5

"Ra, ada apa antara lo, Guno, dan Arip sebenarnya? Pasti ada sesuatu deh," tanya Mei kepada Naura. Tangisan Naura sudah tidak sehisteris barusan lagi. Dia diam membisu dan terkadang ada isakan tangis menyertainya. Matanya kosong. Aku hanya bisa terus menepuk pundaknya dan mengelus ngelus punggungnya.

"Iya, Ra. Lo cerita dong ke kita. Ada apa sebenarnya? Gue sama Mei jelas cemas banget sama keadaan lo yang kayak gini," timpalku pada Naura. Naura pun menatap mata kami berdua dengan tatapan ingin bercerita tapi masih belum bisa untuk menceritakannya.

"Ra, lo kenapa? Kita sahabat, Ra. Kita berdua pasti bantu lo sebesar apapun masalah lo." Mei berkata lagi. Mulut Naura masih terkunci rapat. Tatapannya menyiratkan seperti meminta pertolongan hingga akhirnya,

"Gue sedih, guys. Gue sedih banget. Guno... Arip... mereka... huhu." Naura berusaha untuk berbicara meskipun aku tahu, ia terlalu sedih. Aku dan Mei diam saja. Kami saling bertatapan bahwa kami sangat mengerti keadaan Naura saat ini. Kami tak mau memaksa Naura jika memang dia belum kuat untuk menceritakannya.

"Yaudah Ra kalau lo emang belum siap cerita sama kita nggak apa-apa kok. Gue tahu kalau lo udah siap, lo pasti cerita. Yaudah Ra. Jangan nangis terus dong. Kan ada kita disini. Udah ya Naura sayang," kataku berusaha menenangkan Naura. Aku jadi iba melihat keadaan Naura seperti ini.

"Iya Ra udah dong. Kita kan juga ikutan sedih jadinya lihat lo kayak gini. Udah dong Naura. Cupcupcup," susul Mei.

Naura segera menghapus air matanya dengan sigap. Lalu menatap kami dan tersenyum ceria.

"Gue bakal cerita sama lo berdua," ujarnya mantap dan penuh keyakinan.

"Lo yakin?" tanyaku masih was-was.

"Awas aja lo nangis kayak barusan," timpal Mei. Naura hanya menyeringai lebar mendengar ancaman Mei barusan.

"Iya iya. Jadi gini, udah dua bulan ini Arip mendadak muncul di depan gue...." Tiba tiba Mei menyela omongan Naura. Mei kaget sama halnya denganku. Bagaimana Naura tidak bercerita sedikitpun terhadap aku dan Mei tentang perihal ini?

"Dua bulan? Lo kenapa nggak ada cerita sama gue dan Toca?" tanya Mei menginterogasi Naura.

"Karena menurut gue itu nggak penting, Mei. Gue menganggap kalau hal itu adalah bukan hal yang harus gue laporkan ke lo berdua. Bukankah hal yang wajar kalau mendadak kita bertemu dengan mantan kita?" Naura bertanya padaku dan Mei. Aku berpikir. Benar juga sih. Mantan itu kan salah satu makhluk hidup di bumi ini. Kemungkinan bertemu mereka lagi pasti ada.

"Iya juga sih hehe." Kini giliran Mei yang menyeringai.

"Terus, Ra?" pintaku agar Naura melanjutkan ceritanya.

"Nah, gue pikir kehadiran Arip biasa aja. Nggak bakal berakibat apa-apa sama hubungan gue dengan Guno. Emang sih, Arip masih baik banget sama gue. Dia masih care sama gue. Sifatnya ke gue masih sama kayak sifat dia pas masih pacaran dulu. Dia sering telpon dan sms gue tapi asli, gue udah nggak se-respect kayak dulu lagi. Line, sms, dia juga jarang gue balas kecuali kalau urgent. Telpon dia juga jarang gue angkat." Naura menghela napas sebentar kemudian menariknya lagi dan menghembuskannya secara perlahan. Aku yang tahu Naura agak sedikit lelah karena efek menangis pun menawarkan segelas air putih yang berada di sampingku sejak awal masuk kamar Naura.

"Nih, lo minum dulu. Lo pasti capek dan haus gara-gara nangis barusan."

Naura tersenyum. "Makasih, Ca." Naura pun menerima tawaran air minum dariku lalu meneguk air tersebut sampai tetes terakhir.

"Gue nebak dong. Pasti gara-gara lo dekat sama Arip, Guno cemburu. Ya kan?" tebak Mei.

Naura mengangguk. "Iya, Mei. Bukan hanya itu. Tiba-tiba Guno jadi kasar sama gue. Dia udah nggak semanis biasanya. Dia sering bentak-bentak gue. Gue sedih banget kalau ingat hal itu. Dia berubah. Terus, Arip tiba-tiba jadi makin perhatian sama gue. Dia kaget banget pas tahu kalau Guno adalah cowok gue sekarang. Lo tahu kan gue menjalin hubungan sama Guno udah setahun lebih dan gue sayang banget sama dia tapi, Arip selalu bilang...." Mendadak Naura berhenti berbicara. Dia pasti ingin menangis lagi. Aku dan Mei serempak mengelus pundaknya.

"Udah, Ra. Lo kalau belum sanggup cerita nggak apa-apa kok," kataku berusaha melarangnya. Aku tak mau Naura menjadi stres karena hal ini. Meskipun hati kecilku mengatakan bahwa ini adalah hal yang sangat menyakitkan bagi Naura.

"Iya Ra daripada lo sedih begini. Kalau lo belum sanggup yaudah. Kita nggak apa-apa obrolannya ditunda," timpal Mei setuju denganku.

Naura kembali tersenyum. Dia menghapus air matanya lagi. "Gue sanggup cerita lagi." Aku dan Mei pun hanya tersenyum lega. "Arip selalu bilang: lo jangan dekat sama Guno lagi. Dia bahaya Ra lo bakal nyesal. Arip selalu bilang itu. Dia tiap hari selalu sms gue cuma kirim kalimat itu. Telpon gue juga cuma bilang kalimat itu. Sementara Guno, dia selalu bilang: jangan pernah kamu percaya kata-kata Arip. Dia itu pembohong, penipu. Kamu harus percaya sama aku. Guno selalu bilang kata-kata itu ke gue."

"Aneh, Ra. Pasti ada apa-apanya antara Guno dan Arip. Ada yang mereka sembunyikan dari lo. Sebelumnya, Guno dan Arip yang kita tahu, mereka kan nggak saling kenal. Nah, begitu mereka tahu satu sama lain. Mereka langsung berubah kan ke elo. Guno nggak tahu kalau Arip adalah mantan lo. Mantan tepat sebelum dia. Arip juga gitu. Dia nggak tahu kalo ternyata Guno adalah cowok lo saat ini. Begitu mereka saling tahu, lihat hasilnya. Mereka berubah. Pasti ada rahasia di balik ini, Ra." Mei berbicara panjang lebar mencoba menelaah masalah ini dengan instingnya.

Aku diam sejenak. Mencoba terus berpikir. Aku sependapat dengan Mei. "Iya, Ra. Gue setuju sama Mei. Ada rahasia dibalik semua ini. Emang lo nggak nanya apa ke mereka? mereka kenalnya kapan? ada masalah apa sampai mereka kayak gitu sama lo? Lo nggak nanya ke Guno kenapa lo nggak boleh percaya sama Arip? Terus lo nanya nggak ke Arip kenapa Guno seberbahaya itu?"

"Udah Ca tapi mereka nggak ada yang mau jawab. Kalau gue bilang mereka belum siap untuk menjawab. Tiap kali gue nanya Arip kenapa, pasti Arip bilang: ntar lo bakal tahu pada waktunya dan tiap kali gue nanya sama Guno, Guno selalu bilang: yang penting kamu percaya sama aku. Nggak ada masalah apapun aku dengan Arip. Mereka gitu. Tapi semenjak mereka saling tahu, Arip tiap hari semakin sering temuin gue.  Dia nanya keadaan gue. Sampai kemarin seminggu yang lalu, gue menemukan foto di laci kamar gue...."

Naura pun beranjak bangun dari tempat tidurnya. Dia menghampiri laci di atas meja riasnya. Lalu dia melemparkan tumpukan foto-foto kepada aku dan Mei. Astaga! Aku dan Mei sangat syok. Ini benar benar di luar dugaan kami. Aku tak pernah melihat foto sevulgar ini!

Ini adalah foto Guno bermesraan dengan wanita lain. Sangat mesra. Bahkan bisa dibilang foto nakal. Cewek itu sangat cantik. Tak berbeda jauh dengan Naura. Di beberapa foto terlihat Guno sedang berciuman dengan wanita itu. Bahkan mencium bagian tubuh selain bibir. Astaga! Guno ini beneran lo?

Naura kembali menangis. Aku lihat foto selanjutnya. Ini dengan wanita yang berbeda! Dan semakin lama semakin parah. Tidak hanya dengan satu wanita bahkan beberapa wanita. Aku sungguh tidak percaya. Apakah ini benar adalah Guno? Foto-foto ini cukup bisa menjelaskan apa yang Guno selama ini lakukan dengan para wanita selain Naura. Guno benar-benar bukan pria baik. Ia pria nakal. Fotonya menunjukkan bahwa ia ternyata adalah penjahat dan sangat mesum karena hampir di semua foto itu, Guno dan wanitanya tidak memakai baju sehelai benang pun. Adegan yang ditunjukkan juga tidak pantas untuk diperlihatkan.

Tapi, ada satu wanita di foto yang sangat anggun. Kali ini tidak bermesraan. Tapi foto disini tampak ganjil, karena wanita itu memegang perutnya dan di samping wanita itu ada Guno yang juga memegang perut wanita itu. Perut wanita itu besar seperti orang hamil. Hamil? Apa?! Aku dan Mei kembali bertatapan. Mata Mei membesar saking tak percayanya melihat semua hasil foto ini. Untung saja kami bertiga sudah dewasa. Jangan sampai foto ini tersebar untuk 17 tahun kebawah.

Naura kembali menangis histeris. Dia benar-benar tertunduk sekarang. Aku tahu bagaimana perasaan Naura. Hancur. Sakit. Sedih. Semua menjadi satu. Aku pun berhenti melihat foto-foto itu. Kini aku memeluk Naura. Naura terus menangis. Air matanya sangat deras membasahi bahuku.

"Sabar, Ra. Gue tahu lo sedih banget. Besok gue tanyain ya sama Guno," kataku.

"Jangan, Ca. Kemarin gue udah nanya sama dia huhu dan ini masalah kita. Gue nggak mau kalian dianggap ikut campur," mohon Naura pada kami. Ia melepaskan pelukanku.

"Ra, gue nggak percaya itu Guno. Guno kan setahu kita orang baik. Guno nggak mungkin gitu Ra tapi, wajah di foto itu wajah Guno. Asli! Gue nggak nyangka banget," kata Mei lemas.

"Lo nggak nyangka apalagi gue Mei. Gue rasanya hancur banget pas lihat foto-foto itu. Apalagi foto yang sama cewek yang pake baju kuning itu. Tuh cewek hamil dan Guno ada disampingnya sambil megangin perut tuh cewek. Sakit banget gue, Mei, Ca." Naura terus menangis.

"Iya ya. Apa Guno suaminya? Tapi, Guno nggak pernah nikah kan? Gue nggak paham. Apa ini jangan jangan ada hubungannya sama Arip? Lo udah tanya Arip mengenai hal ini, Ra?" tanyaku.

"Udah, Ca. Arip nggak jawab. Dia cuma bilang itu hanya sebagian kecil kelakuan Guno yang gue tahu." Kisah Naura penuh teka-teki ternyata.

"Berarti Arip dong yang kirim tuh foto," tebak Mei.

"Kayaknya tapi kalau gue tanya dia selalu bilang nggak tahu. Gue nggak ngerti sama Arip dan begitu gue tanyain foto ini ke Guno, dia langsung marah besar. Dia langsung tampar gue. Dia tanya darimana gue dapat foto-foto ini? Habis itu dia pergi ninggalin gue. Ya itu kemarin pas dia jemput gue. Waktu itu kita di kafe dekat kantor. Nah, nggak tahu kenapa Arip tiba-tiba muncul. Dia langsung narik gue ke mobilnya. Guno langsung lari ketakutan dan kabur dengan bawa mobilnya. Arip langsung kejar Guno dan dia cegat di tengah jalan. Terus Arip pukul Guno berkali-kali. Gue turun dong dari mobil. Waktu itu gue sampai nangis supaya Arip berhenti. Akhirnya karena nggak sanggup lihat mereka berdua gitu, gue panggil taksi. Gue pulang sendiri. Karena itu Guno nggak jemput gue dan Arip tadi dateng kesini." Naura terus menangis. Meskipun tangisannya tidak separah tadi lagi.

Aku dan Mei langsung memeluk Naura. Lagi-lagi Naura menangis histeris. Kami berdua pun diam ditemani tangisan Naura. Aku tak menyangka. Aku pikir hanya nasibku yang semenyedihkan ini tapi ternyata nasib Naura jauh lebih mengerikan dari yang aku duga. Semoga kita semua bisa melewati cobaan ini ya, Ra.

***

Kulirik meja disamping kananku. Kosong. Naura tidak masuk kerja hari ini. Ya, aku tahu ini pasti gara-gara masalah kemarin. Si Mei juga tidak hadir hari ini. Alasannya sih karena dia mau pulang kampung soalnya saudaranya ada yang meninggal. Mendadak sekali memang si Mei. Perginya saja tadi katanya jam empat pagi. Dia pergi sekeluarga ke Garut.

Bu Sinta sudah paham karena Mei dan Naura sudah izin kepada beliau dan syukurnya Bu Sinta bisa memahami. Sebenarnya Bu Sinta pada dasarnya baik. Dia sering tertawa-tawa dan bercanda-canda dengan para staf bawahannya. Hanya saja, dia rada garang kalau menyangkut pekerjaan. Apalagi kalau sudah menyangkut keterlambatan dalam bekerja. Wah itu parah.

Huh, membosankan juga hari ini. Aku kerja tanpa kedua sahabatku. Sepi rasanya tanpa mereka. Aku tidak begitu akrab dengan staf lain di kantor ini. Kami disini sudah mempunyai geng masing-masing. Anggapanku sih begitu.

"Ca, teman lo pada kemana?" tanya Melani salah satu teman kerjaku. Ia menghampiriku. Melani ini lumayan cantik. Rambutnya sepanjang bahu berwarna pirang. Ia memakai kacamata minus. Sayang, orangnya sangat menyebalkan. Dia satu geng dengan Citra.

"Naura sakit. Kalo Mei pulang kampung," jawabku apa adanya pada Melani.

"Oh. Pantes muka lo asem gitu haha. Tenang kan masih ada mantan lo disini."

Jelas saja aku kaget begitu mendengar kalimat Melani barusan. "Mantan? Maksud lo?"

Melani malah tersenyum jahil padaku. Mendadak Amet lewat di hadapan kami. "Itu tuh. Sang fotografer baru haha," tawa Melani besar sambil menunjuk-nunjuk Amet dengan memonyongkan bibirnya.

"Yaudah sih. Kan masa lalu. Nggak usah dibawa-bawa," cibirku. Aku berusaha untuk tak tampak emosi di hadapan Melani.

"Iya, Ca. Mantan lo pas kapan? Hebat deh lo punya mantan cakepnya kayak gitu. Gue mau deh hehe," timpal Nyayu mupeng yang mendadak muncul entah dari mana. Wah ternyata walaupun tidak ada Mei dan Naura, tetep saja kantor ini suasananya hidup dan aku rasa ini kesempatan mereka untuk mengorek kehidupan masa laluku.

Nyayu juga satu geng dengan Melani dan Citra. Nyayu memiliki rambut panjang. Matanya sangat besar. Wajahnya ayu sama seperti namanya tapi sikapnya sebelas dua belas menjengkelkan dengan Citra dan Melani. Kini Nyayu juga berdiri disamping Melani.

"Ya ampun. Lo pada mau tahu banget sih urusan gue," ujarku agak ketus. Mereka berdua malah semakin gencar ingin mengetahui ada apa antara aku dan Amet. Kenapa mereka ingin tahu sekali ya. Pfft.

"Iya nih. Pelit amat lo sama gue dan Nyayu. Kita kan juga mau tahu rahasianya, Ca. Rahasia lo dalam mendapatkan Amet. Padahal muka gue kan jauh lebih cantik daripada lo. Lo bisa dapatin Amet kenapa gue nggak. Ya nggak ya nggak? Hehe," timpal Melani sombong. Aku menatapnya sinis. Bisa-bisanya dia mengatakan muka dia lebih cantik. Mukaku juga cantik kali! teriakku dalam hati tapi aku harus tetap kalem. Menghadapi mereka amat sangat dilarang menggunakan emosi.

"Asal lo tahu. Dulu Amet nggak secakep sekarang kok." Ups keceplosan.

"Maksud lo?!" tanya Melani, Nyayu serempak dan ngotot.

"Ya maksud gue, dia biasa aja. Lebay banget sih lo berdua."

"Ca! Lo bilang Amet biasa?!" teriak Nyayu tepat di telingaku. Ah! Aku menyerah menghadapi mereka. Kenapa sih Amet mesti kerja disini dan kenapa juga dia jadi lebih ganteng? Kan urusannya jadi seperti sekarang. Aku jadi kesusahan menghadapi duo manusia ganjen ini.

"Yaudah nggak. Amet ganteng. Ganteng banget! Puas lo berdua?" Pengakuan yang sebenarnya membuat aku ingin muntah sekarang juga.

Tiba-tiba, "Wah, gue ganteng banget? Makasih Azkatoca atas pujiannya," kata Amet yang mendadak menggabungkan diri di antara kami bertiga. Apa lagi coba ini? Mei, Naura, tolong aku!

Astaga! Mau taruh dimana ini muka? Ya ampun, kenapa bisa sih? dia selalu muncul tanpa aba-aba. Sial! Pasti kepalanya membesar saking bangganya dengan ucapanku barusan.

"Eh, Amet panjang umur. Barusan aja kita obrolin hehe," ujar Nyayu yang paling ganjen dengan Amet dan langsung mendekati Amet tanpa berpikir lagi. Begitu juga dengan Melani. Kini Amet berada ditengah-tengah mereka berdua. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya dan terus melihat layar komputer yang ada di hadapanku.

"Iya. Kita lagi ngomongin lo nih hehe," timpal Melani centil.

Amet yang sekarang berada di antara kedua wanita itu pun tidak bereaksi apa-apa. Dia sepertinya nyaman dalam posisi seperti itu. Ih, enggan sekali aku melihat lelaki ini. Dia malah bertindak mesra dengan mengelus rambut Melani dan mengelus punggung Nyayu. Astaga! Dasar cowok ganjen.

"Emangnya kalian ngomongin apa?" tanya Amet lembut. Ih.

"Kita penasaran aja. Kok bisa sih lo jadi mantannya Toca? Itu berarti kan lo pernah pacaran sama dia. Padahal kalau dipikir muka Toca sama muka gue bagusan gue kemana-mana," tanya Nyayu centil. Mereka kok nyaman sekali ya menghina mukaku di depan aku langsung? Tak punya hati! Mei, Nauraaaa. Teriakku dalam hati lagi.

Amet hanya menyengir. Ya ampun mereka bertiga mengobrol seolah-olah aku tidak ada disini. Aku tidak dianggap. Menjengkelkan sekali bukan?!

"Iya, Met. Emang lo kapan sih jadiannya?" tanya Melani.

"Ya ampun. Kalian sepenasaran itukah sama gue? Toca itu mantan pertama gue. Dia emang nggak begitu cantik sih tapi cuma dia yang bisa buat gue gila," jawab Amet sambil terus melihatku. Aku bisa merasakan Amet kini memandangku tapi, aku tak boleh tertangkap olehnya. Sebentar, dia bilang aku tidak begitu cantik dan mengakuinya di depan dua manusia centil ini?! Hatiku makin panas! Aku pun melihat wajahnya yang menyebalkan itu dan,

Jebb! Tatapan matanya membuat aku dagdigdug tidak karuan. Tatapan matanya dalam. Apalagi begitu ia mengeluarkan jawabannya. Cuma dia yang bisa buat gue gila. Kata-kata yang cukup membingungkan tapi sungguh menyentuh hati. Aku pun langsung menunduk untuk menstabilkan kembali perasaan ini.

"Mantan pertama? Berarti pacar pertama lo dong, Met. Wah, mantan pertama itu kan susah dilupakan," ujar Melani sebal.

"Nggak gitu juga kali, Mel. Gue aja buktinya bisa melupakan pacar pertama gue. Lo pasti juga sama halnya kayak gue kan, Met?" Nyayu memang lebih centil dibandingkan Melani.

Amet masih terus menatap mataku. "Nggak tahu deh. Yang jelas, mungkin benar apa kata Melani kalau pacar pertama itu susah dilupakan." Jawabannya sangat lugas.

What?! Hatiku kembali dagdigdug. Tiap jawaban yang dilontarkan Amet jelas sekali bertujuan agar aku kembali mengingatnya sebagai pacar pertama. Susah dilupakan? Berarti Amet masih mengingatku. Masa sih? Aku tak percaya.

Mendadak, "Heii, kalian. Kerja! Ingat deadline masing-masing kan? Jangan ngobrol terus." Bu Sinta keluar dari ruangannya. Nyayu dan Melani lari terbirit-birit ke meja mereka. Sementara aku hanya diam sambil berusaha mengerjakan tugasku kembali. Amet? Dia hanya diam sambil menyeringai lebar melihat Bu Sinta.

Bu Sinta pun menghampiri Amet. "Amet? Kamu ngapain disini?," tanya Bu Sinta lembut sekali. Kami seisi kantor terkejut dengan ekspresi Bu sinta yang berbeda sekali jika menghadapi Amet. Sungguh manis sifatnya. Beda terhadap staf-staf yang lain.

"Saya mau lihat Toca, Bu," jawab Amet santai.

Kenapa nama aku dibawa-bawa sih? Huh.

"Oh, yaudah tapi setelah itu kamu kerjakan lagi ya tugasnya. Saya mau keluar sebentar. Kamu mau ikut?" tawar Bu Sinta.

Amet menggeleng. "Nggak, Bu. Makasih."

"Oh yaudah. Saya tinggal dulu ya," pamit Bu Sinta terhadap Amet. "Dan kalian semua. Ingat deadline! " Bu Sinta pun keluar meninggalkan kami semua. Bu Sinta kali ini memakai kemeja berwarna biru dongker dan rok span berwarna merah. Rambutnya ia kucir satu di belakang. Bosku dalam hal berpakaian memang sudah tak diragukan lagi.

Aku dan staf-staf yang lain terheran-heran. Bagaimana bisa sifat Bu Sinta sangat berbeda terhadap Amet? Dia sungguh manis, lembut dan sopan.

"Kok sifat Bu Sinta beda banget sih ke lo?" tanyaku ketus begitu Bu Sinta benar-benar sudah tak tampak lagi.

Amet malah mendekatkan wajahnya tepat di depanku. Lagi-lagi cara menatapnya membuatku bergidik. Aku, entah kenapa jadi grogi melihat sifat Amet yang seperti ini.

"Kenapa? Lo nggak suka?" tanyanya sok cool.

Aku pun langsung menundukkan wajahku.  Aku alihkan mataku memandang layar komputerku kembali. "Ya aneh aja menurut gue."

"Kenapa aneh? Biasa aja tuh," katanya lagi sok keren. Menyebalkan.

"Iya deh nggak aneh. Yauda, sana. Kerjain tugas lo. Nggak usah ganggu gue," ujarku judes.

Amet pun mundur. Dia langsung pergi meninggalkanku ke ruangannya. Fiuhh! Hatiku agak lega sekarang. Aneh, kenapa perasaanku begini terhadap Amet? Amet hanya mantan. Ingat! Nggak lebih dari itu! Naluriku berkata.

***

Bete! Bete! Bete! Ternyata memang tidak enak kerja tanpa kehadiran Naura dan Mei. Sepi sekali rasanya seperti siang ini dimana aku makan sendirian. Biasanya kan bersama Naura dan Mei tapi, kali ini?! Tidak salah satupun dari mereka.

Tiba-tiba, "Hai..." sapa seseorang. Kucari asal suara itu dan ternyata dia Amet! Mau apa lagi nih anak? Aku tidak menjawab sapaannya. Aku hanya diam dan berusaha menghindari kontak matanya.

Tapi, tiba-tiba dia duduk dan mengambil posisi tepat disampingku. Jelas, aku tak terima itu.

"Ngapain lo duduk disini? Pergi sana!" usirku kejam.

Lelaki itu hanya menyengir tanpa bereaksi apapun. Ia masih tetap pada posisinya dan masih duduk disampingku!

"Nyengir lagi lo. Pergi sana! Jangan duduk disini!" usirku lagi sambil mendorong tubuhnya.

"Lo disini sendirian kan?" tanyanya lembut. Ia tak bergeming dan tetap duduk di sampingku.

"Iya. Emang kenapa?"

"Kalau lo sendiri ya nggak apa-apa dong. Coba lihat sekitar lo. Meja semua udah penuh nggak ada tempat kosong lagi," kata Amet sambil menunjuk-nunjuk ke sekelilingku menggunakan  jari telunjuknya. Aku pun mengikuti arah telunjuknya dan ternyata memang benar. Semua tempat sudah penuh.

"Ya tapi setidaknya lo permisi lah sama gue kalau mau duduk disini. Di sini kan yang duduk duluan gue," kataku tetap tak mau kalah. Sori ya kalah sama lo.

"Oke kalau itu mau lo." Amet mendadak merubah posisinya menghadapku. Dia menyatukan kedua telapak tangannya menghadapku. "Toca, gue boleh dong duduk disini. Nggak ada tempat lain lagi. Oke? Terus gue makan dimana dong kalau bukan disini. Pliss." Sikapnya seperti anak kecil yang mengemis minta dibelikan permen.

Sebenarnya aku juga jahat jika mengusir Amet pergi dari sini. Aku lihat semua meja juga sudah terisi oleh penghuni lainnya. Ya sudahlah apa boleh buat. Aku bukan manusia yang jahat. Ini bukan karena aku ingin berdekatan dengan Amet melainkan karena aku mencoba untuk tidak menjadi manusia yang jahat.

"Yaudah tapi lo jangan duduk disamping gue kayak begini. Lo duduk disitu aja. Di depan gue," pintaku ketus.

Amet pun menuruti kata-kataku. Dia langsung merubah tempat duduknya. Kini dia berada di depanku. Astaga! Aku bodoh. Sekarang wajah Amet malah semakin jelas terlihat dari pandanganku. Dia menopang kedua tangan di bawah rahangnya dan memandangiku. ya Allah! Seperti biasa dia terlihat tampan dengan kemeja hitamnya.

"Lo kenapa sih lihatin gue kayak gitu?" tanyaku ketus sambil menjauhkan mukanya.

Dia hanya tersenyum. " Loh? Emang kenapa? Suka suka gue dong."

"Tapi, gue risih dilihatin gitu sama lo."

"Yaudah, lo biasa aja kali. Orang-orang kalau gue lihatin kayak gitu biasa aja. Kenapa lo judes amat ya?"

"Gue nggak suka dilihatin kayak gitu sama lo!" bentakku cukup keras.

"Kenapa? Grogi ya? Hahaha," tawanya keras. Ingin sekali aku menendangnya jauh-jauh. Dasar cowok sinting.

"Pergi deh lo. Nggak usah makan disini. Males banget gue."

"Idihh ngambek hahaha. Toca-nya Amet nggak pernah berubah ya."

What?! Toca-nya Amet? Ihh sejak kapan? Sembarangan nih orang!

"Toca-nya Amet? Ihh ngarep lo. Udah pergi sana. Selera makan gue hilang gara-gara lo." Emosi ku semakin naik menghadapi sifat Amet yang semakin menyebalkan dan bikin sensi.

Tiba-tiba waitress pun datang. Kedatangannya cukup tepat karena dia datang disaat emosi ku hampir memuncak. Kenapa sih Amet harus dateng lagi ke kehidupanku? Kehadirannya hanya buat aku repot saja. Waitress pun menyerahkan makanannya ke mejaku. Tak lupa aku ucapkan terimakasih kepadanya lalu waitress itu pun pergi meninggalkan kami. Waitress yang membawa makanan Amet pun menyusul dateng. Sama sepertiku. Dia tak lupa mengucapkan terimakasih kepada waitress tersebut.

"Nasi soto? Lo nggak pernah berubah, Ca dari dulu." Mendengar Amet mengatakan kalimat itu, membuatku kembali nyesek. Dia masih ingat tentangku lalu kulirik makanannya, dia memesan ayam bakar makanan favoritnya. Sama. Dia juga tidak berubah.

"Lo juga sama. Ayam bakar," balasku tersenyum tanpa melihatnya. Kami mulai memakan pesanan kami masing-masing.

"Masih inget aja lo hehe," cengir Amet.

"Lo juga masih inget aja," balasku.

"Masih sayang ya lo sama gue?" tanyanya. Aku kaget.

Uhuk uhuk, aku terbatuk begitu mendengar pertanyaan Amet barusan. Apa-apaan coba? Menanyakan hal yang tidak jelas. Amet pun memberi minuman kepadaku. Ia dengan sigap pindah ke sampingku dan langsung menepuk pundakku pelan.

"Makan tuh yang pelan. Jangan cepat-cepat," nasihatnya padaku. Kan dia yang membuatku batuk. Sok sok peduli jadi orang. Batinku menggerutu.

Akhirnya bencana ini selesai juga. Aku sudah tidak batuk lagi. Amet pun kembali ke tempat duduknya.

"Makasih," kataku berusaha cool.

"Iya. Makanya makan pelan-pelan."

"Gue udah pelan tahu."

"Pelan kok bisa batuk? Atau karena lo dengar pertanyaan gue tadi ya makanya lo batuk?" tanyanya sok tahu. Tersenyum. Lagi-lagi dia tersenyum. Sebal.

"Hah?! Nggak kok. Pede banget lo jadi orang."

"Haha. Ada yang masih sayang sama gue nih yee," ejeknya. Lama-lama aku muak juga menghadapi Amet. Makin lama makin buat keki.

Aku pun bangkit. "Norak lo!" kataku. Aku pun pergi meninggalkan Amet sendirian. Dasar cowok sinting. Nasi soto yang belum habis terpaksa aku relakan. Sedih.

Makin sebal lagi, Amet tak mengejar aku. Seharusnya dia mengejarku lalu meminta maaf. Terus bilang kalau nasi sotonya dihabiskan dulu baru pergi. Bete. Padahal aku masih amat sangat lapar. Ibuuuuuuu...

Loh? Kenapa aku jadi beharap sama Amet? Hapus hapus. Hapus Amet dari pikiran lo, Ca. Jangan dipikirin cowok yang tega kayak dia. Cowok yang tega tinggalin lo diam-diam dan nggak mikirin perasaan lo. Cowok yang tiba-tiba menghilang nggak ada jejak dan seenaknya tiba-tiba lagi datang ke kehidupan lo. Cowok seperti itu wajib dibinasakan.

Huh... sebal. Memang tidak enak sekali suasana kantor bila tak ada Naura dan Mei. Semoga saja Naura besok masuk. Kalau Mei sih tidak bisa diharapkan soalnya dia sudah izin seminggu untuk tidak masuk kerja. Lama juga ya si Mei. Ya Allah. Buatlah hari esok lebih baik daripada hari ini. Aamiiiin.

Aku pun sudah di bangku kerjaku lagi. Ruangan kosong. Ya! Aku sudah tahu. Para staf yang lain pasti masih di luar. Ini kan jam makan siang sementara aku di dalam ruangan karena insiden barusan. Sebal. Coba ada Naura sama Mei pasti tidak akan seperti ini jadinya.

Mendadak, ada sebuah kantong plastik di depanku. Tanpa basa-basi langsung saja aku ambil kantong plastik itu. Ternyata di dalamnya ada nasi soto dengan mangkuk plastik sebagai wadahnya. Wah senangnya. Langsung saja aku makan makanan itu dengan lahap. Alhamdulilah.

"Lapar banget ya? Untung aja gue bawain makanan."

Hampir saja aku batuk untuk yang kedua kalinya. Orang ini muncul lagi benar-benar tepat di depan mukaku. Siapa lagi kalau bukan dia. Amet. Terpaksa aku menghentikan acara makanku. Saking laparnya aku sampai tidak berpikir kenapa tiba-tiba ada makanan di depanku. Bodoh.

"Udah. Makan lagi aja. Masih lapar kok malah tinggalin gue. Padahal makanan lo masih banyak tadi. Itu gue beli yang baru. Yaudah makan sana. Makan yang banyak ya," ujar Amet tepat di depan wajahku sambil tersenyum. Aku sebisa mungkin menghindari wajahnya. Malu sekali ya ampun.

Dia pun mengelus-elus rambutku sebelum meninggalkanku. Dia pergi ke ruangannya. Kulihat dia sampai aku tak bisa melihat tubuhnya lagi. Entah mengapa, hati ini dagdigdug kembali. Ahhh sudahlah! Lebih baik aku makan lagi. Lapar. Makasih Amet.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top