17
Jangan lupa vote dan komen ya beb :*
Happy reading!!
------------------------------------------------------------
Jorda terus menarik tanganku. Kenapa Jorda bisa dengan nyaman menarik tanganku seperti ini. Aku benar-benar merasa muak. Ya siapa yang tidak kesal coba melihat salah satu peserta diperlakukan berbeda? Dan aku jelas merasakan hal itu. Aku merasa memang ada yang berbeda antara aku dan peserta lainnya.
"Jor, aku mau mundur dari audisi ini." Langkah Jorda langsung terhenti begitu aku mengungkapkan hal ini.
Ia segera menolehkan kepalanya ke belakang melihatku. Tatapannya sangat tajam. "Apa kamu bilang?"
"Aku mau mundur. Aku nggak kuat sama audisi ini."
"Gara-gara perlakuan mereka barusan?" tanya Jorda sinis.
"Nggak cuma itu, Jor. Aku ngerasa audisi ini aneh. Sikap kamu yang terlihat sekali berbeda ketika sama aku dan sama yang lain beda banget. Gimana mereka nggak makin kasar sama aku? Kamu tahu sendiri dari awal aku ikut audisi ini, aku selalu diperlakukan buruk oleh peserta yang lain. Kamu ingat kan di hari pertama ketika kamu membandingkan aku dengan peserta yang lain? Dari situ aku sudah diserang oleh mereka. Kamu sendiri yang membantuku saat itu. Kamu pasti ingat kan?"
Bola mata Jorda berputar. Pasti ia sedang flashback. "Saat itu aku nggak tahu kalau wanita itu adalah kamu. Itu benar-benar nggak sengaja."
"Wanita itu aku? Maksud kamu apa?" Kali ini aku tak akan membiarkan Jorda menyembunyikan apa pun terkait aku.
Jorda diam tidak menjawab pertanyaanku. Sampai akhirnya ia memilih melepaskan pegangan tangannya.
"Kamu kembali saja ke kamar kamu, Mud. Kamu lolos kan ke tahap berikutnya? Yasudah sana. Kepalaku pusing."
Aku tak terima. "Kamu apa-apaan sih, Jor? Tiap kata yang keluar dari mulut kamu itu selalu buat aku bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang kamu tahu dari aku?"
Jorda mengembuskan napasnya kasar. Ia terlihat kesal. "Kamu nggak perlu tahu apa yang kamu tahu dari aku. Yang jelas siapa pun yang keluar dari audisi ini tanpa seizin aku, maka kamu akan di-blacklist dari semua perusahaan yang bekerjasama dengan Rabatik. Kamu juga tahu hal itu kan?"
Aku mengernyitkan dahiku tak suka. "Kamu ngancam aku?"
Ia tersenyum miring. "Bukan mengancam. Tapi kamu tahu dari awal resiko ketika kamu mengambil audisi ini."
"Aku jadi nyesal menuruti permintaan mereka untuk ikut audisi ini ...," gumamku sebal.
"Mereka? Mereka siapa?"
"Kamu nggak perlu tahu," jawabku malas.
"Aku harus tahu, Mudya. Mereka siapa yang menyuruh kamu untuk mengikuti audisi ini? Apa kamu tahu dari awal bahwa audisi ini sebenarnya penyebabnya adalah kamu? Makanya kamu datang ke sini dan mengacaukan semuanya?"
Aku terpelongo mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Jorda. Penyebabnya adalah aku? Mengacaukan semuanya? Sebenarnya ini apa sih?! Bibirku bergetar menyaksikan wajah garang Jorda.
"Ma--maksud kamu apa?" Jantungku berdegup kencang.
Jorda malah mengusap wajahnya. Lagi-lagi ingin rasanya aku menangis. Kenapa aku merasa menjadi beban sekali ya di mansion ini? Sudahlah tadi perlakuan para peserta lain yang membuat hatiku tercabik-cabik. Dan sekarang Jorda yang malah menuduhku dan para Kakak Cokro seperti itu.
Kemudian Jorda menatapku sendu. Kami saling bertatapan. Perlahan wajah murkanya menghilang dan berganti dengan penuh penyesalan. Jorda malah menarik lenganku dan aku didekapnya. Dibelainya kepalaku. Jelas saja air mata ini tak mampu kutahan lagi. Aku malah menangis di tubuh berototnya.
"Maaf. Aku nggak tahu semuanya bakal begini. Kedatangan kamu ke audisi ini benar-benar membuatku pusing, Mudya. Aku mohon jika suatu saat nanti terjadi sesuatu dengan aku, kamu, dan Tirga. Aku mohon kamu tetap kuat. Kamu tetap berada di sisi Tirga dan aku. Aku tidak pernah bermaksud membuat ini semua membingungkan, tapi percayalah. Aku melakukan ini semua demi Tirga. Kamu nggak pernah mengacaukan audisi ini. Justru aku bersyukur kamu mengikuti audisi ini. Aku jadi tahu soal kamu ...."
Kata-kata Jorda malah semakin membuatku bingung. Aku pun melepaskan pelukannya.
"Jor, beneran deh. Kamu buat aku bingung. Maksud kamu apa? Aku ada salah sama kamu? Kita pernah kenal? Dan kenapa aku harus berada di sisi Tirga? Aku tidak pernah akrab dengan kalian berdua. Kenal aja nggak. Aku baru tahu kalian di sini," terangku padanya.
Jorda menganggukkan kepalanya. "Iya. Makanya aku perlu tahu mereka siapa yang nyuruh kamu ikut audisi ini." Mata Jorda mendadak membesar. "Pantas aja ketika hari pertama, kamu berpenampilan seperti itu. Kamu memang nggak niat. Jadi dari awal kamu emang nggak mau ikut audisi ini?" tanyanya lagi.
Karena jarak Jorda yang sangat dekat denganku, jelas saja membuatku agak bergidik. Aku pun mundur beberapa langkah darinya. "Iya. Dari awal aku nggak pernah mau ikut audisi ini. Tapi aku nggak nyangka aku bakal bisa sampai sejauh ini. Makanya aku minta sama kamu agar aku diizinkan mundur. Aku sengaja tadi tidak mencuci baju-baju itu sedikit karena aku memang mau kalah."
Lagi-lagi Jorda tersenyum miring mendengarkan penjelasanku. "Itu nggak akan terjadi, Mudya. Penentu ini adalah Tirga. Aku hanya menuruti perintah."
Jorda pun maju beberapa langkah mendekatiku. Tubuhku rasanya membeku tak bisa menghindar darinya. Jorda mendekatkan bibirnya ke telingaku. Ya Tuhan, kenapa rasanya jantung ini ingin meledak? Aku degdegan sekali. Sikap Jorda aneh.
"Dan Tirga nggak akan melepaskan kamu begitu saja, Mudya. Karena di luar dugaan. Audisi ini udah nggak ada gunanya ketika ada kamu. Semua hanya formalitas. Dan selamat, kamu secara tidak langsung berhasil menarik perhatian Tirga dan juga ... aku ...."
Hah?! Di saat aku ingin bertanya lebih lanjut lagi, Jorda malah meletakkan telunjuknya di bibirku. Senyuman manis tercetak di wajahnya.
"Jangan bertanya. Tunggu waktunya aja. Intinya kamu nggak akan mudah keluar dari sini. Ngerti? Yasudah aku pergi dulu. Kamu kembali ke kamar kamu. Jangan ke mana-mana. Takutnya kamu diserang lagi sama mereka. Untung aja tadi kebetulan aku memang mau ke aula. Coba kalau nggak, bisa habis kamu. Satu wanita mengamuk saja menyeramkan apalagi sebanyak tadi." Ia berbicara dengan santainya lalu berjalan mundur menjauh dariku.
Aku ingin membalas perkataannya namun, Jorda seolah mengerti. Ia segera membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkanku sembari melambaikan tangannya. Aku tidak bisa berbuat banyak. Kuhembuskan napasku kasar. Bukannya berkurang, pertanyaanku malah bertambah. Audisi ini sudah tidak ada gunanya karena ada aku? Dan ini cuma formalitas? Memangnya ada apa dengan diriku?
Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
***
"Ujian berikutnya adalah cuci piring. Kalian semua bisa lihat di depan kalian terdapat beberapa tumpukan piring kotor. Jadi kalian harus membersihkannya sebanyak yang kalian bisa," terang Dodo pada kami semua di tempat penyucian piring.
Ya bisa kusaksikan banyak sekali piring kotor di depan kami. Semua ini memang sudah dipersiapkan sedemikiran rupa. Tapi aku sudah tak kaget lagi. Toh seperti kata Jorda kemarin ini hanyalah formalitas. Aku bingung. Haruskah aku berbangga hati mendengar pengakuan Jorda kemarin? Mungkin itu akan menyenangkan jika aku berharap akulah yang menjadi pemenang sebagai sekretaris Tirga. Masalahnya aku sangat tidak ingin menang.
Peserta yang tersisa sekarang adalah 7 orang. Sebelum ke ruang penyucian piring ini, kami diberitahu oleh Dodo bahwa akan tersisa tiga orang nantinya yang masuk ke babak final. Aku mendesah pasrah. Sepertinya aku memang harus terjebak di mansion ini. Apalagi mendengar ancamannya kemarin.
Sejak aku menginjakkan kaki di aula saja, para tatapan sinis menghampiriku kecuali Tayana yang hanya memandangku datar. Tak ada lagi raut kebencian di wajahnya. Aku mencoba untuk tersenyum padanya namun, Tayana langsung membuang wajahnya.
"Mud, lo kagak kenapa-kenapa kan kemarin?" tanya Kiran yang berdiri di sampingku.
"Nggak kenapa-kenapa kok, Ran," jawabku.
"Lo nggak di apa-apain sama Jorda kan?" tanya Kiran lagi.
Aku mengernyitkan dahiku. "Nggak kok. Emang kenapa, Ran?"
"Aye boleh jujur kagak, Mud?" Wajah Kiran terlihat ragu menatapku. Aku mengangguk. "Sebenarnya ada apa, Mud, antara lo dengan Jorda?" tanya Kiran.
"Kenapa bisa nanya gitu, Ran?" Aku balik bertanya.
"Aye kemarin dengar semua percakapan lo dengan Jorda, Mud, di lorong."
Mataku membesar mendengar hal ini. Ya ampun, berarti Kiran tahu juga bahwa audisi ini hanya formalitas? Astaga. Aku harus berkata apa pada Kiran? Aku harus menjelaskan pada Kiran hal ini. Sudah cukup seluruh peserta wanita di sini semuanya memusuhi aku. Jangan sampai Kiran juga melakukan hal yang sama denganku. Tapi semua itu urung kulakukan karena Dodo sudah memberi perintah agar kami ke tempat mencuci piring kami. Kami semua pun menurutinya.
Ya di ruangan ini terdapat tempat pencucian piring yang cukup panjang. Kami semua saling bersebelahan dan di samping wastafel terdapat tumpukan piring dan gelas kotor yang akan kami cuci. Kiran berada di ujung kiri dan Tayana di ujung kanan. Ya Jorda kali ini tak tampak batang hidungnya, tapi aku tahu. Ia pasti mengawasi kami. Sekarang kami sudah berada di tempat masing-masing. Dodo pun berjalan menghampiri kami satu per satu. Entah apa yang ia bilang pada peserta yang lain dan tiba juga giliranku.
"Mud, jangan ulangi kejadian kayak ujian sebelumnya ya. Plis, sungguh-sungguh kali ini. Jangan mancing curiga orang lain lagi. Itu pesan Mas Jor," bisik Dodo tegas. Langsung kutolehkan kepalaku melihatnya. Dodo hanya menatapku jutek. Ia pun berlalu dan menghampiri peserta berikutnya.
Aku meneguk ludahku. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Kurasa memang sudah nasibku terjebak di mansion ini. Segala cara yang kulakukan buktinya gagal. Bahkan Jorda sampai memberi pesan seperti itu. Jorda sinting!
Teng!
Bel berbunyi tanda ujian ini dimulai. Tangan kami semua pun mulai bergerak menyentuh piring kotor ini. Aku dengan malas mulai mencuci piring-piring ini. Ya piring ini kotor luar biasa. Lemaknya di mana-mana. Sisa makanannya juga banyaknya bukan main. Ya mencuci piring itu pekerjaan mudah-mudah gampang. Aku lirik ke kanan dan ke kiri, sudah tak tampak lagi raut jijik mereka seperti kemarin-kemarin ketika melalui beberapa ujian ini.
Aku tersenyum miring. Aku jadi merasa bersalah. Bisa kulihat raut mereka sangat sungguh-sungguh demi memenangkan sekretaris ini. Bagaimana perasaan mereka jika tahu kalau sebenarnya ujian ini hanyalah formalitas? Sumpah! Terjebak di kehidupan bersama Jorda dan Tirga seperti ini bukanlah mauku. Lalu aku lihat Kiran. Aneh, Kiran tak sesemangat seperti biasanya. Ia mencuci piring tersebut malas-malasan. Sementara Tayana kebalikan Kiran. Ia selalu antusias seperti biasanya.
Aku menghela napas. Apakah Kiran akan marah jika tahu bahwa lomba ini sudah tak ada artinya lagi? Astaga! Apa karena mendengar pembicaraanku kemarin dengan Jorda makanya Kiran seperti ini? Aku kembali melihat Kiran. Tak kusangka Kiran juga memandangku. Tatapannya terlihat sedih. Ya Allah, aku takut .... Sudah cukup aku dimusuhi oleh seluruh peserta di sini. Jangan sampai Kiran mengikuti mereka.
"Mud, fokus! Jangan mancing kecurigaan kayak kemarin lagi," bisik Dodo ketus yang mengagetkanku dari belakang.
"Iya," jawabku singkat. Oke. Benar kata Dodo. Kalau aku mengulangi ujian kali ini seperti kemarin dan aku lagi-lagi diloloskan tentu saja kemarahan peserta yang lain akan semakin besar.
Aku mengembuskan napasku kasar. Baiklah. Akan kucuci alat-alat makan ini sampai bersih. Tanganku pun mulai bergerak dengan cekatan. Menit berganti menit dan ternyata ujian ini tidak main-main ya. Aku merasa cucian ini tidak habis-habis. Bisa kusaksikan wajah para peserta yang lain juga terlihat kelelahan. Tapi mereka tak putus asa. Sampai akhirnya ....
Teng!
Bel kembali berbunyi menandakan ujian ini berakhir. Aku menghela napas lega. Dodo, Jorda, Bunda Tere, dan Pak Rewa pun masuk ke ruangan. Ekspresi kelelahan kami langsung berubah menjadi serius. Mereka semua berdiri tegap di depan kami semua. Senyum sumringah menghiasi wajah mereka. Ketika aku melihat Jorda, di saat yang sama Jorda kembali melihatku. Bahkan ia mengacungkan jempolnya secara diam-diam. Tentu saja hal itu membuat jantungku degdegan seketika. Langsung kuubah pandanganku ke yang lain.
Bunda Tere dan Pak Rewa pun menghampiri kami satu persatu dengan catatan di tangan mereka. Mereka berdua membeli penilaian terhadap cucian kami dengan menyentuh dan mengecek apakah hasil cucian kami benar-benar sudah bersih tanpa noda. Tidak lama karena kurang lebih 30 menit penilaian ini berakhir. Tapi yang buatku aku terkejut adalah ketika Bunda Tere dan Pak Rewa ke tempatku.
Bunda Tere berbisik, "Gitu dong, Mud. Kan kalau begini kita semua juga nggak perlu susah." Dan Pak Rewa hanya memandangiku datar dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.
Oke. Itu artinya semua orang yang berkaitan dengan audisi ini sudah tahu bahwa memang aku yang akan menjadi pemenangnya. Entah sudah berapa kali aku menghela napas. Ini benar-benar membuatku pusing. Kini Bunda Tere dan Pak Rewa sudah kembali berdiri di depan bersama dengan Jorda dan Dodo. Kedua orang tua tersebut juga sudah menyerahkan catatan mereka pada Dodo. Ekspresi mereka semua menunjukkan rasa penasaran yang tinggi kecuali aku, Kiran, dan Tayana. Ya wajah kedua wanita tersebut terlihat pasrah.
"Oke. Nama peserta yang lolos sudah di tangan saya ya. Kali ini akan saya bacakan. Peserta yang tersisa hanya tiga orang." Dodo pun membaca catatan dari Bunda Tere dan Pak Rewa tersebut. "Yaitu, Tayana, Kiran, dan Mudya. Selamat. Peserta yang lain maaf tidak lolos. Besok kalian akan dipulangkan ke rumah masing-masing. Terimakasih sudah mengikuti audisi ini," ujar Dodo.
"Jangan bersedih hati. Segala hal yang kalian minta, akan saya kirimkan sesuai permintaan kalian," tambah Jorda ramah.
"Saya juga mau bilang terimakasih banyak. Di luar dugaan saya begitu banyak wanita yang mau menjadi sekretaris Tirga. Apalagi melihat kerja keras kalian sampai ke tahap ini. Saya benar-benar salut. Sekali lagi saya sebagai bundanya Tirga dan atas nama suami saya, kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih. Sukses buat kita semua." Bunda Tere ikut menambahkan.
"Dan nama kalian sudah terdaftar di PT Rabatik. Tentunya jika kalian masih ingin bergabung di Rabatik, saya akan memberi kemudahan buat kalian semua," jelas Pak Rewa.
Raut mereka yang tadinya sedih pun berubah menjadi senang. Meskipun tidak semuanya senang. Beberapa dari mereka ada juga yang melirikku sinis diam-diam. Tapi aku segera membuang wajahku.
"Kalau begitu kami tinggal dulu ya," ujar pamit Bunda Tere pada kami semua. Kami di sini adalah dirinya dan Pak Rewa. Lalu mereka berbincang sebentar dengan Jorda dan Dodo. Setelah itu meninggalkan kami semua di tempat penyucian piring ini.
Namun tiba-tiba, "Ini apa-apaan, Jor? Hasil cuci piring Mudya dengan gue nggak beda jauh! Kenapa gue mesti kalah dari dia?!" pekik Sarah kuat yang langsung menghampiriku dan mengambil piring bersih kemudian ia sentuh.
Aku jelas terkejut. Peserta yang lain pun menyusul menyentuh piringku. "Iya, Jor! Sama punya gue juga masih bersihan hasil cucian gue! Ini curang tahu nggak!" seru Nita. Jorda dan Dodo kelihatan kebingungan.
Aku tak bisa terima. Kali ini aku sungguh-sungguh kok mencuci piringnya. Tidak seperti kemarin. Aku pun membalas perlakuan dua dari mereka. Kuambil piring bersih dari wastafel Sarah. Lalu kubandingkan dengan punyaku. Kuangkat piring hasil cuciannya.
"Lo lihat dong cucian lo, Sar. Ini masih ada minyaknya. Sedangkan gue nggak! Lo coba lihat sendiri!" balasku tak kalah kencang. Kini kualihkan wajahku ke Nita yang mendadak ciut. "Dan lo bandingin cucian piring gue sama cucian lo?! Lo lihat banyakan siapa nyucinya?!" Aku sudah tak terima lagi jika dihina oleh mereka. Mereka pun terdiam semua. Yang tadinya kesal menatapku berubah menjadi datar. "Kalian mau bilang apa? Mau bilang ini curang? Nggak ada kecurangan ya."
"Kalian lihat sendiri kan tadi? Bunda Tere dan Pak Rewa langsung menilainya di depan kalian. Apa kalian masih kesal karena lomba mencuci baju kemarin tidak transparan? Hmm ... kenapa kalian tidak langsung menanyakannya tadi ketika mereka berdua ada di sini? Kenapa harus nyerang Mudya segala? Kalian tahu kan? Perilaku kalian yang seperti ini menambah nilai minus kalian," ujar Jorda yang bergabung di antara kami. Ia berdiri di seberangku. Dodo mengekorinya.
"Tapi aneh, Jor. Gue ngerasa audisi ini punya perhatian khusus buat Mudya," tambah Nava yang merupakan peserta audisi ini.
Jorda terkekeh. "Kalau iya kenapa?"
Sontak pertanyaan Jorda membuat mataku membesar. Aku langsung melihat reaksi mereka yang sama syoknya denganku terkecuali Tayana dan Kiran yang seolah sudah tahu hal ini. Mereka tidak tampak kaget sama sekali.
"Jor ...," ucapku lirih.
Jorda pun menyentuh pinggir wastafel. Ditatapnya kami satu per satu. "Dengar ya. Peserta yang lolos itu adalah peserta pilihan. Ya ujian ini merupakan nilai plus, tapi pada dasarnya kami sudah menentukan siapa yang cocok untuk menjadi sekretaris Tirga." Ia berbicara dengan rahang mengeras dan senyum bak iblis membuatku agak bergidik ngeri.
"Terus guna gue apa, Jor, kalau gitu? Lo emang udah mentakdirkan pemenang audisi ini dari awal siapa kan? Dan gue yakin bukan gue orangnya." Kali ini Tayana membuka suaranya. Nada bicaranya sangat lantang. Otomatis aku menoleh melihat Tayana. Ia terlihat kesal.
"Tay, jangan mengasumsikan segalanya berdasarkan apa yang lo lihat dan lo dengar. Yang tahu hasil ini cuma Tirga. Dan lo salah satu kandidat yang mendapatkan perhatian dari dia." Kali ini Jorda menatap Kiran. "Sama halnya dengan Kiran. Lo juga udah dapatin perhatian dari Tirga. Makanya lo lolos. Udahlah terima aja hasil ini. Toh kalian semua juga udah dapatin yang kalian mau kan? Kalian mau uang? Udah dikasih."
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di wajah Jorda. Aku syok, tapi Jorda tampak biasa-biasa saja. Ia pun menoleh ke penampar tersebut. Dan itu adalah .... Nita.
"Gue orang kaya. Bukan uang yang buat gue mati-matian berjuang di sini, Jor. Lo kurang ajar dan gue sumpah nyesal banget ikut audisi ini. Audisi sampah!" jeritnya kuat dengan napas naik turun dan emosi membara.
Plak!
Astaga! Jorda ditampar lagi. "Selain uang, gue ikut audisi ini juga demi Tirga, Jor. Kalau dari awal pemenang dari audisi ini udah ditentukan, kenapa lo nggak bilang dari awal? Bahkan lo nggak biarin gue untuk lihat dia. Lo tega, Jor!" ujar peserta lainnya marah.
Plak!
"Lo buat gue ngerasa jadi cewek begok, Jor. Sayang aja Tirga nggak di sini. Kalau ada dia, mungkin bukan lo yang gue tampar. Udah cukup dulu gue disakitin Tirga dan gue nggak nyangka sekarang gue disakitin juga. Brengsek tahu nggak lo berdua!" tambah Sarah.
Dan di saat peserta lain ingin menampar Jorda lagi, tangan Dodo segera menahannya. Suasana di sini benar-benar mencekam. Jorda pun tidak berbuat apa-apa. Ia seolah sudah tahu pasti akan begini akhirnya. Ia malah senyam-senyum sambil mengusap pipinya.
"Jangan tampar Mas Jor. Kalian ini gila?!" bentak Dodo.
"Oh apa mau elo, Do, yang ditampar?" tanya wanita lain dan malah langsung menampar wajah Dodo.
Astaga. Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini? Dodo langsung melotot. "Sakit woy!" teriaknya kencang.
"Jangan tampar Dodo. Tampar gue aja semuanya biar kalian puas," ujar Jorda.
"Mas!" teriak Dodo tak terima.
Jorda menatap Dodo. Ia tersenyum manis. "Nggak apa-apa, Do. Toh ini semua di luar kendali kita kan? Ya mungkin memang ini yang pantas gue terima."
"Tapi, Mas ...."
"Nggak apa-apa. Tuh daripada pipi Dodo sakit. Nanti Shagam marah lagi sama gue." Jorda kini sudah memandang mereka semua. Ya para wanita kini sudah mengerumuni Jorda kecuali aku, Tayana, dan Kiran. Aneh, Kiran hanya diam dari tadi. Ia pasti syok mendengar hal ini. "Sekarang, kalian semua punya giliran untuk tampar gue. Masing-masing orang satu. Setelah itu silakan kalian kembali ke kamar masing-masing." Jorda pun mengusap pipinya lagi. Ia menarik napasnya sejenak lalu ia keluarkan perlahan. "Oke. Silakan tampar."
Plak! Plak! Plak!
Hatiku serasa tercabik melihat hal ini. Bagaimana pun juga alasan Jorda begini karena aku. Ya aku memang tidak tahu penyebab apa yang membuatkanku jadi pilihan Tirga di audisi ini? Tapi tetap saja menyaksikan Jorda sampai merelakan dirinya ditampar itu membuktikan bahwa ada rahasia besar di mansion ini.
Aku tak bisa membiarkan hal ini. Langsung saja aku melangkahkan kakiku masuk ke kerumunan itu dan berdiri menghalangi Jorda sehingga ... plak! Tamparan ini mendarat manis di pipiku.
"Mudya!" jerit Jorda, Dodo, Kiran, dan Tayana bersamaan.
"Do, panggil Jema dkk sekarang! Perempuan-perempuan di sini makin gila!" suruh Jorda garang.
"Baik, Mas." Dodo pun segera berlari meninggalkan kami.
Dan tanpa dugaanku para wanita ini malah semakin brutal. Mereka dengan teganya menamparku, menjambak rambutku, memukul kepalaku, bahkan sampai menendang kakiku sehingga aku terjerembab jatuh meringkuk ke lantai. Jorda yang berusaha menghalangi sikap mereka sampai ikut pasrah terkena serangan mereka. Bisa kulihat juga Kiran dan Tayana yang mencoba untuk menghalangi mereka, tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka benar-benar marah.
Dan hal yang membuatku sampai menitikkan air mata adalah Jorda kini malah memelukku. Pukulan dan tendangan dari mereka tidak sesakit sebelumnya karena serangan mereka malah terkena tubuhnya. Ia bahkan membisikiku sesuatu ....
"Mungkin dengan cara ini kamu bisa memaafkan aku nantinya, Mudya ...."
Ya Tuhan, apa lagi ini? Kenapa ini semua terasa menyedihkan dan menyakitkan? Aku tak tahu mesti menyalahkan siapa. Aku memaklumi kenapa mereka marah. Ucapan mereka semua benar. Mereka merasa dibodohi. Mungkin kalau aku di posisi mereka, aku akan marah habis-habisan seperti yang mereka lakukan sekarang ini.
Aku hanya berdoa, semoga ada jalan agar aku keluar dari mansion ini. Ayah ... Ibu ... tolong, Mudya ....
***
Tanggapan seperti biasa doooooong! HEHEHE jangan lupa vote dan komen. Soalnya dikit banget votenya hiks.
Kalau ada yang logikanya bolong kasih tahu yaaaa
Insya Allah akan fast update karena C4 tinggal 1 chapter lagi muehehehe
Follow ig : gegeong
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top