3
5 Tahun yang Lalu
Pada hari itu, aku baru saja pulang dari segala aktivitasku di kampus. Mungkin sekitar jam 19.00. Kalau tidak salah hari itu adalah hari Sabtu bulan November. Untuk tanggal aku tidak ingat. Hingga akhirnya aku tiba juga di rumah dimana aku, ayah, ibu, Bang Kiki, dan Tanya masih tinggal seatap.
Ketika aku memasuki pintu rumah, tepatnya di ruang tamu aku melihat semua orang berwajah tegang termasuk Geri yang berada ditengah-tengah ruangan ini. Ia merundukkan kepalanya. Jelas aku heran. Ini ada apa? Apalagi kulihat Tanya menangis tersedu-sedu. Mereka berdua berlutut bersebelahan. Ini semakin membuatku bertanya-tanya. Kenapa ini sebenarnya?
Begitu aku sudah masuk rumah, semua orang memandangiku. Tatapan mereka penuh dengan rasa kasihan, marah, iba, dan lain lain yang aku tak bisa ungkapkan satu persatu. Lalu aku berpikir, apa kesalahanku hari ini sehingga mereka memandangiku seperti ini? Aku tidak melakukan apapun.
Ayah mendadak memelukku erat. Sangat erat. Entah mengapa, aku jadi takut. Ayah jarang sekali melakukan hal ini terhadapku. Ayah adalah orang yang lebih senang untuk bercanda tetapi baru kali ini aku melihat wajah ayah yang begitu serius. Ayah memelukku cukup lama. Aku merasakan juga air mata ayah jatuh ke pundakku. Hatiku terenyuh. Ayah kenapa begini terhadapku? Ini ada apa sebenarnya? Terus aku bertanya pada batinku.
Aku pun melepaskan pelukan ayah. Aku tatap wajah ayah. Wajahnya sembab seperti habis menangis.
"Ayah kenapa?" tanyaku pelan. Ayah diam. Dia malah menghapus air matanya.
Aku pun memandang wajah ibu. Kudekati dirinya. Ibu juga sama seperti ayah. Matanya sembab habis menangis. Ini semakin membuatku pusing. Sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini??
"Ibu kenapa?" tanyaku pada ibu penasaran. Ibu melakukan hal yang sama seperti ayah. Diam seribu bahasa. Lalu kulirik Bang Kiki yang berada di pojok ruangan. Ia berdiri menunduk. Aku pun segera menghampirinya. "Bang, ini sebenarnya ada apa? Kenapa ibu sama ayah nangis?" Bang Kiki diam tanpa kata. Huft! Ini sebenarnya kenapa sih? Mengapa semuanya diam?
Oiya, aku lupa. Ada Geri disini. Aku pun kini beralih mendekatinya. Aku pegang kedua lengannya lalu kutatap wajahnya. Ia memandangiku nanar. Aku tak bisa mendefinisikan bagaimana tatapan Geri kali ini . Ini tidak seperti Geri yang biasanya.
"Ger, ini sebenarnya kenapa sih? kok ibu, ayah, sama Bang Kiki semuanya diam? Nggak ada yang jawab pertanyaan aku," aduku manja.
Begitu aku bertanya hal itu ke Geri, Bang Kiki langsung menghampiri kami. Ia menarik Geri bangun kemudian ditinjunya wajah Geri sangat kuat berulang-ulang kali. Aku kaget. Semua kaget.
"Bang! apa-apaan sih? kenapa tinju Geri kayak gitu?!" tanyaku keras sambil berusaha menghentikan tindakan Bang Kiki. Bang Kiki masih terus meninju wajah Geri. Anehnya, ayah hanya diam tidak melakukan apa-apa. Kesannya ayah membiarkan Geri dianiaya seperti sekarang oleh Bang Kiki. Ibu juga melakukan hal yang sama. "Bang! Udah dong! Apa-apaan sih kayak gitu. Kasihan Geri, Bang!" bentakku kencang. Aku terus berupaya untuk menghentikan amarah Bang Kiki.
"Lo masih kasihan sama dia, Ca? Lo nggak tahu kan seberapa teganya dia?!" kata Bang Kiki setengah berteriak. Aku kaget. Tega? Aku masih tidak mengerti.
Tanya yang berada di samping Geri pun bangun dan memegang tangan Bang Kiki sambil menatap mata Bang Kiki. "Bang, jangan kasih tau. Plisss, Bang," pinta Tanya penuh harap.
Bang Kiki malah menepis pegangan Tanya. "Diam lo. Nggak usah ngomong. Benar-benar tega lo sama Toca. Nggak nyangka gue, Nya."
Tega sama aku? ya Allah... ini sebenarnya ada apa sih? Aku pegang kedua lengan Bang Kiki. Kulihat wajahnya. Matanya berkaca-kaca menyimpan kesedihan. Ah aku makin bingung.
"Bang, ini sebenarnya kenapa? Gue nggak ngerti, Bang." Bang Kiki malah menundukkan kepala bukannya menjawab pertanyaanku. Kini aku beralih ke ayah. Kulepaskan peganganku ke Bang Kiki. "Ayah, kasih tahu Toca. Sebenarnya ada apa sih, Yah? Jangan buat Toca bingung dong."
"Kamu tanya aja sama abang kamu. Ayah nggak sanggup bilangnya." Ayah malah meninggalkan kami semua di ruangan ini. Ayah berjalan gontai ke sofa di ruang tamu. Terlihat sekali bahwa ayah sangat sedih. Ya Allah ini kenapa?
"Toca, seberapa besar pun masalahnya. Tolong kamu ingat bahwa Tanya adalah adik kamu. Saudara kamu," ujar ibu. Barulah ibu bersuara.
Bang Kiki malah menatap garang ibu. "Ibu nggak usah bela Tanya deh. Tanya tuh udah salah banget. Masih sempat-sempatnya ya ibu bela Tanya." Ada nada marah di kalimat Bang Kiki.
"Bang, kasih tau gue! Ini tuh sebenarnya ada apa?! Kenapa semuanya aneh?!" tanyaku lagi. Aku sangat tidak sabar. Mereka semakin membuatku bingung dan penasaran.
Bang Kiki melakukan hal yang sama seperti ayah. Dia memelukku sangat erat. Dekapannya sangat kuat. Aku juga merasakan air mata Bang Kiki jatuh membasahi pundakku. Oh my god! What happened? Please tell me.
Setelah memelukku agak lama. Bang Kiki sepertinya sudah siap untuk mengatakan apa yang terjadi sesungguhnya. Dia memegang kedua lenganku. Dipandanginya mataku dalam. Perlahan Bang Kiki menarik napas lalu menghembuskannya,
"Ca..."
Belum sempat Bang Kiki mengatakan apapun, kalimatnya dipotong oleh Tanya. Tanya memegang kedua kaki Bang Kiki dengan wajah yang sudah bersimbah air mata.
"Bang, jangan bang, plisss. Jangan."
"Diam lo. Pergi sana lo. Ini semua tuh gara-gara elo. Dasar manusia nggak punya perasaan. Nggak punya otak!" bentak Bang Kiki keras.
"Bang, jangan gitu ke Tanya. Kasihan," kataku iba pada Bang Kiki. Tak tega juga melihat Tanya terus dimarahi seperti itu oleh Bang Kiki.
Bang Kiki kembali memandangku. "Lo kasihan sama dia? Lo tahu nggak, Ca. Apa yang dia perbuat sama lo?" Aku geleng kepala. Bang Kiki kini menatap Geri. "Si manusia nggak punya otak itu udah khianati elo," ujar Bang Kiki emosi sambil menunjuk-nunjuk wajah Geri. Geri hanya diam ketakutan.
Mengkhianati? Geri mengkhianati aku? Cukup sakit aku mendengar kata itu. Pandanganku beralih ke wajah Geri. Wajah Geri terlihat penuh rasa bersalah tapi, aku tak mengerti penyebab Bang Kiki sampai marah seperti itu ke Tanya. Jangan jangan...
"Tanya hamil anaknya Geri!" teriak Bang Kiki kuat.
Jgerrrr! Duarr! Pletarr! Hatiku hancur berantakan luluh lantah mendengar kalimat Bang Kiki barusan. Apa?! Geri menghamili Tanya?! Tanya mengandung anaknya Geri? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ini terjadi?
"Abang pasti bohong sama gue. Nggak mungkin, bang. Geri sayang banget sama gue hahaha!" ujarku sambil tertawa terbahak-bahak. Ini Lucu. Ini tidak masuk akal.
"Buat apa gue bohong, Ca? Nggak ada gunanya. Gue ngomong yang sebenarnya."
Tiba-tiba, " Kak, maafin gue, Kak. Gue nggak sengaja. Maafin gue." Tanya kini memeluk kakiku. Ia sujud di hadapanku. Aku terdiam membatu. Tak sadar, air mataku jatuh juga. Tawaku kali ini berhenti. Mungkin alam bawah sadar bahwa ini bukanlah lelucon. Hatiku terasa seperti ditusuk oleh beberapa pisau yang sangat tajam. Berdarah. Hancur. Tak sanggup aku ungkap bagaimana rasanya hatiku saat ini. Geri adalah pacarku. Bahkan sampai detik ini. Lalu, kenapa bisa dia menghamili Tanya? Berarti selama ini...
"Geri, kenapa bisa? Kenapa bisa kamu hamili Tanya? Kamu pacar aku, Geri," kataku mulai terisak-isak kepada Geri.
Geri diam.
"Geri, jawab pertanyaan aku. Kenapa bisa, Geri? Kamu nggak mungkin kan menghamili Tanya? Nggak mungkin. Kamu itu cowok aku." Aku mulai menangis kencang. Bang Kiki kini memelukku. "Bang, kenapa mereka tega sama gue, bang? Kenapa? Emang gue jahat ya, bang?" tanyaku pelan.
"Nggak kok. Mereka emang nggak punya perasaan. Nggak punya otak."
"Bang, ini mimpi kan? Ini nggak benar kan? Bangunin gue bang, plis.." mohonku. Aku terjatuh lemas. Dengan sigap, Bang Kiki langsung menangkap tubuhku.
"Ca... lo mau gue lakuin apa buat mereka?" tanya lembut Bang Kiki.
"Bang, bawa gue pergi dari sini," pintaku pelan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Ini benar-benar di luar perkiraan. Aku tak pernah membayangkan hal ini terjadi. Geri pacarku selama hampir empat tahun tiba-tiba menghamili adikku sendiri. Ya Allah, cabut nyawa ini. Aku terlalu tak kuat menghadapi kenyataan ini.
Bang Kiki pun menuntunku pelan keluar rumah. Tanya terus memandangku sama seperti pandangannya terhadap Geri kepadaku. Sementara aku tak henti-hentinya terus menangis tanpa memandang mereka berdua.
Sambil menuntunku keluar, "Ayah, Ibu, Kiki pergi dulu sama Toca keluar." Ayah dan ibu hanya diam tanpa menggubris pernyataan Bang Kiki. Semenjak hari itulah hari-hariku selalu di penuhi dengan tangisan tanpa henti. Hingga saat ini.
Sakit, pedih, hancur, berantakan. Semua menjadi satu pada saat itu. Jelas, teringat secara detail di ingatanku hari detik dan menit yang mengubah semua kehidupanku. Semenjak saat itu aku tak pernah sudi melihat mereka berdua. Hanya Bang Kiki yang benar-benar menghiburku. Ia selalu mengajakku jalan-jalan dan hampir setiap hari aku terus menangis. Bang Kiki hanya bisa diam sambil memelukku dan mengelus rambutku lembut agar tangisanku mereda.
Hari itu adalah hari terakhir aku menginjak lantai di rumah. Aku tak pernah pulang lagi ke rumah. Kangen? Jelas, aku kangennya bukan main. Di rumah itu aku dibesarkan. Di rumah itu aku memiliki banyak kenangan. Tapi semenjak kejadian itu, enggan rasanya menginjakkan kaki di sana. Neraka. Begitulah anggapanku.
Sejak hari itu, aku memutuskan untuk tinggal berdua di kontrakannya Bang Kiki. Untung, nasibku hoki. Jadi, begitu tamat kuliah atau wisuda, sudah banyak tawaran pekerjaan menghampiriku. Dan ternyata akhirnya, aku pun bekerja di perusahaan majalah yang cukup terkenal di Jakarta ini dan nama perusahaannya adalah Style.
Waktu demi waktu berlalu dan Bang Kiki tak pernah mempermasalahkan aku karena tinggal di kontrakannya. Tapi, tetap saja perasaan tidak enak itu ada. Segan rasanya merepotkan Bang Kiki terus menerus. Cukup lama aku tinggal dengan Bang Kiki, mungkin ada sekitar satu setengah tahun lebih. Alhamdulilah, pada akhirnya aku berhasil mengumpulkan uang. Meskipun tidak banyak, setidaknya aku jadi bisa memiliki rumah sendiri. Ya rumah ini tepatnya. Rumah dari hasil jerih payahku selama ini.
Ayah? Semenjak kejadian itu aku juga jarang bertemu dengan beliau. Aku sangat merindukan ayah. Ayah sudah cukup tua. Jadi, agak susah kalau mau bertemu dengannya di luar rumah. Minimal harus ada satu orang yang menemani ayah. Ya, biasanya kalau aku bertemu dengan ayah pasti di kafe bersama Bang Kiki. Jadi, intinya tiap bertemu ayah pasti harus ada Bang Kiki. Aku jadi teringat, sudah seminggu lebih aku tidak bertemu ayah dan Bang Kiki. Kangennya..
Oiya. Setelah kejadian mengenaskan itu, seminggu kemudian pesta diadakan. Pesta perkawinan sepasang manusia jahat dan tak punya hati itu. Jelas, aku tidak hadir. Jijik sekali untuk melihat mereka tersenyum di pelaminan sana. Waktu itu aku bersama Bang Kiki stay di kontrakan saja. Ayah sebenarnya tak mau datang. Beliau sangat kecewa terhadap dua manusia kejam itu tetapi, beliau adalah wali dan itu adalah sosok yang wajib ada dan sangat dibutuhkan dalam suatu pernikahan.
Sementara ibu? Ibu tidak berubah. Selalu membela Tanya. Membuatku sesak. My god!! sedih rasanya. Dua manusia jahanam itu juga tinggal dengan ayah dan ibu sampai sekarang. Itu adalah alasan utama penyebab aku sangat amat enggan untuk menginjakkan kaki di rumah yang telah menjadi saksi hidupku sejak lahir. Meskipun hanya sekedar menghampiri, terlalu sakit hati ini. Apalagi jika melihat tampang mereka berdua.
Satu hal yang tidak pernah terjawab hingga detik ini: APA ALASAN MEREKA MELAKUKAN ITU SEMUA? APA MEREKA TIDAK MEMIKIRKAN DAMPAKNYA? APA MEREKA TIDAK PERNAH MEMIKIRKAN PERASAANKU?
Aku tak pernah tahu karena mereka memang tidak pernah menjawab. Padahal sudah hampir empat tahun lebih hal itu berlalu. Hal itu juga selalu aku tanyakan kepada mereka tiap kali mereka meminta maaf kepadaku. Sayang, jawabannya nol. Itu yang semakin membuatku sulit memaafkan mereka. Semoga suatu saat mereka bisa menjelaskannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top