23

Maaf ya lama banget update. Sibuk hehehe. Sebelum baca boleh dong kasih vote dan komen hehe makasih yaaa


--------------------------------------------------------------


Suasana menjadi hening. Tak ada obrolan di antara kami bertiga ketika Tirga mulai menyebut nama Alysam. Aku menghela napas. Aku benar-benar bingung dengan konflik antara mereka. Tirga pun kembali memasang headphone-nya sama sepertiku dan Jorda. Kami bertiga terus menonton dan mendengarkan Tante Gia dan Om Riko.

Dan kesimpulan yang didapatkan adalah mereka berdua ngotot menurunkan Tirga dari posisinya. Obrolan yang paling kuingat adalah :

"Jadi intinya gimana, Mas? Brittany tidak bisa diharapkan," ujar Tante Gia panik.

Om Riko tersenyum miring. "Kamu tenang aja, Gi. Aku akan coba bicara dengan yang lainnya. Lagipula Tirga entah kapan munculnya. Masih ada kesempatan kita untuk menurunkan dia. Toh kita sudah pasang target kan kalau dia nggak muncul juga minggu depan yaudah, secara otomatis Rabatik jatuh ke tangan kamu. Kita ke sini kan memastikan keberadaan Tirga yang bilang isunya dia di mansion ini dan aku bersyukur dia nggak ada juga."

"Iya, Mas. Barusan anak buah aku bilang mansion ini kosong nggak tersentuh. Audisi itu mgkn memang benar. Cuma akal-akalan si temannya Jorda itu untuk buat kita panik. Nyatanya si Tirga nggak ada tuh. Aku udah minta mereka untuk cek semua cctv katanya juga nggak ada, Mas," lapor Tante Gia penuh keyakinan.

"Yaudah kalau gitu. Besok kita kembali ke kota. Malas juga lama-lama di sini. Bilang sama Brittany jangan ngambek sama aku."

Tante Gia tersenyum. "Iya, Mas."

Dan pembicaraan mereka pun selesai. Kembali aku dibuat terpana oleh mereka berdua. Perencanaan sedemikiran rupa telah mereka ciptakan agar semuanya benar-benar berjalan lancar. Aku sekarang makin penasaran, kira-kira hal apa lagi yang akan membuatku terkejut. Jorda seorang dokter yang bertingkah layaknya benteng demi melindungi sahabatnya. Lalu Tirga seorang presdir yang bisa dikatakan cacat, tapi memiliki otak brilian. Aku yakin semua ide ini berasal darinya. Sedangkan Jorda hanya menambahkan saja dan menjalankan perintahnya.

Yang membuatku bingung adalah apakah di dunia ini ada persahabatan seperti Tirga dan Jorda? Mereka sangat akrab sekali. Aku bisa merasakan ketulusan di antara mereka. Entahlah.

"Jor, pastikan mereka untuk benar-benar meninggalkan mansion ini dulu ya baru kita semua keluar. Seperti yang tadi kita dengar kalau mereka bermalam di sini. Mau nggak mau para pelayan dan pengawal juga tidur di sini," ujar Tirga dengan wajah yang terus menatap lurus ke depan.

Jorda menolehkan wajahnya menghadap Tirga. "Yaudah kalau gitu. Mending sekarang kita ke luar. Kita omongin hal ini sama Jema dan Dodo. Mereka pasti juga udah mantau Om Riko dan Tante Gia kan? Ya meskipun tanpa penyadap suara," ujar Jorda.

Tirga menganggukkan kepalanya. "Yaudah. Mud, kamu dorong saya ya," pintanya padaku.

Tanpa banyak bicara aku langsung berpindah posisi ke belakang Tirga dan memegang gagang kursi rodanya. Jorda berjalan lebih dulu. Aku menyusul di belakangnya. Seperti biasa pintu di sini hanya bisa terbuka menggunakan sidik jari Tirga. Begitu kami ke luar, para pengawal dan pelayan langsung memandangi kami bertiga. Ekspresi mereka terlihat pasrah. 

"Jem, pasti lo udah tahu kan apa yang akan kita lakukan?" tanya Jorda tegas.

Jema yang sedang berdiri di dekat pintu dengan iPad yang terus berada di tangannya menganggukkan kepalanya cepat. "Iya, Tuan. Kita semua harus bermalam di sini karena pasukan Tuan Riko dan Nyonya Gia sepertinya tidak akan pulang malam ini."

Raut mereka semua langsung berubah syok. "Terus kita tidurnya gimana dong, Mas? Kan tempat tidur cuma satu," tanya Dodo sembari melirik tempat tidur yang berada di sebelah kanan tepat di depan piano yang waktu itu pernah dimainkan Zafrin aka Tirga. Para pelayan yang setuju pernyataan Dodo menganggukkan kepalanya antusias.

Jorda pun memperhatikan sekitar. Wajahnya juga menunjukkan raut bingung. Ya aku mengerti hal ini. Meskipun semua barangnya telah dipinggirkan, tapi tetap saja jika dijadikan alas tidur oleh 50 orang pasti akan sempit sekali. 

"Sempit banget ya, Jor?" tanya Tirga yang sepertinya sudah mampu membayangkannya.

"Iya, Tir. 50 orang tidur tanpa alas. Gimana ya?" tanya balik Jorda.

"Kasur yang dekat piano dicopot aja, Jor. Jadi kan bisa luas. Kita semua tidur di lantai aja. Untuk alas, lo coba cek dekat nakas tempat tidur deh. Di situ banyak seprai. Selama ini kalau ganti seprai gue taroh situ."

Jorda menepuk jidatnya. "Ohiya ya. Ini kan ruangan khusus lo. Pasti lo yang tahu alas seprai segala macam."

"Maksudnya, Jor?" Kiran bertanya bingung.

"Ruangan ini diset khusus untuk Mas Tir, Ran. Jadi semua akses ke sini cuma bisa melalui Mas Tir. Termasuk untuk segala macam benda di dalamnya. Nah artinya untuk bersih-bersih ruangan ini pun dilakukan oleh Mas Tir seorang. Jadi itu sebabnya siapa pun dilarang untuk menyentuh segala macam di ruangan ini."

Kiran dan para pelayan yang baru paham langsung ber-O ria begitu mendengar penjelasan Dodo. Oke. Ini juga termasuk hal yang baru aku tahu. Hmmm pantas saja ruangan ini tak begitu . bersih. Aku ingat waktu itu aku sampai terbatuk-batuk karena membuka piano. Pasti karena sudah dua tahun ya tidak dibersihkan. Ya bagaimana mau dibersihkan, Tirga kan tidak bisa melihat.

"Pantas ruangan ini agak kotor," celetuk Kiran.

Mataku langsung melotot. Astaga, Kiran. Tak perlu sampai jujur seperti itu juga kali. Kiran pun segera menutup mulut dengan tangannya. Ia keceplosan seperti biasanya.

"Wajar kali, Ran, kotor. Kan udah dua tahun nggak gue bersihin. Jadi yang mau nginap di sini, bersihin sendiri ya. Tapi tetap intinya jangan sentuh barang apa pun yang ada di ruangan ini. Tadi nggak ada yang nyentuh barang gue kan, Do?" tanya Tirga ketus. Kiran pun langsung terdiam dan tak mampu menampik pernyataan Jorda.

"Nggak ada, Mas," jawab Dodo lembut.

"Oke. Sekarang, copot tempat tidur itu, Jem. Lalu pasang alas untuk tidur. Nanti malam kita semua tidur di sini."

Kami semua meneguk ludah bersamaan mendengar titah dari Tirga. Benar-benar jiwa bosnya langsung keluar. Tak sengaja mataku memandang Jorda. Lagi-lagi selalu saja aku menangkap Jorda memandangiku. Segera kubuang wajahku. Grogi lama-lama dilihat Jorda seperti itu. Jema dan para anggotanya pun langsung bergerak. Termasuk beberapa pelayan yang turut membantu Jema. Aku tidak enak jika hanya berdiri manis di belakang Tirga.

Jorda pun mengulurkan tangannya di hadapanku mengajakku untuk membantu Jema. Di saat aku ingin melepaskan tanganku dari gagang kursi roda dan menerima uluran tangan Jorda, tangan Tirga langsung menggapai tanganku. "Jangan ikut mereka. Kamu sama aku di sini. Jaga aku supaya aku nggak ke mana-mana."

Jelas saja tanganku tak bisa bergerak dan terpaksa aku urungkan niatku. Orang-orang yang menyadari kejadian barusan, segera memalingkan wajah mereka dan seolah-olah tidak melihat kejadian barusan. Termasuk Kiran dan Dodo. Ditambah sikap Jorda yang masih membeku sembari mengulurkan tangannya. Kugelengkan kepalaku sambil berkata maaf tanpa suara pada Jorda.

"Mudya ...," panggil lirih Tirga membuat Jorda menurunkan tangannya.

"I--iya, Tir."

"Kamu dengar aku kan? Kamu tetap di sini. Jangan pergi. Jor, lo kalau mau bantu mereka bantu aja ya," ujar Tirga.

"Oke. Gue bantu mereka dulu. Kamu di sini aja, Mud. Temani Tirga."

"Iya," ucapku singkat. 

Dan Jorda pun meninggalkanku. Entah mengapa semakin ke sini, aku merasakan ada yang aneh dengan semua sikap Jorda padaku dan hatiku jujur agak sedih ketika menolak uluran tangannya barusan. Hmmm .... membingungkan.

***

Akhirnya esok hari tiba juga. Saat yang kutunggu-tunggu sejak tadi malam agar Tante Gia dan pasukannya meninggalkan mansion ini. Setelah dipastikan berulang kali oleh Jema dan anggotanya bahwa pasukan Tante Gia telah pergi jauh barulah kami semua berani keluar dari ruangan ini. 

Semalam adalah posisi tidur tidak terenak sepanjang hidupku. Ya bagaimana tidak, secara kami semua tidur berdempet-dempetan saking sempitnya. Sudah begitu, kami hanya tidur beralaskan kain tipis yang mana membuat tubuh kami semua pegal-pegal. Hanya saja aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Sama dengan para pelayan dan pengawal lainnya. Kecuali Tirga dan Jorda yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi kepegalan tubuh mereka.

"Jor, badan lo pegal-pegal nggak?" tanya Tirga begitu kami sudah sudah membuka mata dan berkumpul di tengah. Tirga sudah kembali duduk di atas kursi rodanya dengan bantuan Jema dan pengawalnya.

Jorda berdiri di samping Tirga. Kali ini gantian Dodo yang memegang gagang kursi roda Tirga. Jorda beberapa kali memutar tubuhnya akibat pegal. "Pegal banget. Nggak lagi deh tidur di lantai sempit-sempitan kayak semalam. Astaga," dumel Jorda.

"Iya. Jangan lagi deh. Untuk pertama kalinya gue tidur kayak semalam, Jor," timpal Tirga.

Dan kami semua hanya terkekeh menyaksikan keluhan dua pria itu. Kiran menggelengkan kepalanya padaku menyaksikan tingkah mereka. Sampai akhirnya ....

"Berarti semua udah aman kan, Jem? Mereka udah pulang kan? Lo udah cek semua cctv? Takutnya mereka ngumpet lagi. Bahaya kalau kita ketahuan," tanya Tirga.

"Aman, Tuan. Saya sudah memastikan kok. Tidak ada satu tempat pun yang terlewati. Semalaman saja kami bergantian tidurnya memperhatikan jika ada keanehan yang terjadi, tapi alhamdulilah semuanya baik-baik saja. Mereka semua sudah pergi keluar dari mansion ini," lapor Jema lugas.

Jorda manggut-manggut sementara Tirga menghela napas lega.

"Oke. Kalau gitu kalian susun semua barang kalian. Malam nanti kita akan meninggalkan mansion ini dan kembali ke kota. Dan saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada kalian. Entahlah. Saya benar-benar terharu. Kalian yang mau membantu saya untuk mengangkat saya dan menggendong saya jika saya ingin buang air kecil. Lalu memberikan semua alas tidur kalian semalam agar saya tidak kedinginan sementara kalian hanya tidur tanpa beralaskan apa pun. Saya tahu, dulu saya tidak memperhatikan kalian. Tapi demi apa pun. Saya berjanji. Nasib kalian sekarang adalah tanggungjawab saya. Selama saya menjadi presdir Rabatik, saya akan mengerahkan segala kemampuan saya demi melindungi kalian. Percaya sama saya. Jadi sekali lagi saya mohon. Jangan ada yang berkhianat di antara kita. Saya mohon. Bagaimana?" Mata Tirga berkaca-kaca. Ia juga menyatukan kedua tangannya memohon pada kami semua. 

Mereka semua menatap iba Tirga. Kupandangi mereka semua satu per satu berusaha mencari secelah kebohongan di tatapan mereka. Tapi aku bersyukur karena yang kulihat mereka sangat tulus. Ya semoga saja tidak ada kebohongan di sini. Tak sanggup kubayangkan jika salah satu di antara mereka ada yang mengumbar semuanya dan malah menjadi mata-mata. Kugelengkan kepalaku berusaha membuang pikiran negatif ini.

"Jawab saya ...." Ucapan Tirga sontak membuat kami menjawab otomatis pertanyaannya barusan.

"Iya, Tuan," kata para pelayan dan pengawal. Sedangkan di luar itu, masing-masing menyebutkan iya dengan panggilan yang berbeda.

"Yaudah, Tir. Ayo kita beres-beres. Minimal kita harus menyiapkan skenario yang bagus ketika hari pertama di Rabatik," ajak Jorda.

Tirga menganggukkan kepalanya semangat. "Oke. Siap!" jawabnya kencang.

Kami semua tersenyum melihat sikap Tirga yang kadang seperti anak kecil ini. Jorda pun mendorong kursi roda Tirga pelan mendekati pintu. Kemudian Tirga mengangkat tangannya berusaha membuka pintu dengan menempelkan telapak tangannya pada pinggir pintu. Pintu pun terbuka secara otomatis. Setelah semua dipastikan telah keluar ruangan. Tirga kembali menutup pintu dengan telapak tangannya.

"Mudya ...." Panggilan Tirga membuatku terkejut. Mau apa dia memanggilku? 

"Iya ...," jawabku sopan.

"Kamu dorong saya lagi ya. Yang kencang oke!" serunya kencang yang membuatku tersentak bingung. Okelah kemarin-kemarin hanya berdua saja ada adegan mendorong kencang kursi roda Tirga. Tapi tidak sekarang. Semua orang malah memandangiku syok. Pasti mereka kaget mendengar permintaan Tirga barusan.

Mataku pun bertemu dengan mata Jorda. Ia melepaskan tangannya dari gagang kursi roda Tirga dan melangkah mundur. Dipersilakannya diriku untuk menggantikannya. Terpaksa aku maju karena tak enak juga dipandang oleh mereka semua. Toh aku adalah sekretaris Tirga sekarang. Kewajibanku untuk menuruti permintaan Tirga. Kutarik napasku sejenak kemudian kukeluarkan perlahan.

"Mud, ayo!" suruhnya lagi membuatku tersadar.

Kutolehkan kepalaku menghadap Jorda. Ia menatapku kalut. Entahlah bagaimana mendeskripsikannya. Aku seolah meminta persetujuan darinya. Cukup lama kami saling melihat satu sama lain namun kemudian ....

"Pramudya ...," panggil Tirga kali ini dengan nada berat. Saat itu juga Jorda langsung mengganggukkan kepalanya sekali. Mengapa berat sekali rasanya ya Tuhan? Kuputar kepalaku ke depan.

"Iya," jawabku.

"Kamu di belakangku kan?" tanya Tirga lembut.

"Iya. Aku di belakang kamu."

"Yaudah. Dorong, Mudya. Ayooo!" ajaknya semangat.

Sekali lagi. Pekikan semangat layaknya anak kecil pada Tirga kembali ke luar. Membuatku yang tadinya enggan jadi menurutinya. Aku mulai berlari sambil mendorong kursi roda ini menyusuri lorong dan tak ditampik tawa besar Tirga yang membahana sepanjang lorong ini cukup membuatku yakin bahwa aku bisa menghadapi hari-hariku selanjutnya sebagai sekretaris Tirga.

***

Aku dibuat terpana entah untuk keberapa kalinya. Tidak hanya mansion Tirga yang membuatku ternagngo-ngango, tapi juga rumahnya. Mansionnya seperti istana megah dan rumahnya juga tak kalah bagus. Memang jauh lebih sederhana, tapi tak kusanggah bahwa begitu aku menginjak rumah ini, ketenangan menyeruputi rongga dadaku.

Arsitektur di rumah ini dibuat sangat bagus. Ya dari luar memang tampak biasa karena tidak seperti rumah pada umumnya, rumah ini terbuat dominan dari kayu. Lalu terdapat taman di depannya. Lalu di dalam rumah ini sengaja dibuat selebar mungkin dengan sekat yang diminimalisir. Aku tahu tujuannya pasti agar memudahkan Tirga dengan mudah mengelilingi rumah ini dengan kondisinya yang seperti itu.

Cahaya lampu di rumah ini juga semakin membuat siapa pun yang berada di dalamnya merasa tenang. Namun, ada satu hal yang membuatku bingung. Rumah ini tak memiliki jendela satu pun. Memang sih langit sudah malam, tapi sebuah rumah tanpa jendela itu tak lazim rasanya.

"Kita udah sampai, Tir," lapor Jorda. Sebelum mengatakan hal itu, Jorda terlebih dahulu meminta kami untuk berhenti. Kami mengiyakannya.

Tirga langsung mendongakkan kepalanya ke atas. Aku masih di belakangnya. Tadi Dodo dan Jema yang membantu Turga turun dari mobil. "Jor, rumah ini udah didesain sesuai maunya gue kan?" tanya Tirga.

Desain? Batinku bertanya. Ah pantas saja ruangan ini sangat lebar. Ternyata ini memang permintaannya. Jorda mengangguk. "Iya, Tir. Rumah tanpa jendela," jawab Jorda.

Tirga menurunkan kepalanya. "Tapi kan di siang hari kita tetap bisa lihat matahari, Jor."

"Iya lihat matahari, tapi nggak harus semua di dinding, Tir," dumel Jorda yang kelihatannya tak senang dengan penataan di rumah ini. Berulang kali kutangkap ia mengedarkan pandangannya tak suka melihat rumah ini.

"Jor, gue cuma nggak mau ada abu-abu lagi. Begitu gelap biarkan semuanya gelap. Begitu terang biarkan semuanya terang. Toh kenyataannya keadaan terang dan gelap juga nggak ngerubah apa-apa kan? Segalanya tetap gelap di mata gue. Gue cuma mau seolah bisa melihat cahaya meskipun itu cuma sekedar angan."

Selalu saja di setiap lontaran kata dari mulut Tirga membuat hatiku seperti teriris. Ya ia memang tidak menunjukkan kesedihan, tapi makna yang terujar itu mampu menyiratkan seberapa pilu hatinya. Raut wajah Jorda yang tadinya tak suka pun berubah haru. Ia segera berlutut di depan Tirga. 

"Tir, tunggu saat di mana lo bisa lihat cahaya lagi. Gue janji lo bisa lihat cahaya itu, Tir. Janji. Gue sebagai dokter bedah lo akan berusaha yang terbaik agar lo bisa balik kayak dulu lagi." Jorda terdengar sangat meyakinkan.

Aku tidak bisa melihat raut Tirga karena aku hanya bisa melihat dirinya dari belakang, tapi Tirga malah mengelus rambut Jorda. 

"Iya, Jor. Iya. Udah deh. Lebay banget lo kayak gini. Kalau gue bisa lihat pasti gue geli banget lihat ekspresi lo sekarang hahaha." Si Tirga malah terbahak. Kadang dia menyebalkan juga jadi manusia. 

Jorda mendengkus kesal. Ia pun bangkit. "Sialan lo. Untung nggak bisa lihat."

Mataku membesar. "Jorda ...." Tak sengaja aku memperingati Jorda. Astaga. Segera aku menutup mulutku. Maksudku adalah Jorda berani sekali menghina Tirga.

"Mudya, Jorda ngatain aku buta," adu Tirga layaknya anak kecil.

Jorda menyipitkan matanya padaku. "Gila, Mudya. Berani kamu ya negur aku," decak Jorda.

"Maaf. Aku nggak maksud." Ya betapa bodohnya aku. Kupikir tadi aku menyebut dalam hati. 

"Mudya Mudya. Yaudah kalau gitu. Kalian semua silakan ke kamar kalian masing-masing. Untuk kamarnya akan diatur Dodo. Jorda dan Mudya ikut aku ke kamar. Kita harus membicarakan apa yang akan kita lakukan besok." Tirga kembali memberi titahnya pada kami semua.

Jorda segera melirik kami semua untuk menjalani perintah Tirga. Kiran pun melirikku kemudian ia tersenyum memandangku. Ya kami telah banyak mengobrol sepanjang perjalanan dari mansion sampai ke rumah ini. Meskipun Kiran kaget, tapi ia luar biasa senang karena setidaknya ia berhasil bergabung di Rabatik meskipun hanya sebagai tukang masak. Aku dan yang lain pun berpisah. 

Di saat aku ingin mendorong kursi roda Tirga, Jorda malah menahan tanganku. Diraihnya tangan kananku sehingga tangan kananku terlepas dari kursi roda dan tangan kiriku masih bertengger di kursi roda. Aku terpaku memandang Jorda bingung. Pria ini aneh sekali sih.

"Tir, kali ini Mudya nggak dorong lo dulu ya. Lo harus belajar bawa kursi roda lo ke kamar lo sendiri. Nggak selamanya lo butuh bantuan Mudya, gue, Dodo, mau pun yang lainnya. Lo kan udah cukup mahir kabur-kaburan di mansion dan udah hapal. Nah hal ini juga berlaku di rumah ini meskipun tanpa kabur-kaburan."

Tirga segera memutar kursinya tak senang. Otomatis tangan kiriku juga ikut terlepas dari kursi rodanya. Wajahnya langsung menunjukkan raut tak suka.

"Tapi kan gue udah hapal kondisi mansion di luar kepala, Jor! Tata letak mansion juga nggak berubah sama sekali. Sedangkan rumah ini nggak. Rumah ini baru aja dimodif!" serunya kencang.

Jorda terlihat masa bodoh. Ia memutar bola matanya ke atas. "Lo terlalu manja, Tir. Katanya lo mau jadi sosok kuat. Mudya kan juga capek dorong-dorong lo terus. Lo punya kekuatan juga kan?"

Aku syok mendengar kalimat pedas Jorda. Jorda baik, tapi kadang-kadang kata-katanya itu juga mampu membuat orang terhenyak. Ditambah genggaman Jorda yang semakin erat. Kupandangi jemarinya. Ya Allah, Jorda ini kenapa sih?

"Mudya itu sekretaris gue, Jor!" Tirga tak mau kalah.

"Iya dia sekretaris. Tapi gue juga punya kendali atas Mudya. Ingat, Tir, kesepakatan kita kalau gue juga punya andil dalam audisi ini dan lo udah sadar hal itu. Jadi, andil gue saat ini adalah Mudya nggak dorong kursi roda lo. Gue akan kasih arahan dan lo jalan sendiri." Jorda berkata tanpa ragu. 

Tirga mendengkus kesal. Ia terlihat ingin membalas pernyataan Jorda namun, mulutnya serasa terkunci. Ia hanya menggeram dan meremas rambutnya kasar. Segera ia putar kursi rodanya kembali seperti di awal.

"Kali ini lo menang atas Mudya. Lihat aja nanti. Yaudah arahin!" bentak Tirga kuat.

Jorda tidak peduli. Ia malah semakin menggenggam tanganku erat. "Lurus ...." Dan Jorda terus berkata memberi arah sedangkan Tirga mengikuti perintah Tirga meskipun umpatan berkali-kali keluar dari mulutnya. Tiap kali Tirga maju dan bergerak di saat itulah Jorda menarikku dan berjalan mengikuti Tirga dari belakang.

Ia sama sekali tak peduli dengan diriku yang terus berusaha melepaskan genggamannya dan terus mengoceh. Misalkan Tirga hampir terjatuh atau menabrak sesuatu, diriku pasti otomatis ingin menolongnya namun, dengan sigap Jorda melarangku dengan pelototan matanya yang membuatku meneguk ludah.

Dan kalimat yang semakin membuatku bertanya-tanya secara berbisik meluncur dari bibirnya. "Jangan tolak aku ... lagi ...."

Astaga! Sebenarnya ini ada apa sih?! Dan lagi-lagi aku selalu dibuat bingung. Argh! Bunda ... Ayah ... Nerta ... Arta .... Mudya bingung .....

***

Plis tanggapan dooooong hehehehhe



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top