27

Selamat membaca. Maaf banget lama update.

Semoga tetap setia ya hehe sama cerita ini.

Vote dan comment selalu ditunggu!

Happy reading!

---------------------------------------------------------------------


Tirga dibawa secara diam-diam untuk keluar dari kantor Rabatik. Tentunya dengan bantuan Jema dan pasukannya yang memang sudah ahlinya dalam hal kabur-kaburan. Kami lewat pintu belakang sehingga tak ada yang mengetahui kepergian kami. Ekspresi semua orang benar-benar panik sekali melihat keadaan Tirga. Ya Tuhan, wajahnya benar-benar pucat sekali. 

Kini kami sudah berada di dalam mobil. Aku dipinta untuk duduk di kursi depan sedangkan Jorda duduk di belakang dengan posisi pahanya yang dijadikan bantal oleh Tirga. Ya Tirga terbaring lemas di jok belakang mobil dengan mata terpejam. 

"Jem, bawa ke rumah sakit Brasta ya. Barusan gue udah nelpon Tante Viza. Mereka udah sediain room khusus. Nanti masuk lewat basement paling bawah. Tante Viza nunggu di sana," lapor Jorda pada Jema.

Ya Jema yang menyetir kali ini. Ia menyimak kata-kata Jorda tanpa menginterupsi sedikit pun. "Oke, Tuan," jawab Jema.

Mobil kali ini sudah melaju. Di belakang kami hanya terdapat satu mobil yang mengikuti kami. Ya di sanalah Dodo bersama sebagian pasukan Jema. Sedangkan sisanya dibiarkan untuk masih berada di Rabatik agar tidak memancing kecurigaan dan berakting seolah menjaga Tirga yang sedang bekerja.

Selama perjalanan menuju ruamh sakit, tak ada suara yang keluar dari kami semua. Aku tidak bisa melirik ke belakang karena Jorda duduk tepat di belakang bangkuku. Yang kutahu hanyalah Jorda terus menelpon ke sana kemari entah menghubungi siapa. Kuhela napasku panjang. Pekerjaanku sekarang bertambah. Bukan hanya sekedar menjaga Tirga yang tidak bisa melihat dan membantu segala pekerjaannya nanti sebagai presdir, tapi juga menjaga sakitnya. Dan aku rasa aku tidak bisa melakukannya. Nanti akan kubicarakan hal ini pada Jorda dan Tirga. Daripada aku tidak ikhlas.

Selang setengah jam akhirnya kami sampai juga di rumah sakit Brasta. Pengawal tidak banyak, tetapi pekerja rumah sakit langsung bergerak sigap menghampiri mobil kami begitu berhenti disertai beberapa alat rumah sakit yang dibutuhkan. Para pasukan yang berada di belakang kami juga turun dari mobil dan ikut membantu serta mengawasi setiap area di sekitar sini. Aku yakin pasti mereka tidak ingin keberadaan Tirga sekarang diketahui khalayak.

Begitu Tirga sudah dibaringkan di atas ranjang berjalan, kami semua segera mengikuti para perawat yang mendorong Tirga ke dalam. Bisa kulihat seorang wanita anggun berjas putih tersenyum menyambut kami. Jorda yang berjalan di sebelahku segera memeluk wanita paruh baya itu.

"Tante ...," ucap lirih Jorda.

"Kenapa lagi, Tir? Kok Tirga bisa kambuh lagi?" tanya wanita paruh bayah tersebut begitu Jorda melepaskan pelukannya.

"Nanti aku cerita, Tan  ...," jawab Jorda pelan.

Dan aku cukup tercengang ketika menyaksikan ada sebulir air mata mengalir dari sudut mata Jorda. Ya Tuhan, sepanik itu Jorda pada Tirga. Wanita itu tersenyum getir seolah mengerti kepiluan hati seorang Jorda. Kemudian ia pun mengedarkan pandangannya melihat kami semua dan berhenti di aku. Matanya tampak sedikit terkejut namun, dalam sedetik secercah senyuman muncul di wajahnya.

Aku pun sadar akan posisiku. Langsung kusodorkan tanganku padanya. "Kenalkan. Saya Mudya. Sekretaris Adtirga," ucapku lantang.

"Iya. Saya tahu siapa kamu. Saya Viza. Salah satu dokter yang menangani kesehatan Adtirga."

Jelas saja dahiku mengerut mendengar jawaban Dokter Viza. "Dokter tahu siapa saya?"

"Maksud Dokter Viza, ya dia jelas aja tahu kamu. Aku udah ngasih tahu sebelumnya kalau kamu adalah sekretaris Tirga." Malah Jorda yang menjawab.

Dokter Viza menepuk jidatnya. "Ah iya. Maksud saya jelas aja saya tahu kamu karena Tirga dan Jorda telah menceritakan soal sekretarisnya. Audisi sekretaris itu kan juga heboh sekali, jadi nggak mungkin kan kalau saya ketinggalan info soal itu?" tanyanya dengan selingan tawa di tengah kalimatnya.

Entah kenapa aku merasa Dokter Viza malah terlihat salah tingkah dan menutupi sesuatu. Aku yakin pasti ada maksud lain dari perkataannya tadi. Hmmm. Tapi kecurigaanku terhenti karena Jorda malah meraih tanganku. 

"Tan, mending kita masuk. Aku harus tahu keadaan Tirga."

Dokter Viza menganggukkan kepalanya. "Beberapa dokter sudah ada yang menunggu di ruangan. Ayo ke sana. Tante juga penasaran."

Kami semua pun berjalan bersama mengikuti Dokter Viza yang telah lebih dulu melangkahkan kakinya. Jorda menggenggam tanganku erat. Mata kami bertemu. Dari cara tatapnya ia seolah memintaku untuk bersabar. Entahlah. Apa ini perasaanku saja ya?

***

Masih tak ada kabar dari pihak rumah sakit terkait keadaan Tirga. Semua orang sibuk menunggu di luar ruangan terkecuali Jorda. Ya Jorda ikut masuk ke dalam ruangan tempat Tirga dirawat. Di sebelahku ada Dodo. Ia terus menampakkan kecemasan yang nyata. 

"Do ...," panggilku lirih.

Dodo menolehkan kepalanya. "Iya, Mud," jawabnya lembut.

"Menurut lo Tirga kenapa?" 

Dodo mengendikkan bahunya. "Gue juga nggak ngerti. Lo tahu sendiri kita sama-sama orang baru di Rabatik ini."

Aku jadi teringat, tadi Dodo sempat berbincang sebentar dengan Dokter Viza. Mereka tampak akrab sekali. "Do, lo kayaknya akrab banget ya dengan Dokter Viza."

Dodo terkekeh. "Dia itu ibunya Marel, Mud. Mertua Mamas Shagam. Gimana kami nggak akrab."

"Lo dekat banget ya sama keluarga Brasta?" tanyaku lagi ingin tahu.

Dodo menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong. "Gue bingung jelasinnya, Mud. Keluarga Brasta itu rumit. Gue sebenanrya lebih dekat dengan keluarga Mamas Shagam. Tapi masalah Mamas sepertinya udah clear. Karena gue nggak enak dengan Marel, ya gue putusin untuk ikut Mas Jorda."

"Marel? Lo ada masalah dengan Marel?"

Dodo menghela napas. "Ya sebenarnya gue masih belum sepenuhnya ikhlasin Marel dengan Mamas Shagam. Alhasil setiap ketemu, kami selalu bertengkar. Tapi gue bisa apa. Mamas cinta banget sama tuh cewek. Untung Mas Jor tahu semua kisah gue dengan Mamas Shagam, makanya dia ngajak gue ke Rabatik. Dia bilang dia kasihan. Nah hubungannya dengan Brasta adalah sebenarnya orang yang menyebabkan masalah Mamas itu merupakan keturunan Brasta juga."

"Gue nggak ngerti maksud lo, Do."

Dodo melihatku. Ia terbahak. "Yaudah, Mud. Gue cerita panjang lebar juga lo nggak akan paham. Udahlah. Kita fokus ke keluarga Rabatik saja. Nah ternyata selain keluarga Brasta, keluarga Rabatik juga memiliki masalah yang buat gue bingung. Ya elo salah satunya."

Kurundukkan kepalaku. "Karena wajah gue ya, Do?"

"Iya. Lo mirip cewek di album itu, Mud. Ya selama ini gue emang nggak tahu karena gue juga baru kan di Rabatik. Tapi lihat sikap Mas Tir yang menganakemaskan elo, sekarang gue paham kenapa elo yang dilolosin. Gue yakin banget wajah lo itu ada hubungannya dengan keluarga Rabatik."

Kuangkat kepalaku menatap wajah Dodo. "Do, gue aja baru tahu keluarga Rabatik sekarang. Hubungan gimana coba?"

Dodo mengembuskan napasnya. "Mud, itu yang buat gue penasaran juga. Apa hubungan lo sama keluarga Rabatik? Nggak mungkin banget secara kebetulan wajah lo mirip wanita itu."

Sepertinya aku harus menceritakan kisah penyebab wajahku menjadi seperti ini. "Sebenarnya ini bukan muka gue, Do ...." Mata Dodo langsung membesar menatapku syok. Kuhembuskan napasku panjang. "Ini semua terjadi karena kecelakaan dua tahun silam."

"Dua tahun silam?! Jangan bilang lo kecelakaan di puncak juga!" seru Dodo dengan suara tertahan.

"Iya dua tahun silam di puncak. Gue rasa gue harus ceritain versi lengkapnya deh. Jadi gini ...." Aku pun menceritakan semua memori di kejadian dua tahun silam pada saat kecelakaan itu ke Dodo. 

Ia menyimak dengan seksama setiap kata yang meluncur dari mulutku. Sambil menceritakan hal ini mau tak mau air mataku ikut menetes. Untung posisi Jema jauh dariku sehingga aku yakin ia tak akan mendengarkan apa yang kubicarakan. Sama halnya dengan para pengawal lainnya. Sampai tiba di akhir cerita ....

"Ya Tuhan, Mud. Sumpah. Kok sedih banget sih nasib lo? Gue nggak nyangka asli," ungkap Dodo setengah berbisik sembari menutup mulutnya syok.

Aku tersenyum kecut. "Ya begitulah, Do. Semuanya juga ngagetin banget."

"Itu lo kecelakaan tabrakan sama truk?" tanya Dodo. Kuanggukkan kepalaku mengiyakannya. "Lo nggak ingat apa kata Mas Jor tadi ke Tirga kalau Alysam juga tabrakan sama truk?"

Secara otomatis pikiranku berputar ke saat itu. Lo tahu Alysam nggak begitu lancar nyetir dan akhirnya dia nabrak truk yang lagi mau nyebrang! 

"Iya, Do. Truk juga."

"tapi dari keterangan lo, lo nabrak truk pas lagi jalan kan? Ya hidung sama hidung."

Aku berusaha mengingat lagi kejadian itu. Sesungguhnya saat itu aku tidak benar-benar tahu kalau dipikir karena saat itu kami sekeluarga sedang bercanda dan tiba-tiba semua menjadi gelap. Aku mengetahui tabrakan truk itu berdasarkan keterangan polisi dan juga dari Atan ....

"Gue dengar itu dari polisi, Do. Waktu itu gue sekeluarga kaget dan semua tiba-tiba gelap. Pas gue kebangun ya itu dia. Semuanya udah pergi dan muka gue udah nggak kayak dulu lagi." Kurundukkan kepalaku seraya mengusap air mata dengan ibu jariku.

Dodo mengembuskan napasnya. "Banyak kesamaan sebenarnya antara kisah lo dengan Rabatik."

Kukerutkan dahiku bingung. "Apa aja?"

"Puncak. Lokasi kecelakaan lo sama Tirga itu di puncak. Gue dengar hal ini dari Mas Jor. Dia yang cerita sendiri sama gue. Lalu truk. Mas Jor bilang tadi kalau Alysam nabrak truk dan elo ditabrak truk. Gue yakin Mas Jor nggak mungkin bohong."

"Terus maksud lo gue bohong?"

Dodo menggelengkan kepalanya kencang. "Nggak gitu, Mud. Lo dengar soal truk juga dari orang lain kan? Bukan dengan kacamata lo sendiri. Itu artinya semua itu belum 100% benar. Apalagi dengan sikap Mas Jor ke elo yang emang kelihatan spesialnya. Semua itu patut dicurigai Pramudya."

"Tapi Atan nggak mungkin bohongin gue ...." Aku termenung memikirkan hal ini.

"Atan itu siapa?"

"Polisi, Do. Polisi yang ngebantu gue untuk cari tahu soal kasus gue juga."

"Atan itu bawahan atau atasan?"

"Dia masih ada atasan yang jelas."

Dodo pun mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Rabatik nggak sendirian. Ada Brasta juga yang ikut bantu mereka. Lo tahu Rabatik dan Brasta termasuk dua perusahaan besar di Indonesia. Lo pikir mereka nggak punya bekingan soal kasus ini?"

Kuteguk ludahku begitu mendengar pernyataan Dodo. Kenapa semuanya terasa benar? Kasus ini pasti sangat besar dan ya semuanya terasa aneh.

"Lalu gue harus gimana, Do? Menurut lo siapa yang kunci dari kasus ini?"

Dodo kembali menghela napas. "Mas Jorda dan Tante Viza."

Tiba-tiba aku jadi teringat Shagam yang dekat dengan Dodo. "Ehmm tadi lo bilang, lo dekat banget sama Mamas Shagam. Bisa nggak lo cari tahu soal kasus ini dari dia?"

Dodo menatapku tajam. "Gue usahain ya, Mud. Feeling gue dia nggak tahu karena ya buat apa juga dia tahu masalah Rabatik. Toh kehidupannya sendiri berat. Gue nggak begitu tahu banyak soal Mas Jorda sih jadinya gue juga nggak tahu mesti bantu lo dari sisi mana. Tapi gue akan usahain."

Aku tersenyum bahagia. Selain Atan, akhirnya aku mendapatkan malaikat baru lagi. Dialah Dodo. "Do, terimakasih ya," ucapku.

Dodo tersenyum sumringah lebar. "Sama-sama. Oiya, Mud. Boleh tahu muka lo yang dulu nggak?" tanya Dodo.

"Tentu aja boleh." Langsung kukeluarkan ponselku dan kubuka galeri dan kutunjukkan padanya wajahku dulu.

Dodo terperangah. Mulutnya menganga. "Ya ampun, Mudya. Lo dulu manis bangeeeeeet."

"Makasih, Do. Tapi itu kan dulu bukan sekarang. Kalau sekarang sih gue buruk rupa," cemoohku sembari menutup kembali ponselku dan memasukkannya ke saku celana.

Tangan Dodo mengelus punggungku. "Lo cantik kok, Mud. Orang baik pasti selalu cantik."

Kali ini aku tertawa. "Do Do. Lebay banget sih lo."

Dan di tengah aksi menunggu dari pihak rumah sakit, kami berdua pun terus berbincang dan bersenda gurau. Terima kasih ya Allah telah memberikan Dodo sebagai manusia berikutnya yang bersikap baik padaku.

***

"Ya selain mata dan kakinya sebenarnya Tirga juga ada masalah dengan jantungnya Mudya. Itu yang perlu kamu tahu sebagai orang yang akan menjaga Tirga. Selama ini aku merahasiakan soal Alysam karena aku udah tahu pasti penyakitnya akan kambuh lagi. Seperti yang kamu lihat barusan. Dua tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk proses penyembuhan. Badan Tirga hancur sehancur-hancurnya. Kami semua sudah mengerahkan hampir seluruh tenaga dokter terbaik di Indonesia namun, itu belum cukup. Kami sampai meminjam tenaga dokter luar negeri dan syukurnya harapan dia untuk hidup masih ada meskipun sangat amat kecil. 

"Asal kamu tahu, untuk duduk seperti sekarang ini saja butuh waktu hampir setahun dan kakinya itu ada penyangganya. Itu sebabnya ia sulit untuk berjalan meskipun sebenarnya bisa. Saraf dan ototnya belum mampu bekerja secara sempurna. Kamu bayangkan, apa yang terjadi jika ia tahu bahwa Alysam sudah tiada di tengah kesehatannya yang seperti itu? Belum lagi tekanan dari eksternal yang penasaran sekali dengan keadaan Tirga. Sebenarnya Tirga sudah cukup kuat sekarang makanya aku sudah bisa membiarkan dia untuk menunjukkan dirinya ke publik."

Jorda menjelaskan panjang lebar padaku setelah sekian jam di dalam ruangan tempat dimasukkannya Tirga tadi. Dokter Viza berdiri di sebelahnya dengan menatapku iba. Oke. Gaji 60 juta sebulan memang setimpal sekali dengan pekerjaan yang akan kuhadapi. Bagaimana tidak. Kemungkinan besar hidup dan mati seorang Tirga pasti berada di tanganku. Ancaman di Rabatik itu tidak hanya dengan pekerjaannya, tapi dengan orang-orang yang akan kuhadapi nanti. Seperti Om Riko dan Tante Gia. Menyembunyikan kebenaran itu jauh lebih sulit dibanding apa pun. Ditambah sekarang aku harus menjaga orang sakit seperti Tirga ini. 

Kuusap wajahku berusaha untuk mencerna segala resiko yang akan kuhadapi. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan biasa. Ah aku pasti tak akan sanggup. Ah iya ditambah dengan segala misteri di kisah Tirga. Ini benar-benar membuat kepalaku ingin pecah. Sudahlah. Aku tak peduli dengan wajahku. Daripada aku harus menghabiskan waktu bersama orang-orang yang membuatku gila, lebih baik aku mengundurkan diri saja. Mungkin sebagai sekretaris bisa, tapi tidak dengan merawat orang sakit. 

"Aku nggak bisa, Jor ...." Kalimat itu yang tercetus dari bibirku. Kami semua sekarang sedang berdiri tepat di depan ruang rawat Tirga.

Mereka semua langsung menatapku tak percaya. "Maksud kamu apa, Mud?" tanya Jorda kaget.

"Kamu nggak bilang hal ini dari awal. Kamu tahu sendiri dari awal aku udah menolak jadi sekretaris Tirga. Tapi kamu maksa dan akhirnya aku nerima hal ini karena ya aku cuma diminta untuk menjaga rahasia kalau Tirga nggak bisa lihat. Tapi ternyata nggak hanya itu kan? Aku harus ikut terjun ke dunia Rabatik di mana sebenarnya aku nggak mau ikut campur dan aku masa bodoh. Ditambah sekarang aku tahu bahwa orang yang akan aku jaga, nasib hidup dan matinya sebagian besar di tangan aku. Ini gila, Jorda. Tugas aku bukan untuk jaga orang sakit. Silakan kamu cari orang lain dan aku nggak cocok akan hal itu," kataku sangat tegas tanpa keraguan sedikit pun.

Jorda menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Mud. Harus kamu orangnya dan sampai kapan pun harus kamu!" ujarnya bersikeras.

"Kenapa aku? Banyak orang yang mau jadi sekretaris Tirga, Jor! Kamu nggak lihat pas audisi? Ah iya ada Tayana. Aku rasa dia akan dengan senang hati nerima Tirga dengan segala kekurangannya dan aku bukan orang yang tepat."

"Sori kalau saya menyela pembicaraan kalian, tapi benar Mudya. Harus kamu yang menjaga Tirga. Bukan apa-apa. Ya saya kepala rumah sakit ini. Saya tahu apa yang dihadapi oleh Rabatik dan yang tahu semua masalah Tirga di luar Rabatik mau pun Brasta adalah kamu, Mudya. Dan coba kamu bayangkan jika Tirga bangun dan dia tahu kamu meninggalkannya. Bukankah itu malah membuat kondisi kesehatan Tirga menurun? Saat ini dia belum sadarkan diri, tapi setidaknya ia sudah melewati masalah kritisnya." Dokter Viza menimpal penjelasan Jorda.

Hal ini semakin membuatku curiga saja. Pasti ada sesuatu yang tak beres denganku dan ini semua berhubungan dengan dua orang di depanku ini. Sekilas, kulirik Dodo. Ia hanya diam. Menurutku ia berpikiran sama denganku. Tapi ya aku tak peduli. Masalah Tirga bukanlah masalahku. Keinginanku itu sebenarnya simpel kok. Cuma kerja dan tak ikut campur dengan urusan keluarga kaya-kaya ini. Aku hanya ingin hidup tenang.

"Jor, aku cuma mau hidup tenang. Kamu tahu nggak, sikap kamu kayak gini malah buat aku makin bertanya-tanya sebenarnya apa alasan aku untuk bertahan di sini. Tapi semakin aku penasaran, kenyataannya kamu juga cuma bungkam kan? Sekarang, aku tantang. Apa alasan kamu minta aku untuk stay di sini. Bukan dengan alasan Tirga dan tahu semua rahasianya. Beri aku alasan yang buat aku merasa benar bahwa pilihan aku untuk bersama Tirga adalah hal yang tidak sia-sia."

Jorda menatapku kalut. Napasnya naik turun. Kupandang tajam dirinya yang mengenakan pakaian operasi. Wajahnya sangat pilu.

"Jantung Tirga sekarang bukan jantungnya, Mud."

"Jor ...." Dokter Viza menegur Jorda.

"Terus?" Aku tak mau kalah. Kuteguk salivaku agar tidak begitu terkejut mendengar alasannya.

"Dan kondisi jantung itu masih belum berjalan sempurna karena ada beberapa faktor eksternal yang membuat penerima jantung belum sepenuhnya terbiasa akan jantung dari pendonor ini dan itu semua butuh waktu."

"Lalu apa hubungannya denganku? Itu urusan Tirga dan kalian semua yang ada di sini," ucapku sinis.

Jorda merundukkan kepalanya. Tangan pada sisi kanan dan kirinya terlihat mengepal berusaha menahan sesuatu. Di sisi lain, aku juga degdegan karena menanti jawabannya.

"Karena semua ini juga berhubungan dengan kamu, Pramudya!" bentak Jorda kencang dan tentu saja mencelos hatiku. Tanganku bergetar mendengar suara lantang kerasnya itu. Apalagi tatapannya yang seolah ingin menikamku. 

"Jorda, sudah!" tegur Dokter Viza.

Jorda yang menatapku tajam kini beralih ke Dokter Viza. "Jorda harus apa, Tante? Harus apa? Jorda bingung sumpah bingung!" pekiknya kuat dan kali ini sebulir air mata menetes dari sudut matanya.

Dokter Viza segera memeluk Jorda dan mengusap kepalanya lembut. Ia pun menoleh ke arah Dodo. "Do, telpon Shagam. Suruh dia ke sini," perintah Dokter Viza.

Dodo langsung mengiyakannya saat itu juga kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelpon Shagam. Ia berjalan menjauh meninggalkan kami semua. Sementara aku di sini bingung. Lagi-lagi aku tak tahu apa kelanjutan kalimat dari Jorda yang selalu setengah-setengah. Aku rasa, aku harus kembali menelpon Atan nanti. Ini semua bagaikan benang merah dan aku yakin kisahku pasti berhubungan erat dengan mereka semua.

Jorda menangis tanpa suara di pelukan Dokter Viza. Tentu saja hal itu membuatku tak bisa berkata-kata. Aku tak bisa bertanya lebih jauh soal ini. Kenapa semuanya terasa menyedihkan dan menyakitkan? Aku, Tirga, dan Jorda. Kudongakkan kepalaku ke atas menahan agar air mata ini tak turun. Keputusanku sudah bulat. Aku akan mundur. Masa bodoh dengan kisah ini. Kalau memang berhubungan dan aku ingin tahu juga percuma karena mulut semua manusia di sini seperti di lem rapat. Aku juga bukan siapa-siapa. Cuma seorang wanita jelek yang sedang mencari pekerjaan.

Kutarik napasku kemudian kuhembuskan perlahan. Ini benar-benar menyesakkan dada. Kali ini kutatap dua orang ini. Aku harus mengutarakan semuanya.

"Jor, maaf. Aku benar-benar mundur. Aku nggak bisa kayak gini terus. Aku doain semoga urusan kalian semua dipermudah. Semoga Tirga juga sadar dan bilang ke dia aku minta maaf atas segala hal yang buat dia kesal. Maaf, Jor."

Aku segera berjalan meninggalkan mereka namun, terhenti karena ada sebuah tangan meraih tanganku. Langkahku terhenti. Kutolehkan kepalaku ke belakang. Jorda menahanku. Matanya berair. Ia menggeleng pelan.

"Jangan, Mudya. Cuma kamu, Mud. Cuma ini cara aku agar aku bisa lihat kamu terus. Cuma ini cara agar aku bisa menyembuhkan hati ini. Ya aku tahu ini mustahil. Kita memang sulit, tapi kehilangan seseorang lagi buat aku nggak kuat. Udah cukup Alysam dan aku nggak mau kamu lagi. Plis, stay here with me ...."

Aku tak mampu membendung genangan air mata ini. Akhirnya ia tumpah juga. Ya Tuhan, ini sangat memilukan. Apa maksud dari semua perkataannya? Jorda Jorda. Sampai kapan sih bermain teka-teki bersamaku? Tidak. Keputusanku sudah bulat. Aku harus pergi. Aku pun melepaskan tanganku darinya namun, sulit karena Jorda menahan jariku kuat. Ia terus menggelengkan kepalanya melarangku untuk pergi.

"Mud, kumohon ...," pintanya sedih.

Kupejamkan mataku sejenak. Aku tak boleh goyah. Kalau Jorda memang memintaku bertahan di sini itu artinya dia harus memberitahuku apa hubungannya aku dengan semua ini dan kenapa mesti aku?

"Kamu kasih tahu alasan yang jelas kenapa aku harus bersama kamu dan Tirga? Kenapa harus aku wanita itu? Apa ada alasan khusus antara kita bertiga? Atau mungkin dengan Alysam juga? Aku perlu tahu. Ini berat, Jorda. Aku nggak akan kuat."

Jorda terdiam. Mulutnya bergetar seolah ingin mengungkapkan sesuatu, tapi berat. 

"Karena kamu adalah wanita yang selama ini terus ada di dalam pikiran aku, Mudya. Akhirnya aku nemuin kamu di sini. Aku nggak bisa lihat kamu jauh lagi ...."

Bukan jawaban ini yang kumau. Jawaban itu malah membuatku semakin bertanya-tanya. Aku tidak pernah mengenal Jorda.

"Aku nggak pernah kenal kamu, Jorda. Sebabnya apa coba kamu bilang akhirnya kamu nemuin aku di sini? Aku makin nggak ngerti sumpah!" ujarku dengan suara sedikit keras. 

Bisa kulihat semua orang memandangku dan Jorda. Termasuk Dokter Viza yang terlihat bingung. Dodo juga sudah kembali bergabung dengan kami dan ia tadi terlihat berbicara sebentar dengan Dokter Viza. Dan harapanku sepertinya tak berefek apa-apa karena Jorda malah melepaskan genggamannya dari tanganku. 

Aku terkesiap tak menyangka. Ia segera membalik tubuhnya.

"Iya. Aku salah, Mudya. Mungkin memang ini hukuman buat aku. Silakan kamu pilih jalan yang menurut kamu benar. Aku rasa aku terlalu egois. Maafkan aku. Semoga kali ini aku nggak salah telah biarin kamu pergi. Lagi."

"Mas Jor ...," ujar lirih Dodo.

Jorda tidak mengacuhkan Dodo. Ia malah berjalan gontai kembali ke ruangan tempat Tirga dirawat. Dokter Viza pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia menyusul mengikuti Jorda. Sementara aku hanya terbengong di sini berusaha mencerna kejadian barusan. Seharusnya aku bahagia dilepaskan Jorda, tapi kenapa malah seperti ini? Dan air mataku malah semakin berderai hebat. Dodo juga tanpa banyak bicara langsung menarikku ke dekapannya dan aku menangis hebat kali ini.

Ya Tuhan, kenapa begini? Aku harus apa?

***

Tanggapan yaaaa

Kemungkinan besar chapt 40 an udah tamat hehe doakan aku ada waktu dan mood ya :*


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top