20

Hehe karena libur gue update lagi. Doain aja updatenya lancar. Oiya sori banget chapt sbelumnya kacau bgt gue hehe sering keserimpet nama. Intinya yang di dialog itu benar pengucapannya di luar dialog itu nama Prima semua ya bukan Prita hehee

Oke. Happy reading!

--------------------------------------------------------------------


Aku terus berada di belakang mengikuti Jorda dan Tirga. Dua pria yang membuatku selalu bertanya-tanya. Untuk memastikan bahwa aku mengekorinya, Jorda secara intens memutar kepalanya melihatku. Aku hanya diam. Akan kutanyakan nanti semuanya pada mereka. Lihat saja.

Kami terus melewati lorong-lorong di mansion ini. Aku bingung. Sebenarnya ada berapa kamar dan ruangan di sini? Sepertinya tak habis-habis. Sampai akhirnya kami tiba di sebuah ruangan yang belum pernah aku kunjungi. Ya ruangan ini terdiri dari sebuah meja kerja yang berukuran cukup besar dan terdapat sebuah meja yang ukurannya jauh lebih kecil. Tentunya di belakang meja tersebut ada sebuah kursi.

Ini seperti ruangan kerja. Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Banyak sekali foto-foto Tirga bergantungan di dindingnya. Ada foto Tirga bersama Jorda sedang tertawa lepas. Foto Tirga sendirian bergaya bak model. Lalu foto pria bertopeng ultraman sedang bermain piano di panggung megah. Mataku membesar. Dugaanku tak salah. Zafrin dan Tirga adalah orang yang sama. Kemudian foto Tirga yang mengenakan topeng ultraman sedang bersama dengan Alysam dan Jorda. Lalu foto berdua Tirga dengan Alysam yang masih memakai topengnya itu. Lalu ada Tirga bersama Prita bergaya ala foto prawedding. Hmm ....

"Seperti yang udah kita bicarakan tadi di aula. Mulai detik ini kamu yang akan menjaga Tirga, Mud." Ujaran Jorda membuatku terkesiap. Fokusku pada foto-foto yang bergantungan itu langsung buyar. Ia sudah membalikkan tubuhnya menghadapku masih sambil memegang gagang kursi roda Tirga.

Ya Tirga seperti biasa mengenakan piyama dan kali ini warnanya adalah hijau tua. Sedangkan Jorda memakai kemeja hitam dan celana bahan hitam jua.

"Seperti yang aku bilang tadi juga kalau aku menolaknya. Aku nggak mau jadi sekretaris Tirga." Aku tetap bertahan pada pendapatku.

Tirga mendongakkan kepalanya. "Siapa kamu bisa menolak aku?" tanyanya dengan arah pupil mata yang tak jelas ke mana.

"Siapa kamu juga yang memaksa aku untuk jadi sekretaris kamu?" Aku balik bertanya.

Jorda menghela napas. Ia sudah tak memegang kursi roda Tirga lagi. Ia kini menyandarkan dirinya pada tepi meja sambil menyilangkan tangannya di depan dada. "Ternyata kamu gadis yang keras kepala ya," ujar Jorda dengan senyum miringnya.

"Oke. Aku butuh alasan kuat kamu kenapa kamu bersikeras untuk menolak untuk menjadi sekretaris aku. Apa karena aku bukan Tirga yang dulu? Aku hanya seorang pria berpenyakitan yang tak mampu berjalan dan melihat."

Aku masih berdiri di tempat. Kugelengkan kepalaku kuat. "Bukan itu. Menurutku ini semua ganjil aja. Kenapa mesti aku coba yang lolos? Aku butuh jawaban jelas aja. Terlalu penuh rahasia di mansion ini."

"Karena aku rasa kamu yang paling bisa aku percaya dibanding peserta yang lain, Mudya," jawab Tirga.

Kutatap Jorda penuh tanda tanya. Jorda malah menganggukkan kepalanya. Apa maksudnya coba?

"Kenapa bisa aku yang bisa kamu percaya?" tanyaku lagi.

Tirga pun menolehkan kepalanya ke kiri. "Jor, lo yang jelasin aja deh," suruh Tirga.

"Gue di sebelah kanan lo, Tir. Bukan kiri."

Tirga pun buru-buru mengubah kepalanya. Kini ia menghadap ke kanan. "Yaelah. Namanya juga nggak tahu, Jor."

Jorda terkekeh. "Jadi begini, Bu Pramudya Sasqrina. Ehm ... bahasan kita hari ini kayaknya agak panjang. Mending kita duduk di sofa itu."

"Jor, kalau mau duduk di sofa, jangan tinggalin gue gitu aja loh. Gue juga mau duduk di sofa." Tirga memberi peringatan.

Jorda memutar kedua bola matanya ke atas. "Tir, lo di sini juga sama aja dengar suara kita. Sofa nggak jauh. Lagipula berat tahu pindahin lo duduk mulu," keluh Jorda.

Tirga terus menghadap ke kanan padahal Jorda sudah bergerak menghampiriku dan menarik tanganku untuk duduk di sofa. Ya tidak jauh dari meja ini terdapat sofa yang berada di tengah ruangan ini.

"Jor, lo di mana woy?!" Tirga menjerit sambil meraba-raba ke sebelah kanannya. Lalu ke kiri. Jorda sudah duduk di seberangku memperhatikan Tirga tanpa iba. Ia malah tersenyum sekarang. "Heh! Kampret! Lo balas dendam gini amat sih, Jor. Awas lo ye kalau gue nggak buta lagi. Gue balas lo seriusan." Jorda masih terkikik tanpa suara menyaksikan kepanikan Tirga. Tirga pun mengusap rambutnya ke belakang. "Mud, kamu masih di sini kan?" Kali ini Tirga bertanya padaku.

Tawa pun membahana dari mulut Jorda. "Ya ampun, Tuan Muda Adtirga kasihan banget sih." Ia pun beranjak lalu menghampiri Tirga. Seulas senyuman terbentuk di wajahnya.

"Gini kek. Yaudah gue nggak usah duduk di sofa nggak apa-apa. Di sini aja juga nggak masalah."

Jorda mendorong kursi roda Tirga. "Iya. Capek tahu pindah-pindahin lo mulu. Mana si Dodo belum balik lagi. Nanti kamu, Mud, yang bantu-bantu Tirga kayak gini juga."

Kukernyitkan dahiku. "Kok aku?"

Tirga sudah berada di antara kami. Jorda sudah duduk di sofa seberangku sementara Tirga masih duduk di kursi roda. Hanya saja posisinya sama-sama di seberangku.

"Kan kamu sekretaris aku, Mudya," jawab Tirga sambil membenarkan rambut ikalnya itu.

Aku menghela napas. "Sekarang jelasin kenapa harus aku?"

"Karena kami rasa, kamu satu-satunya perempuan yang bisa diajak kerjasama. Di antara semua wanita aku yakin cuma kamu yang bisa diajak berdiskusi," jelas Jorda.

"Maksudnya?"

"Kamu pasti sudah tahu bahwa aku telah menghilang selama dua tahun dari perusahaan. Dan tentu saja kepergianku membuat kondisi perusahaan kalang kabut. Rabatik itu adalah perusahaan turun temurun dari nenek aku--Hifa Rabatik. Ini semua di luar dugaanku kenapa aku yang dipilih untuk memimpin perusahaan. Ya Nenek mempunyai anak sekitar lima yaitu ayahku--Rewa, Om Ilham, Om Eko, Om Riko, dan Tante Gia. Sori, mungkin kamu nggak mau tahu soal keluargaku, tapi di sini sumber masalahnya. Hanya Om Ilham dan Om Eko yang mau menerima keputusan Nenek karena mereka memang malas berurusan dengan Rabatik. Om Eko mendirikan perusahaan roti sendiri di London dan Om Ilham mendirikan sebuah startup IT. Masalahku ada pada Om Riko dan Tante Gia. Mereka melakukan segala cara agar aku turun dari posisi aku sebagai presiden direktur Rabatik."

Tirga menarik napas sejenak lalu mengeluarkannya perlahan. Ia memegang tenggorokannya. "Jor, gue haus. Minum dong," pintanya bak bos. Jorda yang sedang duduk santai langsung melirik sinis Tirga. "Jor, gue susah ambil minum dalam kondisi gini. Nanti kalau udah bisa lihat nggak akan minta tolong lagi kok," ucapnya seperti anak kecil.

Jorda mengembuskan napasnya kasar. "Iya. Nanti gue panggil Dodo deh. Malas gue disuruh-suruh mulu," dumel Jorda sembari bangkit dari kursinya.

Ternyata di ruangan ini terdapat pantry kecil. Setelah beberapa menit Jorda pun kembali dengan tiga gelas berisi air putih di atas sebuah nampan. Ia memberikannya ke aku. Aku tersenyum sebagai tanda ucapan terimakasih. Lalu meraih tangan Tirga dan menyerahkan gelas tersebut tepat di genggaman Tirga. Tirga pun meneguknya sampai tandas. Lalu mengembalikan gelas kosong tersebut. Jorda menerimanya. Walaupun Jorda terkadang mengomel ketika Tirga membutuhkan bantuannya, tapi bisa kuketahui dari cara Jorda memperlakukan Tirga itu sangat tulus.

"Oke. Aku sambung lagi ya. Ya sebelum aku yang menjadi presdir, yang memimpin perusahaan memang Om Riko. Nah, sebelum Nenek pergi dari dunia ini, Nenek menuliskan wasiat bahwa harus aku yang memegang perusahaan which is artinya Om Riko harus turun dari jabatannya. Ya aku tahu Om Riko melakukan kesalahan besar dengan berinvestasi pada kompetitor kami dan dia juga suka menggelapkan uang perusahaan. Nenek tahu itu. Bahkan perusahaan sering dicek oleh polisi karena terindikasi korupsi dan memberi suap. Untung saja Nenek selalu berhasil menutupinya. Sampai akhirnya terhembuslah bahwa perusahaan akan diturunkan pada Tante Gia. Namun, di luar dugaan malah aku yang terpilih dan mereka berdua termasuk anak-anak mereka juga masih bekerja di Rabatik sampai detik ini. Jadilah mereka dendam sama aku. Keluargaku memusuhi aku."

Oke. Tak kusangka dibalik kisah seorang presdir ternyata cukup miris. Keluarga itu adalah nomor satu, tapi ternyata tidak nomor satu untuk sebagian kalangan. Salah satu contohnya adalah Tirga.

"Lalu ayah kamu?"

"Ayah aku termasuk tipe penurut. Dia tidak pernah melawan Nenek. Apa pun yang dikatakan Nenek dia tidak pernah menolaknya. Alhasil dia menjadi anak kepercayaan Nenek. Dia hanyalah petinggi biasa di Rabatik sama seperti Tante Gia namun, posisinya tidak setinggi Om Riko. Ayah selalu mengawasi gerak Om Riko dan Tante Gia. Jadi yang menentukan pemimpin Rabatik terdahulu adalah Kakek, tapi Kakek sudah meninggal sehingga selanjutnya yang menentukan nasib perusahaan adalah Nenek. Om Riko adalah anak pertama, kedua Om Eko, ketiga Om Ilham, keempat Tante Gia, dan terakhir Ayah. Maka dari itu ia menyerahkan Rabatik di bawah kendalinya.

"Dan salah satu cara mereka berdua menghancurkan aku melalui Prita. Prita selama ini menjadi mata-mata mereka untuk memantau segala kegiatanku. Kesalahan terbesar aku adalah meninggalkan Tayana yang ternyata perempuan baik hanya karena aku termakan cinta dengan godaan Prita. Sampai akhirnya aku ... menjadi seperti ini. Sudahlah. Aku malas membahas Prita lebih jauh lagi." Tirga merundukkan kepalanya. Nada bicaranya sedikit bergetar begitu menyebut nama Prita. Segitu sakitnya berarti Prita di hati Tirga.

Sepertinya Jorda mengerti akan keadaan Tirga. Ia melanjutkan kata-kata Tirga. "Maka dari itu kami butuh bantuan kamu, Mudya. Untuk sementara sekarang perusahaan dipegang oleh Om Rewa. Kami semua menutupi apa yang sedang terjadi dengan Tirga selama dua tahun ini. Kami bilang saja, Tirga saat ini di luar negeri sedang menjalani beberapa pelajaran terkait perusahaan. Kebetulan hal ini ada di dalam wasiat bahwa Tirga boleh meninggalkan perusahaan dengan alasan belajar."

"Lalu apa yang bisa aku lakukan? Kan aku sudah bilang tidak mau terlibat lebih jauh soal Tirga," kataku tegas.

"Kami hanya mau kamu berakting. Mungkin kondisi Tirga yang saat ini belum bisa berjalan, tidak bisa kita sembunyikan. Tapi kondisi soal matanya bisa kita sembunyikan," tambah Jorda.

"Aku nggak ngerti."

Tirga sudah mengangkat kepalanya. Ia menatap lurus ke depan. "Mudya, musuh kita ini bukan orang yang mudah untuk dilawan. Selama dua tahun ini, aku terus mencari pendonor mata namun, ternyata sulit sekali. Dengan terpaksa aku belajar membaca dengan huruf braile. Aku tidak mau siapa pun di perusahaan yang tahu bahwa aku buta."

Kupotong kalimat Tirga. "Jadi maksud kamu aku akting bahwa kamu nggak buta gitu?"

Mereka berdua menganggukkan kepalanya serempak. "Gimana caranya? Mata kamu nggak bisa bohong, Tir."

"Ehm, aku minta bantuan sama Om aku untuk dibuatkan kacamata visual sensor yang bisa mendeteksi adanya suara dan Om aku sudah menyediakannya. Untung dia memiliki banyak teman IT. Jadi kacamata tersebut akan menampilkan gambar mataku. Kalau kamu di sebelah kiri dan kamu berbicara dengan saya, maka bola mata saya akan bergerak menatap kamu. Tapi masalahnya adalah ...."

Jorda melanjutkan kalimat Tirga. "Kacamata itu hanya sekedar kacamata. Dia tidak terhubung dengan telinga pemakai. Terkadang jika tidak bisa melihat, kita salah menoleh ke lawan bicara. Misal lawan di sebelah kiri kita menoleh ke kanan. Ya memang kita akan tahu jika lawan sudah bicara, tapi kalau belum bagaimana? Jadi di sini kami butuh bantuan kamu, Mudya. Dari sekian wanita audisi kemarin, satu-satunya wanita yang bisa menjaga emosi adalah kamu dan aku yakin kamu bisa berakting seolah-olah Tirga tidak buta. Nanti aku akan buat kalian berdua terkoneksi melalui speaker kecil di telinga dan bibir kalian. Ya mungkin orang lain akan melihat itu seperti tahi lalat, padahal bukan dan aku mau kamu mengarahkan apa pun yang Tirga hadapi jika bertemu dengan orang banyak."

Aku tersenyum miring. "Jadi karena ini kalian sampai merogoh kocek sampai 60 juta demi menjadi sekretaris Tirga? Ini namanya pembohongan publik!" sergahku.

"Aku nggak bisa menyerahkan perusahaan gitu aja ke Om Riko. Sekarang kondisi Papa juga sudah mulai menua dan aku bisa lihat dia sudah nggak sanggup menghadapi kelakuan Om Riko dan Tante Gia. Apalagi perkataan mereka jika melihat Ayah bersama Bunda. Habis Bunda dihina oleh mereka berdua hanya karena beda kasta dari kami," jelas Tirga dengan wajah menatap lurus ke depan.

Beda kasta? Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin aku ajukan pada mereka berdua, tapi aku takut dipikir tertarik untuk menerima tawaran sekretaris ini. Intinya sebanyak apa pun penjelasan mereka padaku, tekadku tak akan goyah. Aku tidak mau menjadi sekretaris Tirga. Lihat saja, aku diminta untuk berbohong. Belum lagi menghadapi keluarganya yang mereka bilang saingan itu. Menghadapi para wanita ganas pada audisi ini baru saja berakhir, masa aku harus berperang lagi sih dengan lawan yang aku yakini adalah tangguh.

"Maaf, aku nggak bisa. Silakan kalian cari wanita lain. Kalian lihat saja tadi Prita dan Tayana mau menjadi sekretaris Tirga. Kenapa tidak ambil salah satu dari mereka? Aku tidak mau mempunyai musuh. Aku benci pertengkaran. Lagipula aku mau hidup damai. Keinginanku murni karena ingin mencari kerja. Aku bosan jadi pengangguran, tapi bukan ini yang aku mau, Jor, Tir," jelasku berharap mereka mau mengerti.

Alis Jorda tertaut sementara Tirga berekspresi datar. "Pilihan memang di tangan kamu, Mudya. Tapi jangan salahkan kami kalau nama kamu masuk dalam daftar blacklist. Kamu bilang kamu bosan jadi pengangguran kan? Yasudah. Silakan," ujar Jorda sembari menyandarkan dirinya ke sofa.

Tirga tersenyum. "Meninggalkan 60 juta cuma-cuma untuk jadi pengangguran. Mudya Mudya," cibir Tirga.

Dua pria ini kok menyebalkan seperti ini sih? Aku mendengkus kesal. Aku harus apa sekarang? Haruskah aku menerima tawaran mereka? Tapi kurasa hidupku akan makin tak tenang ke depannya. Memang seharusnya aku bersyukur karena aku yang terpilih, tapi resiko yang kuhadapi itu akan semakin besar. Alasan aku terpilih saja masih belum jelas. Dua pria ini benar-benar penjaga rahasia yang akut. Oke. Begini saja. Aku terima tawaran mereka sampai aku mendapatkan pekerjaan yang lain. 60 juta itu besar, aku bisa buat untuk modal usaha juga. Banyak sebenarnya opsi yang bisa kulakukan.

Ini hanya untuk sementara, Mudya.

"Bagaimana, Pramudya Sasqrina?" Pertanyaan Jorda membuyarkan lamunanku.

Aku pun menatap mata Jorda. Kutarik napasku sejenak lalu kukeluarkan perlahan. Semoga ini pilihan yang benar. Kucoba untuk meneguhkan perasaanku. Nanti akan kutabung uang gajiku untuk mengoperasi wajah ini kembali juga. Banyak sekali manfaat dari 60 juta itu.

"Berapa lama aku menjadi sekretaris Tirga?" tanyaku serius.

"Sampai Tirga menemukan pendonor matanya."

Aku tertegun. "Itu kapan?"

Jorda mengendikkan bahunya. "Sedang dicari, Mudya. Atau minimal sampai dia bisa berjalan lagi karena sebenarnya dia bukan lumpuh total, tapi tidak terbiasa berjalan lagi. Jadi memang harus dilatih dan Tirga terlalu malas untuk mencoba berjalan lagi."

"Nggak ada gunanya, Jor. Toh kalau gue bisa jalan, tapi nggak bisa lihat buat apa?" tampik Tirga dengan kepala yang terus menatap lurus ke depan.

Jorda menatap Tirga kesal. "Gue malas, Tir, angkat-angkat lo kalau nggak ada Dodo. Kasihan juga sama Mudya nanti yang angkat-angkat lo."

Bibir Tirga langsung manyun. "Kapan-kapan aja lah. Udah ah. Gue malas bahas ini. Intinya kamu mau ya, Mud. Aku senang dengarnya."

Ingat ini hanya sementara, Mudya.

"Seperti yang kamu tahu, kantor pusat Rabatik tidak di sini. Ada di kota. Jadi, nanti kita pindah ke kota. Kita tidak akan tinggal di mansion ini lagi," terang Jorda.

"Kita aja?" tanyaku panik.

Jorda dan Tirga terbahak bersama. "Nanti ada Jema dan para pengawal lainnya. Bunda dan Ayah juga ikut. Ada Jorda, Dodo, dan juga Kiran serta pelayan yang lain. Jarak mansion ke kantor lumayan jauh dan itu sangat melelahkan karena kita harus menempuh beberapa jam. Nanti kita tinggal tepat di belakang kantor pusat Rabatik."

Wah! Ini kabar yang bagus. Itu artinya aku bisa kembali ke kosku lagi bersama Kak Citra. "Ehmm aku nggak harus tinggal sama kamu kan, Tir? Maksud aku, aku bisa tinggal di tempat aku sendiri."

"Mudya, kamu mau tinggal di mana? Kamu bukannya hanya tinggal di kos-kosan ya?" tanya Jorda.

"Kamu tahu dari mana?" tanyaku kaget.

"Tidak ada satu pun info soal kamu yang kami berdua tidak ketahui. Sudahlah. Lebih baik sekarang kamu kembali ke kamar kamu. Seminggu besok kita akan latihan akting agar gimana pun caranya mereka nggak boleh tahu kalau Tirga tidak bisa melihat. Cuma kamu yang bisa kami harapkan, Mudya. Pokoknya kami akan beritahukan hal apa saja yang akan kamu lakukan jika sudah menginjak kantor pusat Rabatik," jelas Jorda. Ia menatapku dalam dan sangat serius. Ia duduk tegap sementara Tirga terus menghadap lurus ke depan.

Pasti sangat gelap dan kesepian sekali ya. Hidup tanpa melihat warna-warni dunia dan tidak bisa mengelilingi dunia karena tak mampu berjalan lagi. Aku tak sanggup membayangkan jika yang duduk di kursi roda itu adalah aku. Setidaknya aku sedikit bisa bersyukur. Meskipun wajahku hancur, tapi aku masih punya kaki dan mata yang berfungsi normal.

Aku membalas tatapan Jorda. Kuanggukkan kepalaku. Ah iya, hampir saja aku lupa. Aku harus menanyakan soal Zafrin.

"Aku mau tanya sesuatu sama kalian," ujarku.

"Apa?" tanya mereka berdua serentak.

"Aku pernah bertemu Zafrin dan di ruangan ini aku bisa melihat ada foto pria memakai topeng ultraman. Apa Zafrin dan Tirga adalah orang yang sama?" tanyaku tanpa ragu.

Mereka berdua menghela napas lagi.

"Iya. Itu aku, Mudya. Pria yang kamu tolong untuk berlari menghindar dari kejaran Jema. Pria yang kamu lihat bermain piano waktu itu. Itu adalah aku. Hal itu yang semakin membuat aku tidak bisa melepaskan kamu gitu aja dari audisi ini. Karena secara nggak sengaja, kamu berhasil menyentuh rahasia-rahasia yang aku tutupi selama audisi ini."

Terkaanku tak salah. Zafrin adalah orang yang sama dengan Tirga, tapi aku tak mengerti maksud ucapan Tirga barusan. "Maksud kamu?"

"Zafrin itu ada, Mudya. Mereka berbeda dunia. Adtirga dengan dunia presdirnya, sedangkan Zafrin dengan dunia musiknya. Nanti kamu akan tahu kenapa bisa seperti itu dan di dua dunia itu, masing-masing dari kami memiliki wanita. Aku tak mau membahas ini dulu. Yang jelas jika ada Zafrin, maka Adtirga harus dilepaskan. Begitu juga sebaliknya dan ...."

Jorda memotong kalimat Tirga. "Dan kamu bersabar aja. Nanti kamu akan tahu. Dunia inilah yang akan kita hadapi ketika Tirga sudah memunculkan sosoknya ke khalayak. Hanya beberapa orang yang tahu bahwa Zafrin dan Tirga adalah orang yang sama. Perlu kamu tahu juga. Masing-masing keluarga Rabatik memiliki ruangan masing-masing di mansion ini. Kamu bisa lihat berapa banyak pintu yang ada di sini dan dan setiap pintu ada pemiliknya. Kami bahkan tidak tahu ada ruangan apa di sebelah. Kunci dan kode serta cara membuka pada setiap pintu tidak selalu sama. Untungnya presdir Rabatik adalah Tirga sehingga dia memegang kendali penuh atas mansion ini, jadi Om Riko dan Tante Gia tidak tahu bahwa kami menyembunyikan Tirga di mansion ini."

Aku cukup terperangah mendengar penjelasan Jorda. Benar-benar penuh rahasia dan masalah yang cukup pelik. Tidak hanya soal percintaan Tirga yang rumit, tapi juga masalah keluarganya. Ada sedikit rasa iba muncul di hatiku. Dan aku sungguh-sungguh penasaran dengan dua dunia yang dimaksud mereka itu apa dan di masing-masing dunia Zafrin mau pun Tirga memiliki wanita masing-masing. Ini benar-benar menguras pikiranku. Kenapa ruwet sekali?

"So welcome to your new journey, Mudya," sambut Tirga.

Kuhembuskan napasku kasar lalu kutelan ludahku. Entahlah rasanya bagaimana. Aku merasa akan ada kejutan besar ke depannya dan kuharap aku bisa menghadapinya. Kembali kutatap dua pria di depanku ini. Seumur-umur aku tak pernah bermimpi akan duduk berhadapan dengan dua pria tampan, tapi menyebalkan seperti mereka.

Ayah, Ibu, Nerta, Arta, pasti mereka semua sedang menonton kisahku dan sama-sama bertanya apa yang akan selanjutnya terjadi. Aku cuma bisa berdoa semoga semua baik-baik saja dan pilihanku menerima tawaran ini tak salah. Aamiin.

***

Tanggapan dooooong hehehe kalau ada plot hole bilang ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top