30
Maaf bgt lama update.
Baca aja ya. Vote dan Komen selalu ditunggu. Itu bisa jadi penyemangat loh.
Happy reading!!!
--------------------------------------
"Tan, ini pertama kalinya loh Tirga mohon sama gue kayak tadi. Dia itu anti banget minta tolong sama orang. Ngucapin makasih aja waktu itu gue yang nyuruh. Lo lihat kan tadi nadanya melas banget. Belum ekspresi wajah dia," curahku begitu kami tiba di depan teras kontrakanku.
Ya Atan melepaskan tanganku dan memilih duduk di depan terasku. Kebetulan di tiap teras depan kontrakan terdapat tempat duduk yang menyatu langsung dengan tiang teras. Dan kini kami di sini. Duduk bersebelahan. Atan merundukkan kepalanya.
"Bodo amat gue, Mud. Paling dia akting aja biar lo kasihan sama dia dan akhirnya mau jadi sekretarisnya dia lagi," ucap Atan sinis.
Kuhembuskan napasku panjang. "Lo pasti kesal banget ya sama kata-kata mereka tadi yang ngatain keluarga lo."
Atan langsung menolehkan kepalanya padaku dan menatapku kesal. "Mulut mereka itu kayak nggak pernah disekolahin tahu nggak, Mud. Gue jadi kebayang sekarang waktu yang lo habiskan sama mereka lebih dari 24 jam. Ya ampun, pasti ngelus dada banget ya. Gue tahu sih pamor mereka berdua emang tinggi banget. Dan dari kabar simpang siur, sikap mereka itu emang terkenal songong. Meskipun lebih songong Tirga ya. Tapi Jorda gila juga kalau ngatain orang. Belum lagi si Buta itu. Udah tahu buta bukannya sadar diri sama omongan."
Langsung kupukul kecil bahu Atan. "Ih nggak boleh ngatain buta gitu, Tan. Istighfar ...."
Atan tertawa kecil. Ia pun menyebut astaghfirullah di depanku. Aku ikut tertawa kecil sepertinya. Kemudian ditatapnya aku sendu lalu dibelainya rambutku lembut. "Lo tahu nggak, pas gue lihat lo pertama kali. Lo ngingatin gue sama adik gue. Lo tuh udah gue anggap kayak adik gue, Mud. Makanya pas ngebayangin lo diperlakukan semena-mena sama mereka berdua. Hati gue mendidih. Panas aja gitu rasanya. Gue sih nggak apa-apa ya dihina sama mereka. Tapi nggak dengan lo. Apalagi lihat lo yang nangis mulu. Sedih tahu gue ...."
Kuturunkan tangan Atan. "Gue itu kuat tahu, Tan. Lo tenang aja. Gue udah biasa hadapi sikap mereka."
"Mud, gue akan bantu lo untuk bongkar semuanya. Lo tunggu aja. Gue perlu mastiin sesuatu lagi baru gue kasih tahu detailnya. Untuk saat ini, lo jangan terima permintaan mereka. Soal pekerjaan nanti gue bantu lo nyari."
Aku mengangguk. "Ya ampun, Atan. Untung aja dari awal lo bilang kita itu adik kakak ya. Kalau nggak mungkin gue baper kali sama lo."
Kali ini tawa meledak dari mulut Atan. "Jangan, Mud. Gue nggak bisa suka sama lo haha. Lo itu udah gue anggap kayak adik gue sendiri. Nggak tahu lah. Sulit rasanya jatuh cinta semenjak kehidupan keluarga gue hancur."
"Ah iya, Tan. Tadi lo sebut Elis atau Elisyia gitu. Itu siapa?" tanyaku.
Raut Atan mendadak berubah. "Seseorang yang gue rindukan amat sangat, Mudya."
Dari nada bicaranya bisa kuketahui bahwa Atan tak ingin membicarakan hal ini. Kuurungkan niatku. Kalau Atan mau cerita, pasti ia akan membeberkannya tanpa kuminta. Suasana pun hening. Hanya terdengar suara jangkrik menemani kami. Atan menatap kosong lurus ke depan. Sebaiknya aku masuk ke dalam saja. Tak enak rasanya berdua seperti ini bersamanya. Aku pun beranjak. Kemudian kulangkahkan kakiku, tapi terhenti karena Atan menahan tanganku.
"Mud ...," panggilnya lirih. Matanya berkaca-kaca menatapku.
"Iya, Tan ...."
"Kalau terjadi sesuatu sama gue dan gue menghilang, plis jangan cari gue ...."
Jelas aku tak mengerti dengan ucapannya. "Maksud lo apa?"
Atan pun melepaskan tangannya. "Lo satu-satunya orang yang gue percaya di dunia ini, Mud. Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa. Gue sayang banget sama lo. Dan ketika terjadi sesuatu itu artinya ada masalah sama gue dan gue nggak mau lo kena masalah gue."
"Tan, gue nggak ngerti ...."
Atan malah tersenyum. "Nanti juga tahu. Yaudah sana lo masuk. Tidur. Jangan lupa cuci muka dan cuci tangan." Di saat aku ingin bertanya lagi, Atan malah mendorong tubuhku pelan sehingga aku tak jadi bertanya lebih lanjut. Atan pun kembali menatap lurus ke depan.
Atan kenapa sih?
***
Seminggu kemudian ....
"Mud, mending lo gabung ke Rabatik lagi deh. Nggak ada lo benar-benar buat Mas Tir dan Mas Jor kebingungan. Ngadepin Om Riko dan Tante Gia susah kan? Bahkan gue juga ikut-ikutan bantu mereka supaya nggak ketahuan. Seriusan deh."
Dodo menelponku di sore hari. Ya aku baru saja telah selesai melakukan wawancara di salah satu perusahaan besar di Indonesia. Kuputuskan untuk duduk di lobi sebentar karena aku tahu pembicaraanku dengan Dodo pasti sangat serius. Ya selama seminggu ini, Jorda dan Tirga memang tidak mendatangi kontrakanku lagi. Namun, mereka tak henti-hentinya menelpon dan meng-sms-ku agar aku mau kembali menjadi sekretaris Tirga. Tapi ya semua itu kuabaikan.
"Kenapa sih, Do? Gue malas tahu lagi-lagi bahas soal Rabatik," ujarku sebal.
Aku bisa mendengar helaan napas Dodo dari seberang sana. "Kita semua butuh lo, Mud. Gue dan Kiran juga semuanya. Kita semua pusing. Lagipula Mas Tir dan Mas Jor itu udah percaya banget sama lo. Lo juga satu-satunya yang tahu hampir sebagian rahasia Rabatik. Nggak mudah bagi mereka cari sekretaris lagi. Mas Tir juga kasihan sakit mulu. Sama halnya kayak Mas Jor yang kelelahan ngurus Mas Tir. Lo beneran nggak bisa balik? Demi kita semua, Mud."
Aku termenung mencoba berpikir lagi. Hmmm, masuk ke Rabatik itu sama saja dengan mencari masalah. Ya memang sekarang statusku masih pengangguran, tapi pikiranku tak pernah capek memikirkan betapa kekurangannya aku sekarang. Lain halnya dengan Rabatik. Pasti masalah terkait keluargaku akan terungkit lagi. Padahal sejujurnya aku sudah mulai ikhlas dengan kejadian yang sebenarnya. Ya aku sudah tidak peduli lagi akan hal itu daripada menimbulkan luka.
"Lo nggak mikirin gue banget sih, Do. Lo kira masuk ke sana nggak bakal buat gue pusing? Iya sekarang lo semua di sana pusing. Tapi ketika gue di sana, gue juga lebih pusing. Ngadepin sikap Tirga dan Jorda itu buat kepala gue mau pecah ya, Do. Apalagi soal-soal kisah kecelakaan gue yang masih kita pertanyakan dan itu semua secara nggak langsung ada hubungannya sama gue!" terangku malas.
Dodo terdengar tidak menyerah. "Mud, tiap hari nama lo disebut di sini. Bahkan si Kiran nanyain lo mulu. Karena dia sibuk banget di sini, jadinya dia susah lihat ponsel. Gue cuma mau bilang, hati-hati aja. Mas Tir dan Mas Jor nggak akan semudah itu lepasin lo. Lo itu udah kayak benda berharga di sini. Dan ...."
Aku tak mendengar suara Dodo lagi karena ada suara yang memanggilku. "Mudya? Lo beneran Mudya?"
Tanganku secara otomatis menurunkan ponsel dari telingaku. Mataku membesar tak menyangka karena aku bertemu dengannya lagi. Ya Tuhan, kenapa dunia sempit sekali? Langsung kumasukkan ponselku ke dalam tas. Duh, mendadak aku jadi panik begini? Apalagi orang ini langsung duduk di sampingku tanpa beban.
"Astaga beneran Mudya. Lo ngapain di sini? Bukannya lo harusnya di Rabatik sono?" tanyanya sok ramah.
Kuteguk ludahku. Rasanya degdegan sekali. Mulutku rasanya membeku. Ehm, apa sebaiknya aku pergi saja ya dari sini? Aku tak mau berlama-lama dengan dirinya. Niatku urung dilakukan karena orang ini malah menahan lenganku.
"Lo mau ke mana, Mud? Di sini aja. Gue nggak akan benci orang kalau orang itu udah nggak ada urusannya sama gue dan bukan rival gue. Kalau cuma mantan rival mah ya bodo amat lah." Jelas tak semudah itu aku percaya dengan ucapan Tayana. Kupicingkan mataku tak yakin. Tayana malah tertawa lebar. "Mud, gue nggak sejahat yang lo pikir kok. Gue itu cuma apa adanya jadi orang. Kalau gue bete dan nggak suka ya gue tunjukin. Gue nggak pura-pura. Dan sekarang gue biasa aja sama lo."
"Ehm ... yakin biasa aja? Bukannya lo benci banget sama gue, Tay?" tanyaku ragu.
Tayana tersenyum. Matanya menerawang ke arah lain. "Gue nggak benci sama lo. Tapi gue benci sama keadaan. Bisa dibilang gue itu tergila-gila sama Tirga. Selama ini gue ngejar-ngejar Tirga bahkan gue sempat berantem sama Prita karena dia rebut Tirga sama gue. Ya seperti yang lo tahu, gue cari dia ke mana-mana pas dia menghilang. Tapi ternyata Tirga brengsek dan setelah gue pikir-pikir pas gue udah keluar dari Rabatik. Ada bagusnya gue keluar dari sana."
"Apa?"
Tayana menoleh melihatku. Tayana tampil cantik seperti biasanya. Ia mengenakan dress hitam di atas lutut dengan high heels hitam yang semakin membuat tubuh tingginya menjulang. Rambut hitam lurusnya ia biarkan tergerai.
"Rabatik itu ribet. Dan setelah gue ingat-ingat lagi, gue nggak akan kuat menghadapi sikap Tirga dan Jorda sekaligus. Mereka berdua itu nyeremin, Mud. Ya misalkan nih, Tirga mau sama gue, tapi Jorda nggak setuju. Pasti bakal gawat. Begitu juga sebaliknya. Gue berapa hari coba galau gara-gara tereliminasi waktu itu dan kesimpulan yang gue dapat, gue akan ikhlas lepasin Tirga."
Aku jadi penasaran maksud ucapan Tayana. Tayana yang sekarang sangat berbeda dengan Tayana yang biasanya. Apa sebenarnya Tayana yang di hadapanku kali ini adalah Tayana yang asli?
"Ehm ... emang lo punya pengalaman buruk sama mereka berdua?" tanyaku agak takut.
Tayana melirikku. "Mud, biasa aja deh sama gue. Gue udah nggak ada urusan sama lo lagi, jadi lupain sikap gue yang dulu. Lo juga lagi nggak buat kesal. Plis deh, lo kelihatan banget kali kalau takut sama gue."
Ya siapa yang tidak takut. Aku ingat betul dengan semua perlakuan Tayana padaku semenjak aku bertemu dengannya pertama kali di audisi Rabatik. Bahkan sampai di hari akhir perpisahan kami. Melihat perubahannya yang mendadak ramah seperti ini tentu saja membuatku takut, ragu dan juga bertanya-tanya.
"Mud, plis biasa aja kali sama gue. Gue itu orangnya nggak bisa pura-pura. Kalau gue nggak suka, gue bakal nggak suka. Kalau suka ya bakal suka. Dan kalau pun gue udah biasa aja ya gue bakal biasa aja." Tayana berusaha meyakinkanku.
Aku masih menatapnya tak percaya. Kini Tayana malah terbahak. Astaga, kok jadi aku yang bingung ya dengan dirinya? Sekarang ia meraih tanganku. Sebenarnya anak ini mau apa sih?
"Nih gue minta maaf deh. Gue benar-benar minta maaf. Ya maklum aja, Mud. Gue kan gila banget sama Tirga jadi gue anggap semua wanita kemarin saingan gue. Termasuk elo. Tapi sekarang gue beneran nggak bohong. Gue udah berusaha lupain semua hal yang berkaitan dengan Tirga dan Jorda." Tangan Tayana pun perlahan melepaskan tangannya dariku. Wajahnya yang ceria berubah murung.
Kutarik napasku sejenak. Aku rasa tak ada salahnya memaafkan Tayana. Ya perkara dia bohong juga aku tidak peduli. Toh cukup kali ini saja aku bertemu dengannya. Kembali kuraih tangannya. Kupasang senyumku yang paling manis. Sebenarnya kalau dipikir nasib Tayana juga tak kalah menyedihkan. Ya siapa wanita yang tidak gila ketika harta paling berharganya dia beri cuma-cuma hanya karena saking sayangnya dia, tapi ternyata pria itu tidak sesuai dugaannya. Pria itu malah bersama wanita lain.
"Iya, Tay. Sori. Gue masih nggak percaya aja lo yang ya kayaknya benci banget sama gue sekarang malah ramah banget kayak gini. Wajar kan?"
Tayana terkekeh. "Iya sih haha. Tapi beneran gue udah berusaha lupain semuanya, Mud. Gue mikir juga pasti ada alasan kenapa mereka segitunya sama lo."
Senyumku berubah menjadi kecut. "Gue udah nggak mikirin hal itu lagi, Tay ...."
"Ah iya. Hampir aja gue lupa. Kok lo bisa di kantor bokap gue?"
Hah? Kali ini aku yang terkejut. Kuedarkan pandanganku. Ya Tuhan, dunia sempit sekali. Kuteguk ludahku. Tayana memang berasal dari keluarga berada. Perusahaan yang barusan melakukan wawancara padaku ini adalah perusahaan retail yang cukup besar dan ternama di Indonesia.
Kembali ke topik. Haruskah aku jujur padanya soal diriku yang sudah mundur dari sekretaris Rabatik?
"Mud ...." Panggilan Tayana membuyarkan lamunanku. Mata kami bertemu. Tayana menatapku penuh tanda tanya. "Gue nggak yakin lo di-cut dari Rabatik. Lo pasti mundur kan dari sana? Benar nggak dugaan gue?" Bibirku membeku. Kami sama-sama diam. Tayana memutar bola matanya ke atas. "Oke. Kayaknya dugaan gue benar. Nggak mungkin lo di sini." Kemudian Tayana memandangku dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Lo pasti abis interview. God, Mudya. Gue nggak nyangka lo beneran mundur. Terus Kiran masih di sana kan?" tanyanya syok dengan mata membesar.
Aku mengangguk. Tayana mengusap rambutnya ke belakang. "Mud, gue nggak nyangka lo mundur dan mereka lepasin lo gitu aja. Kok bisa?!"
"Gue nggak sanggup, Tay. Gue nggak bisa menghadapi mereka berdua ...."
Tayana menatapku sedih. "Mud, gue boleh ngomong sesuatu nggak sama lo?"
"Apa?"
"Lo berani banget asli mundur dari Rabatik. Kendali mereka besar banget apalagi dalam kehidupan karir lo. Gue yakin lo udah banyak banget interview kan? Satu pun nggak ada yang nerima lo kan?" tanya Tayana. Aku mengangguk lagi. "Itu karena lo udah masuk dalam blacklist, Mudya."
Ya aku sudah tahu akan hal itu. "Termasuk di sini?"
Tayana mengangguk pelan. "Rabatik berandil besar dalam perusahaan bokap gue. Jadi bokap gue nggak bisa apa-apa ketika Rabatik ngasih nama orang yang di-blacklist. Termasuk gue. Gue aja baru sadar, Mud, kalau Tirga dan Jorda itu nyeremin. Kenapa lo nggak bertahan di sana aja sih? Mereka itu akan lakuin segala cara supaya lo balik lagi." Nada Tayana terdengar cemas. "Gue aja kapok tahu nggak sama mereka berdua. Tapi menurut gue lebih nyeremin Jorda sih. Ya seperti yang kita tahu. Tirga kan udah nggak bisa apa-apa."
Mendengar ucapan Tayana mau tak mau membuat pikiranku jadi tak karuan. Ya Tuhan, cobaan sekali sih. Jadi intinya segala usahaku sia-sia melakukan interview sana sini demi mendapatkan pekerjaan. Kuhela napasku panjang. Ini berat sekali ya Allah ....
Tayana menepuk pundakku. "Mending lo balik ke Rabatik. Gue beneran cemas sama lo, Mud. Ah iya. Gue emang nggak tahu ada hubungan apa antara lo dengan Jorda, tapi saran gue. Lo mesti hati-hati sama dia. Lalu soal Zafrin ...."
"Kenapa dengan Zafrin, Tay?"
"Lo tahu kan gue pernah bilang ke elo soal Zafrin pianis?" Kuanggukkan kepalaku cepat. "Tirga pernah bilang Zafrin itu sisi lain dia. Gue bahkan pernah secara langsung menyaksikan Zafrin main piano di sebuah panggung musikal kecil dengan perempuan bernama Alysam." Seketika Tayana menutup mulutnya kaget. "Alysam ... wajah ...."
Kuhela napasku lagi. "Wajah gue mirip Alysam kan?"
"Gue baru sadar, Mud ...." Mata Tayana membulat tak percaya. "Ya Allah, pantas aja selama ini gue kayak nggak asing sama muka lo. Gue kayak pernah lihat di mana gitu. Tapi gue diam aja karena gue kan waktu itu rival lo. Kalau dipandangi dari dekat lo emang mirip Alysam, Mud. Jangan-jangan lo saudara kembar Alysam lagi."
Langsung kupukul pelan pundak Tayana. "Ngaco. Gue nggak pernah kenal sama yang namanya Alysam ya, Tay," sanggahku.
"Tapi kok bisaaaaaa?" tanyanya lagi heran.
Aku mengendikkan bahuku tanda tak tahu. "Itu juga yang buat gue bingung. Semua orang yang dekat sama Tirga pada bilang gue mirip sama Alysam. Dan baru gue sadari juga gitu ...."
"Sebenarnya lo siapa sih, Mud? Lo itu penuh teka-teki tahu nggak."
Aku terbahak mendengar pernyataan Tayana. "Gue ya Mudya, Tayana ...."
"Maksud gue, apa lo ada hubungan sama Tirga dan Jorda? Ini tuh aneh. Karena setahu gue, Alysam udah meninggal. Kematian dia cukup buat orang kaget apalagi di kalangan pemusik dan keluarga Rabatik juga Prasrari. Gue sama Alysam cuma teman sekedarnya aja. Jadi gue nggak tahu silsilah dia. Yang gue tahu cuma satu, Jorda sama Alysam saudaraan. Udah itu aja. Apa lo saudara Jorda juga?"
Tayana terus menebak-nebak. "Bukan, Tay. Gue itu nggak kenal Jorda dan keluarganya. Gue cuma wanita biasa ter ...."
Tayana mengembuskan napasnya. "Ah iya juga ya. Waktu perkenalan di awal lo aja bilang keluarga lo udah nggak ada semua. Nggak mungkin juga lo saudaraan sama Jorda," ujar Tayana sambil memperhatikanku detail.
"Maksud lo?"
Tayana menyengir. "Nggak apa-apa hehe. Keluarga Prasrari itu sosialita. Mulai dari Alysam terus istrinya si Shagam."
Aku menggelengkan kepala. Secara tidak langsung Tayana bilang bahwa aku jauh dari kelas keluarga Prasrari. Agak sakit sih meskipun kenyataannya benar.
"Iya, Tay. Iya. Gue mah apa atuh," ucapku agak ketus.
Tayana malah menyengir. Mau tak mau aku juga ikut menyengir sama sepertinya. Namun, tak berapa lama kami berdua kembali terdiam. Tayana pun menatapku iba.
"Mud, gue rasa lo harus balik ke Rabatik. Benar deh. Gimana ya. Tirga dan Jorda itu butuh elo banget kayaknya. Orang lain yang tahu keadaan Tirga itu cuma gue, elo, dan Prima. Gue yakin sekarang Prima juga lagi berusaha untuk masuk ke Rabatik lagi. Prima dan Prita itu sama nyebelinnya. Jangan sampai begitu Prima dengar kalau lo udah keluar Rabatik, dia malah balik lagi dan buat semuanya tambah kacau. Gue pengen banget bantu lo, Mud. Tapi gue juga nggak bisa apa-apa. Maaf ...." Tayana berbicara dengan sangat penuh penyesalan. Kutatap matanya dalam untuk mencari celah kebohongannya namun, itu tak tampak. Ia sangat menyakinkan.
Kuhembuskan napasku. "Iya, Tay. Santai aja. Gue nggak kenapa-napa kok. Tapi kayaknya kalau mikir balik Rabatik itu sulit. Gue nggak kuat di sana. Orang-orangnya buat kepala gue mau pecah, hehe." Dan aku rasa aku harus pulang. Hari juga mulai tampak gelap. Aku pun beranjak bangun. "Ehm, gue pulang dulu ya, Tay. Udah mau malam juga."
Tayana ikut bangkit. "Atau nggak, lo bantu gue aja, Mud. Gue ada buka usaha kecil-kecilan sih kafe gitu. Siapa tahu lo tertarik. Tapi kalau harus kerja di perusahaan bokap, gue nggak bisa bantu ...."
Mataku seketika berbinar. "Ya ampun, Tay. Gue nggak apa-apa sumpah. Jadi pelayan juga nggak masalah. Gue benar-benar bosan nganggur soalnya."
Tayana tersenyum manis. "Nanti gue kasih lo alamat kafe gue. Lo besok datang aja. Sekarang lo mau pulang kan? Gue antar aja ya. Sekalian sebagai tanda permintaan maaf gue." Jujur, hati kecilku masih sulit percaya akan kebaikan Tayana. Aku terdiam ragu. "Mud, demi Allah. Gue nggak akan celakain lo. Gue beneran udah nggak ada masalah sama lo. Udah deh. Gue sama lo sekarang udah biasa aja nggak kayak pas di Rabatik. Percaya apa?"
Kutarik napasku sejenak kemudian kuhembuskan pasrah. "Tapi gue bisa naik transportasi umum aja, Tay," elakku. Ya bagaimana pun juga aku harus tetap waspada.
Tayana tak menyerah. Ia malah menarik lenganku. "Lo nggak bisa nolak gue, Mud. Gue kan jadi merasa bersalah banget. Udah ya. Lo santai aja. Lagipula ini juga mau malam. Mana tega gue lihat cewek naik transportasi umum."
Belum sempat aku menjawabnya, Tayana malah tetap melanjutkan langkahnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Ya semoga saja Tayana memang sudah benar berubah. Soalnya seperti yang kita tahu. Tayana itu ... sedikit menyeramkan kalau marah.
***
Oke. Bisa kupastikan Tayana benar-benar berbeda. Selama perjalanan menuju kontrakan kami terus mengobrol. Tayana benar-benar sosok yang mandiri. Ya ia terbiasa melakukannya sendiri dan tidak bergantung pada kekayaan orangtuanya. Aku jadi paham mengapa ia sangat lihai dalam pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci. Baru kuketahui juga ternyata kalau Tayana sendiri lah yang mengolah kafenya itu. Ia juga termasuk salah satu koki di kafenya. Salut aku pada dirinya.
"Sekarang lo udah percaya kan, Mud, sama gue?" tanya Tayana entah sudah berapa kalinya.
Kuanggukkan kepalaku yakin. "Iya, Tay. Maaf juga ya kalau gue kadang ngeselin."
Tayana tertawa. "Iya, Pramudya ...."
Kami terus melanjutkan obrolan kami. Kali ini sama sekali tak membahas soal Rabatik. Benar-benar hanya seputar kehidupan kami. Aku menceritakan proses pencarian kerjaku selama dua bulan ini. Sedangkan Tayana menceritakan apa saja yang ia lakukan demi menyadarkan dirinya bahwa ada hal yang lebih penting daripada Rabatik dan bagaimana melanjutkan kehidupan ke depannya. Sampai akhirnya kami tiba juga di depan kontrakanku dan ya di luar dugaanku, ada sebuah mobil bertengger dan aku tahu itu mobil siapa.
Ada dua sosok yang aku tak harapkan kembali datang mengunjungi kontrakanku di malam begini.
"Bukannya itu Tirga sama Jorda ya, Mud?" Lontaran pertanyaan Tayana jelas saja membuatku tersentak. Kenapa mereka berdua harus ada di sini sekarang sih dan di saat yang bersamaan ada Tayana juga?
Kuhela napasku panjang. "Iya, Tay." Mobil pun berhenti. Ya di depan dua pria Rabatik itu, ada juga Atan di hadapan mereka. Sontak mereka bertiga memandang ke arah kami. Tirga seperti biasa mengenakan kacamata canggihnya itu.
Kulirik Tayana. Ia menganga syok tak percaya menyaksikan kehadiran Jorda dan Tirga. "Mud, gue benar-benar nggak pernah nyangka Tirga dan Jorda sampai nyamperin ke kontrakan daerah gang kecil kayak gini? Itu beneran mereka kan?" tanya Tayana dengan alis tertaut.
Aku menggangguk. "Siapa lagi coba selain mereka? Nggak ada, Tayana ...."
"Lalu pria itu siapa?" tunjuk Tayana dengan telunjuknya.
Astaga, Atan! Mukanya penuh amarah. Rahangnya mengeras dan bisa kulihat ia sedang mengepalkan tangannya emosi. Tanpa sempat menjawab pertanyaannya, segera aku turun dari mobil. Tayana menyusulku.
"Tan, lo kenapa?" tanyaku yang langsung menghampirinya. Tayana berdiri di sampingku.
"Mud, dua pria di depan lo ini emang setan! Iblis mereka, Mudya!" pekik Atan kencang.
Langsung kutatap sangar kedua pria yang tak kuharapkan itu. "Lo berdua kenapa ke sini lagi sih?!" teriakku kuat.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Jorda malah, "Kenapa Tayana bisa bersama kamu, Mudya?"
"Hah?! Tayana ada di sini?" Nada bertanya Tirga terdengar heran.
Kulirik Tayana. Ia langsung meneguk salivanya kikuk. "Iya. Gue tadi ketemu Mudya di luar. Terus kita nggak sengaja ketemu. Ngobrol panjang lebar karena gue nggak tega Mudya pulang sendirian, makanya gue antarin dia pulang. Eh nggak nyangka ketemu lo berdua di sini. Terus kenapa lo berdua bisa di sini? Mau ngapain? Gue nggak pernah nyangka kaki lo berdua mau nginjak daerah terpencil kayak gini," cibir Tayana.
Tirga tersenyum miring. "Bukan urusan kamu, Tayana. Sebaiknya kamu pergi dari sini sekarang. Jangan ikut campur masalah kami."
Tayana naik pitam. "What?! Lo berani usir gue, Tir? Heh! Lo kalau usir gue pas di daerah kekuasaan lo nggak masalah ya. Ini itu daerah umum dan lo nggak punya kuasa di sini!" ujar Tayana tak terima. Tayana memang pemberani.
"Udah, Tir. Abaikan Tayana. Kita nggak ada urusan sama dia. Sekarang udah ada Mudya. Kita harus bawa dia sekarang." Jorda malah berujar dengan angkuhnya.
"Jangan seenaknya ya lo berdua ngomong!" Atan menampik pernyataan Jorda.
"Lo mau apa lagi sih, Tan? Nggak cukup ya pekerjaan lo sebagai polisi ditangguhkan? Makanya jadi detektif jangan tangguh-tangguh amat. Sok sok mau ngelawan pemilik sah Anggoro Grup. Anra nggak seperti yang lo kira dan akhirnya gue ada celah juga untuk buat lo berhenti sementara dari kasus Anra ini."
Tanpa basa-basi, Atan langsung maju dan meninju wajah Tirga kuat. Aku menutup mulutku terkejut. Tubuh dan kacamatanya sampai terjatuh ke tanah. Jorda bergerak sigap menolong Tirga.
"Alatan!" pekikku kuat. Aku langsung berlari berusaha menahan tangan Atan yang kali ini ingin menyerang Jorda. Napas Atan tersengal-sengal. Ia menatapku kesal. Bahkan Jorda sudah memejamkan matanya bersiap dengan serangan Atan.
"Kenapa, Mud? Mereka berdua harus dihajar!"
"Biarkan dia ninju aku, Mud. Mungkin itu bisa melegakan perasaannya karena baru saja kehilangan pekerjaannya." Jorda benar-benar menyeramkan. Ia sama sekali tak memikirkan perasaan Atan.
Atan pun menurunkan tangannya. Kucoba untuk berpikir. Benar kata Tayana. Tirga dan Jorda bukan sosok yang gampang menyerah. Mereka akan mengerahkan segala cara agar aku kembali pada mereka. Aku tahu Atan cinta sekali dengan pekerjaannya. Apalagi dengan segala curhatan dia terkait kasus yang dia hadapi saat ini. Pasti sesak sekali rasanya harus dihentikan dengan cara tak adil seperti sekarang. Aku tak boleh egois. Aku sayang sekali pada Atan. Atan selama ini telah membantuku. Tidak mungkin aku membiarkan dirinya kehilangan pekerjaannya hanya karena sifat keras kepalaku yang menolak ajakan Tirga dan Jorda.
"Kalau aku kembali ke kalian, benarkah Atan akan kembali jadi polisi?" tanyaku pada mereka berdua. Jorda kini sudah berdiri dan telah mendudukkan Tirga kembali ke kursi rodanya.
"Itu perkara mudah. Atan akan kembali bekerja sebagai polisi, Mudya dan urusan pekerjaan dia yang mencurigai Anra, aku nggak peduli. Aku cuma peduli kamu kembali jadi sekretaris aku. Udah titik. Itu aja." Tirga berkata dengan tegas.
Kutarik napasku dan kukeluarkan perlahan. Kulepaskan peganganku dari tangan Atan.
"Mud, jangan .... Gue nggak benar-benar dipecat kok. Gue akan usahain lagi untuk jadi polisi lagi. Ini cuma sementara ...." Atan berusaha meyakinkanku.
Aku menggeleng. "Nggak, Tan. Gue nggak bisa biarin orang di dekat gue harus merasakan dampak buruk karena keegoisan gue. Lo baik banget Atan sama gue. Gue sayang sama lo. Gue nggak mau hancurin lo."
Atan memegang lenganku. Ditatapnya mataku dalam. Sebenarnya dadaku agak nyes melihatnya. "Mud, gue nggak mau lo nangis lagi karena mereka ...."
Air mataku tak tertahan lagi. Kali ini ia menetes. Kulepaskan tangan Atan pelan. Kemudian aku melangkahkan kakiku mendekati Tirga dan Jorda. Melihat kacamata Tirga yang masih tergeletak di tanah, membuatku tergerak untuk mengambil kacamata tersebut dan memakaikannya ke Tirga.
"Tan, gue terpaksa ikut mereka. Gue nggak mau lo kenapa-napa. Maaf ...."
"Tap ...." Kalimat Atan terhenti karena kini gantian Jorda yang melayangkan kepalannya ke wajah Atan. Ya Tuhan!
"Jorda!" teriakku kencang.
Tayana pun segera menghampiri Atan. Ia menatap benci pada Tirga dan Jorda namun, tak bisa berkata apa-apa. Tirga kali ini malah meraba lenganku dan berhenti di jariku kemudian menggenggamnya kencang.
"Kamu ikut aku. Jangan pergi lagi, Pramudya ...."
Dan ya pada akhirnya pertahananku untuk melarikan diri dari Rabatik pupus sudah. Tirga dan Jorda--dua pria yang memporak-porandakan kehidupanku kembali lagi masuk dalam hidupku.
***
HEHE tanggapan yaaa.
Maaf banget kalau lama update. Maaf bohong soal bakal rajin update kalo puasa. Jujur, mood menulis lagi turun hehe jadi aku menyibukkan diri dengan hal lain. Apalagi aku merasa untuk C3 ini peminatnya nggak begitu banyak haha jadi kurang semangat aja gitu nulisnya. Tau sendiri kan tema C3 itu berat pisan hehe.
Jadi doakan aja aku update lancar. Makasih buat kalian yang masih setia ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top