kembali ia merubah posisi duduknya santai seperti semula.

"Ah iya, Tir. Kemarin Dingta nelpon gue. Dia bilang pengen ketemu sama lo."

Tirga merengutkan dahinya. "Dingta? Tata? Si Alien satu itu? Astaga gue lupa kalau dia di Indonesia. Udah dua tahun gue nggak ketemu. Wah berarti dia tahu dong gue udah balik ke Rabatik."" ujar Tirga. Walaupun bekerja, aku masih memasang kupingku dengan sangat baik.

Jorda mengangguk. "Iyalah. Pasti Om Tante Gia udah ngasih tahu ke Om Ilham dan Om Ilham ngasih tahu ke dia. Selama ini dia nggak hubungi gue, karena gue bilang jangan telpon sampai gue yang ngabarin dia soal keadaan lo."

Dingta? Siapa lagi itu Dingta?

"Tapi ternyata dia malah nelpon lo. Setahu gue dia penepat janji banget. Apa karena udah di Indo dia jadi mulai belajar bohong ya?"

Jorda tersenyum. "Nggak mungkin. Dia kalau udah bilang A pasti A. Buktinya selama dua tahun ini dia nggak ada hubungi gue sama sekali. Pasti karena dia dapat kabar kalau lo udah sehat makanya dia hubungi gue," jelas Jorda. Tirga pun terdiam termenung. "Dia sama baiknya dengan Brittany, Tir. Cuma bedanya dia kayak bukan warga bumi. Lo janganlah sembunyiin diri lo terus dari dia."

Tirga tersenyum. "Malu gue. Gue nggak sanggup dia bakal bilang apa kalau ketemu gue. Nanti dia bilang lagi. Astaga, Tirga. Aku udah nggak ketemu kamu selama dua tahun begini kenapa kaki dan mata kamu jadi tidak bisa berfungsi? Sumpah, jelasin hal itu bakal makan waktu banget." Ekspresi Tirga ketika menceritakan Dingta benar-benar berubah.

Jorda tertawa keras. "Ya ampun, gue jadi ingat dulu dia nangis ngadu ke gue karena parkanya hilang. Elo sih, Tir, ninggalin dia sendirian pas ada mantan lo wisuda hahaha."

Tirga ikut tertawa. "Dan karena rasa bersalah gue yang nggak tega lihat dia nangis, gue selalu nemenin dia ke JCC di hari yang sama terus untuk nemuin parkanya balik hahaha."

Dan mereka terus menceritakan si Dingta itu sambil tertawa terbahak-bahak. Dingta? Siapa sebenarnya dia? Kenapa mereka berdua bisa jadi tertawa seperti itu? Hmm entahlah. Lebih baik aku fokus bekerja lagi.

"Ah iya, Jor. Lo bolehin Dingta ketemu gue kalau gue udah jalan aja. Setidaknya gue cuma jelasin satu hal sama dia. Oke?" pinta Tirga.

Kali ini Jorda yang gantian kaget. "Jalan? Emang lo udah bisa jalan?"

Tirga menggelengkan kepalanya pelan. "Belum. Cuma gue udah seminggu ini setiap pulang kerja, gue ke rumah sakit untuk belajar jalan."

"Kok lo baru kasih tahu gue sekarang?!" tanya Jorda tak terima.

"Lo kan sibuk. Lagipula baru sekarang kan kita ketemu lagi."

Jorda mengerucutkan bibirnya. "Ya setidaknya lo kasih tahu gue. Gue dokter lo." Kemudian Jorda menolehkan kepalanya padaku dan menatapku kesal. "Itu lo latihan berdua doang? Di mana?" tanya Jorda ketus. Aku langsung merundukkan wajahku. Aku tak mau ikut-ikutan dengan perbincangan mereka.

"Ya lo kan udah punya pasien yang lain. Gue nggak enak, Jor. Lagipula latihannya di rumah kok. Di belakang. Gue udah panggil dokter spesialis yang bisa diajak kerjasama dan nggak akan bocor soal fisik gue yang sebenarnya."

Jorda kembali melihat Tirga. "Dokter Viza tahu?"

"Justru gue minta rekomendasi dokter dari dia. Mudya yang urus semuanya."

"Kalau rekomendasi dokter Viza gue percaya aja," ucap Jorda sambil kembali memainkan ponselnya. Tirga pun hanya diam tak menjawab kata-kata Jorda. Suasana kembali hening. Aku melanjutkan pekerjaanku. Jorda dengan ponselnya dan Tirga sibuk membaca kertas berhuruf braile.

Dan sesekali aku menangkap mata Jorda menatapku sinis. Dia kenapa lagi coba?

***

"Mana Jorda?! Manaaaa?!" Pekikan seseorang dari tengah lobi terdengar sampai ke telingaku.

Ya aku yang sedang ingin membeli makan siang ke luar untuk kami bertiga, tiba-tiba mendengar kehebohan di lobi. Tirga dan Jorda sedang berada di dalam ruangan kerja seperti biasanya. Ramai sekali di tengah lobi ini dan tentu saja memancing rasa penasaranku. Siapa coba yang berteriak seperti itu memanggil nama Jorda? Kudekati kerumunan itu.

"Gue yakin banget ada Jorda kan di sini? Selain di sini di mana lagi? Di mansion? Nggak mungkin. Manaaaa?! Gue harus ketemu Jorda. Atau minimal Tirga. Di mana mereka berduaaaa? Gue harus ketemu mereka!" Suara itu adalah suara perempuan dan terdengar semakin nyaring.

Hingga akhirnya aku bisa mengetahui siapa wanita itu. Wajahnya sangat tak asing. Ia ditahan oleh beberapa petugas keamanan. Tubuhnya terus meronta agar dilepaskan. Ia terlihat sangat marah. Dia itu kan ... Prima? Kukerutkan dahiku bingung. Mau apa dia ke sini?

Seketika kepanikan menjalar di tubuhku. Aku harus segera memberitahu Tirga dan Jorda. Aku pun mundur ke belakang dari kerumunan ini bergegas untuk menghubungi Tirga atau pun Jorda. Namun, kuurungkan niatku karena begitu aku membalikkan badan, aku malah menubruk tubuh seseorang. Ponselku hampir saja terjatuh. Dan begitu kudongakkan kepalaku ke atas, ternyata orang yang kutabrak itu adalah Jorda dengan sebuah topi hitam yang bertengger di atas kepalanya. Dia memandangku polos.

"J--jor ...," ucapku gagap.

"Ngapain kamu di sini?" tanyanya pelan.

"I--itu ada yang nyari kamu ...," jawabku.

Jorda pun menjinjit sebentar. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan ekspresi panik. Bahkan ia terlihat biasa saja. Ia juga mengenakan sebuah jaket. Aku merasa Jorda seakan menyembunyikan dirinya di tengah kerumunan ini agar tak ketahuan bahwa ia lah yang sedang dicari saat ini. Sementara Prima terus berteriak lantang memanggil nama Jorda dan Tirga.

"Iya. Aku tahu. Biarkan saja dia berteriak seperti itu. Wanita nggak tahu malu," desis Jorda dan langsung menarik tanganku meninggalkan kerumunan ini. Orang-orang di sekitarku tak ada yang menyadari bahwa orang yang memegang tanganku adalah Jorda.

Sontak aku kaget. "Jor, kamu nggak lihat itu ada Prima manggil kamu sampai heboh begitu?" tanyaku berusaha menghentikan langkah Jorda dengan suara pelan tertahan.

Tatapan Jorda seketika berubah seram. "Terus kenapa? Biarkan aja dia sendiri, Mud. Mending kamu beli makan karena aku dan Tirga udah kelaparan di atas," suruhnya tegas. Ya hal ini adalah hal rutin yang aku lakukan karena Tirga hanya mau makan jika aku yang membelikannya.

Aku tetap berusaha melepaskan tangan Jorda dan Jorda pun semakin menguatkan genggamannya. "Kamu nggak lihat semua orang sekarang lihatin kita? Nggak malu nama kamu dan Tirga dipanggil kencang begitu? Kamu harus menghentikan Prima, Jor," pintaku.

Jorda menghela napasnya kesal. "Aku udah tahu kalau Prima ke sini. Justru aku yang suruh para petugas keamanan itu untuk nahan dia. Lebih baik kita pergi dari sini. Aku nggak mau ada masalah baru lagi."

Kuhela napasku kasar. Selalu saja aku tak bisa menang jika melawan Jorda. Lebih baik kuiyakan saja permintaannya. Kupasrahkan diriku dalam tarikannya namun, langkah kami harus terhenti karena ....

"Prima ...," Kepalaku secara otomatis berputar menoleh ke belakang. Begitu juga dengan Jorda.

"Tante Gia! Tolong aku, Tante! Buat mereka lepasin pegangan mereka ini, Tante!" pekik kuat Prima.

Tante Gia kali ini tidak bersama Om Riko. Ia hanya berdua dengan sekretarisnya. Kulirik Jorda. Raut wajah yang tadinya datar perlahan terlihat cemas. Ia pun membenarkan posisi topinya. Sepertinya kali ini kami akan menonton akan ada adegan apa lagi di sini. Tante Gia pun menyuruh petugas tersebut melepaskan pegangannya, tapi petugas tersebut hanya bergeming tak menuruti permintaan Tante Gia. Jelas saja hal itu memancing emosinya.

"Saya bilang lepaskan Prima!" teriaknya lantang. Ternyata Tante Gia juga mengenal Prima.

"Maaf, Bu. Kami tidak bisa melawan perintah Dokter Jorda," sahut salah satu petugas yang memegang lengan Prima.

Raut Tante Gia semakin memanas lagi begitu mendengar alasan tersebut. "Jorda?! Dan kalian lebih menuruti permintaan dokter gila itu dibanding saya yang merupakan petinggi di Rabatik ini?! Hey! Yang menggaji kalian itu uang dari perusahaan keluarga saya bukan si Jorda Gila itu!" ujarnya tak terima sembari menyilangkan tangan di depan dada. Ia memakai dress hijau tua selutut dengan make up dempul yang terus tercetak di wajahnya.

Kulirik Jorda yang berdiri tepat di sampingku. Rahangnya mengeras. Pasti ia sangat kesal karena dibilang dokter gila. Kembali aku memandang ke depan menyaksikan kejadian yang dilihat oleh semua orang di sini.

"Tap ... tapi kan perintah Dokter Jorda sama dengan perintah Pak Tirga, Bu. Dan perintah dari Pak Tirga itu mutlak," jawab petugas keamanan satunya. Mereka berdua sebenarnya terlalu takut, tapi mereka tetap bertahan pada posisi masing-masing. Prima pun kelihatannya sudah lelah.

Tante Gia masa bodoh. Ia malah maju dan melepaskan pegangan kedua petugas itu dengan kasar. Kenapa sih selalu saja ada kejadian heboh di kantor ini? Kini tangan Prima sudah berpindah tangan ke Tante Gia. Napasnya naik turun.

"Dengar ya! Perintah saya tetap yang harus kalian turuti di sini. Jorda dengan Tirga itu beda! Perintah Jorda ya Jorda. Lagipula dia siapa sih?! Dia cuma dokter yang kebetulan akrab dengan keponakan saya! Jangan seenaknya mempunyai kendali di sini. Paham kalian berdua?!" marahnya besar.

Kulirik lagi Jorda. Ia menatap Tante Gia penuh ketidaksukaan. Lalu kupandang ke bawah. Tangannya masih menggenggam tanganku erat. Aku menghela napas pelan. Kalau dipikir benar juga apa kata Tante Gia. Jorda itu sebenarnya cuma sahabat Tirga yang harusnya tidak mempunyai kendali apa-apa pada Rabatik.

"Prima? Buat apa Prima datang ke sini?"

Sontak mataku langsung serasa ingin loncat keluar dari tempatnya. Itu Tirga! Ia ke sini dengan bantuan Jema yang mendorong kursi rodanya. Tante Gia dan Prima tampak terkejut dengan kehadiran Tirga.

"Kamu, Tir ...," ucap Tante Gia gugup.

Aku panik seketika. Tidak ada aku di sekitar Tirga sekarang. Dia kan tidak bisa melihat. Dan Prima tahu akan hal itu. Tirga tidak tahu di depannya ada siapa saja. Astaga! Aku harus bagaimana ini? Aku takut rahasia Tirga terbongkar. Aku harus menghubungi Jema. Kulepaskan tanganku dari Jorda kemudian mengambil ponsel dan menelpon Jemi agar mengganti posisinya denganku. Di telinga Jemi selalu terpasang headphone yang langsung terhubung jika ada telpon masuk.

"Jem, gue di antara kerumunan ini. Nanti begitu gue ke sana, gue langsung ambil posisi di belakang Tirga ya."

Jema celingak-celinguk mencari keberadaanku dan akhirnya ia menemukanku. Ia menganggukkan kepalanya. Saatnya aku menghampiri Tirga.

"Kamu mau ke mana, Mud?" tanya Jorda.

Oh iya ada Jorda. Aku sampai lupa akan kehadirannya di sampingku. "Aku mau menghampiri Tirga. Ini gawat karena dia nggak tahu di depannya ada Prima. Takutnya Tante Gia curiga."

"Ada Jema di situ. Kamu nggak perlu nyamperin Tirga. Harusnya dia terbiasa dengan keadaan kayak gini."

Mataku melotot kesal pada Jorda. "Kalau Tirga kenapa-kenapa gimana, Jor? Aku takut Prima bocor soal fisiknya dan semua kacau," ucapku pelan.

"Kamu nggak percaya Tirga? Ketika dia ke luar dari ruangan kerjanya tanpa aku dan kamu harusnya dia udah tahu resiko apa yang akan dia hadapi. Aku udah larang Tirga untuk turun tadi." Jorda berkata dengan sangat tegas.

"Tapi ...."

Jorda kembali meraih tanganku. "Jangan pergi. Kamu sama aku di sini. Kita lihat aja apa yang akan terjadi. Kalau memang gawat banget, baru kita muncul." Aku diam tak tahu harus menanggapi Jorda apa. Terkadang Jorda itu bagaimana ya. Aku bingung dengan sikapnya. "Aku juga nggak akan biarin Tirga jatuh lagi di tangan mereka, Mudya. Prita nggak akan berani beberin soal fisik Tirga." Jorda berbicara tanpa menatap wajahku.

"Prita?"

"Maksudku Prima."

Aku berdecak sebal. Yasudahlah. Kuturuti saja Jorda. Lagipula aku tak bisa kabur darinya dengan posisi tangan dalam kondisi digenggam kencang seperti ini. Lama-lama aku jadi bingung sendiri. Dari awal kedatangan Prima sebenarnya sering kali ia tak sengaja menyebut dirinya Prita dan sekarang Jorda juga salah menyebutkan nama Prima. Ah sudahlah. Tak ada habisnya membahas hal ini. Lebih baik aku kembali melihat kejadian di depanku.

"Iya. Aku di sini," Prima yang menjawab pertanyaan Tirga.

Bisa kuketahui, Tirga meneguk salivanya begitu Prima mengeluarkan suara. Tapi raut wajahnya terlihat tenang. Apa sebenarnya ia telah menyadari bahwa Prima ada di sini?

"Mau apa kamu ke sini?" tanya Tirga sinis.

"Aku lagi cari Jorda," jawab Prima tegas.

Tirga mengerutkan dahinya bingung. "Buat apa?"

"Aku ada urusan pribadi dengannya dan kamu nggak perlu tahu."

Mulut Jema terus komat kamit. Ah iya harusnya aku ingat bahwa Jema juga bisa berbicara dengan Tirga menggunakan headphone-nya itu. Selain aku dan Jorda, suara Jema juga terkoneksi dengan kacamata canggih Tirga. Pantas saja ia tidak kaget lagi begitu mengetahui ada Prima di sini.

"Urusan Jorda urusanku juga. Aku nggak akan kasih tahu keberadaan Jorda sampai kamu bilang maksud kamu apa."

Tangisan pun meledak dari mulut Prima. Ia langsung jatuh terduduk dan menangis hebat. Kemudian kuedarkan pandanganku ke sekitar. Bukannya sepi, tapi keadaan lobi malah semakin ramai. Kulihat Jorda. Matanya terus menatap lurus ke depan. Aku penasaran sebenarnya kenapa ia enggan menampakkan dirinya dan malah membiarkan Tirga menghadapi Prima sendirian?

"Prima, kamu kenapa? Jangan menangis di sini, Prim. Banyak orang menonton kamu," ujar Tante Gia yang jongkok dan memegang lengan Prima sambil menggelus punggung Prima. Bukannya mereda, tangis Prima malah semakin kencang.

"Tante, aku bisa gila. Ini semua benar-benar mau buat kepala aku pecah. Aku nggak pernah nyangka kalau kejadian ini bakal kayak gini. Harusnya aku nggak pernah mengiyakan ajakan Tante untuk masuk ke Rabatik," kata Prima terisak-isak.

Tante Gia terkesiap. Mukanya langsung memucat putih. Tangan Jorda pun lama kelamaan terasa dingin. Kupandangi dirinya dan secara tak sengaja aku menangkap Jorda yang sedang tersenyum miring. Mendadak pompa jantungku bekerja sangat ekstra. Aku merasa akan ada kejadian baru lagi di sini. Aku juga bisa mendengarkan bisik-bisik orang di sekitarku yang menyebut nama Prita. Ya para karyawan di sini pasti tahu Prita.

Dan di luar dugaanku, Tirga malah menggerakkan maju kursi rodanya. Aku ingin melangkah mendekatinya, tapi Jorda malah kembali menahanku. Ia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum manis. Kenapa pria ini menakutkan sih? Kutelan ludahku pasrah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kembali aku lihat Tirga dari posisi yang cukup jauh seperti ini.

Tangannya kini berusaha menggapai Prima. Prima bergerak cepat dengan menerima tangan Tirga. Air mata penuh di wajahnya. Aku benar-benar takut terjadi sesuatu dengan Tirga. Ah bodo amat dengan Jorda. Kuhempaskan kasar pegangannya kemudian berlari kencang menghampiri Tirga.

"Mana wajah kamu, Prita?" tanyanya dengan suara sangat pelan. Ya aku kini sudah berada di belakang mereka dan bisa mendengar suara mereka yang terdengar sangat lirih. Lagi-lagi aku dibuat bingung karena kali ini Tirga memanggil Prima dengan sebutan Prima.

Prima pun menyentuhkan tangan Tirga ke wajahnya. Tante Gia terus melihat gerak gerik aneh Tirga. Sumpah, aku takut kalau Tante Gia sampai tahu bahwa Tirga buta. Tapi aku bingung harus berbuat apa. Kini jemari Tirga sudah berada di wajah Prima dengan menyentuhnya lembut. Prima tersenyum terharu melihat sikap Tirga namun itu hanya sejenak karena ....

Plak!

Aku menutup mulutku tak percaya melihat adegan ini. Sama halnya dengan kami semua yang menyaksikan kejadian ini.

"Jangan sembarangan mengaku Prita! Prita sudah mati!" Tirga berkata dengan sangat lantang.

Prima pun bangun dan berdiri. Emosinya kembali meradang. Ia segera menghapus air matanya. Dipandanginya seluruh orang di ruangan ini. Tidak terkecuali aku.

"Prita belum mati, Adtirga! Belum mati! Maka dari itu aku butuh Jorda karena dia yang tahu di mana keberadaan saudara kembarku! Aku perlu tahu di mana Prima!" jeritnya kuat tanpa peduli dengan orang-orang yang memandanginya bingung.

Riuh tepuk tangan pun tiba-tiba menyambut kami di antara kami. Sontak kami semua ke arah suara dan tepuk tangan itu berasal dari ....

"Akhirnya aku dengar dari mulut kamu sendiri bahwa kamu adalah Prita. Akting kamu sudah cukup, Prita ...."

Dan kali ini gantian Tante Gia yang terjatuh terduduk di lantai. Tatapannya langsung kosong. Sekretarisnya langsung berlari menghampirinya. Sementara Tirga tangannya langsung bergetar dengan mata berkaca-kaca syok. Saat itu juga Jemi langsung menarik kursi roda Tirga meninggalkan tempat ini.

Aku di sini masih syok tak percaya. Jadi ....

"Sebenarnya Prima yang mati dalam kecelakaan itu?" tanya Tante Gia sangat pelan tak percaya.

Dan dugaanku benar. Akan ada kejadian heboh lagi di Rabatik.

***

Tanggapan yaaaa! Kalau antusias kalian tinggi akan cerita ini insya Allah akan fast update :))

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top