33
Plis lah komen dan votenya :( sebenarnya pada suka nggak sih sama cerita ini? Pencet bintang gampang kok :(
Happy reading!
-------------------------------------------------
Waktu terus berjalan sampai akhirnya tak terasa seminggu sudah berlalu. Tirga sama sekali tak membiarkan aku menjauh darinya. Aku benar-benar seperti pelayan pribadinya. Mulai dari menyiapkan alat mandi sampai menjelang ia tidur di malam hari. Melelahkan sekali rasanya. Tapi setidaknya perlakuan baikku di sini, dibalas dengan kabar baik dari Atan yang mengatakan ia dikembalikan bertugas seperti biasa. Jelas itu angin segar bagiku. Setidaknya perkataan Tirga dan Jorda bisa kupegang. Mereka benar-benar melepaskan Atan.
Atan juga beberapa kali memintaku untuk kembali padanya namun, aku tak mau ada sesuatu yang menimpa dirinya lagi. Sudah cukup aku melihat Atan menderita seperti kemarin. Apalagi yang kulihat Atan juga memiliki masalah meskipun aku tidak tahu itu masalah apa. Pada akhirnya aku berusaha meyakinkan Atan bahwa aku baik-baik saja di sini. Hingga akhirnya Atan menyerah dan berpesan agar aku bisa menjaga diri dan jangan menangis lagi. Kabarkan dirinya jika terjadi hal buruk yang menimpaku. Aku hanya mengiyakannya saja.
Toh sebenarnya aku tidak benar-benar buruk ketika di Rabatik. Yang membuat buruk hanyalah perlakuan Tirga dan Jorda yang penuh teka-teki dan sulit untuk kupahami. Tapi sudahlah. Aku yakin pada akhirnya ini semua akan terkuak. Hanya saja belum saatnya mungkin sekarang. Yang bisa kulakukan hanyalah bersabar dan terus menuruti permintaan baik Tirga mau pun Jorda.
Seperti sekarang. Baru saja aku menyiapkan pakaian yang akan Tirga kenakan untuk kerja hari ini. Dia benar-benar seperti raja.
"Nih bajunya. Kamu pakai sendiri bisa kan?" tanyaku sambil menaruh seluruh pakaian di atas pahanya kemudian berdiri dan bersiap untuk keluar dari kamarnya.
Tidak seperti biasanya. Tirga malah menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa. Aku nggak bisa pakai pakaian ini sendiri."
Kukerutkan dahiku bingung. "Selama ini kamu pakai pakaian kamu sendiri kan, Tir? Nggak usah manja deh."
"Selama ini Dodo yang pakaikan kecuali pakaian dalam. Dan detik ini aku maunya kamu yang memakaikan aku baju.
"Emang kamu nggak bisa pakai baju sendiri?" tanyaku sangsi.
Tirga menghela napas. "Susah, Mudya. Kamu coba deh pakai baju dengan mata tertutup. Pasti sulit. Gitu juga dengan aku," kilahnya tanpa beban sama sekali.
Aku mendengkus kesal. "Yaudah panggil Dodo aja sih. Kenapa mesti aku?"
"Karena aku maunya kamu."
"Tirga, aku itu cuma sekretaris kamu. Udah cukup ya kerjaan aku jagain kamu. Suapin kamu makan pagi siang dan malam. Nungguin kamu tidur. Dan sekarang juga pakai pakaian kamu. Kamu nggak keterlaluan sama aku?"
"Bukankah dari awal kamu memang dipersiapkan untuk itu makanya audisi itu sampai separah kemarin? Kamu memang diperuntukkan untuk aku, Mudya. Udahlah. Nurut aja."
Sebenarnya bukan itu masalahnya. Aku cukup geli melihat pria setengah telanjang. Oke. Tirga memang bilang mengenakan celana dalamnya sendiri. Tapi kan tetap saja badannya hampir secara keseluruhan bisa kulihat. Sekarang Tirga sedang mengenakan piyamanya. Baru saja para pelayan pria memandikannya. Rambutnya yang panjang saja sedang basah terurai. Lagipula aku tidak pernah menyentuh tubuh pria. Ya Allah, kenapa mesti ada adegan seperti ini sih?
"Tapi a--aku nggak biasa aja, Tir, makaiin baju orang," terangku jujur.
Tirga tersenyum miring. "Yaudah mulai sekarang biasakan." Kutarik napasku dalam kemudian kukeluarkan perlahan. Tangannya bahkan mulai meraba-raba mencari keberadaanku. Aku masih berdiri termenung di tempat yang sama. "Mudya, kamu di mana?" tanyanya lembut.
Kupandangi dirinya ketir. Diriku ragu menyentuh jemarinya seperti yang biasa aku lakukan jika Tirga mencariku. Kalau aku terima, pasti hal ini akan menjadi hal rutin yang akan kukerjakan dan aku ... tidak mau itu.
"Mud, kamu ragu sama saya? Saya tahu kamu masih di dekat sini. Wangi kamu masih terasa jelas di sini." Ya aku tak bisa berbohong. Sensor kacamata itu benar-benar bekerja dengan baik. "Kamu di mana? Kamu mau saya sakit dengan tidak memakai pakaian cukup lama seperti sekarang?"
Kuhela napasku panjang. Ya aku tak bisa menolaknya. Tirga adalah bosku dan aku bawahannya. Sudah kodratku menuruti segala permintaannya. Secara perlahan aku pun meraih tangan Tirga. Sesungging senyuman langsung tercetak di wajahnya. Dan lagi-lagi aku dibuat bingung dengan diriku sendiri. Kenapa seolah ada sengatan listrik di perasaanku?
Apalagi Tirga menarikku pelan mendekatinya. Mau tak mau aku terikut dan benar-benar berhenti ketika wajahku tepat berada di depannya. Astaga, mataku membesar. Pertama kalinya aku memandang Tirga dalam jarak sedekat ini. Kalau aku maju lagi, pasti wajahku akan bersentuhan dengan wajahnya. Kuteguk salivaku saking gugupnya.
Tangan Tirga satunya pun mengangkat kacamatanya ke atas rambut. Matanya dan mataku kali ini saling bertatapan. Ya Allah, aku tak bisa berkutik sekarang. Bola matanya yang lurus seolah bisa memandangku dalam. Kali ini bukan hanya sengatan listrik, tapi juga ada kupu-kupu yang menggelitik perutku.
"Ini wangi kamu. Saya akan tandai wangi ini. Setidaknya kalau suatu saat saya tidak memakai kacamata, saya akan tahu bahwa kamu masih berada di dekat saya," ucapnya sambil menarik tubuhku pelan menjauh.
Aku leganya setengah mati. Langsung kuatur napasku agar terdengar baik-baik saja. Ada untungnya Tirga tak bisa melihat. Ya aku tak perlu kelihatan panik. Beberapa detik kemudian, ia pun menyerahkan pakaian di atas pahanya ke tanganku. Senyum tak lepas dari wajahnya.
"Sekarang pakaian aku baju, Mudya. Tidak ada penolakan."
Kupejamkan mataku sejenak berusaha meyakinkan diriku bahwa ini semua akan baik-baik saja. Setelah aku yakin, kembali kubuka mataku. Kupandang dirinya. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Bawa aku ke tempat tidur. Para pelayan memakaikan aku baju dalam kondisi tidur."
Kukernyitkan dahiku bingung. "Pelayanmu pria kan?"
Tirga mengangguk. "Iya. Kenapa?"
"Kamu berat, Tir. Mana kuat aku angkat kamu." Aku berusaha menolaknya.
"Angkat juga tidak lama, Mudya. Tinggal dekatkan aku ke tempat tidur, lalu kamu rangkul aku dan tidurkan aku. Memangnya kamu bisa memakaikan aku baju dalam kondisi duduk? Bagian celananya nanti bagaimana? Malah lebih ribet. Di sini aku justru memudahkan kamu."
"Tap ...."
"Cepat, Mudya. Kita harus segera ke kantor kan? Belum sarapan dan lainnya."
Aku mendengkus kesal. Oke. Aku akan selalu kalah jika berdebat dengan pria di depanku ini. Dengan setengah hati, aku berjalan mendekatinya. Kemudian mendorong kursinya pelan. Tirga dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya malah merentangkan tangannya seolah bersiap bahwa dirinya akan diangkat. Kuraih tangannya ke bahuku lalu dengan sekuat tenaga kuangkat dirinya. Kurebahkan dirinya ke atas tempat tidur. Tirga tanpa penolakan sedikit pun menurutiku. Bathrobe masih menyelimuti tubuhnya.
"Sekarang pakaikan aku baju, Mudya," perintahnya lagi sambil melebarkan tangannya. Matanya lurus ke langit-langit.
"Iya," jawabku ketus.
Jujur, jantungku berdetak kencang. Ini benar-benar di luar perkiraanku. Tak pernah terbesit dalam pikiranku bahwa aku akan memakaikan baju untuk pria dewasa. Kuhembuskan napasku panjang. Aku cuma berharap semua ini baik-baik saja. Kupejamkan mataku sejenak sebelum naik ke atas tempat tidur. Dengan keadaan jantung yang berdegup luar biasa, aku mulai berada di atas tempat tidur. Kupandangi diri Tirga yang terlentang. Melihat senyumnya benar-benar membuat perasaanku tak menentu.
"Mud, kamu udah di atasku kan? Ayo bukakan bathrobe-ku."
Jemariku bergerak perlahan ke area pinggangnya. Semoga aku siap dengan pemandangan setelah kejadian ini. Berkali-kali kuteguk salivaku saking gugupnya. Mungkin karena saking lamanya, Tirga pun memegang tanganku dan menuntun ke daerah tali pada bathrobe.
"Buka ini. Lalu pakai pakaianku, Mudya. Kamu jangan takut," ujarnya kemudian melepaskan tanganku setelah menyentuh tali pada bathrobe.
Dan ya untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat tubuh pria hampir polos seperti yang ada di depanku ini. Untungnya Tirga sudah dipakaikan celana boxer. Dan aku terkejut karena tubuh Tirga penuh luka operasi. Ya bekas luka akibat pisau operasi jelas-jelas terukir di tubuhnya. Hmmm pasti ini adalah efek kecelakaan itu. Setelah proses yang cukup sulit ketika melepaskan bathrobe pada area tangan, akhirnya kini Tirga hanya tertutupi oleh celana boxernya saja.
"Sekarang, pakaikan pakaianku."
Kuambil segera pakaian yang tadi kuletakkan di atas tempat tidur. Hal pertama yang kulakukan adalah memakaikan kemeja di tubuh atletisnya. Ya dada bidang Tirga masih cukup jelas terlihat meskipun tidak terlihat begitu bugar. Ya bagaimana tidak. Secara tubuh Tirga juga sangat kurus. Berbeda dengan Jorda. Astaga, kenapa aku malah teringat pria itu? Langsung kugelengkan kepalaku membuyarkan lamunanku tentangnya.
Kali ini aku akan fokus membantu Tirga. Kubuka kancing pada kemeja biru muda ini. Setelah itu langkah pertama yang kulakukan adalah memasukkan tangannya ke salah satu lengan kemeja. Lalu dengan sekuat tenaga, kuangkat tubuhnya sedikit agar kemeja ini bisa melewati punggungnya. Napasku tersengal-sengal. Dan alhamdulilah akhirnya kini kedua tangan Tirga sudah masuk ke lengan kemeja satunya. Posisiku yang sedikit mengangkat tubuhnya jelas membuat jarak wajahku dan Tirga menjadi sangat dekat. Yang membuat kinerja jantungku tak karuan adalah gerakan kepala Tirga yang mengikuti ke mana arah tubuhku bergerak.
Untungnya hal ini sudah selesai dan kini saatnya mengancing kemeja Tirga. Namun, di saat aku ingin mengangkat diriku untuk duduk, tangan Tirga malah menahan punggungku sehingga posisiku yang sedikit membungkuk tak bisa berkutik. Tangan Tirga satunya lagi malah menekan tubuhku sehingga posisi kakiku yang tadinya menekuk jadi lurus sekarang dan tubuhku menempel di tubuhnya.
"Tir, ma--mau a--apa?" tanyaku gugup.
Mataku membesar. Jarak wajahku kali ini benar-benar tinggal beberapa inci lagi bersentuhan. Untungnya tubuhku menimpa dirinya dari posisi samping. Bukannya menjawab pertanyaanku, senyum Tirga malah semakin lebar. Bola matanya pun bergerak ke arahku. Kali ini aku tak bisa menampik lagi. Jantungku rasanya mau copot. Aku seolah saling bertatapan satu sama lain.
"Tir ...." Kembali kupanggil dirinya.
Senyumnya pun memudar. Salah satu tangannya yang menahan punggungku pun bergerak ke arah wajahku. Kupejamkan mataku takut diapa-apakan oleh Tirga. Jemarinya pun menyentuh pelipisku. Secara lembut jarinya mulai menjelajahi wajahku. Ketakutanku sirna dan kubuka mataku. Aku kaget karena yang kulihat di depanku bukanlah Tirga yang tersenyum lebar lagi melainkan seorang pria yang sedang berkaca-kaca sambil meraba wajahku.
Ya pertama ia menyusuri pelipisku. Lalu ke dahiku dan turun menuju hidungku. Terus bergerak sampai ke bibirku. Cukup lama berdiam di bibirku. Jarinya mengelus bibirku lembut kemudian bergerak ke dagu dan pipi. Lalu ke rambut dan turun lagi ke pipi sampai berhenti di area bibir lagi.
"Aku penasaran, Mudya ...." Akhirnya keluar juga kalimat Tirga.
Tangannya masih terus menyentuh area wajahku lembut. "Penasaran apa?"
"Sudah lama aku tidak menyentuh wajah wanita. Terakhir adalah Alysam sehingga aku ingat sekali dengan lekukan di tiap guratan wajahnya. Aku bingung. Hati kecilku berusaha memastikan apakah kamu dan Alysam adalah orang yang sama, tapi sepertinya tidak. Wajah kamu punya hal yang berbeda. Di bibir ini .... Bibir ini tidak sama dengan Alysam ...."
Selalu saja Alysam. Tidak Tirga. Tidak Jorda. Kedua pria itu terus menyebut nama Alysam tiap kali berhubungan denganku dan lama-lama tak munafik, hati kecilku benci hal itu.
"Aku memang bukan Alysam, Tir .... Aku adalah Mudya. Pramudya Sas ...."
Cup!
Tirga mengecup bibirku singkat. "Iya. Kamu Pramudya Sasqrina. Aku tahu itu. Kamu bukan Alysam. Kamu berbeda ...."
Tanganku bergerak sigap menutup mulutku dan menjauhkan tangannya. Tubuhku ingin bangkit, tapi Tirga langsung menahannya dengan kuat. Jelas tubuhku jadi tak bisa bergerak sama sekali.
"Tir, lepaskan. Mau kamu apa sih?"
"Kapan-kapan kita ke mansion ya. Cukup kita berdua saja." Ia malah tidak menjawab pertanyaanku.
"Mau ngapain?" tanyaku tak terima.
"Aku benar-benar ingin tahu rupa kamu. Ya aku nggak peduli kamu mau cantik atau tidak. Aku hanya ingin mengenang wajah kamu dan cara untuk mengingat wajah kamu dengan kembali ke mansion."
Tiba-tiba saja aku teringat suatu tempat, "Ke ruangan rahasia kamu itu?"
Seringai Tirga kembali muncul. "Iya."
Pria ini sepertinya benar-benar nyaman dan tak keberatan karena kutimpa seperti sekarang. Tapi tidak denganku. Napasku naik turun cepat menahan dentuman jantungku yang terus bekerja ekstra. Semoga saja Tirga tidak merasakannya.
"Mud, Allah itu maha adil. Ketika salah satu indera kita tidak berfungsi, maka indera lainnya akan dilebihkan kemampuannya dan sekarang aku merasakannya. Jantung kamu berdetak cepat seolah ingin menembus jantungku haha."
Sialan! Mataku membesar. Tanpa banyak bicara langsung saja aku bangkit tanpa mempedulikan tangan Tirga yang menahanku. Tirga malah terbahak keras melihat reaksiku. Langsung aku berdiri dan merapikan bajuku yang berantakan akibat kejadian barusan. Ingin rasanya aku cepat-cepat pergi dari sini namun, niat kuurungkan karena ....
"Mudya, jangan lupa. Kamu cuma baru memakaikan aku kemeja. Celananya belum. Kamu mau membiarkan aku ke kantor hanya mengenakan boxer seperti ini?"
Astaga, kutepuk jidatku. Ini karena saking paniknya aku akan kejadian barusan. Ya Allah, apakah aku senista itu? Kemarin baru saja Jorda yang mencium bibirku dan sekarang Tirga. Bagaimana bisa hanya dalam dua hari ada dua pria berbeda yang mengecupku? Tanganku terus bergerak menghapus bekas ciuman dari Tirga ini. Napasku naik turun. Jujur, bukan ini yang kumau ketika bekerja di Rabatik.
Daripada berlama-lama di sini sebaiknya aku segera menuruti perintahnya. Tanganku bergerak sigap mengambil celana di atas tempat tidur dan memakaikannya ke Tirga. Senyum menyebalkan Tirga tak kunjung luntur dari wajahnya. Grogi sekali ya Allah. Dan akhirnya aku selesai juga memakaikan celana Tirga. Aku kembali berdiri di tepi tempat tidur dan kembali dibuat terheran-heran karena Tirga kali ini mengangkat tangannya seolah minta digendong.
"Mau apa lagi, Tir?" tanyaku malas.
"Ya aku mau duduk lagi. Lalu meminta kamu melanjutkan tugas kamu seperti biasa. Setelah ini kan kamu seharusnya menyisir rambutku dan merapikannya. Memakaikan aku parfum. Kamu lupa?"
Lagi-lagi rentetan tugasku lenyap dari ingatanku. Tirga ini benar-benar pria tak berperasaan ya. Bagaimana dia bisa menganggap hal barusan adalah hal biasa? Dia menciumku loh! Dirinya sama saja seperti Jorda! Ah iya aku lupa. Tirga itu kan playboy. Pasti ciuman barusan hanyalah angin lewat baginya. Kuhela napasku dan kurundukkan kepalaku. Aku tersenyum getir. Bodoh sekali dirimu, Mudya. Harusnya tak perlu ambil pusing dengan sikap dua pria Rabatik itu.
Kuangkat wajahku. Kubuang napasku kasar. Ya. Kembali ke profesi awalku di sini. Aku hanyalah seorang sekretaris pribadi yang dibayar tinggi untuk merawat orang sakit dan berakting bahwa sebenarnya yang kulayani bukanlah orang sakit. Hmmm.
Aku pun mendekatinya dan membantu Tirga duduk. Kemudian kembali menggendongnya pelan menuju kursi rodanya. Tirga Tirga. Dia lupa bahwa aku adalah seorang wanita? Untung saja tenagaku cukup kuat mengangkat tubuhnya yang tidak ringan itu. Kemarin-kemarin selalu Jema dan pasukannya yang membantu Tirga ke kursi roda setelah dipakaikan pakaian. Tapi aku mencoba untuk tidak mengeluh. Meskipun dongkolnya setengah mati.
"Yaudah sekarang sisir rambutku. Ayo cepat!" suruhnya lagi seperti raja.
"Iya."
Dan aku terus melakukan segala perintah Tirga tanpa interupsi sampai akhirnya tiba di meja makan. Di sana sudah ada Jorda yang menunggu kami. Ia sedang memotong steak di depannya. Jorda seperti biasa terlihat tampan dengan kemeja kotak-kotak hitam kecil dan celana bahan abu-abu. Ia melirikku sekilas.
"Tir, gue ikut ke Rabatik hari ini," lapor Jorda.
Tirga menautkan alisnya. "Tumben. Pasien lo gimana?"
"Aman. Kondisinya udah stabil lagi makanya gue bisa balik ke sini." Jorda pun menatapku. Aku berusaha mengabaikannya dengan menyuapi Tirga makanan. "Lo gimana sama Mudya di Rabatik seminggu tanpa gue?"
Tirga menyengir. "Senanglah. Ternyata tanpa adanya elo dan cuma dengan kehadiran Mudya, gue bisa hadapi mereka semua."
Adegan memotong steak Jorda terhenti seketika. Tatapannya berubah tajam. "Lo senang dengan Mudya tanpa adanya gue, Tir?"
"Ya gue senang. Tapi tetap lebih senang ketika ada kita bertiga, Tir. Entah kenapa momen kita bertiga itu mengingatkan hubungan kita bertiga dulu dengan Alysam."
"Uhuk uhuk." Jorda langsung terbatuk-batuk mendengarkan pernyataan Tirga. Aku pun bergerak sigap memberikan segelas air putih padanya. Jorda menerimanya dan langsung meneguk sampai tandas.
"Kenapa, Jor?" tanya Tirga cemas.
Jorda menggelengkan kepalanya. "Nggak kenapa-napa."
Aku pun menyuap Tirga lagi, namun Tirga menepisnya pelan. Tirga itu doyannya bubur jadi setiap pagi, menu yang tersedia khusus buatnya adalah bubur ayam.
"Jor, gue sadar dengan kondisi gue yang belum sehat sempurna ini. Gue udah nyiapin mental gue juga untuk tahu semua kebenaran ini. Oke. Gue udah bisa nerima kenyataan bahwa Alysam udah nggak ada. Bawa gue ke makam Alysam, Jor."
Jorda terdiam tak percaya. "Gue nggak mau lo sakit lagi, Tir ...."
Tirga tersenyum getir. "Gue kuat kok. Gue kangen banget sama cewek itu. Cewek yang ngejar-ngejar gue meskipun udah gue tolak berkali-kali. Cewek yang akhirnya membuat gue tanpa sadar bahwa gue sayang banget sama dia. Cewek yang bisa buat gue lupa bahwa sebenarnya ada sosok lain yang sakit kalau lihat hubungan kami."
"Dan sosok cewek yang akhirnya sampai rela diajak tidur sama lo ...."
"Jor ...."
Kuperhatikan wajah Jorda yang menatap Tirga tidak suka. Rahangnya mengeras. Matanya memerah kesal.
"Gue boleh bilang kalau gue pernah benci sama lo nggak sih, Tir?" Napas Jorda terdengar tertahan penuh amarah.
"Gue nggak pernah tahu kalau lo suka sama Alysam, Jor. Gue juga nggak tahu lo sampai segitunya ngebiarin Alysam bahagia sama gue. Gue juga nggak tahu kalau ternyata Alysam yang mohon-mohon sama lo supaya dia sama gue. Maka dari itu lo biarin nyokap Alysam dan bokap lo nikah. Sumpah, Jor!" ungkap Tirga sambil merundukkan kepalanya.
"Dan bodohnya lagi, lo bukannya sama Alysam tapi malah jatuh cinta dengan wanita iblis itu. Prita. Lo nggak ngerti gimana merananya gue waktu itu, Tir ...." Tangan Jorda sudah tidak memegang sendok dan garpu. Ia mengepalkan tangannya menahan emosi.
"Maaf, Jor .... Gue juga bingung. Setiap kali Alysam dekatin gue, gue nggak bisa nolak. Gue nggak pernah tahu maksud Alysam selama ini karena dia suka sama gue. Sampai akhirnya dia bilang ketika di depan Prita, barulah gue sadar. Bahwa perasaan Alysam bukan perasaan biasa la ...."
"Dan di situlah awal mula kecelakaan itu, Tir. Ketika lo sadar bahwa Alysam juga suka sama lo. Lo malah ngebuat semuanya kacau. Lo biarin Prita cemburu buta sampai dia bisa-bisanya nyulik Alysam dan menuruti segala perintah gila Om Riko dan Tante Gia. Lo nggak bisa milih di antara mereka berdua, Tir!" geram Jorda. Terlihat sekali betapa Jorda telah menahan kekesalannya selama ini pada Tirga.
Aku hanya bisa diam menyaksikan perdebatan dua pria ini yang lagi-lagi soal Alysam dan Prita. Ingin sekali aku menyingkir dari sini, tapi nanti pasti ada adegan di mana mereka akan menyebut namaku untuk melarangku pergi. Lebih baik aku duduk manis seolah tak ada di sini bersama mereka.
"Di sisi lain gue sayang banget Prita, Jor. Tapi di sisi lain ketika Alysam mengungkapkan semuanya gue juga nggak bisa apa-apa. Gue juga bingung. Gue sayang kebangetan sama Alysam sebagai orang yang gue sayang dan gue nggak tega nolak dia. Gue juga sayang banget sama Prita sebagai wanita yang bisa buat gue jatuh cinta. Di saat gue tahu kalau lo sayang sama Alysam sebagai seorang wanita meskipun gue sadar status lo sekarang dengan dia adalah kakak beradik, gue berusaha jauhin Alysam. Tapi Alysam kekeuh dan sekali lagi gue nggak bisa apa-apa. Lo nggak ngerti posisi gue, Jor ...." Badan Tirga bergetar dan suaranya tertahan menahan sakit. Apa ini tidak salah? Tirga kembali menangis?
"Lo itu berasa sok laku, Tir. Seandainya lo tegas sedikit aja, nggak akan ada adegan kecelakaan konyol itu. Dan nggak akan ada adegan kita harus buat orang lain ikut merasakan dampak kecelakaan itu!" Kali ini nada bicara Jorda sudah meninggi.
Kutatap bola mata Jorda. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Apa maksudnya dampak itu adalah aku dan keluargaku?
"Maksud lo?"
Jorda tersenyum getir. Diliriknya aku dengan tatapan sendu. "Ya memang kecelakaan yang menimpa lo itu murni karena rem lo dibuat blong oleh Prita karena cemburu pada hubungan lo dan Alysam. Dan itu ya karena perintah keluarga lo. Tapi lo pasti nggak nyangka, selain elo dan Alysam, Prita juga merupakan korban kecelakaan itu."
Tirga mengangkat wajahnya. Ia sudah melepaskan kacamatanya. Mata Tirga berair. Mulutnya menganga kaget. "Hah? P-p-prita juga? Se-se-sekarang dia di mana, Jor?" Wajahnya terlihat bersemangat ketika membahas Prita.
"Lo udah buat semua kacau, Tir. Lo udah buat Alysam pergi dari dunia ini. Satu-satunya wanita yang buat gue suka cuma Alysam seumur hidup gue dan karena kisah percintaan konyol lo itu, lo malah buat Alysam nggak di dunia lagi." Air mata mengalir dari sudut mata Jorda.
Melihat dua pria di depanku ini menangis, membuatku dilema. Aku harus iba kepada yang mana?
"Jor, Prita di mana? Maaf .... Maaf .... Gue juga nggak pernah tahu kalau kisah kita akan begini." Tirga menangis terisak-isak. Ia bahkan meraba ke depan berusaha mencari Jorda. Jorda bergeming dan cuek dengan sikap Tirga. Haruskah aku membantu Tirga? Tapi melihat tatapan Jorda yang dingin membuatku takut.
"itu hukuman buat lo, Tir. Gue nggak akan kasih tahu dengan gampangnya di mana Prita sekarang."
"Farjorda!" pekik Tirga kuat dengan tangis histeris. Ia bahkan memukul meja dengan kepalan kedua tangannya.
"Dan lo tahu siapa lagi korban dari kecelakaan itu, Tir?" tanya Jorda lagi tanpa peduli dengan keadaan Tirga. Air matanya juga terus mengalir.
Entah kenapa jantungku berdetak cepat seketika. Napasku rasanya tercekat. Kok tiba-tiba rasa takut menyelimuti diriku? Aku takut jawabannya adalah ....
"Mudya, Adtirga ...."
"Mudya?! Bagaimana bisa?!" Pekikan Tirga lebih kuat lagi dari sebelumnya.
Aku cuma bisa tercengang syok mendengarnya. Aku? Kenapa bisa?! Kuteguk salivaku. Ya Tuhan, ini ada apa? Kenapa semuanya serba membingungkan ....
***
Please dong tanggapannya. Banyak komen apa? Biar gue semangat gitu :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top