21

Sori ya update cerita ini hanya di saat libur kerja wkwkw karena cuaca lagi buruk dan kerjaan semakin meningkat, jadi aku benar-benar nggak kuat harus ngetik lagi pas pulang kerja.

Vote dan comment ya selalu ditunggu.

Happy reading!


----------------------------------------------


"Ran ...," panggilku lirih begitu aku sampai di kamar Kiran. Ya kuputuskan untuk menghampirinya setelah keluar dari ruangan Tirga.

Begitu aku membuka pintu. Kiran sudah duduk di tepi ranjang dengan wajah kosong melongo. Kiran pun menolehkan wajahnya padaku. Ia sendirian di kamarnya.

"Mud, jadi Tirga itu sekarang ...."

Kiran tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Kini aku sudah berada di sampingnya dan kuanggukkan kepalaku. Aku sudah tahu ia mau berkata apa.

"Tirga beda dari bayangan kita selama ini, Ran," kataku.

Kiran menatapku bingung. "Jadi sebenarnya kita udah pernah ketemu dia dan ingatan kita dilupain sementara gitu kan karena kita tahu bahwa dia udah nggak kayak dulu lagi?" tanyanya lagi memastikan.

Kembali aku menganggukkan kepalaku mengiyakannya. "Iya, Ran."

"Tujuannya apa, Mud?"

"Mereka cuma nggak mau mengacaukan audisi ini. Bahaya kan kalau kita sadar bahwa ingatannya kembali pas di mansion ini ramai? Ya antisipasi, Ran," jelasku berdasarkan pengakuan Jorda dan Tirga tadi.

"Dan karena kita tadi lihat dia, otomatis ingatan kita kembali? Itu artinya Rista dan Anis aman dong ya karena mereka belum ketemu Tirga?"

Aku mengendikkan bahuku. "Iya kali ya. Kalau pun mereka udah ingat lagi, pasti Jorda dan Tirga udah antisipasi. Entah pakai duit atau apa. Mereka berdua kan pria pintar. Entahlah. Kesal gue."

Kiran menghela napasnya panjang. "Terus nasib Tayana gimana? Aye jadi kasihan sama dia. Nggak nyangka aja sosok yang aye pikir menyebalkan, ternyata menyimpan luka sedalam itu."

"Tayana dipulangin. Kayaknya sekarang dia lagi packing deh. Lo mau kita samperin dia?"

Kiran mengangguk cepat. "Boleh. Aye pengen minta maaf juga sama dia kalau ada salah."

"Lo udah sehatan belom?" tanyaku cemas.

Kiran tersenyum. Akhirnya senyum itu bisa kulihat kembali. "Udah, Mud. Tadi cuma pusing doang."

Aku lega dan kemudian beranjak. Kiran menyusulku. Kami pun berjalan ke kamar Tayana. Lagi-lagi kami melewati lorong dan beberapa ruangan di pinggirnya. Ingatanku kembali berputar ke pembicaraan tadi dengan Jorda dan Tirga. Ruangan ini memiliki pemiliknya masing-masing dan cara membuka pintunya berbeda. Gila. Benar-benar canggih mansion ini.

Kini kami sudah di depan kamar Tayana. Kiran mengetuk pintu. Tak berapa lama pintu terbuka. Tayana memandang kami kalut. Matanya malah lebih bengkak dari sebelumnya. Pasti ia baru saja menangis hebat. Kami pun dipersilakan masuk. Tayana menutup pintu. Ya bisa kami saksikan ia sedang mengepak barang-barangnya. Sekarang aku dan Kiran duduk di tepi ranjangnya mengikuti Tayana yang sedang duduk di atas ranjang seraya melipat pakaiannya.

"Tay ...," panggilku lirih memecah kesunyian.

"Apa, Mud?" tanyanya dengan nada ketus seperti biasanya.

"Lo nggak kenapa-napa?" Kiran yang bertanya.

"Ya menurut lo?" tanya balik Tayana sinis.

Aku dan Kiran berpandangan sejenak. Kami menghela napas bersamaan berusaha memaklumi sifat juteknya itu.

"Gue tahu lo pasti benci banget kan sama gue, Tay?" tanyaku. Lebih baik aku langsung ke intinya saja. Percuma basa-basi dengan Tayana.

Tayana pun memandangku. Ia tersenyum miring. "Kenapa lo bisa mikir gitu?" tanyanya lagi.

"Nebak aja," jawabku singkat.

"Tay, mau aye bantu lipat pakaiannya?" tawar Kiran. Ia pasti ingin mencairkan suasana dingin ini.

Tayana menggelengan kepala. "Nggak perlu, Ran. Gue bisa sendiri." Kiran berusaha terlihat sabar menghadapi sikap Tayana.

"Ya dari awal lo udah nggak suka kan sama gue? Lo serang gue pas di lobi Rabatik. Terus kita setim. Dan sekarang kayak gini. Gue yang dipilih jadi sekretaris. Padahal niat lo ke sini pengen jadi pemenangnya, tapi malah gue yang menang. Dan gue yakin lo pasti makin benci banget sama gue, Tay," terangku panjang lebar.

Tayana pun menghentikan acara melipat bajunya. Ia menatapku kesal. "Nah itu lo tahu. Terus kenapa lo malah ke sini nyamperin gue, Mud?"

Aku mengeryitkan dahi. "Ya gue cuma nggak mau lo salah paham. Gue benar-benar nggak tahu kenapa semuanya jadi gini, Tay. Sumpah demi Allah gue nggak pernah berniat untuk memenangkan audisi ini. Dari awal gue terpaksa, Tay. Gue bahkan udah lakuin segala hal supaya gue dipulangkan. Gue nggak pernah nyangka juga kalau Tirga dan Jorda milih gue ...."

Tayana mendengkus. "Jujur ya, Mud. Gue dari awal sebenarnya kesal sama lo dari awal audisi itu karena gue heran kenapa model kayak lo bisa lolos. Itu asli benar-benar buat bete. Bahkan ketika gue lihat lo dijadikan contoh sebagai salah satu peserta yang dijadikan perbandingan dengan peserta lain termasuk gue ketika pertama kali audisi. Gue ngerasa kebanting. Gue nggak habis pikir. Ditambah gue sekamar sama lo. Setim sama lo. Gue makin gondok. Lalu sikap Jorda yang dari ke hari kelihatan banget perbedaannya ketika memperlakukan lo. Gue makin gedeg dan harapan gue untuk ketemu Tirga makin jauh. Gue pun cari tahu dan gue yakin banget pasti ada sesuatu antara lo sama Jorda dan Tirga yang gue nggak tahu. Cuma gue nggak tahu itu apa. Lo tahu nggak sih, Mud? Gue tuh sayang kebangetan sama Tirga. Gue benar-benar nggak peduli lagi ketika tubuh gue dia cicip. Tapi ketika gue tahu endingnya begini, rasanya gue benar-benar mau mati aja ...."

Bulir air mata mengalir dari sudut mata Tayana tanpa ia minta. Matanya memerah dan menampakkan kesedihan yang nyata dan secara tak langsung aku bisa merasakan sakit yang Tayana rasakan. Tirga memang jahat! Atau mungkin Jorda yang jahat?

Kiran segera memeluk Tayana. Air mata Tayana langsung tumpah dan Tayana kembali menangis hebat. Suara tangisnya menderu-deru. Tangan Kiran mengelus punggung Tayana lembut. Air mata juga bergulir dari pelupuk mata Kiran. 

"Tay, aye nggak pernah benci lo. Ya lo emang ngeselin, Tay. Tapi ada beberapa hal yang buat aye salut sama lo. Dibanding perempuan cantik lainnya, lo yang paling berbobot. Lo jago masak, nyuci, dan pekerjaan rumahan perempuan lainnya yang aye nggak pernah mikir bahwa lo bisa semua itu. Aye jadi mikir, pasti ada alasan lain yang buat lo sekasar itu sama Mudya. Ternyata semua itu ada alasannya. Serius, aye juga ikutan sedih, Tay," ujar Kiran panjang lebar dengan isakan yang kadang menyertai omongannya. 

Tayana hanya diam dan terus menangis. Mau tak mau air mataku ikut turun jatuh membasahi pipi. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang? 

"Tay, lo mau gue ngapain? Gue minta maaf sama lo. Bukan ini sebenarnya yang gue mau. Gue juga udah lakuin segala cara supaya bisa keluar dari mansion ini. Tapi lo lihat sendiri. Mereka berdua malah nahan gue. Gue wajib jadi sekretaris Tirga," kataku bersikeras.

Tayana pun melepaskan pelukannya. Ia mengusap air mata dengan punggung tangannya. Ia menatapku tajam. 

"Lo tetap di sini, Mud. Lo harus jadi sekretaris Tirga karena gue pikir lebih baik elo dibanding si Prima itu yang jadi sekretarisnya. Gue nggak rela dia harus dekat sama Tirga. Udah cukup saudara kembarnya yang buat gue stres. Lagipula gue mikir, nggak mungkin Tirga bakal sama lo. Dia nggak sebodoh itu untuk jatuh cinta pada sekretarisnya lagi. Sorry to say, muka lo aja kalah jauh dibanding gue dan Prima. So, I think you must be his secretary."

Agak kesal sebenarnya mendengar nada bicara Tayana yang masih saja merendahkanku. Mungkin itu memang sudah tabiatnya kali ya. Ingin kumarah, tapi kutahan. Aku tidak bisa melampiaskan emosiku begitu saja. Ingat, Mud. Kali ini emosi Tayana sedang dalam masa kritis, jadi sebaiknya tidak ditambah dengan api lagi. Kiran pun tampak kesal ketika Tayana menghina wajahku. Cuma aku menggelengkan kepalaku agar Kiran tak berkata kasar pada Tayana. Kiran hanya menghela napas.

"Lo tunggu aja. Gue nggak segampang itu nyerah. Gue nggak peduli si Tirga buta atau lumpuh gitu. Yang jelas Tirga ya cuma buat gue. Banyak cara biar gue bisa gabung di Rabatik. Nanti ketika gue udah di Rabatik, gue harap lo mau serahin posisi itu, Mud. Seperti yang lo bilang. Lo sebenarnya malas kan jadi sekretaris Tirga? Nah dengan adanya gue nanti, itu kesempatan buat lo untuk mundur. Sekarang jangan dulu. Gue nggak rela dunia akhirat kalau si Prima yang jadi sekretarisnya," kata Tayana ngotot dan sarkas.

Aku tak tahu harus bertanggap apa. Tapi sebenarnya ide Tayana bagus juga. Aku akan tunggu saat Tayana kembali ke Rabatik. Dilihat dari pancaran matanya, ucapan Tayana barusan terdengar sangat meyakinkan. Tayana kan orang kaya. Pasti ia akan melakukan segala cara dan semoga saja cara itu nanti berhasil sehingga aku bisa lepas dari Tirga dan Jorda. Aku rasa Kiran juga berpikiran hal yang sama denganku. Itu artinya aku tak perlu menunggu sampai Tirga mendapatkan pendonor matanya.

"Emang cara lo masuk ke Rabatik lagi gimana, Tay?" tanya Kiran. 

Tayana terkekeh. "Tenang. Ada bokap gue. Lo tunggu aja kedatangan gue ke Rabatik," tekadnya kuat.

"Ya semoga ya, Tay," ucap Kiran.

Tayana mengangguk semangat dan kemudian melanjutkan acara melipat bajunya. Sedangkan aku dan Kiran hanya memandangnya kalut. Dalam hati aku berdoa. Semoga Tayana cepat kembali ke Rabatik.

***

"Mungkin kamu perlu tahu. Inilah wajah pendiri Rabatik. Pak Rabat Ikatyo dan Hifa. Ya mereka adalah kakek dan nenek Tirga. Lalu selanjutnya ini adalah wajah-wajah dari orang yang akan sering kita jumpai di sekitar kita nanti, Mudya. Aku harap kamu hapal dengan wajah mereka karena nanti kamu yang akan memberitahu Tirga jika mereka di dekat kita. Inilah wajah keluarga Om Riko. Dia punya dua anak laki-laki dan sudah menikah."

Aku menyimak kata per kata yang meluncur dari mulut Jorda. Ya saat ini aku, Tirga, Jorda, Kiran, Dodo, dan Jema berada di ruangan kerja Tirga sambil menonton layar yang menampilkan deretan foto-foto keluarga Rabatik. Kami semua duduk manis kecuali Jorda yang berdiri menjelaskan di depan dan Jema yang berdiri di belakang mengawasi kami. Aku dan Kiran duduk bersebelahan. 

Ya Om Riko yang mereka sebut memiliki rambut yang sangat tipis. Aku rasa itu faktor U. Garis-garis di wajahnya juga terlihat jelas di foto tersebut. Kemudian ada istrinya. Ya istri sosialita dengan wajah dempul make up. Kemudian kedua anak laki-lakinya yang menurutku biasa saja. Masih tampan Tirga dan Jorda ke mana-mana.

Slide pun berganti ke wajah lain. Hmm melihat foto keluarga ini entah kenapa terasa adem. Tapi aku bingung, itu anaknya perempuan atau laki-laki ya?

"Selanjutnya keluarga Om Eko. Ya anak kedua di keluarga Rabatik. Punya toko roti di London dan sudah tersebar juga di beberapa daerah di Indonesia. Kamu cari saja nama kue Chyneko. Itu cukup terkenal kok. Di foto ini Om Eko memiliki satu anak. Sebenarnya dua, tapi satunya lagi telah meninggal." 

Wajah Om Eko sangat ramah. Berbeda dengan Om Eko. Hanya saja di foto itu rambutnya sudah terlihat agak memutih. Istrinya pun sangat manis dan enak dipandang mata. Ehm ... aku ingin bertanya soal gender anaknya itu pada Jorda, tapi aku tidak enak. Slide pun bergerak lagi berpindah ke keluarga berikutnya.

"Nah ini Om Ilham. Kacamata canggih yang kita dapatkan itu berasal dari dia."

Aku perhatikan dengan seksama. Om Ilham juga sama ramahnya dengan Om Eko. Istrinya juga cantik dan mengenakan jilbab. Anaknya terlihat masih kecil. Slide kembali bergerak menunjukkan foto berikutnya.

"Nah ini Tante Gia. Suaminya orang Perancis, jadi anaknya bule gitu dan untuk sisanya nanti aku akan kasih satu folder berisi orang-orang penting di Rabatik. Misal, kamu dan Tirga bertemu dengan orang lain di suatu tempat dan kamu tidak tahu atau tidak ingat itu siapa, kamu diam-diam foto dia lalu kirim ke aku. Aku mau semua ini berjalan lancar, Mudya. Intinya jangan sampai ada yang curiga kalau Tirga itu tidak bisa melihat. Sama halnya dengan kamu Kiran. Kamu akan melayani segala persiapan makanan untuk Tirga. Tirga hanya bisa makan makanan buatan kamu yang sudah terjamin kebersihannya. Nanti saya akan minta bantuan Dodo agar di list makanan apa saja yang bisa dikonsumsi Tirga."

Aku dan Kiran mengangguk bersamaan. Hmmm agak berat ya sepertinya. Tirga dari tadi hanya diam duduk di atas kursi rodanya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Ia membelakangi kami. Jorda pun meninggalkan kami sejenak. Aku dan Kiran hanya saling berpandangan tanpa mengucapkan apa pun. Tak berapa lama, Jorda kembali sambil membawa sebuah kotak kecil.

"Tir," panggil Jorda mendekati Tirga. Masih tak ada sahutan. "Tir ...," panggilnya lagi. Masih sama. Seketika wajah Jorda memucat. Matanya membesar. Ia segera mengangkat kepala Tirga dan memegang dahinya. "Do, ambil peralatan dokterku!" suruh Jorda.

Dodo pun bangkit dan keluar dari ruangan menuruti perintah Jorda. Aku dan Kiran kembali berpandangan bingung. Ini ada apa? Namun, di saat Dodo mau mendekati pintu ....

"Jor ...." Panggilan lirih Tirga membuat kami semua tersentak.

"Ya Tuhan, Tirga. Gue pikir lo kenapa-napa ...." Jorda mengembuskan napasnya lega. Aku tidak bisa melihat wajah Tirga karena ia masih membelakangiku dan Kiran. 

"Mas Jor, Dodo jadi ambilin obat buat Mas Tir?" tanya lembut Dodo.

Jorda menoleh ke Dodo. Ia mengangguk. Dodo pun bergegas dan keluar dari ruangan ini. Kini Jorda kembali beralih ke Tirga. "Tir, apa lo yang sakit? Kasih tahu gue." Jorda pun menatapku dan Kiran. Ia menyuruh kami berdiri melihat keadaan Tirga. Aku dan Kiran mengiyakannya. Kami pun bangun.

Dan kini aku bisa melihat wajah Tirga. Seperti biasa ia mengenakan piyama. Kali ini warnanya adalah hijau muda. Wajah Tirga benar-benar pucat. Rambut ikalnya seperti biasa ia urai dan terlihat cukup berantakan.

"Nggak ada yang sakit, Jor. Gue tadi cuma lemas aja. Terus tidur bentar. Eh lo berisik. Buat gue bangun deh."

"Jadi lo cuma tidur doang?!"

Tirga terkekeh. "Iya. Gue ngantuk. Lo ceramah kayak dosen."

Aku dan Kiran berpandangan. Ehm ... jadi maksud Tirga adalah dia hanya mengecoh Jorda begitu?

"Sialan lo, Tir. Ya ampun. Gue udah cemas banget, Kampret!" marah Jorda. Ia pun bangun dan tangannya secara otomatis langsung melayang ke kepala Tirga agak kuat.

Tirga pun terbahak sambil mengelus kepalanya. "Yaudah sekarang mulai latihan aja yuk. Waktu kita cuma seminggu kan?"

Jorda menatap Tirga sebal. Hubungan Tirga dan Jorda ini pasti dekat sekali ya. Kemarin baru saja aku melihat Jorda mengerjai Tirga dan sekarang gantian. Tirga yang mengerjai Jorda. 

"Jor, lo bete sama gue?" tanya Tirga sambil mencari-cari keberadaan Jorda dengan tangannya.

Di saat tangan Tirga hampir menyentuh bajunya, Jorda langsung mundur ke belakang. Aku dan Kiran lagi-lagi berpandangan. Dua manusia ini seperti anak kecil. Suka mengerjai satu sama lain.

"Jor! Lo di mana? Lo ninggalin gue? Farjordaaaaa!" seru Tirga kencang.

Aku lucu melihat hal ini. Apalagi begitu aku melihat Jorda yang selalu saja terkikik tanpa suara bila melihat Tirga yang mulai kecarian. Di saat aku ingin membuka suara, Jorda malah merapatkan telunjuk ke bibirnya menyuruhku diam. Namun, karena jarakku yang mungkin dekat dengan Tirga. Tirga malah menarik bajuku. 

"Wah lo coba-coba ngerjain gue, Jor. Ketangkap kan lo!" Ia menganggapku adalah Jorda. Otomatis aku terhuyung jatuh ke arahnya.

Mataku melotot. Astaga bagaimana ini? Bahaya kalau aku sampai menimpa Tirga. Aku pun memejamkan mataku. Tak sanggup kubayangkan jika aku benar-benar jatuh ke kursi rodanya. Tapi untung gerakan Jorda secepat kilat. Ia langsung menahan perutku dengan tangan kekarnya dan kepalaku hampir saja menubruk wajah Tirga.

Deg!

Jantungku berpacu cepat ketika aku menyadari bahwa pupil mata Tirga bergerak menatap tepat di bola mataku. Ehm ... kenapa aku merasa mata Tirga sungguh-sungguh menatap mataku ya? Langsung kubuyarkan dugaanku ini. Tidak mungkin. Di sisi lain aku menghela napas lega. Kalau saja tidak ditahan Jorda, pasti wajahku dan wajah Tirga akan ....

Jorda pun menarik tubuhku sehingga sekarang aku sudah berdiri tegap. Kubetulkan posisiku. Ya ampun, degdegan rasanya. 

"Pasti tadi yang gue tarik bukan Jorda. Jorda terlalu ringan ...," ucap Tirga. 

"Emang bukan gue. Tapi Mudya yang lo tarik. Untung aja dia nggak jatuh," dumel Jorda sambil bertanya padaku, "Kamu nggak kenapa-napa kan?" tanpa suara. Aku mengangguk tanda bahwa aku baik-baik saja.

Tirga mendadak tersenyum. "Lo tahan Mudya supaya nggak jatuh ya, Jor?" tanyanya genit.

Kali ini kami bertiga berpandangan heran. "Lo tahu dari mana?"

"Napas .... Tadi gue bisa merasakan napas Mudya dekat wajah gue."

"Terus kenapa?" tanya ketus Jorda.

"Setelah sekian lama gue bisa merasakan napas perempuan lagi, Jor ...."

"Genit lo!"

Tirga terbahak keras. "Ya daripada napas lo yang dekat wajah gue. Kan gue geli, Jor."

Kata-kata Tirga membuat kami semua jadi tertawa. 

"Yaudah yaudah. Kita mulai aja deh latihannya," ajak Jorda.

Kami semua mengangguk bersamaan setuju. Dan latihan hari itu dimulai ....

***

Sudah lima hari aku latihan akting bersama Tirga. Tentunya ada Jorda yang berada di antara kami berdua. Dodo selama lima hari ini memberitahu apa tugas Kiran ketika nanti di Rabatik. Tirga itu memang emosian. Suka sekali dia mengumpat jika aku terlambat memberi tahu siapa yang mendekatinya. Ya orang yang kami manfaatkan adalah para anggota Jema yang seolah berperan seperti para petinggi Rabatik.

Apalagi ketika Tirga salah melirik bola matanya. Umpatannya makin membuatku ingin mengulek mulutnya. Tapi ya aku berusaha bersabar. Jorda juga berkali-kali mengelus pundakku agar lebih kuat menahan amarah jika bersama Tirga. Aku hanya bisa mendengkus. Ya kacamata yang digunakan Tirga memang benar-benar canggih. Speakernya juga canggih. Tirga saja yang kurang peka dan responnya kurang cepat.

"Mudya, masa respon aku sama hentakan kaki mereka lebih cepat daripada kamu ngomong ke aku mereka di sebelah mana sih?" dumel Tirga.

Ya kami membuat gladi di mana seolah kedatangan tamu dari balik pintu. Ya orangnya itu adalah para anggota Jema. Jema sedang mengawasi tempat lain sehingga tidak bergabung dengan kami.

"Ya makanya kamu jangan gerak-gerak matanya. Kalau aku nggak bilang apa-apa, matanya diam aja. Intinya ikuti perintah aku, Tir."

Tirga menghela napas kesal. "Aku jadi panik sendiri nanti pas di kantor gimana. Kalau mereka tahu aku buta dari hari pertama kerja, aku salahin kamu loh, Mud."

Aku mengernyitkan dahiku bingung. "Kan aku udah kasih tahu mesti gimana, Tir. Kamu juga harus ikuti komando aku dong."

"Tir, lo juga mesti sabar dong. Tuh mata jangan digerak-gerakin. Kayak biasa aja pas lo nggak pakai kacamata. Pupil mata lo nggak sering gerak. Kenapa sekarang malah gitu?" Aku tersenyum bahagia karena Jorda selalu saja membelaku. Aku tidak tahu bagaimana dongkolnya hatiku menghadapi jika tidak ada Jorda.

Ia dari tadi duduk di sofa memberi penilaian apa yang sebaiknya kami lakukan. Sebenarnya Jorda sama cerewetnya dengan Tirga. Hanya saja kata-kata Jorda masih bisa diterima hati. Sedangkan Tirga. Astaga. Aku mesti berjiwa besar sekali menghadapinya.

"Gue gugup, Jor." Tirga membela dirinya.

Tiba-tiba .... "Tuan! Nyonya Gia dan keluarganya ke sini! Ya mungkin sekitar sejam lagi akan sampai di mansion!" Jema datang berlari menghampiri kami tersengal-sengal.

Mata Jorda membesar. "Lo tahu dari mana, Jem? Kok dadakan banget? Terus ngapain dia ke sini sekeluarga? Gila! Mana Bunda dan Om Rewa lagi di kota. Duh, bingung."

"Tadi ada anggota saya yang melaporkan. Dia melihat pasukan mobil Nyonya Gia sedang dalam perjalanan ke sini dan dia mengira sekitar sejam akan sampai di mansion," jawab Jema lugas.

Tirga pun melepas kacamatanya. "Gia? Sekeluarga? Suaminya ke Indo? Tumben banget!" seru Tirga syok. 

"Terus kita mesti apa, Tuan?" tanya Jema yang juga panik.

"Kenapa, Jor?" tanyaku penasaran.

Jorda melirikku sekilas. Namun, ia kembali berpikir. "Jor, bawa seluruh pengawal dan pelayan yang tahu keberadaan gue di sini ke ruangan khusus gue aja. Tante Gia dan pasukannya nggak akan nemuin kita. Terus suruh seluruh pengawal kunci semua ruangan milik gue. Ah iya suruh Dodo juga hentikan acara memasak di dapur sana. Kerahkan semua tenaga pelayan dan pengawal untuk merapikan semua tempat umum. Setelah itu suruh mereka ke ruang rahasia gue. Gue dan Mudya akan ke sana duluan. Gue akan rapikan semuanya biar kita semua bisa muat masuk sana," titah Tirga.

"Bukannya ruangan itu nggak boleh dimasukin orang lain, Tir?" tanya Jorda ragu.

"Nggak ada tempat lagi yang muat nampung kita semua. Ruangan khusus itu kan lumayan besar. Lo bilangin yang lain ya. Gue sama Mudya akan ke sana dulu. Oiya Jem, tolong kembalikan semua letak posisi kursi dan apa pun itu seperti sedia kala ketika dua tahun silam. Gue nggak mau posisi kita semua di sini diketahui. Dia memang tahu ada audisi sekretaris Rabatik dan gue rasa dia pasti ada curiga kalau audisi itu diadain di sini. Gue cuma belum siap ketemu dia. Kalau misalkan ada yang nggak sengaja ketemu pasukan Tante Gia, bilang aja gue lagi jalan-jalan ya, Jem."

Dari sini kelihatan sekali sikap pemimpin Tirga. Ia memerintahkan segalanya secara rinci. 

"Yaudah. Gue ke luar. Gue ikuti perintah lo, Tir. Ayo, Jem!" ajak Jorda yang langsung berlari ke luar. Jema menyusulnya. 

Dan sekarang tinggal aku dan Tirga di ruangan ini. Tangan Tirga pun meraba-raba mencari sesuatu. Jelas aku bingung.

"Kamu cari apa, Tir?" tanyaku.

"Aku cari kamu."

"Aku di sini," jawabku sembari meraih tangannya. Tirga pun menggenggam tanganku lalu ia letakkan tanganku ke gagang kursi roda.

"Mud, kita ulangi kejadian waktu itu. Di mana kamu mendorong kencang kursi roda aku." Bibirku terkatup tak tahu harus berkata apa. "Oiya, sebelum keluar kamu tempelkan jari saya pada salah satu dinding di samping kanan pintu yang agak menonjol. Hampir sama seperti waktu itu. Tapi kali ini cukup jempol saja. Oke?"

Kuanggukkan kepalaku.

"Mudya ... harus berapa kali aku bilang. Jawab pertanyaan aku menggunakan suara. Mataku tidak berfungsi lagi, Mud. Jadi kumohon permudah semuanya."

Iya. Kali ini aku salah. "Iya."

"Yasudah. Kita ke sana sekarang. Kamu pasti masih ingat kan ruangannya di mana?" tanyanya lagi. Kembali aku menganggukkan kepalaku. "Mudya ...." Astaga. Kebiasaanku menjawab tanpa suara sepertinya harus mulai dihilangkan.

"Iya, Adtirga ...."

Seulas senyuman tercetak di wajahnya. "Ayo!" ajaknya riang.

Aku pun mendorong kursi rodanya. Tak lupa aku menjalankan perintahnya untuk mencari dinding tak rata dan menempelkan jempolnya. Pintu ini pun secara otomatis terkunci. Kembali aku pegang kursi roda Tirga. Lalu mulai kudorong kursi roda ini.

"Yang kencang, Mudya, dorongnya! Hahaha." Lagi-lagi tawa membahana dari mulut Tirga. Mau tak mau aku ikut tertawa. "Kedua kalinya ya, Mudya. Dan kali ini sebagai Tirga. Bukan Zafrin lagi."

Kutelan ludahku sejenak. Semua ini masih membuatku penasaran. Tirga dan Zafrin. Hmmm. Sudahlah lebih baik kudorong kursi roda ini lebih cepat lagi. Selalu saja ada kejadian di mansion ini yang lari dari jangkauanku ckck.

***

Tanggapan yaa gimana kesannya di chapter ini? Kalau ada plot hole bilang :)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top