25
Hehehe maaf lama banget updatenya. Asli sibuk banget. Kerjaan numpuk dan waktu di rumah semakin sedikit. Weekend pun harus keluar terus. Ah sibuklah hahaha jadi nikmati aja ya.
Jangan lupa vote dan komen yaaaa.
Happy reading!!
----------------------------------------------------------------
Menyebalkan sebenarnya ketika kita menyadari tangan kita dipegang, tapi malah dianggap tangan orang lain. Dan hal itu terjadi padaku sekarang. Sepanjang perjalanan dari rumah menuju Rabatik tanganku tak pernah dilepas oleh Tirga.
Padahal seharusnya pagi ini mood-ku baik karena menyaksikan keadaan rumah yang hanya dibatasi dinding kaca di segala penjuru untuk pertama kalinya dalam hidupku. Ya seperti yang kemarin aku lihat rumah Tirga itu adalah rumah tanpa jendela. Ternyata rumah tanpa jendela itu hanya berlaku di malam hari tidak di pagi hari. Semua dinding kayu yang menyelimuti rumah menghilang dan tergantikan oleh kaca. Celah matahari seolah bebas memasuki segala sudut rumah tanpa batas. Bahkan aku bisa melihat jelas kondisi pemandangan dari luar rumah.
Jelas aku takjub. Entah sudah berapa kali aku dibuat terperangah oleh kecanggihan teknologi di sekitar Tirga. Namun, kekagumanku lenyap begitu sadar kalau diriku dianggap orang lain.
Jarak rumah dan Rabatik sangat dekat. Tirga duduk di sebelahku di jok belakang. Sementara Dodo di samping sopir. Jema dan pasukannya mengawali kami dari depan dan belakang.
"Kamu degdegan, Mud?" tanya Tirga membuyarkan lamunanku.
Aku membuang napasku. "Iya," jawabku.
"Sama. Nanti kamu jangan gugup ya. Aku juga bingung ketika nggak ada Jorda kayak gini. Kamu jangan lupa sama skenario kita loh," oceh Tirga.
"Iya. Tenang aja," ucapku.
Kemudian kulirik Dodo melalui spion depan mobil. Dodo tersenyum dan mengepalkan tangannya memberi semangat. Kubalas senyuman Dodo. Ya semoga saja semua lancar. Aku tidak menyalahkan Jorda, tapi bagaimana ya. Tetap saja tak bisa kutampik ada sedikit rasa kesalku padanya.
Dan kini aku memandang bangunan tinggi menjulang dengan nama Rabatik yang tertera di atas gedung ini. Melihatnya mau tak mau membuatku merinding meneguk ludah. Aku memang sudah lama menjadi pengangguran, tapi menjadi sekretaris dari seseorang yang tak bisa melihat dan berjalan tak pernah mampir ke akalku. Apalagi dengan perkara politik di dalam Rabatik. Ya Tuhan ....
"Mud, lo siap-siap ya. Pokoknya lo harus santai dan berlaga cool. Jangan kelihatan grogi. Lo perhatikan orang di sekitar Mas Tir nanti siapa aja. Ketika cuma karyawan biasa lo kasih kode. Intinya Mas Tir juga udah tahu kan apa yang harus dilakukan?" Dodo bertanya sangat jeli.
"Iya, Do. Gue paham kok," jawabku berusaha tenang.
"Mas Tir gimana?" tanya Dodo lagi pada Tirga.
"Iya. Percayakan saja padaku."
"Mas, Dodo nggak banyak kenal sama Rabatik. Dodo hanya tahu para petinggi Rabatik, tapi kami kan nggak saling kenal. Nanti kalau mereka nanya Dodo siapa, Dodo mesti jawab apa?" tanya Dodo gugup.
Ah iya selama ini aku, Tirga, dan Jorda hanya terfokus pada kisah kami saja tanpa memikirkan Dodo.
"Bilang aja orang baru kepercayaan gue, Do. Mereka pasti cari tahu sih soal kalian. Dan kalau pun mereka tahu soal Dodo nggak masalah karena Dodo sendiri kan kenalan dekat Shagam—suami Amarel Brasta. Mereka tahu juga Jorda sepupu Shagam. Jadi aman, Do. Yang jadi masalah adalah Mudya."
Kukernyitkan dahiku bingung. "Kenapa aku?"
Secara otomatis bola mata di kacamata itu bergerak. Entah sensor apa yang diberikan kacamata itu sehingga Tirga juga menolehkan kepalanya ke arahku. Seketika aku merasa seperti ditatap. Kacamata itu benar-benar luar biasa canggih.
"Karena kamu yang akan mengurus segala aktivitas aku, Mudya. Terus kamu orang baru dan sama sekali nggak bisa diajak kerjasama oleh mereka. Ya itu harapan aku sih. Semoga aja kamu bukan pengkhianat seperti Prita. Intinya kamu juga harus hati-hati," tutur Jorda. Kuteguk ludahku. Seram sekali sih politik di Rabatik ini. "Tapi kamu tenang. Ada aku, Mudya. Walaupun kondisi fisik aku terbatas. Tapi percaya aja, aku akan melindungi kamu dengan segenap kemampuan aku. Kalau terjadi sesuatu dengan kamu, bilang semuanya sama aku. Ingat, Adtirga tetaplah pemegang kendali tertinggi terhadap Rabatik." Tirga berkata serius tanpa jeda dan tangannya semakin erat menggenggam tanganku. Rasa degdeganku pun perlahan menurun. Ya semoga saja.
"Mas, kita mau sampai," lapor Dodo.
Dan saat itu juga tangannya yang hangat mendadak dingin. Pasti Tirga mulai panik. "Tir ...," panggilku lirih. Bola matanya kembali mengarah ke depan.
"Kamu nggak usah mencemaskan aku, Mud. Aku bisa kok," ucapnya meyakinkan.
Kuhela napasku. Kemudian aku tersenyum. Ditambah bola mata di kacamata itu kembali melihatku. Jantungku berpacu cepat. Aku benar-benar merasa dipandang dalam oleh Tirga dan ini ... cukup membuat diriku sedikit grogi. Padahal itu kan hanya bola mata digital bukan asli. Ya ampun, Mudya ....
Dan mobil pun terhenti. Kali ini kinerja jantungku bekerja makin ekstra. Kuteguk salivaku begitu melihat lobi Rabatik. Dodo pun keluar mobil kemudian ke jok belakang mengambil kursi roda lalu ia letakkan di pinggir pintu. Tirga pun melepas tangannya dariku. Perlahan pintu mulai terbuka. Bisa kusaksikan dari luar para pengawal Tirga langsung membentuk barisan dengan berdiri di pinggir-pinggir menuju pintu lobi masuk. Para karyawan yang mau masuk ke gedung dan melihat kejadian ini terlihat bingung. Lalu ada beberapa karyawan dan satpam yang mengerubungi lobi penasaran dengan hal apa yang akan terjadi.
Jemi dan Dodo pun mengangkat Tirga menuju kursi rodanya dan kini ia telah duduk manis. Dodo melirikku menyuruhku agar keluar mobil dan membantu Tirga untuk mendorong kursi roda Tirga. Ya Tuhan, ini benar-benar olahraga jantung sekali. Aku pun keluar mobil kemudian memutarinya dan kini gagang kursi roda Tirga sudah berada di genggamanku.
Semua mata para karyawan melotot serasa ingin keluar dari tempatnya begitu melihat kehadiran Tirga. Beberapa di antara mereka juga ada yang menutup mulut mereka saking tak percayanya. Aku terus berdoa dalam hati agar semua ini lancar tak ada kecurigaan sama sekali.
"Mudya, ada berapa banyak orang di sini?" tanya Tirga pelan terdengar dari speaker berbentuk tahi lalat yang menempel di telingaku. Termasuk Dodo kecuali para pengawal yang speaker-nya sangat jelas terlihat.
Saat itu juga langsung aku sadar. "Lumayan banyak, Tir. Para karyawan sekarang lagi syok lihat kamu. Kamu nanti lihat ke kanan kiri tunggu kode dari aku. Sekarang kamu lurus aja matanya."
"Terus para pengawal di mana? Mereka udah bentuk barisan buka jalan untuk aku kan?"
"Udah."
"Yaudah kamu dorong sekarang. Ketika di kanan kiri ada karyawan, kamu kasih kode kanan dan kiri. Dengar?"
Tak ada lagi yang bisa aku jawab selain, "Iya." Suara bossy Tirga keluar. Itu artinya kali ini kami harus serius. Jangan sampai rahasia Tirga yang tidak bisa melihat terbongkar di hari pertama.
Dodo pun mencolekku memberi kode lagi agar aku mendorong pelan kursi roda Tirga. Tanpa banyak bicara, langsung saja aku melakukan hal itu. Untungnya jalan menuju lobi Rabatik tidak hanya tangga. Terdapat jalan datar menanjak sehingga mudah bagiku untuk mendorong Tirga.
"Kanan." Secara otomatis Tirga langsung menolehkan kepalanya ke kanan. Bisa kulihat dari samping ia menyebarkan senyumnya ke para karyawan yang sedang memandangnya syok tak percaya. "Kiri." Ia benar-benar menuruti setiap kata pelan dari bibirku dan menjalaninya. Sampai akhirnya langkah kami harus terhenti karena ....
"Adtirga ... kamu kembali juga akhirnya ...." Itu adalah suara ....
"Tante Gia?" Tirga secara otomatis menatap lurus ke depan. Ia sepertinya mengerti alasan aku berhenti mendorong kursi rodanya.
Ya saat ini di depanku ada para petinggi yang dimaksud Jorda dan Tirga kala mereka mengingatkan bahwa mereka di depanlah yang akan kami hadapi. Untuk kesekian kalinya aku meneguk ludahku. Tanganku perlahan mulai bergetar ketakutan namun, kuusahakan agar tak terlihat jelas. Sengaja aku pasang senyum termanisku karena aku masih mengingat jelas pesan Jorda bahwa aku harus selalu tersenyum dalam keadaan apa pun.
Di depanku ada Tante Gia, Om Riko, Pak Rewa dan beberapa orang berdasi dengan tampang terkejut melihat kehadiran kami. Terkecuali Pak Rewa yang terlihat tenang sekali. Ia pasti sudah mengetahui bahwa hari ini akan ada Tirga.
"Hai, Tante. Lama sudah tak berjumpa," sapa Tirga. "Ehm hai juga Om Riko, Papa, Pak Harry, Pak Yanto, Pak ...." Mungkin ada sepuluh orang yang disebutkan dan aku kaget karena aku bisa mendengarkan suara Dodo yang sedang mendikte nama-nama orang di hadapan kami. Kutolehkan kepalaku sebentar menghadap Dodo. Di dekat telinganya juga terdapat speaker tahi lalat sama sepertiku.
"Ka--kamu dari mana saja selama ini, Tir? Dan kenapa kamu duduk di atas kursi roda?" tanya Tante Gia to the point. Dari raut wajahnya ketara sekali kalau ia syok dengan kehadiran Tirga di depannya.
Tante Gia terlihat cukup cantik dengan dress hitam berlengan pendek. Rambutnya ia cepol rapi. "Tante nggak tahu bahwa dua tahun silam saya mengalami kecelakaan?"
Tante Gia gelagapan. Mulutnya terbata-bata. "Tahu kok tahu. Masa Tante nggak tahu kalau kamu kecelakaan?"
Aku terus memasang senyumku. Begitu juga dengan Dodo. Sementara yang lain terus memandang datar para petinggi di hadapan kami ini. Sebelum sampai di Rabatik, semua sudah diberitahu langkah apa saja yang wajib kami lakukan agar tak timbul kecurigaan dari mereka semua.
Tirga terkekeh. "Saya nungguin Tante Gia dan Om Riko loh di rumah sakit. Tapi keburu saya pergi pun, kalian nggak ada juga ngunjungi saya. Kenapa?" Tirga bertanya dengan santainya. Tak ada sama sekali nada ketakutan meluncur dari mulutnya. Cukup kaget sebenarnya mendengar hubungan antara keponakan dengan Om dan Tante berkata saya sebagai subjeknya.
Sementara Om Riko yang waktu itu kulihat sangat antagonis di video itu sekarang malah terkatup bibirnya. Wajahnya memucat. Hmmm pria yang berani di belakang, tapi tidak di depan.
"Om Riko ...."
"I--iya, Tir." Om Riko menyahut cepat panggilan pelan Tirga.
"Kenapa kalian nggak kunjungi saya waktu itu? saya nungguin loh."
"Ma--maaf, Tir. Waktu kami berkunjung kamu sudah keburu pergi ke luar negeri. Tapi kami mencari keberadaan Tirga kok bahkan sampai ke luar negeri, tapi anehnya waktu itu nggak ada yang bisa beritahu kami keberadaan Tirga di mana. Bahkan kami cari tahu dari rumah sakit Brasta info soal kamu namun, nihil. Kamu ke mana aja, Tirga?" tanya Om Riko dibuat-buat. Ya siapa pun yang menyadari betapa busuknya Om Riko pasti tahu bahwa ia sedang berusaha terlihat baik di depan Tirga.
Karena aku berada di belakang Tirga, aku tak bisa melihat ekspresinya sekarang. Pak Rewa pun menghampiri kami. "Pak Rewa sedang jalan mendekat ke sini dari sebelah kanan. Kamu nggak perlu noleh cukup lirik aja." Tirga sepertinya menjalani aksi kami sempurna karena masih tak ada kecurigaan muncul dari para manusia di depanku ini. Kali ini suasana lobi makin ramai. Para karyawan semakin banyak berkumpul.
Pak Rewa pun berdiri di sebelah Tirga. Ia menarik napasnya sejenak sebelum mengeluarkannya perlahan. "Maafkan saya yang selama ini lebih banyak diam daripada menjelaskan di mana keberadaan Tirga. Ya mungkin hanya para petinggi saja yang tahu apa penyebab Tirga menghilang. Dan mungkin bagi sebagian kalian sudah tahu bahwa Tirga telah mengalami kecelakaan. Ya kecelakaan tersebutlah yang membuat Tirga harus ke luar negeri untuk menyelesaikan pengobatannya dan ia butuh waktu dua tahun silam untuk pulih. Alhamdulilah sekarang keadaannya sudah jauh lebih baik dan dia bisa kembali bekerja sebagai presdir. Itu artinya tugas saya mengemban tugas Tirga sebagai presdir kemarin saya kembalikan kepada Tirga la ...."
"Yakin dia pulih? Kalau dia pulih seharusnya ia bisa berjalan. Masa seorang presdir tidak bisa berjalan?" tanya Tante Gia sembari menatap sinis Tirga.
"Saya bisa berjalan, Tante. Hanya saja sekarang masih belum kuat. Secara perlahan akan saya buktikan bahwa saya bisa berjalan lagi. Tunggu saja." Tirga tak mau kalah.
Aku senang mendengarnya. Setidaknya sekarang sudah ada alasan agar Tirga kembali mau mencoba untuk berjalan. Kemarin-kemarin kan ia pesimis sekali.
"Hmm iya tidak lucu kan kalau seorang presdir tidak bisa berjalan," timpal Om Riko ketus.
Kali ini Tirga tertawa. "Ya setidaknya walaupun saya tidak bisa berjalan sekarang, saya tetap bertahan sebagai presdir di sini. Lagipula yang bisa membuat perusahaan ini bisa bertahan bukan karena kaki, tapi karena otak saya masih bisa berfungsi dengan baik Om dan Tante yang terhormat. Lagipula walaupun saat ini saya belum bisa berjalan, saya sudah menemukan orang kepercayaan baru sebagai sekretaris saya." Tirga memutar kepalanya ke belakang. Mataku membesar. "Mudya kenalkan diri kamu," perintahnya.
Ya ampun, jantungku berdentum kencang. Napasku naik turun. Cara mereka menatapku serasa bagaikan pisau yang mampu membuat diriku bergidik takut. Terus kuedarkan pandanganku ke sekitar. Ya Allah, tatapan semua orang di sini benar-benar menyeramkan. "Mudya, kenalin diri lo. Jangan takut." Suara Dodo membuatku tersadar.
"Nama saya Pramudya. Panggil Mudya saja. Saat ini saya yang akan menjaga Tirga dan membantu Tirga dalam semua kegiatannya di Rabatik." Aku mengucapnya dalam satu tarikan napas. Bukannya melemah, detak jantungku malah semakin cepat.
"Dan seperti yang kalian pernah dengar juga. Mudya bukan sembarang sekretaris. Saya mendapatkan dia dari audisi di mana semuanya dilakukan berdasarkan pemilihan ketat. Itu artinya juga Mudya bukanlah orang yang gampang dipengaruhi atau bisa dibilang pengkhianat. Ia tidak akan mudah goyah dan terpengaruh oleh hasutan-hasutan jahat di Rabatik. Mudya punya kendali besar atas saya." Tirga berkata dengan lantang tanpa ragu sedikit pun membuat raut petinggi-petinggi di depanku semakin menciut.
"Ehmm masih kalah cantik dibanding Prita tuh. Saya yakin itu muka akibat kebanyakan make up. Tidak seperti Prita yang cantiknya murni." Benar-benar mulut ular. Kata-kata yang terlontar dari mulut Tante Gia menusuk relung hatiku yang paling dalam. Ditambah dia mengungkit nama Prita. Rasa degdeganku kali ini perlahan berubah menjadi kesal. Tapi aku bisa menangkap sesekali Tante Gia menatapku cukup lama kemudian berpaling setelah itu dan ia terlihat seperti berpikir.
"Ah iya. Di mana ya Prita? Sudah dua tahun juga loh dia menghilang, Tir. Kamu nggak tahu? Om sudah cari dia ke mana-mana. Bahkan Prima ikut mendatangi Om loh. Kamu benar-benar nggak tahu?" Om Riko bertanya dengan santainya. Saat itu juga senyuman miring para petinggi yang berada di belakang mereka tercetak.
Suasana yang menyebalkan. Di tengah ramai begini bisa-bisanya mereka mengungkit nama Prita. Dari punggung Tirga bisa kuketahui ia sedang menahan amarahnya. Badannya bergetar. Perlahan kusentuh pundaknya. Bisa kurasakan napasnya sedang naik turun.
"Tir, tahan. Kamu jangan kepancing emosi." Aku memberi peringatan pelan.
Tirga mendengar ucapanku karena tak berapa lama kembali ia mengeluarkan suaranya. "Meskipun Mudya kalah cantik di mata kalian, tapi tidak di mata saya. Dan Mudya jelas saja berbeda dengan Prita. Dia hanya wanita gila yang mau saja dibodohi oleh para manusia-manusia tak berotak di Rabatik ini. Sedangkan tidak dengan Mudya. Lagipula di mana keberadaan Prita tidak penting buat saya. Dua wanita kembar itu sudah saya hapus dari ingatan saya sejak dua tahun silam. Paham?!"
Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Semua orang memandang syok mendengar nada bicara Tirga yang mulai meninggi. Termasuk orang-orang di depanku.
Tapi Tante Gia tak gentar. Ia masih bertanya pada Tirga. "La--lalu siapa laki-laki di samping Mudya itu?" tanya Tante Gia gagap. Ia melirikku tak suka kemudian memandang remeh Dodo.
Aku pun melirik Dodo. Dodo terlihat bingung harus menjawab apa mengingatkanku pada pertanyaan yang sempat ia ajukan tadi ketika di mobil. "Dodo adalah orang kepercayaan saya selain Mudya. Dua orang ini adalah orang penting. Jangan ada yang mengusik mereka. Dan satu lagi Jorda. Tiga orang itu adalah orang berharga buat saya."
Dahi mereka mengerut secara bersamaan. "Jorda? Dokter itu? Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Om Riko. Benar-benar pria licik. Aku masih ingat dengan jelas obrolannya kemarin dengan Tante Gia di mansion menyangkut Jorda dan sekarang ia pura-pura tidak tahu?
"Iya. Farjorda, Om. Sahabat saya dan selamanya kami akan terus saling berhubungan." Tirga menjawab dengan penuh tekanan pada kalimat berhubungan.
"Bukankah dia dokter? Kenapa dia juga harus di Rabatik?" sambung Om Riko masih dengan akting sok polosnya.
"Karena dia yang akan menjaga saya. Dia dokter pribadi saya. Dia juga yang akan membantu saya untuk bisa berjalan kembali dan membuktikannya di depan kalian."
Tante Gia tersenyum miring. Ia terlihat sudah bisa menerima kehadiran Tirga. "Yasudah. Toh tidak mungkin Rabatik dipimpin oleh orang yang tidak bisa berjalan. Rabatik ini perusahaan besar. Tante amat sangat menunggu kamu bisa berjalan kembali, Tir. Seperti yang kamu lihat, di sini masih banyak orang sehat. Otak kami juga tidak kalah pintar dengan kamu. Ada saya dan Mas Riko. Kami akan tunggu waktu itu tiba dan jangan salahkan kami kalau nanti akan ada petisi muncul karena kredibilitas seorang pemimpin akan dipertanyakan jika membuat dirinya berjalan saja tidak bisa. Kamu mau bilang otak? Di sini banyak orang pintar, Adtirga dan tidak hanya kamu."
Tirga tertawa keras. "Haha yayaya. Banyak memang orang pintar dan bisa berjalan di sini. Tapi kenyataannya berdasarkan info yang saya temukan selama dua tahun silam ini, Rabatik hanya mampu mencapai kejayaannya dan omset naik besar-besaran ketika dipimpin oleh seorang Adtirga, Tante Gia. Itu artinya kalian tidak lebih pintar dari saya."
Aku salut dengan Tirga. Dia benar-benar berani. Wajah orang-orang di hadapanku langsung berubah kecut merasa tertohok. Mereka semua seolah ingin membalas pernyataan Tirga namun, kenyataannya mulut mereka hanya terkatup.
"Ya semoga saja ya, Tir. Tante selalu doain kamu supaya persahabatan kamu dengan Tirga langgeng sampai kapan pun tak ada masalah. Tante nggak pernah mengira kalau Jorda mau berteman dengan kamu lagi padahal Tante tahu jelas apa yang sudah ia korbankan demi kamu. Duh jadi ingat Prita, seandainya aja dia nggak punya perasaan sama kamu. Pasti semuanya nggak serunyam ini ya."
Mulut keluarga Tirga memang pedas-pedas sekali. Aku bisa melihat tangan Tirga meremas celananya. Ia pasti sekuat tenaga berusaha meredam rasa kesalnya yang sudang membuncah hebat.
"Mbak Gia, sudahlah. Stop membicarakan hal pribadi di ruang umum seperti ini. Sebaiknya kita lanjutkan pembicaraan ini di dalam ruangan saja." Kemudian Pak Rewa memandang ke sekitar. "Kalian semua kenapa di sini? Kerjaan kalian sudah selesai memangnya?" tegur Pak Rewa kencang.
Mereka semua tersadar dan langsung tersenyum tak enak. Untung ada Pak Rewa. Pembicaraan seperti ini memang sebaiknya tak dibicarakan secara publik. Cukuplah masalah para petinggi hanya dikonsumsi oleh mereka sendiri. Tante Gia melirik sinis Pak Rewa. Ia sepertinya sengaja membiarkan semua karyawan tahu masalah yang sedang terjadi di Rabatik. Sama halnya dengan Om Riko. Wajah mereka terlihat tak suka ketika melihat para karyawan perlahan pergi.
Aku jadi ingat kata Kak Melani waktu itu. Pacarnya yang merupakan salah satu manajer di Rabatik saja tahu mengenai masalah di Rabatik. Ternyata memang begini kejadiannya. Permusuhan dipertontonkan secara nyata. Mengerikan ....
"Berani ya kamu, Rewa, menegur kami. Mentang-mentang sempat ngerasain jadi presdir jadi belagu. Ah iya ini pasti karena pengaruh si Tere juga. Kamu dan Eko sama-sama bodoh. Mau saja menikah dengan wanita panti asuhan yang nggak jelas orangtuanya siapa. Tapi Eko jelas lebih pintar daripada kamu karena dia lebih memilih melepaskan Rabatik sedangkan kamu ...."
"Stop menghina Bunda! Saya bersyukur saya nggak sampai mati. Bisa nggak tenang saya di akhirat lihat kalian terus menghina Ayah dan Bunda terus-terusan. Sudahlah. Ini hari pertama saya bekerja di sini. Berbicara dengan kalian yang jabatannya masih di bawah saya hanya menghabiskan waktu. Nggak ada gunanya."
Gurat emosi kembali terpancar di wajah mereka semua. Kulihat Pak Rewa. Ia hanya memasang ekspresi datar tak ada emosi sama sekali. Padahal baru saja ia dihina oleh Tante Gia. Pasti Pak Rewa ini penyabar sekali. Aku mungkin akan emosi jika keluargaku dibilang seperti barusan.
"Mudya dorong saya sekarang," perintah tegas Tirga.
Tanpa banyak bicara langsung kujalankan suruhan Tirga. Pak Rewa juga mengikuti kami termasuk Dodo dan para pengawal yang berjalan di belakangku. Belum jauh berjalan namun, langkah kami harus terhenti karena ....
"Muka sekretaris kamu rasanya nggak asing ya, Tir ...."
Aku terdiam. Sekretaris kamu? Bukankah maksud Om Riko itu adalah aku? Kutolehkan kepalaku ke belakang. Om Riko pun berjalan menghampiriku dan menyipitkan matanya melihatku. Tante Gia terlihat bingung dan ia juga ikut mengekori Om Riko disertai para petinggi lainnya.
"Maksud, Om?" Kali ini Tirga juga ikut bertanya tak mengerti.
Pompa jantungku kembali bekerja sangat aktif. Entah kenapa aku takut mendengar lanjutan kalimat Om Riko. Tak berapa lama, mata Om Riko dan Tante Gia membulat. Tante Gia bahkan menutup mulutnya tak percaya.
"Pantas rasanya nggak asing. Tante nggak nyangka kamu merekrut orang yang menyerupai Alysam. Ya ampun, Tirga Tirga ...," decak Tante Gia dengan senyum remehnya.
Tirga membelakangi mereka semua. "Maksud Tante apa?!" tanya Tirga kencang.
"Kamu nggak bisa lihat, Tir, kalau sekretaris kamu ini mirip sekali dengan Alysam? Hanya saja wajahnya terlihat seperti dipaksakan untuk menjadi Alysam. Tirga Tirga. Kalau segitunya kehilangan Alysam nggak perlu sampai segininya kali ...." Om Riko menimpali decakan Tante Gia. Tawa pun meluncur dari mulut mereka semua.
Oke. Aku tahu Tirga pasti kesalnya bukan main, tapi tak hanya Tirga yang kesal. Aku juga begitu. Hanya saja kekesalanku bercampur bingung. Alysam? Wajahku mirip Alysam? Hatiku nyes rasanya. Pantas saja ketika berkaca tadi pagi aku merasa wajah ini tak asing. Seketika semua memori soal perlakuan aneh dan manis Jorda terputar diingatanku. Cara dia yang menatapku diam-diam. Cara dia yang marah ketika aku melihat lukisan wajah Alysam kala itu. Aku diminta untuk melupakan wajah Alysam. Astaga ....
"Plis, kalau bicara buat orang lain paham!" Tirga berbicara setengah teriak.
"Memangnya kamu buta apa?! Lihat dong! Sekretaris kamu ini mirip sekali dengan Alysam, Adtirga!" seru Tante Gia kencang.
Oke. Makin jelas semuanya. Tapi kenapa?! Kenapa bisa wajahku bisa menyerupai Alysam?!! Aku tak tahu harus berkata apa. Napasku rasanya tercekat. Ya Tuhan ....
***
Tanggapan yaaw! Ada plot hole plis bilang
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top