18
Sebelum baca ada baiknya jika divote dulu ehehhe. Insya Allah fast update :)
Happy reading!!
-------------------------------------------
Aku dan Jorda dibawa ke ruang seperti klinik. Ya di sini terdapat beberapa ranjang besi dan aku duduk di salah satu ranjang ini. Sementara Jorda duduk di seberangku. Hatiku jadi sedih melihat Jorda. Apalagi ada lebam di wajahnya. Wanita kalau sudah ngamuk memang menyeramkan ya. Kami berdua sedang diobati oleh pelayan di mansion ini. Bisa kulihat wajahnya meringis kesakitan begitu dioleskan obat ke bagian lebam pada wajahnya. Jema dan kawan-kawannya berdiri mengawasi kami.
"Jor, maaf ...." Hanya itu yang bisa aku ucapkan di kala seperti ini.
Sumpah, aku merasa sangat tak enak pada Jorda. Ia babak belur seperti itu karena melindungiku. Tapi Jorda malah tersenyum.
"Nggak apa-apa, Mud. Ini nggak ada apa-apanya dibanding wajah kamu. Lebih baik aku yang kena serangan mereka daripada kamu."
Jorda pun menyuruh beberapa pelayan ini untuk ke luar. Termasuk Jema sehingga tinggal kami berdua yang berada di ruangan ini.
"Ya tapi kan kamu jadi kena gara-gara aku," ucapku.
Ia malah tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku nggak mau kamu terluka lagi."
"Jor ...."
"Iya ...."
"Kenapa kamu malah membeberkan semuanya ke mereka bahwa audisi ini memang bukan untuk mereka?"
Jorda menatap ke arah lain. Ia mengembuskan napasnya kasar. "Aku udah lelah aja. Toh sebenarnya selama ini aku yakin kalau mereka sadar sikap aku ke kamu dengan mereka itu beda banget. Aku udah usahain agar semuanya nggak terlihat mencurigakan, tapi ternyata susah. Aku nggak bisa buat kamu keluar dari sini, Mud."
"Sebenarnya ada apa sih, Jor? Kenapa aku harus di sini?"
Bola mata Jorda kembali menatapku. "Sekarang aku tanya, penyebab wajah kamu bisa seperti itu kenapa?"
"Kenapa kamu mau tahu?"
"Karena aku perlu tahu."
Aku pun turun dari ranjang. Aku rasa obrolan ini tak semestinya berlanjut. Rahasia wajah ini hanya aku dan trio cokro itu yang tahu. Jorda tidak perlu tahu karena ia bukan siapa-siapa.
"Kamu mau ke mana?" tanyanya.
"Kamu nggak perlu tahu kenapa wajah aku begini. Ini bukan urusan kamu," jawabku sembari melangkahkan kakiku.
"Aku cuma mau bilang. Kamu jangan sepenuhnya percaya pada siapa pun. Oke. Aku terlalu lancang karena aku mau tahu kenapa wajah kamu seperti itu, tapi aku yakin pasti ada yang tahu penyebab wajah kamu menjadi seperti itu."
Langkahku jadi terhenti karena mendengar lontaran sarkas dari mulutnya. Kutolehkan kepalaku ke belakang. Ia menatapku tajam. Ya yang tahu kisah asliku cuma Trio Cokro dan mereka adalah orang yang bisa kupercaya.
"Apa maksud kamu?"
"Mudya, aku sudah pernah bilang kan. Audisi ini jadi kacau karena kedatangan kamu. Semua jadi berantakan. Kami membuat audisi ini karena keadaan perusahaan sedang carut marut akibat menghilangnya Tirga selama dua tahun, maka dari itu kami membuat audisi ini sedemikian rupa dengan gaji yang fantastis karena kami tidak sekedar membutuhkan sekretaris, tapi juga seseorang yang bisa menjaga dirinya dan aku yakin kedatangan kamu ke audisi ini pasti memang sudah direncanakan seseorang!" Nada bicaranya menjadi sedikit tinggi.
Mau tak mau aku jadi penasaran dengan omongan Jorda. Dia menuduhku sebagai penyebab kekacauan audisi ini. Aku saja tidak tahu apa-apa. Dan dari kalimatnya tersirat bahwa dia secara tak langsung menuduh Kak Citra, Kak Nyayu, dan Kak Melani karena merekalah yang memaksaku untuk mengikuti audisi ini. Aku rasa nanti aku harus menanyakan hal ini ke mereka.
"Jadi kamu nuduh orang yang aku tahu penyebab wajah aku jadi begini adalah orang yang punya maksud untuk mengacaukan audisi ini?"
Jorda pun mendongakkan kepalanya ke atas. Ia hembuskan napasnya kasar. Kemudian ia menatapku. "Who knows? Kita nggak ada yang tahu apa isi hati dan pikiran seseorang, Mudya."
"Kamu tuh nggak jelas tahu nggak."
Jorda terkekeh. "Sebentar lagi kamu akan tahu kenapa aku bisa bilang gini. Kenapa audisi ini diadakan sampai segininya hanya agar semua orang bisa menerima Tirga dan aku harap kamu mau menjadi sekretaris Tirga."
"Lalu kalau memang aku yang menjadi sekretaris Tirga, kenapa Tayana dan Kiran bertahan sampai detik ini?"
"Karena beberapa kali mereka memergoki kita. Aku bisa melihat segala aktifitas semua orang di mansion ini. Termasuk kamu yang sering keluar malam-malam dari kamar. Telfonan dengan Zafrin. Aku tahu semua. Jadi nggak ada satu pun hal yang bisa kamu sembunyikan ketika berada di mansion ini." Jorda berbicara dengan santainya tanpa tahu bahwa sebenarnya hati kecilku jadi agak takut dengannya.
Dia sering kali melontarkan kata yang membuatku terpojokkan, tapi aku sendiri tidak tahu penyebabnya apa karena terlihat sekali ia sedang menutupi sesuatu dariku. Aku jadi dilema sendiri. Aku ingin keluar dari mansion ini namun, aku juga sangat penasaran dengan kisah dibalik ini semua.
"Kamu menakutkan, Jor."
Jorda terkekeh. "Bukan menakutkan, tapi aku memang harus tahu, Mudya. Ya ada beberapa tempat yang tidak bisa aku tahu. Seperti kamar kamu dan kamar anak lainnya. Tapi tempat yang bersifat umum pasti aku tahu." Jorda pun turun dari ranjangnya. Ia berjalan mendekatiku. Kemudian ditatapnya wajahku jeli. "Mending kamu ke kamar. Istirahat. Pasti kamu lelah karena serangan wanita-wanita gila tadi. Aku tinggal dulu."
"Tap ...."
"Kamu tunggu aja waktunya. Aku belum siap kalau kamu harus tahu semua ini, tapi aku benar-benar beruntung kamu hadir di sini, Mud. Setidaknya rasa itu ...." Kalimatnya terhenti. Ia tak berhenti menatapku. Napasnya naik turun di depanku. Kami terdiam beberapa detik. Tangannya pun perlahan menyentuh wajahku. Aku bisa melihat matanya berkaca-kaca ketika tangannya bersentuhan dengan kulit wajahku.
"Jor ...."
"Apa ini sakit?" tanyanya dengan suara tertahan.
"Nggak lagi." Tangannya terus bergerak menyusuri bekas luka pada bagian wajahku. Anehnya, kenapa diriku membeku tak bisa bergerak.
"Apa pernah sakit?"
"Dulu awal-awal saja, tapi nggak berlangsung lama." Entah kenapa aku merasa risih berdekatan seperti ini dengan Jorda. Aku pun menepis tangannya pelan. Seketika Jorda langsung canggung.
"Maaf ...," ucapnya. Kemudian ia usap matanya.
Aku ingin bertanya lebih lanjut lagi, tapi aku sudah menebak pasti Jorda tidak akan menjawabnya dan yang ada ia malah membuatku semakin bertanya-tanya. Sudahlah, lebih baik aku meninggalkannya. Tak ada gunanya aku di sini bersama Jorda. Ini semua benar-benar aneh. Setelah ini akan aku tanyakan pada Trio Cokro itu. Apa mereka sebenarnya punya maksud lain kenapa menyuruhku untuk mengikuti audisi ini.
"Aku tinggal dulu."
Dan Jorda hanya diam tanpa melarangku. Aku pun terus berjalan menuju kamarku. Tidak enak sekali rasanya punya pertanyaan, tapi tak ada satu pun yang bisa menjawab.
***
Mansion ini benar-benar sepi sekarang karena saat ini cuma ada aku, Kiran, dan Tayana yang berada di aula. Ya seperti biasa jam sembilan kami dipinta untuk berkumpul. Aku merasa ada yang aneh dengan Kiran. Ia sama sekali tak mengajakku mengobrol. Sejak awal kami sampai di sini ia terus sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Tayana hanya memandangku sinis. Ya Tuhan, kenapa mesti seperti ini ya?
"Ran ...," panggilku lirih. Aku memutuskan untuk menghampirinya.
"Kenapa, Mud?" tanyanya. Ia pun meletakkan ponsel ke dalam sakunya.
Biasanya Kiran yang menyapaku duluan namun, tidak untuk kali ini. "Lo kenapa? Lo marah sama gue?" tanyaku was-was.
Ia tersenyum semanis mungkin. "Nggak kok. Kenapa aye mesti marah?"
Aku rasa ini pasti ada kaitannya dengan hal yang ia kemarin dengar ketika aku bersama Jorda. "Emang lo udah dengar apa aja waktu gue ngomong sama Jorda?"
Wajah Kiran pun berubah kecut. "Lo mau aye jujur apa bohong?" Nadanya mulai terdengar malas.
"Ya jujurlah, Ran."
Kiran pun menatapku. "Ya sama persis kayak kemarin yang Jorda bilang ke anak-anak yang lain. Bedanya aye udah tahu siapa yang bakal ditakdirin jadi pemenangnya." Mulutku terkatup tak tahu harus berkata apa. Jadi Kiran sudah mengetahui hal ini. "Elo, Mudya. Aye kagak ngerti ya kenapa bisa begini. Dan yang aye lebih heran lagi, kalau elo yang udah ditakdirin jadi pemenangnya kenapa aye masih disisain di sini? Kagak berguna banget kan?"
Wajah Kiran terlihat emosi. Ini tidak seperti Kiran yang biasanya. Ya aku tahu ambisi Kiran ingin memenangkan audisi ini sangat besar. Pasti ia kesal sekali ketika mendengarkan pembicaraanku dengan Jorda kala itu. Aku juga jadi teringat obrolanku dengan Jorda terkait Trio Cokro. Setelah tiba di kamar, aku langsung mengirim pesan WA ke grup namun, sampai detik ini tak kunjung ada balasan dari mereka. Padahal mereka membacanya ....
"Itu yang perlu kita tanyakan nanti, Ran." Tiba-tiba Tayana bergabung di antara kami. Otomatis pikiranku soal Trio Cokro terbuyarkan.
"Tay, lo ...."
"Iya. Gue juga udah tahu, Mud. Gimana ya. Gue ikut audisi ini semata-mata agar dekat sama Tirga, tapi gue berasa dipermainkan ketika gue tahu kalau kehadiran gue di sini cuma jadi figuran. Gue juga nggak ngerti kenapa Jorda menjadikan elo sebagai pemenangnya. Sebenarnya gue sih kesal banget ya kemarin, tapi gue nggak mau masuk dalam gerombolan alay yang nyerang orang." Tayana menatapku tak suka.
Kutelan salivaku. "Gu--gue jug-juga nggak ngerti kenapa ...."
"Iya. Mudya nggak tahu apa-apa. Mending langsung nanya ke gue daripada nanya ke Mudya." Suara Jorda mendadak muncul dan membuat kami berpaling melihatnya. Ia sendirian tanpa kehadiran Dodo seperti biasanya. Ia tampil tampan dengan mengenakan kaos hitam dipadu jas abu-abu dan celana bahan abu-abu.
"Yaudah. Kalau emang Mudya yang jadi sekretaris kenapa aye mesti di sini, Jor?" tanya Kiran tak ada ramah-ramahnya. Sosok cablak Kiran hilang seketika. Aku jadi makin merasa bersalah kan.
Jorda menghela napas. "Karena kalian berdua yang tahu rahasia ini. Jelas, gue nggak hal ini bocor ke khalayak."
"Lo kok kurang ajar sih, Jor!" marah Tayana.
"Tay, salahkan sifat suka ngintip dan nguping lo itu. Kalau lo adem ayem aja ketika audisi ini berlangsung, gue juga akan biarin lo ke luar. Dan lo Ran, lo satu-satunya teman akrab Mudya di sini. Gue yakin akibat acara nggak sengaja dengar pembicaraan gue kemarin sama Mudya, pasti sekarang lo lagi dongkol kan? Jadi gue tahan lo di sini."
Kiran terbahak. "Jadi, maksud lo aye di sini cuma berperan sebagai teman Mudya makanya aye lolos?" Kiran makin sadis memandangku. "Aye ikhlas ye berteman dengan siapa aja. Tapi aye berasa dimanfaatin tahu nggak. Aye beneran mau jadi sekretaris Tirga, Jor!" seru Kiran.
Aku masih terdiam di sini tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku benar-benar bingung sekarang. Jorda pun mengedarkan pandangannya. Kemudian ia berjalan.
"Daripada kita mengobrol sambil berdiri dan capek, lebih baik kita duduk di sana. Ayo," ajaknya tanpa memandang kami. Kami bertiga berpandangan dan mengikutinya.
Jorda pun duduk di salah satu kursi sembari melipattangannya di depan dada. Bahkan ia membentuk lingkaran dengan empat buah kursi. Kemudian ia persilakan kami duduk. Wajahnya sangat ramah. Tayana dan Kiran masih berekspresi kesal.
"Kalian tahu, apa alasan kami buat audisi ini bukan seperti sekretaris pada umumnya?" Kiran dan Tayana menggelengkan kepala bersamaan. Sementara aku hanya diam tanpa raut apa pun memandang Jorda. "Kalian lihat sendiri sekarang kita di mana. Mansion ini jauh dari kota. Dan ini bukan sekretaris biasa karena nanti kita akan kembali dan hidup di Jakarta. Gue dan Tirga harus meninggalkan mansion ini karena suasana Rabatik sekarang sedang kacau akibat menghilangnya Tirga selama dua tahun. Tirga masih berperan sebagai presdir. Dan sekretaris yang akan menjadi Tirga harus bertanggungjawab sepenuhnya pada Tirga dan kami membutuhkan sekretaris yang benar-benar bisa dipercaya. Bukan seperti Prita--sekretaris sebelumnya."
Tayana tertawa kecil. "Gue nggak tahu ya, Jor, soal Prita. Meskipun ya berdasarkan info yang gue dengar dia dan Tirga menghilang secara bersamaan. Tapi tetap aja. Lo ngerjain anak-anak perempuan peserta audisi ini. Dan gue nggak terima. Terus kenapa harus Mudya, Jor? Sorry to say, dia jauh banget sama gue. Untuk kemampuan menjaga Tirga, gue dan Kiran nggak jauh beda. Fakta ketika gue tahu kalau Mudya yang harus jaga Tirga benar-benar buat hati gue hancur, Jor. Gue benar-benar pengen ketemu Tirga, Jor. Gue kangen banget sama dia." Tayana merundukkan kepalanya. Tak kusangka ia malah terisak-isak ketika menjelaskan hal ini.
Ya Tuhan, hatiku bisa merasakan betapa sakitnya hati Tayana saat ini. Ini tidak adil. Tayana dan Kiran adalah dua perempuan berambisi. Mungkin Kiran berambisi untuk membuktikan ke orangtuanya bahwa ia mampu. Tapi Tayana. Aku tahu ia punya maksud lain. Ia menyukai Tirga dan berharap besar pada audisi ini untuk bertemu Tirga.
"Lo tahu, Jor. Dulu sebelum Prita menjalin hubungan dengan Tirga, Tirga dekatnya sama gue. Kita udah banyak ngelakuin hal sama-sama. Banyak janji yang diucapkan Tirga. Tapi dia tiba-tiba mutusin gue. Semua kontak gue diblokir sama Tirga. Gue sampai bingung karena tiap gue ke Rabatik, Tirga selalu nggak peduli sama gue. Bahkan dia nyuruh Prita untuk ngusir gue. Tirga udah ambil semuanya dari gue, Jor. Untung gue nggak hamil." Tayana menangis hebat.
Astaga. Benarkah itu? Hatiku makin tersayat mendengarnya. Pantas saja Tayana sampai segininya pada Tirga. Aku menutup mulutku tak percaya. Kiran juga sama kagetnya denganku.
"Gue udah duga. Lo pasti salah satu korban terparah Tirga."
Tayana pun mengangkat kepalanya. Ditatapnya Jorda kalut. Matanya berair. "Salah satu? Jadi nggak cuma gue?!"
"Gue nggak seharusnya bongkar aib dia. Tapi kayaknya lo harus tahu. Ada dua orang lagi, Tay, yang nasibnya sama kayak lo. Lo bersyukur nggak sampai hamil. Gue juga sebenarnya marah dengan kelakuan Tirga, tapi satu-satunya sahabat Tirga cuma gue. Dan saat ini yang bisa Tirga harapkan cuma gue ...."
Aku dan Kiran diam tak mengeluarkan satu pun suara. Kami hanya menyimak pembicaraan mereka. Mengetahui fakta ini semakin membuatku ingin mundur. Kenapa tidak Tayana saja yang menjadi sekretaris Tirga? Dia lebih membutuhkannya daripada aku.
"Jor ...," panggilku. Jorda menoleh menghadapku. "Aku mun ...."
"Gue mau ikut audisi ini. Lepasin! Lepasin tangan gue!" teriak seseorang mengejutkan kami berempat. Kalimatku pun jadi terhenti karena teriakan tersebut. Secara refleks kami menoleh ke asal suara.
Ternyata ada seorang perempuan yang sedang meronta berusaha melepaskan diri dari Jema dan kawan-kawan. Aku merasa tak asing dengan bentuk tubuhnya dan itu bukan salah satu peserta audisi kemarin. Itu adalah ....
"Prima?! Apa yang kamu lakukan di sini?!" Jorda akhirnya bangkit berdiri dan menghampiri Prima yang sedang berusaha masuk ke aula. "Jem, lepaskan. Biarkan dia masuk."
Jema terlihat ngos-ngosan dan kelelahan. Pasti tenaga yang dikerahkan oleh Prima tadi sangat kuat. "Baik, Tuan," ucapnya segan. Lalu ia dan anak buahnya pun meninggalkan kami semua.
Prima langsung berlagak elegan. Ia membenarkan gaun mini hitam di atas lutut tanpa lengannya. Kemudian ia usap rambut merah panjang agak ikalnya itu dengan anggun. Lalu ia berjalan centil mendekati kami. Aku cukup terpana dengan kecantikan Prima. Ya ia sangat cantik, tapi sayang sombong.
"Mana peserta yang lain? Kenapa cuma ada tiga orang?" tanyanya belagu.
"Karena memang cuma ini yang tersisa. Lainnya sudah out," jawab Jorda.
Prima dengan tatapan remehnya langsung memandang kami satu per satu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ya saat ini kami bertiga sudah berdiri dan pandangannya berhenti tepat di aku.
"Lo? Wajah itu ... gue ingat siapa lo. Lo wanita di audisi pertama kali yang diserang waktu itu kan?" tanyanya. Aku memilih untuk tidak menanggapi pertanyaannya. "Dan lo. Tayana Fisyaga. Usaha lo keras juga ya agar bisa lolos audisi ini." Kini ia beralih ke Kiran. "Hmmm gendut. Mana cocok sekretaris Tirga gendut begitu."
Jorda dan aku langsung kulihat ekspresi Kiran dan Tayana. Ekspresi mereka yang tadinya kesal sekarang berubah menjadi garang. Jorda juga terlihat panik. Pasti ia tak mau ada adegan berantem lagi di antara wanita-wanita. Dan memang Prima ini kelasnya berbeda. Tayana juga cantik, tapi pesonanya masih kalah oleh Prima. Buktinya ia diam saja ketika dikatakan seperti itu oleh Prima.
"Tujuan kamu ke sini apa, Prim?" tanya Jorda tegas.
"Ehm ... aku mau daftarin ikut audisi ini, Jor. Kemarin kan saudara kembarku yang jadi sekretaris Tirga. Dan sekarang ya aku aja. Lagipula aku masih cari tahu keberadaan Prita."
"Terus cara kamu bisa masuk ke sini gimana?"
"Ya aku cari tahu sendirilah dari salah satu mantan peserta. Gimana caranya bisa masuk sini. Eh tadi ketahuan Jema. Ya ketangkaplah orang aku lari pakai hak tinggi begini," jawabnya dengan nada sombongnya itu.
Jorda terkekeh. "Kamu sama aja ya kayak Prita liciknya. Pulang gih. Audisi ini udah berakhir. Nggak ada penambahan peserta lagi."
Prima melotot. Ia berjalan mendekat ke arah kami. "Ya jelas aja mirip. Dia saudara aku. Nggak bisa! Aku harus ikut. Aku harus ketemu Tirga, Jor!" serunya kencang.
"Mau apa lagi sih, Prim?" tanya Jorda malas.
Prita menghela napas. "Aku masih cari Prima--maksudku Prita, Jor. Menghilangnya dia bersamaan dengan Tirga buat aku gila. Ya memang keluarga aku sudah mengikhlaskan kepergiannya yang sampai sekarang nggak diketahui. Tapi aku penasaran."
"Prim ... Sebenarnya aku malas sekali membahas Prita. Dia yang buat semua kekacauan ini. Gara-gara dia Alysam ...." Jorda menghentikan kalimatnya. Ia memejamkan mata.
Alysam? Nama itu .... Bukankah itu nama yang sama seperti yang Zafrin sebut waktu di ruang canggih itu? Bahkan aku mengingat dengan jelas lukisan wajah Alysam yang tergantung manis di ruangan khusus Zafrin. Aku menatap Prita dan Jorda. Ekspresi mereka menunjukkan raut yang sedih. Sebenarnya ini ada apa? Aku juga ingat betul ketika Jorda memintaku agar melupakan wajah Alysam.
"Aku minta maaf. Tapi jangan salahkan Prita sepenuhnya, Jor. Ini juga salah Tirga. Dia yang membuat Prima--maksudku Prita sampai senekat itu. Prita tidak semuka dua dan gila harta," jelas Prima.
Jorda membuka mata. Matanya memerah marah. "Kamu pikir aku percaya? Gara-gara Prita semua ini jadi kacau, Prim! Sudahlah. Lebih baik kamu keluar dari sini. Aku tidak ingin lagi ada Prita kedua di dekat Tirga dan aku tidak mau ada Alysam berikutnya."
Jorda langsung mencengkram tangan Prima dan menariknya paksa untuk ke luar dari mansion ini. "Jorda! Kamu gila! Aku mau jadi sekretaris Tirga!" Prima tetap kekeuh dan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan.
"Nggak! Keluar!" pekik Jorda kuat. Rahangnya mengeras. Astaga. Aku meneguk ludah tak menyangka bahwa nada bicara Jorda bisa setinggi ini. Aku, Kiran, dan Tayana pun bertatapan. Ini di luar kuasa kami. Kami tak bisa membantu sama sekali.
"Jor, plis, Jor. Aku mau lihat Tirga ...." isak Prima. Pada akhirnya ia menangis karena menolak dengan keras tarikan Jorda. Tapi Jorda masa bodoh.
"Nggak ada cara lain. Aku rasa aku harus pakai cara kasar untuk ngusir kamu." Jorda pun menghempaskan tangan Prima. Prima hampir saja tersungkur. Tanpa basa-basi Jorda langsung melingkarkan tangannya di pinggang Prima. Di saat ia hendak menggendong tubuh Prima ....
"Farjorda, itu suara siapa?"
Mataku melotot begitu sosok yang sudah lama tak kutemui tiba-tiba datang ke tengah-tengah kami. Di belakangnya ada Dodo sedang memegang kursi roda. Ia terlihat syok menyaksikan hal ini. Begitu juga dengan Jorda. Matanya serasa ingin keluar dari tempatnya begitu melihat ke pemilik suara.
"Dodo!" bentak Jorda.
"Ma--mas Jor, tadi bilang bawa Mas Adtir ke sini," jawab Dodo ketakutan. Oke ternyata nama pria kursi roda itu adalah Adtir.
Jorda pun mengurungkan niatnya untuk mengangkat tubuh Prima. Ia berdiri kaku memandang Adtir dan Dodo. Lalu ia remas rambutnya.
"Adtir? Adtirga?!" seru Prima kencang.
"Suara ini ...." ujar lirih Adtir. Ia mengenakan kacamata hitam.
Tangis Prima kembali membahana. Ia terduduk lemas. Ditutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Kenapa di mansion ini selalu ada kejadian tangis dan marah-marah. Adtirga? Adtir adalah Adtirga? Saat itu juga aku, Kiran, dan Tayana kembali berpandangan bingung. Jorda pun menatapku. Sepertinya ia sudah pasrah pada keadaan ini.
"Kamu Prita?" tanya Adtir ragu.
"Dia Prima." Jorda yang menjawab.
Adtir menggeleng keras. "Nggak! Dia Prita. Aku yakin dia Prita, Jor! Aku hapal suaranya."
"Prita sudah pergi, Tir! Dia sudah menghilang dari bumi ini," balas Jorda.
"Tapi kita nggak ada yang pernah lihat mayat dia, Jor. Aku nggak pernah lihat sama sekali! Aku percaya Prima--maksudku Prita itu hidup!" seru Prima disela tangisnya.
Aku merasa kehadiranku, Kiran, dan Tayana hanyalah sebagai penonton. Tiba-tiba saja aku kaget karena Prima malah bangun dan melempar kacamata hitam itu dari wajah Adtir. Seisi ruangan ini kaget.
"Prima!" bentak kasar Jorda.
"Itu muka siapa? Itu bukan muka Tirga!" Prima lagi-lagi histeris. "Aku ada di sini. Lihat aku!"
"Prima, hentikan!" ujar Jorda lalu menarik tangan Prima. Prima dengan sekuat tenaga berusaha melepaskannya dan ia berhasil.
Prima pun langsung berlutut di depan Adtir. Ia sentuh wajah Adtir menoleh ke arahnya. "Aku yakin kamu Tirga. Aku hapal suara kamu, Tir ...."
"Jor, bukankah lo minta gue ke sini untuk pengakuan?" tanya Tirga dengan wajah yang masih mengarah ke Prima.
Jorda menghela napas. Ia pun menolehkan kepalanya padaku. Ditatapnya aku nanar. Jantungku kembali berdebar. Lalu Jorda memandang Kiran dan juga Tayana. Sebelum mendekati Adtir, Jorda pun mengusap wajahnya berulang kali. Kini ia sudah berada di samping Adtir. Secara perlahan, tangannya menyentuh wajah Adtir dan ia seperti melepaskan sesuatu yang menempel di wajah pria berkursi roda tersebut.
Dan seisi ruangan ini terkecuali Jorda dan Dodo menganga saking kagetnya. Jadi pria berkursi roda itu adalah Tirga?! Ya aku tahu karena wajah itu beredar banyak di internet.
"Kamu Tirga?!" tanya Tayana syok. Ia pun berjalan mendekat ke Tirga untuk memastikan bahwa ini semua benar.
"Kamu ...." Tangan Tirga terangkat berusaha meraba siapa yang mendekatinya.
Kini ada dua perempuan berlutut di depan Tirga. "Aku Tayana. Kamu nggak bisa lihat aku kah?" Nada tanya Tayana juga terisak sedih. Astaga, kenapa semuanya begini?
"Oke. Fakta yang harus kalian tahu. Tirga yang sekarang sangat berbeda. Dia lumpuh sekaligus buta."
Saat itu juga dunia bagaikan runtuh. Jadi Tirga sosok yang dikejar dan diidolakan banyak wanita sudah berubah seperti sekarang? Astaga. Ini benar-benar mengejutkan. Semua mata pun memandang Jorda syok. Jorda hanya merundukkan kepalanya. Bahkan tangannya juga bergerak mengusap matanya.
Ya Tuhan, mengapa kisah di mansion ini sangat pilu? Jujur, aku tak tahu lagi mendeskripsikan bagaimana perasaanku. Ini terlalu mencengangkan sekaligus membingungkan ....
***
Tanggapan yaaaaa. Kalau ada plot hole bilaaaang :* Tarangkyuuu!
Btw bolehkan diriku minta vote?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top