2

Tangisku semakin menjadi-jadi. Sejak mobil ini melaju aku tak pernah berhenti menangis. Mei saja sampai kewalahan. Memang, Mei sangat mengerti apa penyebab aku menangis kali ini dan tentu saja ini semua karena pertemuan aku dengan Amet barusan.

My God! Kenapa aku harus berjumpa dengannya lagi? Sudah sekian lama aku menantikan kehadirannya lalu kenapa baru sekarang ia muncul? Aku sebenarnya juga tak begitu mengerti mengapa aku sampai menangis histeris begini. Apa karena aku sangat merindukan dirinya? Amet is my first love. Hubungan kami selama dua tahun lebih berakhir begitu saja karena kepergiannya secara tiba-tiba. Tidak ada kabar sama sekali. Benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Padahal saat itu aku masih menjadi kekasihnya.

"Huaaaaaaa...." Lagi-lagi aku menangis kencang.

"Ca, lo diam dong. Masa gara-gara Amet lo nangisnya gini banget sih? Udah dong, Ca," ujar Mei padaku.

Tangisku sudah mulai sedikit mereda. "Mei, lo tahu kan Amet siapa? Lo tahu kan gimana Amet delapan tahun yang lalu? Lo tahu kan gimana perasaan gue waktu Amet mendadak hilang nggak ada kabar? Lo tahu kan, Mei?" tanyaku sedih.

"Iya gue tahu, Toca. Gue tahu banget. Udah dong Toca jangan nangis terus. Jadi ikutan sedih nih gue."

"Gue juga nggak mau begini Mei, tapi pas lihat muka Amet, hati gue sakit banget. Lo bayangin aja. Dia tiba-tiba hilang waktu itu dan sekarang tiba-tiba muncul lagi. Bayangin, Mei!"

"Iya gue tahu, Ca. Gue ngerti banget kok perasaan lo. Udah ya Ca jangan nangis terus," pinta Mei lembut sambil mengelus rambutku. Hatiku tersentuh dengan sikap Mei. Untung saja ada Mei sekarang di sampingku.

Aku menghapus air mataku. Kutolehkan kepalaku menghadap Mei sambil tersenyum. "Mei, makasih ya. Lo emang baik banget. Gue nggak tahu deh gimana hidup gue kalau misalnya nggak ada lo."

"Iya, Azkatoca Meria Hartomo." Mei tersenyum melihatku.

"Haha apaan sih lo pakai nama lengkap segala. Dasar Mei Asokawati. Hahaha."

"Ih, lo nyebutnya gitu banget, Ca." Mei langsung cemberut. Mei paling tak suka kalau aku menyebut nama lengkapnya. Entah penyebabnya apa.

Melihat Mei begitu, jelas saja aku semakin senang memperoloknya. "Lah emang nama lengkap lo itu kan?"

Mei menatapku tajam. "Toca, sebal ih."

"Haha lagian, lo apaan sebut-sebut nama gue lengkap kayak tadi," kataku. Kini aku sudah tak menangis lagi.

"Gue kan niru Amet haha. Gila ya Ca sekarang Amet cakep banget. Nggak nyangka gue. Sumpah dah."

Aku kembali mengingat Amet yang tadi aku jumpai di parkiran. Amet cakep kata Mei? Oke, coba aku ingat-ingat. Tadi dia memakai kemeja berwarna biru dongker dengan kancing terbuka dan kaos putih di dalamnya. Dipadu dengan celana jeans hitam sepanjang lutut. Dari gaya berpakaiannya dia memang terlihat keren. Dia juga memakai kacamata berwarna hitam. Rambutnya cepak tegak lurus seperti landak. Kulitnya juga sudah agak putih. Tidak seperti Amet yang dulu. Amet yang dulu itu kumal dan tidak terurus. Dia juga memakai sepatu kets berwarna putih. Oiya, dia memakai tas selempang kecil berwarna hitam. Keren juga Amet sekarang.

"Iya. Amet sekarang ehmm lumayanlah," jawabku.

Mei tidak terima. "Kok lumayan sih, Ca? Dia itu emang cakep. Cakep, Toca."

"Loh? Kalau menurut gue dia lumayan. Nggak cakep-cakep amat. Ya emang sih Amet yang sekarang sama yang dulu emang beda banget."

"Cakep ah menurut gue. Apalagi, dia sekarang udah rada putihan. Lo ingat kan? Dulu dia tuh hitam banget dan pendek tapi, coba lo lihat sekarang. Bener-bener syok gue lihat dia," kata Mei panjang lebar.

"Iya juga sih. Amet emang banyak berubah. Apalagi gayanya sekarang."

"Kalau Amet sama Geri cakepan siapa, Ca?" tanya Mei yang sepertinya tak sengaja mengeluarkan pertanyaan itu.

Aku yang tadi nya sudah mulai agak ceria langsung meliriknya sebal. Nama Geri. Aku sangat benci dengan orang yang memiliki nama tersebut.

"Mei...," tegurku. Mei Sepertinya baru sadar akan pertanyaannya barusan.

"Astaga. Maaf, Ca. Nggak sengaja hehe. Peace!"

Aku pun menatap Mei. Tersenyum. "Iya. Nggak apa-apa, Mei."

Mei pun kini lebih memilih diam. Takut salah ngomong lagi.

***

"Ibu...," lirihku begitu melihat ibu tepat di depan pagar rumahku.

Ibu pun langsung melihatku. Beliau tersenyum. Mei yang masih bersamaku langsung menghampiri ibu dan menyalam tangan kanannya. Ibu kembali tersenyum melihat Mei sementara aku hanya memasang muka datar. Apalagi begitu aku lihat di dalam mobil ada Tari. Anak dari Tanya. Ingin rasanya aku pergi dari sini segera.

Aku pun berjalan masuk ke rumah. Kubuka pintu pagar. Mei menyusul di belakangku. Kalau sudah ada ibu atau siapapun keluargaku, pasti Mei lebih memilih untuk diam dan memperbanyak senyumnya. Dia sudah tahu tentang segala masalah di hidupku termasuk masalah keluargaku.

"Toca... Ibu mau ngomong. Ada yang mau ketemu sama kamu," ujar ibu seperti menahanku.

Aku dan Mei yang sudah di depan pintu rumah pun berhenti. Mei benar-benar meniru segala gerakanku. Aku masih membelakangi ibu dan Mei berada di belakangku. Bedanya Mei tidak menghadapku juga tidak menghadap ibu. Dia hanya terus tersenyum.

"Kak Toca...," panggil pelan seseorang. Aku kaget. Aku hafal dengan suara itu. Suara perempuan dan bukan ibu.

Segera aku balikkan badanku. Dia? Kenapa dia lagi? Tanpa basa-basi, aku segera mengambil kunci rumah dari dalam tasku. Kubuka pintu dengan terburu-buru. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya aku ingin menangis.

"Kak, tolong ngomong sama gue. Lo jangan gini terus sama gue, kak. Gue nggak kuat diginiin mulu sama lo." Perempuan itu malah sujud di depan kakiku. Dia memegang kedua kakiku sambil menangis.

Aku masih belum bisa. Aku masih belum kuat. Syukurnya, pintu sudah terbuka. Aku langsung saja melangkah. Tak kupedulikan perempuan yang sedang sujud di bawah kakiku itu. Mei menyusul. Perempuan itu segera bangkit dan mengikuti kami tapi secepat mungkin aku tutup pintu dengan keras dan aku kunci pintu ini segera.

Perempuan itu kini malah menggedor-gedor pintu rumah. Aku diam di balik pintu. Mataku memerah. Hatiku kembali sakit. Kenapa dia datang lagi? Pergilah dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Sudah cukup luka yang dia berikan padaku. Aku sudah tak kuat.

"Kak! Tolong maafin gue. Kak Toca, gue mohon. Gue mohon banget, kak. Jangan gini mulu sama gue. Maafin segala kesalahan gue. Gue tahu gue salah sama lo kak, tapi plis. Gue juga nggak kuat diginiin mulu sama lo, kak." Tangis perempuan itu semakin kencang.

Semakin kuat tangisan perempuan itu, semakin dalam juga sakitnya hatiku ini. Menyebalkan. Aku benci kejadian ini.

Seandainya, lo nggak pernah khianati gue, Nya. Gue juga nggak bakal sanggup kalau gini terus sama lo. Tapi, lo udah terlalu tega sebagai seorang saudara. Saudara kandung gue. Adik gue sendiri.

"Toca, dengerin ibu, nak. Jangan gini, Toca sayang. Tanya punya maksud baik sama kamu. Kok kamunya begini?" kata ibu membela perempuan itu selalu begitu dan tidak pernah berubah. Tidak memikirkan perasaanku.

Mendadak, ada sebuah tisu di depan mataku. Mei yang memberikannya. Kupandangi wajah Mei. Dia tersenyum iba. Tanpa kusadari ternyata aku menangis lagi. Mei memang yang paling mengerti aku. Kuambil tisu perlahan dari tangannya dan kusepuhkan tepat di kedua mataku. Benar, air mata ini banyak juga ternyata.

"Tante Oca, bukain dong. Tari mau masuk. Tari mau minjem bonekanya Tante Oca. Nggak enak tante di luar. Panas." Anak kecil itu mengeluarkan suaranya.Hatiku kembali sakit. Air mata ini semakin deras. Mei pun menarikku untuk duduk di sofa. Aku menurut saja.

"Toca, yang sabar ya. Gue tahu kok gimana perasaan lo," bisik Mei pelan. Aku mengangguk saja sambil mengelap tisu ke wajahku. Mei memelukku dan aku pun menangis pelan.

Lalu, "Kak Toca, bukain pintunya. Gue minta maaf banget sama lo kak. Gue benar-benar nggak bermaksud nyakitin lo. Sumpah, kak." Perempuan itu kembali bersuara dari luar pintu dan masih disertai isakan tangis.

Aku pun segera membisiki Mei lembut. "Mei, bukain aja sana pintunya. Kasihan mereka."

Mei langsung menatapku. "Nggak salah, Ca? Emangnya lo nggak apa-apa?" tanya Mei berusaha meyakinkanku.

"Iya Mei. Gue nggak tega juga kunci mereka dari luar kayak gitu. Gimana pun juga mereka semua adalah keluarga gue," kataku pelan.

"Yaudah kalau itu mau lo. Lo jangan nangis lagi ya kalau mereka masuk. Udah cukup lo nangisnya hari ini."

Mei memandangku kasihan. Aku tahu dia amat sangat tidak tega melihat keadaanku yang terus seperti ini. Mei pun beranjak bangun lalu berjalan menghampiri pintu dan membukanya pelan. Seperti semut, ibu, perempuan dan anak itu langsung berlari menghampiriku. Di saat seperti inilah aku bimbang. Seharusnya aku tadi tidak menyuruh Mei untuk membukakan pintu.

"Tante Oca, makasih ya udah bukain pintunya," kata anak kecil itu riang. Aku masih diam lalu anak kecil itu pun menghilang entah main kemana dan aku tidak peduli itu.

Sementara perempuan itu, dia kembali sujud di depanku. Menangis. Dia memegang kedua kakiku. "Kak, dengarin gue dong, kak. Gue nggak sanggup kita begini terus. Gue minta maaf. Gue ngaku salah. Maaf, kak. Tolong maafin gue." Tangis perempuan ini semakin menjadi-jadi.

Aku sudah lelah melihat perempuan ini sujud di depanku terus. Aku pun melepaskan kakiku sehingga tak sengaja aku menendang wajahnya. Maaf. Aku tak bermaksud. Sepertinya ibu kaget melihat reaksiku. Begitu juga Mei yang kini sedang berdiri di antara kami semua. Dia juga sama kagetnya dengan ibu. Untung anak kecil itu tidak melihat kejadian barusan.

"Toca, kamu ini nggak sopan banget sama adiknya. Tanya itu lagi minta maaf sama kamu. Tapi, kamu malah kayak gitu sama dia!" kata ibu sambil membantu perempuan itu berdiri. Aku jijik sekali melihat wajahnya. "Tanya tuh udah niat baik ya sama kamu. Dia tuh sudah minta maaf sama kamu sampai sujud-sujud gitu. Kamu nggak kasihan apa? Jadi kakak kok nggak bener banget."

Aku pun langsung naik pitam begitu mendengar kata-kata ibu barusan. "Ibu belain aja dia terus. Memang, hanya Tanya anak ibu yang paling baik. Hanya Tanya yang nggak pernah punya salah. Sementara aku, selalu aja salah di mata ibu. Ibu tuh nggak ngerti. Ibu nggak pernah rasain kan kalau ibu jadi aku gimana? Ibu tuh cuma pintar ngomong. Ibu bayangin adik sendiri selingkuh sama pacar kita terus hamil dan punya anak dan dia sekarang hidup bersama kita. Ibu nggak tahu kan gimana rasanya sakit itu? Ibu nggak ngerti karena ibu cuma peduli sama Tanya. Bukan sama aku!" kataku kencang sambil menangis.

Ibu kaget. Perempuan itu kaget. Mei juga kaget.

Plaaaak! Ibu menamparku. Aku kaget. Perempuan itu kaget. Mei juga kaget.

"Oh gitu. Terbukti sekarang. Kalau ibu emang nggak pernah peduli sama aku. Lebih baik ibu pulang aja. Bawa Tari dan bawa anak kesayangan ibu. Tanya," ujarku lirih. Aku langsung berbalik badan. Dengan kaki gontai aku melangkah ke kamar.

Tiba-tiba ada sebuah tangan menghampiri bahuku. Aku berhenti.

"Kak, maksud ibu bukan gitu, kak. Gue...."

Belum selesai perempuan itu berbicara, aku langsung memotong pembicaraannya. "Diam lo. Nggak usah ngomong. Nggak usah sok baik lo di depan gue. Nggak usah cari muka. Gue udah muak lihat muka lo. Pergi sana lo!" usirku kasar.

"Kak, maafin gue.."

"Gue nggak bakal maafin lo. Lebih baik lo pergi. Jangan pernah muncul di depan gue lagi. Bawa anak lo pergi jauh juga dan jangan pernah nunjukin muka anak lo ke hadapan gue. Gue nggak suka." Aku berbicara masih membelakanginya.

"Kak, lo kok gitu sih sama gue? Kita kan saudara. Lo tega sama gue kayak gini?"

Aku pun langsung berbalik menghadapnya begitu mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Jelas aku lucu mendengar ucapannya. Saudara? Tega? Aneh. Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Bukan dia!

"What?! Saudara? Tega? Elo pikir, yang sebenarnya tega sama saudara sendiri siapa? Elo, Tanya! Elo yang tega sama gue. Lo tahu kan Geri siapa gue dulu? Dia cowok gue dan lo tahu itu. Lalu, kenapa lo tiba-tiba hamil? Kenapa, Tanya?! Dan kenapa yang hamilin elo itu adalah Geri? Kenapa?! Geri waktu itu cowok gue!!" kataku sambil kembali menangis terisak-isak. Aku pun jatuh terduduk.

Anak dari perempuan itu muncul. Dia langsung menghampiriku.

"Tante Oca kenapa? Kok nangis?" tanya anak kecil itu polos. Aku tatap tampang tak berdosa itu. Hatiku kembali teriris. Mengapa semuanya begini? Aku diam tak menanggapi omongan anak kecil itu.

Mendadak, ibu menghampiriku. Dia membantuku untuk bangun. Mei masih diam di sana. Dia terus memandangi kami tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku pun menepis bantuan ibu dan berusaha bangkit sendiri.

"Sekarang mendingan ibu, Tanya, sama Tari pulang deh. Aku lagi mau sendiri. Nggak pingin diganggu," kataku pelan. Aku membalikkan badanku. Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Tapi lagi-lagi...

"Kak, maafin gue. Gue khilaf waktu itu, Kak. Plis maafin gue." Aku berhenti. Masih bisa-bisanya dia mengucapkan kata maaf padahal aku sudah menolak maafnya ribuan kali. Dia masih menangis. Aku sebenarnya sangat ingin memaafkannya tapi, hatiku masih terlalu sakit. Adikku telah mengkhianatiku sendiri.

"Ca, maafin ibu tadi. Ibu nggak bermaksud menampar kamu, Ca. Maafin ibu ya, sayang." Ibu ikut-ikutan minta maaf. Aku tak tahu harus bagaimana lagi.

Tanpa berbuat apa-apa. Aku pun masuk kamar. Ibu dan perempuan itu berusaha mengikutiku tapi aku segera menutup pintu. Lagi-lagi aku menangis untuk kesekian kalinya.

Sementara di luar, kudengar perempuan itu kini menangis semakin keras. Perlahan suara itu semakin lama semakin jauh. Aku rasa mereka semua sudah pulang. Begitu juga dengan anak kecil itu. Maafkan aku ya Allah. Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi.

***

"Lo tahu kan Mei gimana perasaan gue? Ibu aja tadi tega nampar gue. Padahal lo tahu sendiri, disini yang menderita tuh gue.Bukannya perempuan itu!" kataku ke Mei setelah mereka semua benar-benar pulang.

Kini keadaanku sudah tidak lagi menangis. Meskipun masih ada isakan yang menyertai setiap omonganku. Mei di sampingku terus mendengarkan dengan baik.

"Mei, menurut lo gimana? Gue jahat nggak sih Mei sama Tanya?"

Mei menggeleng. "Nggak kok, Ca. Menurut gue sifat lo bener. Gue bela lo bukan karena lo sahabat gue ya. Tapi, di sini emang Tanya yang salah. Kita ingat deh kejadian empat tahun silam. Dia tuh udah tahu banget kalau Geri adalah pacar lo. Yang bikin gue nggak habis pikir, kenapa mendadak Tanya hamil dan yang lebih kagetin lagi. Geri yang hamilin dia. Itu yang bikin gue nggak habis pikir dengan pola pikir mereka berdua. Mereka nggak mikir apa kalau sifat mereka yang kayak gitu malah buat masalah baru?" ujar Mei panjang lebar.

Aku pun diam sejenak mencoba mengingat kejadian empat tahun silam. Dimana semuanya terjadi ketika aku baru saja pulang dari perkuliahan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top