4

"Eh, lo berdua tahu nggak?" tanya Naura kepadaku dan Mei. Naura seperti biasa dengan kehebohannya sendiri langsung menyerbu aku dan Mei begitu tiba di kantor.

"Tahu apaan, Ra? Pasti info nggak penting deh," cibir Mei.

"Jangan sok tahu deh, Mei. Ini penting!" balas Naura menggebu-gebu.

"Emang ada apaan, Ra? Kayaknya heboh banget," tanyaku penasaran.

"Kita kedatangan anggota baru. Fotografer baru katanya. Terus kata anak-anak cakep banget," jawab Naura dengan ekspresi wajah yang begitu berlebihan.

Fotografer? Baru? Pikiranku langsung teringat kepada seseorang yang aku tabrak kemarin. Seorang pria yang kemarin menyebut namaku lengkap lalu marah-marah karena kameranya jatuh ke jalan akibat perbuatanku. Jangan-jangan pria itu lagi tapi semoga itu hanya perasaanku saja.

"Fotografer? Jangan jangan..." Mei berusaha menebak. Sepertinya aku dan Mei mempunyai pikiran yang sama.

"Jangan jangan apa, Mei? Lo tahu orangnya?" tanya Naura makin ingin tahu.

"Si Toca kayaknya tahu deh hahaha." Mei tertawa lebar menyindirku. Aku melirik Mei sinis.

Kini Naura beralih memandangku. Pandangan yang cukup menegangkan dan penuh dengan rasa keingintahuan. "Siapa, Azkatoca Meria Hartomo?" tanya Naura agak menyeramkan. Entah mengapa, aku cukup sebal bila nama lengkapku disebut-sebut.

"Perhatian semuanya!" teriak Bu Sinta kuat. Cukup menggelegar. Sehingga membuat seluruh staf kembali ke tempat duduknya masing masing ketakutan. Tak terkecuali Naura, aku, dan Mei.

"Kita kedatangan anggota baru. Cukup ternama karena dia memang lulusan luar negri. Tepatnya London. Kita beruntung kedatangan dia. Semoga dia bisa membantu kita dan memberi kemudahan bagi kelancaran perusahaan majalah ini. Baiklah, saya akan perkenalkan dia ke kalian semua."

Kata-kata Bu Sinta cukup membuat kami semua mematung terdiam. Tak ada yang berani bertanya. Semua hening menantikan orang tersebut. Anehnya, kenapa aku malah degdegan tidak jelas begini. Feeling-ku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Baiklah, saudara Ahmendi Cokrodinata. Kami persilahkan masuk."

Aku, Mei, dan Naura saling bertatapan kaget. Rasanya seperti seluruh bangunan di dunia runtuh dan aku tertimpa runtuhannya. Terkubur dan tak tampak lagi. Nama itu?! Nama itu adalah nama dia! Nama asli dia. Nama lengkap dia. Naura jelas tahu dengan nama lengkap itu. Dia pasti masih ingat siapa nama yang barusan Bu Sinta sebutkan karena dia memang kenal dengan penyandang nama tersebut. Ya, aku hanya berharap. Semoga saja namanya yang sama. Tapi, orangnya berbeda. Amin. Terus aku berdoa dalam hati. Ini akan menjadi mimpi buruk jika benar dia adalah pria itu.

Pria itu muncul. Pria bercelana panjang hitam diatas mata kaki dengan dipadu kaos oblong hijau muda beler dan kamera bergantung di leher. Ia memakai kacamata gaya berwarna coklat. Wajahnya sangat mirip dengan pria yang kemarin. Dia tersenyum ramah kepada kami semua. Naura memandang pria itu sampai mengango mangap. Sementara aku dan Mei hanya terpaku diam. Tak tahu harus bagaimana. Apakah aku sedang bermimpi? Bangunkan, tolong!

Para staf perempuan hanya tersenyum sambil berbisik-bisik, "Waahh, cakep banget fotografernya? Gila!!" dan para lelakinya hanya mengumpat kecil. "Sial!! ada saingan nih."

Semua berasumsi begitu melihat sosok di depan kami semua ini. Ya Tuhan!! Dia benar-benar Amet!! Mustahil. Kenapa ini bisa terjadi? Sudah delapan tahun terlewatkan. Kenapa dia bisa muncul lagi? Dan dia akan satu kantor denganku. Oh tidak! Kembali lemas aku mengingatnya.

"Perkenalkan semuanya. Nama saya Ahmendi Cokrodinata. Saya disini bekerja sebagai fotografer. Saya mohon bantuannya dan semoga kita semua bisa bekerjasama," kata pria itu memperkenalkan diri.

Jebb! Amet mendadak melihatku. Pandangannya penuh arti. Aku kaget dan syok. Tanpa basa-basi, aku langsung menunduk. Tidak berani menatapnya. Jantungku terus berdebar keras panik.

"Maaf, kami semua bisa panggil anda apa ya?" tanya Citra yang merupakan salah satu staf di kantor ini. Dia adalah wanita paling centil dan genit terhadap lawan jenis.

Amet tersenyum. Tersenyum seperti tebar pesona tepatnya. Huft! Kenapa aku tidak senang ya?

"Anda bisa bertanya pada teman anda di sebelah sana." Sebelah sana? Itu bukannya gue?! Amet nunjuk gue!! kenapaaa? Kini semua mata tertuju padaku. Aku hanya menyengir malu. Kulirik dia diam-diam. Eh, dia malah menjulurkan lidahnya. Sabar, Ca. Sabar.

"Wah, kalian sudah saling kenal?" tanya Bu Sinta. Aku memilih untuk diam saja. Takut salah bicara.

"Udah, Bu. Dia mantan saya," jawab Amet.

Gilaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa! kenapa dia harus mengatakan hal itu? Tidak bisa dibiarkan. Aku perhatikan seisi kantor langsung berbisik-bisik menyindirku. Memandangku tak senang. Sepertinya hidupku akan mulai tak tenang kembali.

"Ehm, ibu nggak ngerti. Bukan gitu juga, bu..." elakku lembut. Aku berusaha menampik dan menjelaskannya, tapi..

Bu Sinta malah tersenyum lebar. "Wah, ini bagus Toca. Karena kalian memang harus bekerjasama. Untung sekali kalian sudah saling kenal. Jadi, kemungkinan besar nanti hasilnya pasti bagus. Saya harap kalian bisa bekerjasama dengan baik."

"Tapi, Bu saya..."

"Sudah. Kalian akan melakukan banyak pekerjaan bersama. Saya tidak peduli status kalian apa. Mantan atau apa. Yang jelas kalian saling kenal itu sudah membuat saya tenang karena kemungkinan berhasilnya pasti besar. Baiklah, lanjutkan pekerjaan kalian masing-masing." Bu Sinta langsung berbalik badan dengan anggun dan kembali ke ruangannya.

Aku pun terduduk lemas. Wah, sepertinya masalah akan menghampiriku lagi. Sebal! Gerutuku dalam hati.

"Baiklah, kalian semua bisa panggil saya Amet. Mohon kerjasamanya ya." Dia menyeringai lebar ke mereka semua.

Aku terus menunduk tak peduli dengan apa yang barusan terjadi. Lebih tepatnya mencoba untuk tidak peduli. Aku cuma memikirkan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus resign hanya agar tidak melihat mukanya lagi? Huft! Tapi, aku sangat mencintai pekerjaanku dan kantor ini.

"Toca, udah lama gue nggak lihat muka lo." Amet tiba-tiba ada di depanku. Kaget luar biasa. Astaga.

"Heh? Masa? Aduh sori ya, gue lagi sibuk. Jangan ganggu dulu," kataku berusaha menghindar darinya. Apa coba yang dia pikirkan? Bagaimana bisa dengan pedenya dia menghampiriku? Lupa kalau dia sudah meninggalkanku sekejap seperti delapan tahun yang lalu?

"Gue lihat lo nggak ada kesibukan tuh. Kita ngobrol yuk," ajaknya sok manis. Ih.

"Jangan sok tahu jadi orang plis!" kataku ketus.

"Oh, oke. Sori." Amet pun membalikkan badannya. Hah? Segitu aja perjuangannya? Batinku bertanya.

"Amet, lo kenapa bisa kerja disini? Sengaja lo ya?" tanya Naura to the point langsung di depan muka Amet. Naura sampai menghampiri kami berdua.

Tapi, cowok ini malah tersenyum. Senyumnya membuatku muak. "Eh, Naura. Makin cantik aja lo. Udah lama ya kita nggak ketemu. Gila! delapan tahun, man!"

"Makasih pujiannya. Gue sih tadinya berharap nggak bakal ketemu lo lagi. Aneh, kenapa lo bisa muncul lagi ya? Kayak hantu lo!" sembur Naura emosi.

"Seenaknya hilang dan seenaknya datang kembali. Betul banget Ra kayak hantu haha," timpal Mei dari mejanya. Aku memilih untuk mendengarkan obrolan mereka saja.

"Haha. Kok lo pada makin kocak aja sih. Kayaknya bakal betah nih gue kerja disini hahaha," ujar Amet sambil tertawa lebar. Benar-benar tak tahu diri!

"Ih, pergi deh lo. Mending lo pergi aja lagi. Terus nggak usah pernah muncul. Nggak nyangka gue ternyata staf baru itu elo. Gila ya. Benar-benar di luar dugaan," kata Naura lagi marah.

Amet mengerutkan dahinya. "Atas dasar apa lo bisa ngomong gitu ke gue?" tanyanya dingin.

Naura bukannya takut tapi malah semakin naik pitam. Kini dia malah makin menatap Amet sangar. "Lo tuh sengaja kan?!"

"Sengaja dalam hal apa?" tanyanya cool.

"Lo tuh sengaja mau nyakitin Toca lagi!!" tuduh Naura dengan emosi tingkat tinggi.

"Gue nggak suka banget deh sama orang yang sok tahu. Gue mau kerja dulu ya. Sibuk," kata Amet sinis. Dia langsung membalikkan badannya meninggalkan kami. Sebelum itu, ia melirikku sinis. Tatapannya tajam dan membuatku bergidik sedikit.

Lo emang nyebelin Amet. Batinku berkata.

***

"Ca, lo udah tahu kalau si sinting itu yang bakal jadi anggota baru kita?" tanya Naura. Si sinting di sini adalah Amet.

"Gue juga nggak tahu, Ra. Gue aja kaget," jawabku jujur.

"Tapi, kemarin si Toca kan tabrakan sama Amet Ra di parkiran haha," timpal Mei.

Naura beralih memandang Mei. Wah, dasar nih cewek. Emang tidak pernah mau yang namanya ketinggalan info. Dasar Naura si maniak info.

Kami bisa bebas berbicara begini karena ini adalah jam makan siang. Kami makan di foodcourt biasa yang berada tepat di sebelah kantor. Seperti biasa, pasti ada saja bahan obrolan. Apalagi bila kami sudah berkumpul bertiga seperti sekarang dan bukan dalam waktu bekerja. Waktu serasa cepat sekali berjalan. Sayangnya, yang bikin keki adalah topik kami kali ini si Amet.

"Tabrakan? Tabrakan gimana?" tanya Naura makin penasaran.

"Ya tabrakan biasa, Ra. Tabrakan badan. Masa harus gue jelasin detail sih," gerutuku sebal.

Naura malah nyengir. "Oh, terus gimana Mei setelah itu?"

Mei pun bercerita panjang lebar. Naura dengan simak mendengarkannya. Aku hanya diam menyaksikan ekspresi mereka masing-masing. Kadang tertawa saking lucunya melihat ekspresi mereka. Akhirnya makanan pun tiba. Aku kira mereka bakal berhenti bercerita tapi dugaanku salah. Obrolan mereka tetap saja berlanjut.

"Wuihh kayaknya lo jodoh deh sama Amet, Ca," ceplos Naura.

Uhuk uhuk, aku terbatuk begitu mendengar ucapan Naura barusan. Anak satu ini asal keluar saja bila bicara. Langsung saja Mei otomatis menawarkan air putihnya kepadaku. Refleks tanganku bergerak untuk mengambil air putih tersebut dan meneguknya.

"Aduh Ca makan pelan-pelan dong. Gara-gara Amet aja lo sampai keselek gitu haha." Mei malah tertawa. Disusul Naura. Kenapa mereka berdua jadi menyebalkan seperti ini?

"Ih, lo pada apa-apaan sih? Norak deh. Nggak bakal terjadi apa-apa antara gue sama Amet. He is only my exboyfriend. You know?" kataku berusaha kalem sambil terus melahap makanan yang ada di depanku ini.

"Mantan tapi masih lo sayang. Gitu kan maksud lo? Haha." Mei mengolokku lagi. Naura kembali menertawakan. Makin lama mereka semakin menjengkelkan. Amet adalah masa lalu. Sudah. Titik. Case closed.

"Tapi Ca jujur, gue masih belum terima sama sifat dia delapan tahun yang lalu. Dimana dia tiba-tiba hilang nggak jelas, nggak ada jejak. Benar-benar kayak ditelan bumi. Padahal, saat itu lo berdua lagi sayang sayangnya. Gue masih ingat betapa hancurnya lo waktu itu dan dia udah terlalu tega sama cewek kayak lo. Gue masih belum bisa terima," kata Naura panjang lebar berapi-api.

"Gue juga nggak bisa. Emang sih pada saat itu kita semua tau. Lo lagi dilema. Waktu itu kita tahu juga kalau si Geri..."

Mendadak kalimat Mei dipotong oleh Naura.

"Jangan sebut nama dia, Mei. Gue udah jijik setengah mati dengar nama tuh orang."

"Oiya. Maaf, Ca."

Aku tersenyum, " Iya. Nggak apa-apa, Mei. Lanjut aja cerita lo."

"Iya. Si kuda boneng itu tiba-tiba muncul. Mengungkapkan sejuta perasaannya ke Toca. Benar-benar memperlakukan Toca layaknya seorang putri. Sayangnya, saat itu lo udah mulai sedikit terpengaruh sama dia. Padahal lo sadar waktu itu lo masih milik Amet dan kita semua tahu lo susah kali lepas dari Amet." Kuda boneng disini adalah Geri.

"Karena Amet adalah cinta pertama lo, Ca. Itu alasan utama menurut gue sama Mei kenapa lo nggak bisa lupain dia sampai sekarang. Apalagi lo sampai dua tahun lebih sama dia. Sayang, tiba-tiba Amet menghilang nggak tau arah. Gue paling benci kalau ingat momen itu. Gue tahu saat itu lo jatuh banget. Lo nangis sampai berhari-hari saking nggak sanggupnya nerima kenyataan kalo dia menghilang dan udah ninggalin lo. Lalu, si kuda boneng semakin gencar ngejar lo. Sampai akhirnya dia berhasil dapatin lo dan perlahan mulai bisa menggantikan Amet di hati lo," ujar Naura panjang lebar berapi-api penuh amarah.

"Tapi, si kuda boneng itu lebih nyakitin daripada Amet. Dia adalah laki-laki terbodoh, terjahat, tertega sepanjang masa. Nggak nyangka gue maunya dia apa. Tiba-tiba dia kasih kita kejutan. Dia malah hamilin Tanya. Adek lo sendiri, Ca. Jahat tuh cowok."

"Padahal, kalau dipikir penyebab Amet menghilang mungkin karena si kuda boneng itu juga. Dia yang mengusik hubungan mereka. Mungkin karena itu Amet menghilang tapi nggak tahu juga sih gue. Eh, si kuda boneng nggak tahu untung. Dia malah sepuluh kali lipat nyakitin lo. Hingga buat dinding permusuhan antara lo dan Tanya."

Air mata ini jatuh lagi. Mendengar semua perkataan mereka berdua. Bukan sakit hati tapi semakin membuat aku sadar bahwa nasibku ternyata separah itu. Semerana itu. Semenderita itu. Menyedihkan kalau mengingat semua itu. Apakah kisah percintaanku akan terus seperti ini? Usiaku sudah 25 tahun loh.

"Toca, lo nangis lagi? Maafin gue, Ca. Gue salah ngomong ya?" tanya Mei.

Aku pun menghapus air mataku segera. " Nggak kok, Mei. Bukan salah lo."

"Atau salah gue, Ca? Maaf kalau kata-kata gue nyakitin lo." Kini Naura yang meminta maaf kepadaku.

Aku tersenyum. Tersenyum bahagia memiliki sahabat seperti mereka berdua. Naura dan Mei. Terimakasih ya Allah.

"Gue bahagia. Gue bahagia banget. Di hidup gue yang gue katakanlah lumayan parah, gue masih memiliki sahabat seperti lo berdua. Gue nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada kalian."

Naura malah menangis sekarang. "Ca, lo ngomong gitu bikin gue jadi ikutan sedih. Terharu gue."

Mei ikut-ikutan. "Gue juga nih. Lo berdua nangis. Gue juga ikutan sedih deh. Gue sayang kalian."

"Gue juga Meeeeeiii." Gue dan Naura mengatakan kalimat itu serempak. Kami semua bertatapan dengan mata sembab lalu tertawa terbahak-bahak bersama.

Indahnya persahabatan.

***

Seperti biasanya kami menemani Naura dijemput oleh Guno tapi, tumben hari ini Guno agak lama. Seperti yang kita ketahui, biasanya Guno selalu on-time. Aku perhatikan juga wajah Naura tidak secerah biasanya. Aku rasa ada yang tidak beres antara Naura dan Guno.

"Ra, kok tumben Guno agak lama jemputnya?" tanya Mei polos.

"Nggak tahu gue, Mei," jawab Naura datar.

"Lo nggak ada masalah sama Guno kan, Ra?" tanyaku was-was.

Naura menggeleng tapi, itu tidak menutupi wajah gelisah Naura ketika ada masalah. Hari ini saja aku perhatikan dari pagi Naura tidak memegang hp seperti biasanya. Aku tahu dengan sangat bahwa Naura adalah tipe wanita yang tidak bisa lepas dari hp sedetikpun.

"Lo coba telpon Guno deh. Dia ada dimana sekarang?" suruhku pada Naura.

Naura pun segera mengambil hp di dalam tasnya lalu dia menyentuh beberapa nomor di layar hp-nya. Kemudian, dia tempelkan hp di telinga kanannya. Wajah Naura cemas dan gelisah. Sepertinya Guno tidak mengangkat telpon dari Naura. Aku semakin yakin ada masalah di antara mereka berdua.

"Nggak diangkat sama dia." Naura kelihatan putus asa.

"Lo telpon lagi, Ra. Siapa tau dia tadi nggak dengar," suruh Mei lagi.

Naura kembali menelpon Guno tetapi, masih tidak ada jawaban. Wajah Naura kelihatan makin sedih. Apa yang terjadi antara mereka berdua? Naura terus menelpon Guno berkali-kali tapi hasilnya masih sama. Guno masih belum menjawab telpon Naura alias nihil.

"Ra, yauda deh. Lo pulang sama kita aja. Gunonya aja nggak jelas gitu," pintaku.

"Iya, Ra. Daripada lo nungguin dia tapi dia nya malah nggak ada kabar gitu. Lo mendingan pulang sama kita aja deh," timpal Mei.

Naura pun memandang wajahku dan Mei. Dia seperti mau menangis. Tangis yang tertahan. Matanya berkaca-kaca. Aku pun segera memeluk Naura dan benar! Dia menangis di pelukanku.

Mei kaget. "Ra, ada apa? Apa yang terjadi antara lo sama Guno? Cerita, Ra."

Naura terus menangis tanpa menggubris pertanyaan Mei barusan. Mei mengerti. Kami pun membawa Naura ke parkiran dan masuk ke mobil. Naura dan aku duduk di belakang sementara Mei menyetir. Naura terus menangis tanpa henti. Mei terus bertanya tapi tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut Naura. Sementara aku hanya diam dan terus memeluk Naura.

Mobil Mei berjalan ke arah rumah Naura. Aku tahu sekali. Naura pasti tidak akan bisa menjawab pertanyaan kami selama dia masih menangis. Mobil terus berjalan. Naura masih mengeluarkan air matanya deras dan aku tidak mengeluarkan suara apapun tapi tetap berusaha untuk menenangkannya.

Akhirnya kami tiba di rumah Naura. Kami bertiga pun keluar dari mobil. Naura masih berada di rangkulanku. Mei berusaha membantu. Begitu kami tiba di dalam rumah, aku, Naura dan Mei terkejut. Ada Arip. Arip adalah mantan Naura tepat sebelum Guno. Dia berdiri gagah di ruang tamu memakai kaos biru diselimuti jaket kulit hitam dan celana panjang hitam. Wajahnya terlihat sangat lega begitu melihat kehadiran Naura.

"Arip? Ngapain lo disini?" tanyaku aneh. Bagaimana bisa tiba-tiba Arip datang ke rumah Naura? Setahuku, Naura sudah lost contact dengan Arip semenjak dia menjalin hubungan dengan Guno.

"Gue ada perlu sama Naura," jawab Arip singkat dan jelas.

Naura menggeleng. "Pergi lo! Gue nggak mau dengar apa-apa dari mulut lo. Pergiiiiii!!" usir Naura kencang masih disertai tangisan.

Arip pun mendekati Naura dan berusaha memegang tangan Naura. "Ra, gue ingin kasih tau kebenaran sama lo. Guno nggak sebaik yang lo kira. Dia brengsek, Ra."

Aku dan Mei saling bertatapan. Kami bingung.

"Udah. Stop! Gue nggak mau dengar apa-apa dari lo. Pergi! Dan jangan coba-coba lo sentuh gue. Pergi, Rip!" bentak Naura kuat sambil berusaha mengelak dari sentuhan Arip.

Mei pun maju. "Udah, Rip. Lo dengar kan Naura bilang apa? Lo pergi. Naura lagi nggak mau ketemu lo. Oke," pinta Mei tegas.

Arip mundur. "Oke tapi asal kalian semua tahu. Gue berbuat ini demi kebaikan Naura. Gue nggak mau dia menyesal. Yaudah gue pergi dulu. Ca, Mei, lo jaga Naura baik-baik. Jangan biarin Guno dekatin dia lagi."

Arip pun pergi meninggalkan kami semua. Beberapa menit terdengar suara motor melaju cepat. Itu pasti Arip. Naura kembali menangis histeris. Aku dan Mei pun memeluk Naura. Pasti ada masalah antara Naura, Guno, dan Arip dan kami berdua tidak tahu itu apa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top