29

Cepat kan updatenya? Yaps insya Allah beberapa hari ke depan akan cepet update ya. Karena udah menjelang puasa.

Jangan lupa vote dan komen!!!!

Happy reading!!


-------------------------------------------------------------


Atan sungguh baik hati. Sebelum ia pergi kerja, ia menemaniku ke makam tempat Ayah, Ibu, Arta, Nerta. Ya semalam tak bisa karena hari sudah gelap. Atan pun enggan melanjutkan kalimatnya karena tak kuat melihatku yang menangis sampai sehisteris kemarin karena mengetahui fakta soal kecelakaan ini. Berkali-kali kupaksa agar Atan meneruskan kata-katanya, tapi Atan tetap bertahan untuk tetap menolak permintaanku.

Semalam mau tak mau aku tidur di kontrakan Atan. Tidak terjadi apa pun karena Atan memutuskan untuk menginap di kontrakan temannya tepat di samping kontrakan miliknya. Aku sebenarnya tidak enak, tapi Atan selalu berhasil memaksaku sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya. Pagi harinya Atan langsung menghampiriku sembari membawa bubur ayam lagi dan kami sarapan bersama.

Kini kami sedang berada di makam kedua orangtuaku. Aku telah mengunjungi makam kedua saudara perempuanku dan mendoakan mereka. Atan jongkok di sampingku. Ah iya sebelum ke makam, aku dan Atan mampir ke pasar sebentar untuk membeli pakaian untukku. Maklum, semua stok pakaianku semuanya ada di rumah Tirga. Untung saja aku sudah digaji. Atan kali ini mengenakan celana jeans, kaos hitam dibalut jaket kulit. Ya pakaian ala detektif seperti biasanya.

Air mataku kembali mengalir deras ketika melihat nama Ayah dan Ibu terukir jelas di batu nisan. Ya Tuhan, dadaku bergemuruh hebat mengingat semua rentetan fakta yang aku terima kemarin. Pasti mereka semua sudah melihat dari atas sana apa yang baru saja aku alami dan ya. Aku tak bisa berbuat apa-apa sekarang selain menumpahkan kesedihanku. Setidaknya dengan mendatangi mereka, sakit hatiku agak reda sedikit.

"Udah, Mud. Mau sampai kapan lo nangis terus?" tanya Atan lembut.

Kulirik dirinya. "Sampai puas," jawabku singkat.

Atan pun melirik jam di tangan kirinya. "Gue mau kerja, Mud."

Tangisanku otomatis terhenti. Kutatap wajah polosnya itu. "Yaudah. Tinggal pergi aja, Tan. Gue nggak apa-apa kok sendiri di sini."

Atan terlihat tidak yakin dengan ucapanku. "Nanti lo pingsan lagi kayak kemarin."

Aku terkekeh. "Tan, gue udah nggak apa-apa kok beneran. Gue masih agak lama di sini. Kasus itu pasti buat lo pusing banget kan? Mending lo kerja."

Atan menghela napas. Ia mengusap rambut cepak lurusnya ke belakang. "Kasus ini beda banget, Mud, sama kasus sebelumnya. Gue udah curiga kalau tuh orang pelakunya. Tapi pas gue interogasi gue malah nggak yakin kalau itu dia. Gimana ya. Yakin nggak yakin."

Aku mengerutkan dahiku bingung. "Dia siapa? Yakin nggak yakin gimana?"

Atan menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Anra. Lo pasti tahu istri Barry presdir Anggoro Grup. Feeling gue bilang dia pembunuhnya. Tapi feeling gue yang lain bilang bukan dia. Ah lo pasti nggak ngerti deh maksud gue. Ditambah semua orang nggak ada satu pun yang dukung pernyataan gue. Bahkan atasan gue minta kasus ini ditutup. Gila apa! Mana bisa gue tutup kasus aneh kayak gini. Penasaran cuy!"

Jelas saja aku tak tahu Anra yang dimaksud Atan. Aku tidak mengetahui deretan-deretan orang kaya di Indonesia. Yang baru aku tahu ya cuma si Tirga dan Amarel. Itu pun karena aku pernah berhubungan dengan mereka berdua.

"Yaudah, Tan. Lo berangkat aja. Gue nggak apa-apa kok," ucapku dengan senyuman menghiasi wajahku.

"Terus lo mau ke mana setelah ini?" tanyanya.

"Gue akan ketemu Dodo. Orang dari Rabatik. Dia akan antar barang gue sebagian."

"Terus lo tidur di mana malam ini?"

"Gue udah nerima gaji, Tan. Gampang kok cari penginapan."

Atan menggeleng kencang. "Lo harus di tempat gue. Nanti gue sewa kontrakan di sampingnya aja. Kebetulan besok ada yang kosong. Lo jangan ke mana-mana. Oke? Dan jangan hubungi siapa pun yang buat hati lo sakit lagi. Udah cukup, Mud, lo nangis seharian kemarin sampai pagi ini. Gue nggak mau lihat lagi."

Aku tersenyum getir. Kuanggukkan kepalaku. Rasanya tak elok menolak permintaan Atan. Tapi tak enak juga jika terus-terusan menerima bantuan Atan.

"Iya. Nanti gue pulang ke tempat lo. Ah iya kontrakan yang kosong itu biar gue tempatin aja, Tan. Gue ada duit kok. Biar gue yang bayar. Gue nggak mau repotin sumpah. Plis, jangan buat gue jadi ngerasa beban buat lo."

"Tapi, Mud ...."

"Tan, gue mohon ...."

Atan menghela napas panjang. Ia terdengar pasrah. "Yaudah. Kalau gitu gue berangkat dulu ya. Jangan sedih terus." Atan pun beranjak sembari mengelus lembut rambutku. Kemudian ia berjalan menjauh dariku.

Aku terus memandangi dirinya sampai aku tak mampu melihat bayangannya lagi. Tadi ketika berangkat ke sini, aku dibonceng Atan dengan motor ninja abu-abunya. Atan Atan. Untung saja ada dirinya. Setidaknya aku tidak begitu kesepian sekarang. Kembali aku pandangi nama yang terukir di batu nisan ini. Kuputuskan untuk berdoa lagi dan berharap semoga sakit hati ini mereda.

***

"Oiya, Tirga udah sadar, Do?" Itulah lontaran kalimat pertama yang kutanyakan ketika bertemu dengan Dodo.

Dodo menggelengkan kepalanya sembari menyeruput teh manis di depannya. "Selum. Mas Tir masih koma."

"Semoga Tirga cepat sadar ya," ucapku.

Dodo tersenyum sambil menyerahkan barang-barang yang kutitip pada dirinya. "Gue udah bawain nih barang-barang lo. Untungnya nggak begitu banyak. Apa masih ada yang kurang?" tanya Dodo begitu kami berdua telah duduk manis di sebuah kafe.

Ya kami bertemu di kafe dekat makam kedua orangtua dan saudaraku. Untungnya Dodo mau menghampiriku. Langsung saja kucek satu per satu. Semua lengkap tak ada yang kurang. Hmm hebat juga Dodo mengumpulkan barang-barangku.

Kugelengkan kepalaku. "Nggak ada, Do. Thanks ya."

Dodo tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. Ia datang mengenakan kaos hijau dan celana jeans. "Sama-sama, Mud. Itu udah lengkap semua loh. Mas Jor luar biasa deh."

Kukerutkan dahiku bingung. "Jorda?" Jantungku kembali degdegan begitu nama itu terdengar lagi. Apa lagi kira-kira yang akan meluncur dari mulut Dodo?

Dodo mengganggukkan kepalanya. "Iya. Mas Jor yang susun semua barang lo, Mud. Ya setahu gue pakaian dalam disusun sama Kiran ya. Mas Jor juga yang nyuruh. Tapi kayak baju lo dan sisanya semua Mas Jor."

Haruskah aku terenyuh mendengarnya? Maksud Jorda apa? "Kenapa mesti Jorda sih, Do?" tanyaku.

Dodo mengendikkan bahnya. "Gue nggak tahu, tapi gue rasa sesuatu yang Mas Jor rasain sama lo udah nggak bisa disembunyikan lagi, Mud."

"Maksud lo?"

Dodo pun menatap kosong ke depan sambil mengaduk es tehnya. "Kemarin Mas Jor nangis terisak-isak ketika lo pergi ninggalin kita semua." Aku terdiam namun, perasaanku kembali tak menentu. "Ya dia nangis diam-diam di tangga darurat rumah sakit. Karena gue dengar dan nggak tega, gue samperin dia. Tadinya dia malu, Mud. Tapi akhirnya dia nggak bisa apa-apa dan nangis di depan gue. Pertama kalinya, Mud, gue lihat seorang Farjorda nangis kayak gitu."

"Di--dia kenapa, Do?" tanyaku dengan suara bergetar.

Entahlah ini perasaan apa. Aku seperti merasa ada koneksi antara diriku dengan Jorda, tapi aku tidak tahu itu apa.

"Dia sedih, Mud, kehilangan lo. Dia bilang kenapa ini semua mesti terjadi? Dia bilang kenapa semuanya selalu salah ketika di tangan dia. Nggak Alysam. Nggak elo. Sampai dia bingung sendiri sebenarnya dia itu hidup buat siapa? Kenapa ketika dia merelakan sesuatu malah berakibat malapetaka? Dia benci, Mud."

"Gue nggak ngerti, Do ...."

Dodo langsung menatapku tajam. "Sama kayak gue, Mud. Gue pun nggak ngerti. Mas Jorda nggak sama kayak Mas Shagam yang selalu mengutarakan semuanya secara jelas. Dia selalu buat gue nebak-nebak."

Aku tak kuat menahan ini. Kurundukkan kepalaku menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca. "Do, gue boleh kasih tahu lo sesuatu?" Aku rasa Dodo perlu tahu kisah tabrakan antara keluargaku dengan Alysam.

"Iya, Mud ...,"

Kuusap air mataku yang kembali berderai. "Ternyata benar kalau keluarga gue juga nabrak truk yang mau nyebrang. Keluarga gue dan Alysam sama-sama nabrak truk itu, Do. Bedanya adalah gue dan Alysam nabrak dari arah yang berlawanan. Benar, Do, dugaan lo. Gue terlibat langsung dengan kecelakaan naas itu."

"Astaga, jadi itu benar?" Kulihat ke arahnya. Dodo menutup mulutnya syok tak percaya. "Lo tahu itu dari siapa? Mud, lo jangan berasumsi kayak gitu hanya karena kata-kata gue kemarin."

"Nggak, Do. Itu benar. Gue tahu langsung dari teman gue yang kerja juga sebagai polisi. Gue yakin dia benar. Gue percaya Atan."

Dodo mengembuskan napasnya kasar. "Apa lagi yang lo tahu?"

"Di saat kecelakaan itu ada tiga mobil, Do. Nggak cuma keluarga gue dan Alysam. Tapi ada satu mobil juga yang ikut kecelakaan itu. Apa mungkin itu Tirga, Do?" Ya aku tidak sempat menanyakan hal ini pada Atan karena Atan enggan melanjutkan kalimatnya akibat aku yang menangis histeris.

Dodo kembali termenung. Ia menggelengkan kepalanya kaku. "Nggak mungkin, Mud. Mas Tir itu kecelakaan di jurang. Remnya dibuat blong. Jadi dia nembus pinggir jalan. Kejadiannya memang di puncak, tapi lokasi dia nggak sama dengan kecelakaan lo dan Alysam. Itu jauh. Mamas Shagam. Dia sempat cerita sama gue karena dia tahu kronologi kecelakaan Tirga. Mas Jorda juga bilang hal yang sama. Hmm gue jadi penasaran siapa mobil satu lagi ...."

Aku tak ada bayangan siapa orang itu, tapi mendadak sebuah nama muncul di kepalaku. Di saat yang bersamaan Dodo juga memelototiku. "Prita ...." Aku dan Dodo menyebut nama itu bersamaan.

"Lo tahu kan Prita masih menghilang sampai sekarang?" Aku mengangguk cepat mengiyakan pertanyaan Dodo. "Mud, lo harus tanyain sebenarnya ada berapa korban dari kecelakaan itu? Gue yakin, banyak banget yang ditutupin dari kasus kecelakaan ini. Dan ini semua pasti berkaitan erat sama wajah lo, Mud ...."

Aku tersenyum getir. Jemariku perlahan menyentuh wajahku. Ini sungguh menyesakkan dada. "Do, kok gue takut ya?"

"Jangan takut. Lo harus tahu kebenaran ini, Mud. Gue akan bantu lo kok." Kutatap mata Dodo sendu. Terbentuk senyuman manis di wajahnya. "Oiya, gue juga udah nanya sama Mamas Shagam soal Mas Jor dan Alysam. Gimana pun gue juga penasaran soal Alysam ini."

Selalu saja ada topik yang membuatku penasaran dari keluarga Rabatik ini. "Apa, Do?"

"Lo tahu kan kalau Mas Jorda dan Alysam adalah saudara? Mereka itu saudara tiri, Mud!"

Aku terkekeh. "Itu gue udah tahu, Do."

"Nggak cuma itu, Mud."

"Apa lagi?"

"Yang gue dengar dari Mamas Shagam adalah Jorda sayang banget sama Alysam. Bukan sayang sebagai saudara. Lo pasti paham maksud gue. Iya. Jorda cinta sama Alysam. Bahkan ketika Papa Mas Jor nikah sama Ibunya Alysam, sempat terjadi beberapa drama panjang sampai akhirnya Mas Jorda ngalah dan merestui pernikahan kedua orangtua mereka."

Sekali lagi. Fakta yang cukup membuat dadaku pilu. "Ngalah?"

Dodo mengangguk. "Iya dan nggak ada yang tahu alasan kenapa Mas Jor ngalah. Semua syok kala itu. Gue nggak tahu kejadian tepatnya. Gue cuma diceritain Mamas dan Mamas bilang sejak saat itu, Mas Jor banyak diam dan ya nggak ada yang tahu sebenarnya seberapa dalam persahabatan Mas Tir dan Mas Jor. Mas Jor selalu bilang dia sayang banget sama Mas Tir."

"Tirga kenal Jorda berapa lama, Do?"

"Sejak sekolah kayaknya. Mereka kuliah di luar negeri. Mas Jor kan sebelum sekolah dokter, dia sempat sekolah musik tapi berhenti ketika masuk masa kuliah."

"Jorda sekolah musik?"

"Mas Jor jago banget main piano, Mud ...." Kenapa mengingatkanku pada .... "Dan tiap dia mainin piano, dia selalu pakai topeng ultraman, Mud. Mas Shagam bilang itu semua sama gue."

Hah? Topeng Ultraman? Bukankah itu sama halnya dengan .... "Do, Tirga juga ...."

Dodo menautkan alisnya heran. "Mas Tirga kenapa?"

"Tirga pernah pakai topeng ultraman sambil main piano ...."

"Serius lo?"

"Iya, Do. Di depan gue malah."

"Mud, ini bukan kisah sederhana kayaknya. Kita nggak tahu itu apa dan di luar dugaan semuanya berimbas ke elo ...."

Ya Tuhan, rasanya mau pingsan kembali membicarakan hal ini. Hal kemarin saja sudah membuat dadaku sesak. Ditambah hal ruwet tentang kisah antara Alysam, Jorda, dan Tirga. Dan dari semua itu, selalu aku yang terkena imbasnya. Aku harus apa sekarang?

Jangan tolak aku lagi ....

Kata-kata itu. Apa maksud Jorda dari kata-kata itu sebenarnya merujuk ke Alysam. Astaga, tapi aku bukan Alysam. Ini benar-benar membingungkan!

***

Sebulan kemudian ....

Mencari pekerjaan memang sulit sekali. Apalagi dengan status di-blacklist seperti ini. Rabatik tidak main-main denganku. Mereka benar-benar menjalankan semuanya sesuai dengan perjanjian di awal. Ya setelah pertemuanku dengan Dodo kala itu, kuputuskan untuk menghentikan semua hal yang terhubung antara aku dengan Rabatik. Kepalaku terlalu tak kuat menampung fakta dan teka-teki yang ada. Hingga tak terasa sebulan sampai berlalu dan ya aku cukup tenang tanpa info-info baru yang berhubungan dengan Rabatik.

Aku juga hidup nyaman bersama Atan meskipun aku sudah jarang sekali bertatap wajah dengannya. Ya aku tinggal di kontrakan tepat di samping kontrakan milik Atan. Atan selalu pulang larut malam bahkan kadang ia tidak pulang. Di saat ia pulang, ia sering menghabiskan waktunya seharian di kamar dan kadang berbincang dengan diriku membicarakan kasusnya yang tak kunjung usai itu. Atan bilang ia bahwa ia curiga pelakunya itu memiliki kepribadian ganda, tapi ia masih tak yakin akan hal itu karena semua masih dalam proses penyelidikan.

Yang patut kusyukuri dari semua kejadi ini adalah uang 50 juta dari Rabatik. Itu benar-benar sangat membantu kehidupanku selama sebulan ini. Ditambah dengan adanya kehadiran Atan. Selama sebulan ini, para kakak trio Cokro juga terus menghubungiku namun, tak ada satu pun yang kurespon. Aku masih sakit hati dengan sikap mereka meskipun aku tahu tujuan mereka baik, tapi tetap saja. Segala hal yang kuterima selama di Rabatik selalu teringat dan itu menyakitkan. Atan juga berkali-kali bilang agar aku baikan dengan mereka, tapi tetap saja itu sulit. Ketika sakit hatiku sudah menghilang, pasti aku akan menelpon mereka kembali.

"Mudya!" Panggilan seseorang menyentak pikiranku. Aku baru saja mengelilingi Jakarta mencari pekerjaan dan selalu saja hasilnya nihil. Ya hari sudah gelap. Sekarang menunjukkan pukul tujuh malam. Otomatis langkahku terhenti menoleh melihat dirinya.

Itu suara .... "Atan! Lo udah balik jam segini?" Ya Atan memanggilku kencang dari belakang.

"Mudyaaa, gue gilaaa hahaha." Bukannya menjawab pertanyaanku, Atan malah tertawa terbahak-bahak. Ia berjalan sempoyongan. Astaga, Atan. Langsung saja aku berlari menghampirinya karena melihat dirinya yang hampir jatuh ke tanah. Kutopang dirinya sekuat tenagaku.

"Kenapa, Tan?" tanyaku bingung.

"Elis ... Elisyia datang lagi sama pria yang ...." Atan terlihat tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Elis siapa, Tan? Elisyia siapa?" tanyaku tak mengerti sambil terus berusaha berjalan menuju kontrakan kami. Ya ampun, ternyata Atan lumayan berat juga ya. Kuperhatikan wajahnya, ia terlihat sangat menderita. Atan kenapa sih?

"Mud, gue bisa gila, Mud. Elis--satu-satunya orang waras di keluarga gue, kenapa mesti ikutan gila juga? Gue satu-satunya Alatan Kanyuswara di dunia ini, Mud ...." Nada bicaranya sungguh menyayat hati. Bahkan air matanya terlihat mengalir dari pelupuk mata Atan.

"Tan, lo cerita yang jelas. Lo kenapa?" tanyaku keberatan. Pasti Atan baru saja mabuk-mabukan sehingga lontaran kata-katanya terdengar ngawur dan tak jelas.

"Gue ...."

Kalimat Atan terhenti karena tiba-tiba .... "Pramudya Sasqrina ...."

Langkahku dan Atan pun terhenti. Mataku melotot melihat pemanggil itu. Sementara Atan menyipitkan matanya berusaha melihat jeli orang-orang di depanku ini. Ya dia tidak sendiri. Seperti biasa ia bersama pasukannya. Dan aku cukup terkejut karena ....

"Kamu udah sadar, Tir?" tanyaku kaku.

Di belakangnya seperti biasa ada pria itu juga. Siapa lagi kalau bukan .... "Udah. Dan aku cukup kaget ketika Jorda bilang kamu malah mengundurkan diri jadi sekretaris aku." Ya Tirga bersama Jorda.

Jorda menatapku kalut. Di samping Jorda ada Dodo dan di belakang mereka ada Jema dan anggotanya. Tahu dari mana mereka kalau aku di sini?

"Iya. Maaf. Aku nggak bisa jadi sekretaris kamu. Tapi keadaan kamu udah sehat kan, Tir?" tanyaku basa-basi berusaha meredam suasana kaku ini. Tangan Atan masih berada dalam rangkulanku. Tirga mengenakan kacamata canggihnya itu. Ia ke sini memakai piyama seperti biasanya. 

"Kalau aku bisa ke sini artinya aku udah sehat," jawab Tirga ketus.

"Ah syukurlah. Semoga kita semua selalu sehat." Kuputuskan untuk mengabaikan mereka dan kembali melangkahkan kakiku. 

"Itu siapa, Mud? Mukanya kayak nggak asing," tanya Atan membisikiku. 

"Bukan siapa-siapa, Tan," jawabku singkat.

"Berhenti, Mudya. Tirga belum selesai bicara sama kamu." Teguran Jorda secara otomatis membekukan kakiku. Rasanya dadaku kembali mengebul mengingat Jorda. Emosiku membuncah hebat.

"Nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Aku juga bukan sekretaris Tirga lagi. Kalian juga udah menggaji aku, jadi buat apa aku melanjutkan obrolan ini? Cuma buang-buang waktu," ucapku sinis.

Sialnya di saat aku ingin berjalan, Atan malah melepaskan tangannya. Ia seolah berubah tegap dan langsung memutar tubuhnya. Mataku membesar kaget. 

"Lo Tirga dan Jorda?" tanyanya sambil menunjuk kedua wajah pria Rabatik itu. Atan terus mendekat ke mereka. Tiap aku berusaha menyentuhnya, Atan langsung menepis kasar tanganku.

"Dia siapa, Jor?" tanya Tirga.

"Alatan Kanyuswara. Cuma polisi detektif kere anak dari Kanyuswara polisi bintang lima yang ketahuan korupsi dan sekarang lagi di penjara."

Mulut Jorda itu memang pedas. Rahang Atan mengeras seketika.

"Kere? Korupsi? Kenapa, Mudya, malah dekat dengan polisi kere dengan kehidupan keluarga yang seperti itu? Ckck." Tirga tidak kalah menyekitnya dengan Jorda.

Atan makin panas. Tangannya kali ini mengepal. Dan seperti yang kuduga, ia langsung melayangkan tinjuannya ke wajah Tirga dan Jorda namun, tak terkena karena Jema dan pasukannya bergerak sigap. Mata Jorda melotot terkejut melihat reaksi Atan. Napasnya naik turun. Tapi itu hanya bertahan sebentar karena ia langsung merubah rautnya kembali menjadi cool. Sementara Tirga tidak bereaksi apa-apa.

Aku pun mendekati Atan dan menarik tubuhnya. "Abaikan mereka, Tan. Mendingan kita masuk."

Atan memang keras kepala. Ia malah melepaskan peganganku dan malah tertawa keras sekarang. "Wajar aja ya, Mud, lo malas sama mereka. Kelakuan mereka emang minus banget sih."

"Gue nggak ada urusannya sama polisi kere kayak lo. Yang gue peduliin sekarang adalah Mudya. Mudya harus jadi sekretaris gue lagi. Siapa pun nggak ada yang berhak menghalangi apalagi cuma kerikil kecil kayak lo," kata Tirga sinis.

Atan terbahak. "Lo kira Mudya mau? Okelah kisah keluarga gue memang menyedihkan. Bokap di penjara. Nyokap gila. Tapi setidaknya kehidupan gue jelas. Gue tahu mana yang waras dan yang perlu gue jauhin. Nggak kayak lo berdua. Semua abu-abu. Ah iya. Gue tahu Tirga kalau lo buta. Akting lo nggak berguna di depan gue saat ini."

"Lo!" pekik Tirga kencang.

Aku sendiri kaget mendengar hal itu dari Atan. Aku memang menceritakan semua kejadian pada Atan. Tapi aku tidak memberitahunya sama sekali soal keadaan Tirga yang tidak bisa melihat. 

"Gue bisa aja ya habisin nasib lo sebagai polisi, Alatan Kanyuswara. Dan Mudya, bukankah aku udah bilang keadaan Tirga adalah rahasia kita aja? Kenapa kamu mesti bilang sama Polisi Kere ini?" Nada Jorda sangat sarkas. Ia melirikku sadis. 

Kuteguk salivaku. Aku itu tahu batas. Mana yang seharusnya aku umbar dan tidak. "Aku nggak pernah bilang apa pun soal keadaan Tirga ke Atan, Jor!" belaku.

"Lo berdua bego. Gue itu detektif. Gue bisa tahu segalanya dari gerak kalian aja. Masa tadi pas gue mau tinju si Tirga, dia nggak gerak sama sekali. Bola matanya juga respon lambat."

Atan benar juga. Ia pasti sudah biasa menghadapi segala trik dan ia tahu mana yang sekedar akting. Asli, jantungku sekarang terus berpacu cepat. Kenapa bisa ada masalah seperti ini lagi sih? Dan selalu saja berhubungan dengan orang-orang Rabatik?

"Hah? Si Polisi Kere ini mau ninju gue, Jor?! Gila! Berani-beraninya! Kayaknya gue perlu kasih pelajaran deh buat lo. Siapa nama lo tadi? Alatan Kanyuswara?" Tirga tak terima sambil menarik-narik baju Jorda. Rahangnya juga mengeras karena emosi. Jorda dan Atan saling bertatapan penuh kebencian. 

Aku tak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut. Aku tahu seberapa besar pengaruh Rabatik. Jangan sampai nasibku yang seperti ini malah berimbas ke kehidupan Atan sebagai polisi. Bagaimana pun caranya, aku tak akan sudi untuk menjadi sekretaris Tirga. Aku harus berkata kasar. Hmmm kira-kira apa ya? Ah iya.

"Sudah, Tirga, Jorda. Atan nggak ada urusannya sama kita semua. Dan jangan sentuh-sentuh Atan soal pekerjaan dan kehidupannya. Atan juga nggak akan bocor kok soal keadaan Tirga ya karena dia nggak ada urusannya sama kita."

"Mudya, kamu kembali jadi sekretaris aku. Sampai sekarang kamu belum dapat pekerjaan kan? Tidak ada ruginya jadi sekretaris seorang Adtirga, Pramudya!" Tirga berkata dengan lantang tanpa beban sama sekali. Benar-benar tipe pemaksa.

Jorda menghela napas. "Uang yang sudah kami bayarkan, tidak perlu kamu kembalikan. Anggap saja itu bonus. Dan kamu bisa jadi sekretaris Tirga lagi, Mudya. Kamu sangat dibutuhkan saat ini," tambah Jorda.

Aku menatap Atan. Ia terus menggelengkan kepalanya menyuruhku untuk menolak permintan dua pria Rabatik ini. Kuhembuskan napasku kasar. Haruskah aku mengungkit soal penyakit Tirga?

"Aku sebenarnya membutuhkan mata karena aku tidak bisa melihat. Aku juga membutuhkan kaki karena tidak bisa berjalan. Dan yang bisa membantu aku adalah kamu, Mudya. Kamu bisa menjadi mata sekaligus kaki aku. Kumohon ...," pinta Tirga memelas.

Ya Tuhan, kenapa suasananya menjadi sendu seperti ini? Atan pun terdiam. Kali ini sepertinya ia sudah sadar 100%. Tapi aku benar-benar tidak mau. Kehidupan di Rabatik itu seperti neraka. Biarlah aku menjadi pengangguran daripada hidup bersama mereka berdua. 

"Aku berjuang sejauh ini untuk menjadi sekretaris, Tir. Bukan merawat orang sakit. Lagipula dari sekian peserta audisi kemarin, kenapa harus aku? Seandainya aku tahu dari awal audisi ini adalah untuk merawat orang sakit. Lebih baik aku mundur, Tir ...."

"Mudya ...," Tirga berkata lirih dan tentu saja itu membuat hatiku juga ikut sakit.

Tapi aku tetap berusaha meneruskan kata-kataku. "Aku nggak akan bisa. Dan sebulan yang lalu keputusan itu udah bulat hingga detik ini. Jangan ganggu aku lagi. Meskipun aku pengangguran. Aku bahagia, Tirga, Jorda."

Atan pun langsung menarik lenganku. "Udah dengar kan? Mudya nolak ajakan cowok norak kayak lo berdua. Pergi sana. Jangan mampir ke sini lagi."

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kuikuti tarikan Atan. Tirga dan Jorda pun terdiam. Sama halnya dengan Dodo yang sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah kata. Namun bisa kulihat, ia tersenyum kecil menatapku. Sementara Jorda menatapku tajam tanpa kedip. Sama halnya dengan Tirga yang terus mengepalkan tangannya sebal.

Kulihat Atan. Ia terus berjalan tanpa ragu dan sangat cepat. Tak kusangka air mata ini kembali mengalir, tapi buru-buru kuhapus. Setidaknya ada Atan kali ini dan hal itu yang bisa kusyukuri saat ini.

***

Tanggapan doooong

Ah iya. Atan itu nanti ada di C- (Percayalah, bukan aku). Seperti yang kalian tahu cerita ini sambung menyambung menjadi satu antara semua C series. Nah di sini clue untuk kisah Atan hehehe

Oh iya kemarin kan ada disebut nama Teddy ya. Teddy itu kan nama tunangan Melani--Trio Cokro. Kalau ada baca C2 pasti ngeh siapa Teddy di sini. Ya Teddy adalah pria yang mengambil keperawanan Usya. Nah kisah Melani dan Teddy nanti akan nyambung juga ke kisah Usya di C5.

Ah iya. Tirga ini sepupu Karading ya. Karading itu ada di C4. Shagam itu sepupu Jorda. Kisah Shagam dan Amarel ada di C2.

Oke cukup spoilernya hehehe.

Trims sudah membacaaaaa.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top