1

"Tante Oca...," sapa seorang gadis kecil.

Aku yang sedang duduk melamun di depan teras rumah pun tersadar. Siapa yang memanggilku barusan? Suara anak kecil siapa itu? Aku pun bangkit dari kursi di teras rumahku lalu berjalan kecil mencari suara itu. Langkahku tertuju ke arah pagar di luar. Terdengar beberapa langkah kaki dan begitu aku mau membuka pintu,

"Tante Oca... Tari kangen!"

Seorang anak kecil memelukku. Tepatnya memeluk kakiku karena ukuran kami tak sama. Aku pun memandang ke bawah. Tari... lagi-lagi anak ini. Ada sedikit rasa kesal di benakku.

"Toca..." ada yang memanggilku lagi. Sangat lembut.

Kepalaku refleks menoleh ke pemanggil.

"Ibu...," kataku lirih.

Seperti biasa aku tak pernah menyambut mereka dengan senang. Masih ada luka di hati ini. Luka akibat kejadian lima tahun silam yang masih teringat jelas di ingatanku. Kupandangi lagi anak kecil ini. Dia masih memelukku erat. Sangat erat.

"Gue mau jalan. Awas!" kataku ketus pada anak ini.

Memang, aku tak pernah manis dengan anak kecil ini. Entah mengapa, sangat sulit mengucapkan segala sesuatunya dengan manis kepada anak ini. Dialah penyebab utama yang mengingatkan aku pada kejadian menyakitkan itu.

"Toca, kamu ngomongnya yang lembut dikit kenapa sama Tari. Ketus banget sih," marah ibu.

Aku pun melepaskan paksa anak kecil ini dari pelukannya. Cukup sulit karena anak ini memelukku dengan sangat erat.

"Lepasin pelukannya! Udah gue bilang juga!" Aku semakin membentaknya.

"Hwaaaa...." Tangisan anak ini meledak dari mulutnya.

Akhirnya aku berhasil melepaskan pelukannya. Aku tidak peduli apakah dia mau menangis atau tidak. Aku pun berbalik badan meninggalkan ibu dan anak kecil itu.

"Toca! Kamu tuh lembut dikit kenapa?! Kasihan kan Tari." Lagi-lagi ibu marah.

Aku hanya diam dan terus berjalan masuk ke rumah. Sepertinya ibu tidak mengikutiku. Dia sedang berusaha mendiamkan anak kecil itu. Sebenarnya hati kecilku tidak tega juga menyakiti anak kecil itu terus-terusan, tapi mau bagaimana lagi? Hatiku sakit tiap kali melihatnya. Ya ampun, kenapa air mata ini malah turun? Sebelum ketahuan, aku pun mengusap air mataku.

Kini aku duduk di sofa depan televisi. Sepertinya ibu dan anak kecil itu sudah masuk ke rumah. Kulirik sedikit dan ternyata benar. Sekarang ibu duduk di sampingku tanpa anak kecil itu. Aku dan ibu diam tanpa kata. Mata kami tertuju pada televisi di depan. Tak ada yang niat mengobrol sedikitpun. Semua larut dalam keheningan.

"Tante, Tari pinjam bonekanya ya."

Anak kecil itu tiba-tiba muncul di depan kami berdua dengan memegang boneka Teddy Bear milikku sambil tersenyum riang. Entah mengapa aku tak suka melihat adegan ini. Boneka itu hadiah ulang tahun dari Geri pada waktu aku masih SMA dulu. Geri alias ayahnya.

Aku pun langsung beranjak. Kuambil segera boneka itu dari tangannya dengan kasar. Mata anak itu langsung berkaca-kaca sedih.

"Nggak boleh! Ini punya gue!" kataku marah. Langsung saja aku berjalan ke kamar. Kututup pintu dengan keras. Tanpa babibu, kuterjunkan tubuh ini ke tempat tidur. Menangis.

"Toca!! Kamu tuh pelit banget sih. Sama Tari gitu banget. Pinjamin aja kenapa?!" Ibu lagi-lagi marah. Aku juga mendengar anak itu menangis lagi dan ibu kembali berusaha mendiamkannya.

Astaga, kenapa semuanya begini sih? Kenapa nasibku seperti ini? Aku terlalu jahat dengan anak itu. Padahal kalau dipikir, anak itu tidak punya dosa sama sekali terhadapku. Tapi jujur, aku tak bisa baik kepada anak itu. Hatiku terlalu sakit dan masih belum bisa menerimanya semuanya.

Kreeeek... suara pintu terbuka.

Dengan refleks, langsung aku hapus air mata ini. Ibu menghampiriku sendirian.

"Toca..." panggil ibu lembut.

Aku diam. Ibu kini duduk di sampingku. Aku masih berbaring tanpa mengubah posisiku sama sekali.

"Ibu tahu, kamu masih sakit hati kan sama kejadian itu? Ibu mohon banget. Kamu lupain aja semuanya. Anggap nggak terjadi masalah. Lagian, itu kan udah lama. Kenapa masih kamu pikirin juga? Kasihan tuh Tari selalu dimarahi sama kamu."

What?!! Mudah sekali ibu berkata seperti itu. Ibu tidak mengerti bagaimana perasaanku. Aku pun langsung bangkit duduk menghadap ibu dan melihat mata wanita yang telah melahirkan aku ini.

"Ibu tuh nggak ngerti perasaan Toca. Ibu tahu nggak sih rasanya lihat anak dari orang yang telah mengkhianati kita? Ibu nggak ngerti kan?!"

"Ibu ngerti tapi, tolong jangan gitu sama Tari. Tari itu sayang banget sama kamu, Toca."

"Aku nggak peduli, bu. Aku nggak peduli sama anak itu. Mau dia sayang atau nggak. Terserah dia. Yang jelas aku nggak suka sama dia!" Aku mengalihkan pandanganku tak memandang ibu lagi.

"Anak itu? Dia punya nama ya Toca. Namanya Tari. Dari dulu kamu emang nggak pernah berubah. Nggak pernah mau sebut nama dia."

"Nama dia ingatin aku sama orangtuanya bu dan aku jijik banget sama mereka berdua. Tari itu kan kepanjangan dari nama Tanya dan Geri. Iya kan, bu?! Udah deh. Aku lagi malas bahas soal ini. Kalau ibu mau datang kesini, anak itu nggak usah diajak. Muak aku lihat dia, bu."

Ibu pun langsung bangkit. Marah.

"Oke. Ibu juga capek mengingatkan kamu terus. Udah gede kok masih kayak anak kecil aja. Dewasa dong, Toca. Ibu harap kamu bisa berubah."

Ibu pun langsung berbalik meninggalkanku sendirian di kamar. Aku menunduk diam kali ini. Kudengar suara ibu memanggil nama anak kecil itu. Beberapa menit kemudian ibu dan anak kecil itu muncul lagi di hadapanku. Sungguh, suasana yang tidak membuatku nyaman.

"Tari, salam tuh Tante Toca. Kita pamit."

Anak itu pun mendekatiku lalu meraih tanganku dan menciumnya. Aku hanya diam.

"Tante Oca, Tari pulang ya."

Aku diam tak memandangnya.

"Toca, ibu pulang. Kamu yang benar. Hati-hati. Makannya yang teratur. Ingat sama maag kamu," kata ibu yang selalu memperingati aku.

Aku masih diam. Ibu dan anak kecil itu pun akhirnya meninggalkanku sendirian di rumah ini. Kudengar suara mobil di luar semakin lama semakin jauh. Aku pun kembali merebahkan tubuhku. Kupeluk erat bantal gulingku. Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kembali lagi aku menangis.

***

Kupandangi tubuhku di depan cermin dalam-dalam. Apa yang salah pada diriku? Tidak ada yang salah menurutku. Aku tidak jelek dan tidak gendut. Aku juga tidak begitu hitam. Ya sawo matang lah. Aku juga tidak pendek. Tinggiku semampai umum seperti wanita lainnya tapi kenapa hidupku menderita begini? Semua orang jahat dan tega terhadapku. Mereka tak pernah memikirkan perasaanku termasuk keluargaku sendiri. Meskipun tidak semuanya sih. Hanya ayah dan Bang Kiki yang mengerti aku.

Ah sudahlah. Kalau aku memikirkan itu terus sepertinya tidak akan pernah berujung. Kutelungkupkan tanganku ke wajahku. Kembali aku menangis tersedu-sedu untuk kesekian kalinya.

Aku merindukan semua kehidupanku yang dulu. Jauh sebelum kisah menyakitkan itu menghampiriku. Aku ingin kembali ke rumah bersama ibu, ayah, Bang Kiki, dan Tanya. Oke sebenarnya aku malas sekali menyebut nama adik kurang ajar itu. Sekarang kita sebut dia adalah Nenek Grandong. Aku mendapatkan ejekan itu dari Mei sahabatku. Mei lah yang selalu menemukan ejekan untuk siapapun yang jahat terhadap salah satu dari kami. Kadang aku tertawa dengan segala sifat Mei.

Kembali ke awal. Tidak seperti sekarang. Aku tinggal di rumah yang aku bangun sendiri dari hasil jerih payahku. Sangat cepat memang. Di usia 25 tahun aku sudah memiliki rumah yang berukuran minimalis dan menarik. Ayah saja terkagum-kagum dengan rumah ini. Aku juga sudah mempunyai mobil sendiri. Abangku--Bang Kiki-- masih terlalu sibuk dengan urusan bengkel dan kulinerannya. Kalau aku perhatikan sih, semakin tahun usahanya semakin berhasil, meskipun aku masih belum melihat hasilnya kecuali mobil Jeep hitamnya. Sedangkan untuk rumah, katanya sedang dalam proses pembangunan. Kalau si Nenek Grandong. Sudahlah. Aku tak mau membahasnya.

Tiba-tiba, Lalalala! Hp-ku berdering.

Otomatis aku angkat. "Kenapa Mei?"

"Lo pasti nangis lagi deh," tebak Mei.

"Sok tahu lo."

"Emang begitu kan? Itu kan udah jadi kegiatan lo sehari-hari setelah si Nenek Grandong itu nyakitin lo."

"Jangan sok tahu deh jadi orang. Gue segar begini juga," elakku.

"Gue tahu lo ya, Toca. Benar kan dugaan gue? Iya kan?"

"Apaan sih lo, Mei? Terus, Lo ngapain nelpon gue? Ada perlu apa?" tanyaku mulai kesal.

Memang sih, aku akui bahwa hampir setiap pagi di kantor, mataku bengkak akibat menangis terus. Mei selalu tahu itu. Gadis itu adalah teman baikku dari SMP. Dia sudah tahu semuanya. Hanya dia yang bisa menghiburku dan selalu dia yang ada. Aku tidak pernah berpikir, apa jadinya kalau dia mendadak hilang dan tidak ada di kehidupanku. Aku tak sanggup membayangkannya.

"Judes amat lo. Sabar neng. Sabar."

"Abisnya elo sih. Bikin gue sensi mulu."

"Bodo!"

"Meiiiiiii!" teriakku kencang pada si gendut ini.

"Hahaha. Lucu deh kamu kalau marah. Gue cuma mau bilang ntar kita berangkat ke kantor bareng ya. Gue yang jemput oke. Dada sayangku. Emmmuuaach."

Tutututut! Telepon terputus.

Dasar Mei. Senang sekali buat aku emosi. Huh.

***

"Kenapa kalian terlambat? Ingat! Pekerjaan adalah nomor satu menurut saya. Disiplin adalah kunci utamanya. Kalau kalian dari disiplinnya saja sudah tidak bisa teratur bagaimana dengan pekerjaan lainnya?" repet Bu Sinta.

Kami berdua hanya diam. Diam karena hanya itu yang bisa kami lakukan. Kalau Bu Sinta sedang merepet jangan ada satu kata pun keluar. Bisa-bisa dia malah semakin meledak. Memang Bu Sinta adalah bos kami di kantor ini. Bukan pimpinan teratas tetapi pengaruhnya di kantor ini cukup besar. Dia merupakan salah satu manajer di kantor majalah ini. Ya, aku, Mei, dan Naura bekerja di salah satu perusahaan majalah di Jakarta. Majalah yang cukup terkenal di kalangan remaja dan dewasa. Karena majalah ini dikhususkan pada anak-anak remaja dan dewasa. Nama perusahaan ini adalah Style.

"Sudahlah. Saya sudah capek memberitahu kalian. Lain kali tidak boleh terlambat. Ini peringatan buat kalian. Kalau kalian berbuat seperti ini lagi, kalian ingat apa yang akan saya lakukan kan?" tanya Bu Sinta.

Kami berdua mengangguk tanda mengerti apa yang ditanyakannya.

"Sudah. Kembali ke meja kalian masing-masing. Kerjakan apa yang sudah seharusnya kalian kerjakan." Bu Sinta segera membalikkan tubuhnya dari hadapan kami berdua, lalu dia berjalan angkuh menuju ruangannya.

Aku dan Mei secara bersamaan menghela napas lega. Betapa tenangnya telah melewati adegan barusan. Huft! Ini gara-gara Mei sih. Dia pakai adegan pup ketika menjemputku tadi.

"Ca, maaf ya gara gara gue lo kena marah sama Bu Sinta," pinta maaf Mei.

Aku hanya tersenyum sambil berkata, "Nggak apa-apa, Mei. Santai aja."

"Gue nggak enak sama lo. Padahal kan tadi yang ngotot berangkat cepat gue. Eh, malah gue yang bikin telat."

"Nggak apa-apa, Mei. Biasa aja kali sama gue. Lagian kan kena marah sama Bu Sinta emang udah jadi kebiasaan kita hahaha."

"Iya juga sih hehe." Mei malah nyengir kuda sekarang.

Mendadak Naura datang dengan sejuta kecemasan di kepalanya. Memang, Naura adalah sosok yang amat sangat gampang mencemaskan orang. Baik sih tapi kadang-kadang buat orang jengkel juga.

"Ya ampun Mei Ca lo berdua nggak apa-apa kan? Bu Sinta gimana ngomelnya? Seram nggak? Ya ampun, gue nggak sanggup bayanginnya," panik Naura.

"Kita berdua nggak apa-apa kok, Ra. Nggak usah panik gitu deh," jawab Mei.

"Iya. Buktinya kita berdua sekarang selamat tuh. Nggak tercerai berai gini," jawabku lagi.

Naura mendadak mendaratkan pukulannya ke bahuku. Begitulah Naura. Cantik, baik, suka cemas, tapi sangat hobi buat orang jengkel.

"Lo kira abis dimakan singa apa? Haha tega amat lo sama Bu Sinta," ujar Naura.

Aku pun membalas pukulannya. "Suka suka gue oneng."

"Gue aduin Bu Sinta lo ntar," ancam Naura.

"Haha coba aja. Nggak takut," kataku.

"Heh, apa-apaan sih lo berdua? Kok malah berantem. Ntar dia ngamuk lagi," kata Mei nimbrung.

"Yee, si Gendut nyambung aja," cibir Naura

Mei yang sangat sensitif dengan kata-kata gendut pun naik pitam. "Naura! berapa kali gue bilang? Gue benci kata-kata gendut!" teriak Mei kencang.

Naura pun otomatis berlari karena takut akan amukan Mei. Aku hanya tertawa melihat mereka berlari-lari mengelilingi ruangan ini.

"Tocaaaaaa! Tolongin gue. Bantu gue terhindar dari singa laut ini."

"Sabar aja, Ra. Sekalian melatih kemampuan berlari lo hahaha," kataku bukan membantunya malah semakin memojokkannya.

"Singa laut? Lo ejek gue apalagi sih,Ra? Hyaaaaaaa...." Mei semakin garang saja. Lagi-lagi aku tertawa. Sangat lucu melihat Mei kalau marah. Kadang saja aku yang doyan membuat Mei marah, tapi kali ini cukup Naura saja. Aku sedang malas bermain kejar-kejaran.

Konyol sekali mereka berdua.

***

"Daaah Nauraaaa. Hati-hati lo. No, lo bawa pulang Naura jangan sampai lecet ya. Awas aja lo kalau gue sampai tahu," ancam Mei kepada Guno yang merupakan pacar dari Naura. Seperti biasa Guno selalu menjemput dan mengantar kemanapun Naura pergi. Hari ini sudah sore jam 05.00 dimana waktunya untuk pulang. Ya, beruntung sekali Naura memiliki kekasih seperti Guno.

Tidak seperti aku yang bahkan sampai sekarang di umurku yang ke 25 tahun ini masih menjomblo. Sebenernya sih tak beda jauh dengan Mei. Mei juga jomblo, tapi jelas dibandingkan hidup Mei dengan hidupku jauh lebih merana hidupku kemana-mana.

"Tenang aja Mei. Pasti itu," jawab Guno.

"Iya. Tenang aja, Mei. Lagian, kalau Guno macam-macam kan ada lo sama Toca. Mana berani dia sama macan kayak lo berdua haha," tawa Naura.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Melihat mereka berdua mengingatkanku dengan Tanya dan Geri. Oh tidak. Rasanya hati ini kembali tertusuk. Aku hanya bisa tersenyum bahagia melihat Naura dan Guno. Pasangan yang sangat serasi. Gumamku dalam hati.

"Ca, Diam lagi lo. Melamunin apa lo?" Mei mengejutkanku sambil menyenggol bahuku.

"Tahu nih si Toca. Gue mau pulang bukannya dikasih apa gitu," timpal Naura. Dia malah memukul bahuku. Ya Tuhan, mereka berdua tidak mikir apa ya menyerangku seperti ini.

Otomatis, aku pun langsung membalas pukulan Naura. "Sialan lo, Ra. Mukul kencang amat. Sakit tahu. Huh. Kasih apaan emangnya? Kasih ciuman gue mau?" kataku masih sebal sambil mengelus-elus bahuku yang barusan di pukul Naura. Dasar Naura.

"Abisnya elo sih masih sempat-sempatnya melamun di saat kayak gini. Sadar, Toca. Nggak lah. Ntar Guno cemburu lagi," jawab Naura.

"Haha masa aku cemburu sama Toca sih, sayang. Aneh banget kamu," timpal Guno.

Naura memandang Guno. Pandangan cinta yang tulus. Ah iri.

"Ya nggak lah sayang. Bercanda doang," kata Naura. Guno tersenyum.

"Mereka malah mesra-mesraan depan kita, Ca," bisik Mei. Aku hanya tertawa kecil mendengar bisikan Mei.

"Yaudah ya semuanya. Gue pulang dulu bersama kakang Guno. Bye Toca, Mei!" pamit Naura kepadaku dan Mei.

"Gue pulang dulu ya Mei, Ca." Pamit Guno lagi.

Kami tersenyum. "Iya. Hati-hati ya kalian. Kalau kenapa-napa sms gue sama Toca," ujar Mei.

"Iya. Jangan macam-macam ya. Jangan sampai mobil lo mogok, No. Ntar si Naura ngamuk haha," kataku.

Kami semua hanya tertawa. Naura sempat memasang muka masam lalu disusul tawa. Itulah yang bisa kami lakukan. Setiap pulang kantor menunggu Naura pulang dijemput Guno dulu. Baru lah kami pulang. Naura adalah sosok yang sangat beruntung menurutku.

Naura Naura. Enak sekali jadi dia. Sirikku dalam hati. Tiba-tiba Mei menggaet tanganku. Aku bingung lalu dia tersenyum lebar melihatku. Aku pun ikutan tersenyum.

"Yaudah yuk. Sekarang giliran kita yang pulang. Ayo!" ajak Mei semangat. Aku hanya menyeringai lebar melihat tingkahnya.

Kemudian, kami pun berjalan menuju ke parkiran. Terlihat sebuah mobil Atoz berwarna hitam masih nangkring di parkiran tersebut. Kami berjalan terus mendekati mobil tersebut sampai akhirnya aku tak sengaja,

"Ya ampun. Kamera gue hancur dah," gerutu seseorang.

Ya, aku tak sengaja menabrak seseorang. Lagi-lagi aku masih sempat-sempatnya melamun di tengah jalan tapi, ini bukan sepenuhnya salahku. Ini juga salah orang tersebut. Di tengah jalan masih sempat-sempatnya otak-atik kamera. Meskipun yang dirugikan di sini adalah orang ini karena kameranya jadi terjatuh gara-gara insiden tabrakan tadi. Ehm, sepertinya akan ada masalah.

"Eh, lo berdua! Kok malah bengong? Kamera gue nasibnya gimana?" bentak cowok itu.

Benar, dia adalah seorang pria. Pria yang cukup aneh. Entah dari sudut mana aku bisa mengatakannya aneh tapi sepertinya aku mengenal dia. Siapa ya dia?

Kami berdua pun langsung menunduk membantu pria itu dan kameranya. Setelah agak lama, pria itu bangkit berdiri sembari mengotak-atik kameranya. Aku dan Mei berdiri mengikutinya lalu aku lihat kameranya. Kameranya baik-baik saja. Terus kenapa dia menggerutu segitunya tadi? Huh. Cukup membuat aku kesal juga.

"Kamera lo nggak kenapa-napa kan? Maafin kita ya," ujar Mei takut. Mei kalau sudah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain pasti sesegera mungkin minta maaf. Tidak seperti aku yang enggan sekali meminta maaf pada orang seperti ini.

Pria itu masih fokus terhadap kameranya. "Lo tahu nggak sih? nih kamera tuh hidup dan mati gue. Kalau nggak ada nih kamera, hidup gue hampa rasanya."

Entah kenapa mendengar pria ini berbicara sangat membuatku tak suka.

"Ya maaf. Kita berdua nggak sengaja. Maaf ya," pinta maaf Mei lagi. Ampun deh Mei. Tidak usah minta maaf terus. Ujarku dalam hati sebal. Sementara cowok itu terus saja memperhatikan kameranya tanpa melihat kami berdua. Menyebalkan.

"Oke. Tapi, kalau ada kerusakan sama kamera gue gimana? Lo pada harus tanggung jawab. Kamera ini mahal," kata pria itu lagi dan masih fokus terhadap kameranya hingga...

Ckrek! suara kamera menghampiri telingaku. Pria itu memotretku! Jelas saja aku kaget.

Aku pun langsung memarahinya. "Heh! Nggak sopan banget sih lo foto orang sembarangan!" bentakku keras tepat di depan mukanya.

Dia masih meletakkan kamera menutupi matanya dan tidak bergerak. Mei hanya diam dengan perasaan takut. Sementara aku, aku terus melihatnya kesal tetapi begitu dia menurunkan kameranya dari wajahnya, aku amat sangat terkejut. Pria itu...

"Azkatoca Meria Hartomo..." sebut pria itu lirih. Dia menyebut namaku lengkap amat sangat pelan. Dia terus memandangiku. Sementara aku terus berusaha mengingat sambil terus memandanginya balik. Aku berpikir benarkah dia adalah...

"Amet!" Mei histeris menyebut nama itu.

Kini pria yang dikatakan Mei bernama Amet itu gantian melihat Mei. Dia tersenyum. Lalu memandangiku lagi. Aku masih dalam kondisi tak percaya. Apakah dia benar-benar Amet?

"Amet! Ya ampun. Lo udah gede ya sekarang. Gila, makin keren aja lo sekarang. Padahal gue ingat banget tuh, lo pas SMA kan kumel banget haha," Mei terus menyerocos. Pria itu diam tidak mempedulikan Mei. Pria itu masih terus memandangiku.

Amet? SMA? Benarkah Amet? Dia sangat berbeda dengan Amet yang aku kenal dulu. Ya. Amet pacar pertamaku. Pacarku sebelum Geri. Aku tak mungkin melupakannya. Walaupun dia sangat berbeda dari Amet yang dulu, tetap saja kenangan itu tak berubah. Kenangan yang kembali membuat luka lama ini terbuka kembali.

"Ca, kok diam sih? lo ingat Amet kan? Amet Ca Amet! Pacar pertama lu! Sebelum si kuda boneng itu, Ca."

Apaan sih Mei? Buat malu saja. Ditambah dia bilang pacar pertama lagi. Kuda boneng lah. Aku tahu siapa kuda boneng dan aku tak perlu menyebut namanya tapi, semua ucapan Mei benar karena memang dia lah saksi antara aku dan Amet dulu.

Aku tak tahu harus bagaimana. Langsung saja aku berjalan lurus meninggalkan Amet dan Mei ke arah mobil Atoz milik Mei. Mei jelas tak mau ketinggalan dan dia pun berlari menyusulku.

"Ca, tunggu gue lah. Susah nih gue larinya," teriak Mei. Tapi, aku tak peduli. Aku harus cepat sampai rumah dan melupakan pria itu.

Kenapa gue harus ketemu lo lagi sih, Met? Kenapa lo harus muncul lagi di hadapan gue? Udah cukup delapan tahun yang lalu lo datang dan hilang gitu aja. Tapi, sekarang lo kembali lagi dan ketemu gue?

Mei kini sudah duduk di sampingku dan mulai menyalakan mobil. Mobil siap melaju. Aku lirik sedikit, Amet masih dalam posisi yang sama persis seperti ketika dia memandangiku tadi.

Di dalam mobil pun terulang kembali. Aku menangis.   

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top