8 | UNLUCKY ROBBERS
"ADA kerjaan baru." J mendorong map dari Raditya Swasty ke hadapan Tea. "Good money, easy job. Cuma nyari anak ilang." Hidungnya berkerut, tidak suka pada interior warnet yang remang-remang ini padahal masih siang. Empat dari lima lampu LED yang dipasang di langit-langit sudah redup, bahkan ada juga yang mati.
"Nyari anak ilang?" Tea mendengkuskan tawa ironi. "Lo nyuruh Codet buka bisnis lagi buat ngurus ginian?"
"Dia ngasih uang muka tiga ratus secara cuma-cuma, lho. Artinya, dia dermawan."
"Lo doang bisa, kali! Gue sibuk!" Ia memasang kembali headset-nya.
"Sibuk apaan? Jagain warnet?" J memandang sekeliling. Hanya ada tiga bilik yang terisi, tetapi suasananya begitu ribut. Setiap bilik diduduki tiga sampai empat bocah SD dan SMP. Mereka mengumpat kata-kata vulgar yang tidak sesuai usia mereka. Mendadak ia merasa miris, cemas kalau anaknya kelak akan tumbuh seperti itu juga. Buru-buru J tepis bayangan tersebut. Ada hal yang lebih mendesak. "Duitnya lebih gede nyari anak ilang, kali!"
"Gue mau quality time sama diri sendiri!" Tea melemaskan jari-jarinya sebelum meletakkan masing-masing tangan di atas keyboard dan tetikus.
"Hari ini, aku ada janji sama Kapten buat bahas misi kemarin. Nggak bakal sempet ngelacak ini anak."
"Kalau nggak sempet, ngapain diterima job-nya?" Tea tak tahan untuk tak mencibir.
"Nggak dapet duit salah, dapet juga salah. Maumu apa, sih?"
Tea mengibaskan tangan. J langsung menarik kabel power dari CPU, tentu saja berakibat Tea mencak-mencak. "Gue baru masuk, Njing!" Cewek itu membanting headset dan berdiri. Sejak kemarin emosinya diuji. "Hobi banget ngajak ribut!"
"Aku udah telanjur ambil job ini. Kamu tinggal cari dia, terus kirim minion buat jemput. Tiga puluh persennya buat kamu, deh."
"Biji mata lo tiga puluh! Gue yang kerja, kenapa lo yang dapet lebih banyak?"
"Oke, lima puluh."
"Sembilan puluh!"
"Kebangetan, Tea! Enam puluh!" protes J.
"Tujuh puluh. Ambil atau minggat dari sini! Lo gangguin gue main, Sialan!"
J mengangkat tangannya, menyerah. "Ya udah, tujuh puluh." Ia mendorong lagi map yang tadi ditolak. "Dua puluh empat jam dari sekarang harus ketemu."
Tea menggerutu saat membuka map. Awalnya, ia duga ini hanyalah kasus anak hilang biasa, apalagi usianya masih remaja. Mereka sedang melewati fase labil. Bukankah anak-anak orang kaya suka memberontak dengan cara mahal?
"Oh, shit!" Tea bergumam tanpa sadar setelah melihat foto-foto yang terlampir di bagian paling belakang.
J menajamkan pendengarannya. Umpatan Tea barusan terdengar agak tidak biasa.
"Ini anaknya?" Tea memutar foto agar J ikut melihatnya. "She's dead."
Ekspresi J lebih seperti bingung daripada kaget.
"Dia ada di pulaunya Hanafi. Looney yang bunuh."
"What the ...?" J bergumam. "Aku ketinggalan apa?"
"Waktu itu, lo lagi sibuk. Looney yang nemuin dia di gudang bahan peledak, lagi dilecehin." Tea mengoreksi. "Gue kira dia udah mati. Anak ini agak aneh. Sewaktu gue sama Looney ngira dia mati, dia hidup lagi!" Matanya membelalak karena teringat kejadian tersebut. "Abis itu, mereka berantem dan gue putusin komunikasi karena repot ngurusin lo. Terus waktu gue nyoba hubungin Looney lagi, frekuensi dia kacau. And the rest is history. Anak ini mati diledakkin Looney." Tea menempelkan foto Tarin di dada. "Rest in peace, Tarin."
"Telepon Looney sekarang. Konfirmasi ke dia." Rahang J mengeras.
***
Berhubung Looney belum ada waktu untuk beli sepeda baru, ojek online menjadi satu-satunya pilihan untuk bepergian. Sepulang sekolah, Tamara meminta bantuannya untuk menyetorkan sejumlah uang ke bank. Karena beberapa mesin ATM dekat rumah hanya bisa menerima setor tunai dalam jumlah tertentu, Looney harus ke bank dan mengantre. Sejam lagi, pelayanannya tutup.
Ia membetulkan ransel sekolah yang tersampir di salah satu pundaknya. Sebuah formulir penyetoran uang yang telah terisi digenggam di tangannya. Looney mendesah lega karena lokasinya mengantre persis di depan mesin pendingin ruangan. Cuaca di luar begitu terik. Buktinya, seragam sekolahnya basah kuyup di bagian punggung.
Antrean yang mengular perlahan terurai, lamban sekali. Looney sampai mengantuk. Kalau mungkin, ia ingin antre sambil rebahan di lantai. Sejak tadi, ia menerka-nerka seberapa sejuk permukaan lantai di bawah kakinya.
Dua laki-laki berjalan cepat memotong antrean teller. Beberapa orang di depan Looney sontak protes. Selang beberapa detik, mereka kompak tutup mulut.
Looney menjulurkan kepalanya agar bisa melihat apa yang terjadi. Maklum, tingginya tak genap 155 senti.
Oh, pantas saja. Yang memotong antrean tadi ternyata perampok. Mereka mengenakan topeng kumal. Perampoknya bukan hanya dua, lima orang lain sudah menyebar sambil mengacungkan senjata laras panjang. Dua di antaranya berdiri di atas dua petugas keamanan yang berbaring menelungkup di lantai, tangan berada di atas kepala.
Tak ada yang sempat menekan alarm atau menghubungi polisi.
"Tiarap!" seru salah seorang dari mereka.
Semua orang sontak melakukan apa yang disuruh tanpa terkecuali. Looney mencari tempat yang paling luas untuk rebahan. Tanpa bisa dicegah, ia menguap lebar. Sudut matanya berair karena menahan kantuk sejak tadi.
Suara tembakan terdengar cukup nyaring. Datangnya dari dalam kantor. Sepertinya jumlah mereka lebih banyak dari yang Looney lihat. Kelompok ini cukup terorganisasi karena sempat memikirkan rencana untuk menyandera seisi gedung.
Setelah itu, Looney tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ia terlelap begitu meletakkan kepalanya di atas lengan yang terlipat. Dugaannya benar. Lantai bank memang sejuk sekali.
***
Wicaksono telah menjadi petugas keamanan bank selama sepuluh tahun. Selama itu pula, dirinya belum pernah dihadapkan pada situasi mencekam seperti ini. Paling mentok dia hanya dibutuhkan saat ada nasabah yang cekcok dengan sesama nasabah atau mengamankan nasabah yang membuat keributan. Sekarang ia dilanda kepanikan. Segala protokol keselamatan menguap dari kepalanya.
Rekannya menatap dengan pipi menyentuh lantai. Wicaksono menggeleng. Ia sudah memutuskan. Mereka harus tenang selagi mencari celah kesempatan. Salah-salah bertindak, kepalanya bisa meledak, apalagi semua senjata mereka sudah dilucuti. Wicaksono curiga para perampok ini telah mengintai bank mereka cukup lama.
"Masukkin semuanya! Yang di peti juga!"
Teller yang dipilih untuk memudahkan perampokan mereka tampak gemetar karena moncong senjata menempel ke kepalanya. Gadis malang itu menangis ketika memindahkan bundel-bundel uang ke dalam tas hitam. Ruang kosong di dalamnya banyak yang belum terisi.
"Cepetan! Lambat bener!"
Rekan si perampok mengawasi dari belakang teller, memastikan tidak ada seorang pun yang menyalakan alarm. Gedung ini telah berada dalam kendali mereka.
Tangisan balita memecah keheningan yang mencekam. Sang ibu mencoba menenangkannya dengan cara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan.
"Kutembak kepalanya kalau nggak diam! Suruh diam!" Perampok itu tak main-main. Ia mengacungkan senjatanya, membuat ibunya histeris ketakutan. "Makanya, suruh diam!"
Jeritan si balita makin kencang.
Dor!
Kini, jeritannya dibarengi raung kesakitan sang ibu yang kakinya habis ditembak. Cairan pekat kemerahan seketika menggenang di bawah tubuh mereka.
"Suruh diam atau betulan kutembak kepala kalian!"
Amarah Wicaksono menggelegak. Korban jiwa akan berjatuhan kalau ia tak segera bertindak. Instingnya mengambil alih. Melawan akal sehat, Wicaksono memberanikan dirinya untuk bangkit.
Sebelum Wicaksono bergerak lebih jauh, sesuatu terbang membelah udara. Sebuah jangka stainless steel menancap di wajah sang perampok yang mengancam akan menembak balita. Kelihatannya menembus bola mata cukup dalam.
Semua moncong senjata otomatis mengarah pada remaja berseragam yang berdiri tak jauh dari air cooler. Rambutnya diikat ekor kuda dan ransel tergeletak di sebelah kakinya. Remaja itu berjongkok untuk menggulung buku paket Bahasa Indonesia tebal di tangannya.
"Aku nggak ngecek dia udah mati apa belum. Sewaktu gudangnya meledak, aku sibuk nyelametin diri." Ia sedang terlibat obrolan serius di telepon. "Yakin. Dia pasti udah tewas. Mana ada manusia biasa yang selamat dari ledakan segede itu? Kalau ada, pasti dia Thor, Loki, Superman, atau Supergirl karena dia cewek." Gadis itu mengangkat kepala. Ia menekan tombol loudspeaker sebelum meletakkan ponselnya di lantai.
"Kak, aku lagi sibuk. Tolong beresin CCTV yang tadi alamatnya aku sebutin. Hari ini, aku nggak make antipeluru. I might be dead soon," lanjutnya.
"Jangan ada yang mati! Denger nggak gue bilang?" Lawan bicaranya setengah memekik di seberang.
"Kurang ajar! Bosan hidup, hah? Matiin teleponnya atau kutembak kepalamu!" Perampok yang bertugas di teller mengecek keadaan temannya yang bersimbah darah.
"Bangsat!" semburnya marah. Rasa sakitnya tak dapat dibayangkan. Darah segar terus mengucur dari matanya. Ia berjalan mundur sampai punggungnya menabrak pilar.
"Lebai! Mati aja nggak," gerutu anak itu.
"Gue bisa denger lo!" Lawan bicara di telepon memutus sambungan setelah mengatakannya.
"Kamu udah telepon polisi—"
Bug!
Gagang senjata menghantam wajah Wicaksono. Itu hukumannya karena berani bicara.
Si remaja perempuan masih berdiri diam di tempatnya. Ekspresinya mengernyit sedikit saat mendengar pertanyaan itu.
Segalanya terjadi begitu cepat. Remaja itu dengan brutal menyerang satu per satu perampok yang menembakinya dari segala arah. Ya, memang segala arah. Remaja itu lincah sekali. Gulungan buku di tangannya digunakan sebagai senjata. Sekali pukul, satu-dua gigi beterbangan. Wicaksono membelalak ngeri ketika satu geraham penuh darah tergeletak di dekat tangannya.
Ia melongo takjub lantaran remaja itu tampak baik-baik saja, masih lincah dan gesit bermanuver. Padahal, empat orang perampok sudah jatuh ke lantai. Dua di antaranya tertembak di kaki dan paha oleh senjata mereka sendiri.
Brak!
Remaja itu menabrak partisi bilik customer service sehabis kena tonjok di wajah. Alih-alih menyerah, ia justru tertawa. Ia meludahkan darah segar ke lantai sambil menyeringai kesenangan. Bagian dalam pipinya pasti terluka.
Semua orang yang disandera menahan napas.
"Ada apa ini?" Pimpinan kelompok mereka keluar dari back office. Ia memerintahkan anak buahnya mengangkat senjata ketika dilihatnya beberapa anggota tumbang oleh seorang remaja bertubuh mungil. "Siapa kamu?"
Selagi semua perampok fokus pada remaja itu, Wicaksono mengambil kesempatan untuk memberi sinyal pada teller yang bersembunyi di balik meja agar menelepon polisi. Kemudian, Wicaksono memungut senjata api yang terlempar tak jauh darinya. Ia bangkit dengan gagah berani, mengacungkan senjata ke perampok bertopeng yang paling dekat.
"Angkat tangan!" serunya.
"Bodoh!" Looney bergumam. Ia mendadak sebal pada satpam yang sok pahlawan. Orang yang berlagak hanya akan mati konyol kemudian.
Benar saja, rentetan peluru langsung bersarang di tubuh si satpam malang. Peluru-peluru ditembakkan dari jauh oleh rombongan perampok yang baru muncul dari dalam kantor. Kesempatan itu digunakan Looney untuk bersembunyi di balik meja.
Tempat persembunyian yang Looney pilih sudah digunakan oleh tujuh orang sandera. Mereka semua ketakutan, apalagi setelah mengintip sang satpam telah gugur dalam tugasnya. Looney mundur. Ia melempar gulungan buku yang hancur karena tak bisa digunakan lagi.
"Ck! Kudu beli buku baru, deh," gerutunya pada diri sendiri.
Di kepalanya muncul peringatan Tea usai tadi ditelepon untuk menanyakan kabar seseorang bernama Tarin. Looney sempat memberi tahu tentang situasi yang terjadi saat ini, berharap Tea melenyapkan bukti CCTV bank.
Looney punya waktu lima belas menit sebelum polisi datang. Kantor polisi terdekat jaraknya lumayan jauh, ditambah kemacetan ... lima belas menit merupakan waktu estimasi tercepat. Tea-lah yang mengirim pihak berwajib karena mengira Looney membutuhkannya. CRT tidak berurusan dengan hal-hal minor semacam ini, jadi Tea berinisiatif menyelesaikan masalah perampokan sebelum Looney hilang akal dan membantai semuanya.
Selagi Looney melumpuhkan para perampok, Tea sibuk meretas CCTV gedung. J selalu mewanti-wantinya agar wajah mereka tidak muncul di berita. Kalau sampai itu terjadi, karier Looney bisa langsung tamat di CRT.
"Keluar dan tunjukkan dirimu!"
Looney tak mengindahkan perintah itu. Kepalanya sibuk membuat rencana untuk menumbangkan sembilan musuh yang tersisa dalam waktu kurang dari lima belas menit. Andai dia punya belati dan rantai mininya.
Ketika sedang berpikir, tanpa sengaja Looney bertemu pandang dengan salah satu sandera. Tangannya yang gemetar memegang ponsel, sedang merekam.
Looney menggeleng. Masih sempat-sempatnya memedulikan media sosial di saat nyawa berada di ujung tanduk.
"Tunjukkan dirimu! Siapa kamu sebenarnya?" Sang pimpinan perampok tak juga lelah menyuruh Looney keluar.
Merasa sedang tak ingin main-main, Looney memungut sebuah pena di bawah kaki meja. Ujungnya cukup tajam untuk dijadikan senjata. Memang tidak sebanding dengan senapan para lawannya, tetapi ini lebih baik daripada tidak sama sekali.
Jika diperhatikan, para perampok itu memilih senapan yang hampir serupa. Panjang larasnya tak genap lima puluh senti. Di pedalaman Thailand, senjata semacam itu digunakan teman-teman masa kecil Looney untuk berburu monyet. Si pemimpin menggunakan senjata yang lebih modern. Sedikit lebih mahal dari yang lain. Larasnya tak terlalu panjang, tetapi bobotnya lebih berat. Jenis AR-15.
Looney melemaskan bahu dan jari-jarinya.
Semua moncong senjata terarah padanya begitu keluar dari tempat persembunyian. Ia mengangkat kedua tangan ke atas, tanda menyerah. Pena yang diambilnya tadi sudah ia sembunyikan di dalam pergelangan baju seragam. Ini salah satu trik yang pernah diajarkan J.
"Aku nyerah, Om," ujar Looney lengkap dengan ekspresi ketakutan. "Aku cuma pengin pulang." Ia berusaha menangis, tetapi kelenjar air matanya tersumbat. Wajahnya malah jadi berkerut-kerut aneh.
Para perampok itu saling pandang. Mereka tak langsung percaya.
Sekilas, Looney tampak seperti remaja normal yang tak sampai hati membunuh lalat jika saja mereka tidak melihat sendiri bagaimana brutalnya anak itu. Seakan memiliki sensor khusus, Looney menghindari setiap peluru yang ditembakkan. Ia selalu lolos meskipun sedang melakukan pertarungan dalam jarak dekat.
"Geledah! Pasti dia menyembunyikan senjata."
Mengikuti perintah sang pemimpin, salah satu dari mereka maju menghampiri Looney.
Cewek itu menunggu dengan sabar. Begitu jarak mereka sejengkal, Looney menarik moncong senapan angin yang diacungkan padanya sebelum mengarahkannya ke samping, sekuat tenaga menghunjam leher lawannya menggunakan ujung pena. Dalam waktu sepersekian detik, senapan itu beralih ke tangannya dan kini memuntahkan peluru ke masing-masing lengan para perampok yang tersisa termasuk si pemimpin.
Begitu lawannya melepaskan senjata, Looney berjalan menghampiri si pemimpin karena sejak tadi dirinya menarget senapan semi-otomotis yang dinilai paling bagus. Ia perlu tahu siapa produsen senjata itu karena belum pernah mencobanya.
Looney merampas senapan tersebut setelah memelintir tangan pemiliknya. Kemudian, Looney menggunakan senjata itu untuk menembaki tangan dan kaki anak buah si pemimpin. Erangan kesakitan keluar bersamaan dengan munculnya aliran darah yang mengotori lantai.
"Okay, nobody dies." Looney mengangguk puas melihat hasil kerjanya. Tidak ada korban meninggal selain si satpam. Paling parah hanya patah tulang, leher berlubang, atau gegar otak. Mereka pasti pulih kalau segera ditangani dokter.
Ia mengamati senapan AR-15 di tangannya sebelum melepas kotak magasinnya, mempretelinya menjadi beberapa bagian, lalu melemparnya sembarangan bak mainan.
Kini, Looney memandang sekeliling. Selain erangan para korbannya, bank itu sunyi. Beberapa kepala mengintip dari tempat persembunyian mereka. Tak ada yang berani keluar.
Cewek itu lagi-lagi memilih si pemimpin untuk digeledah. Dugaannya benar. Ia menemukan pistol yang disembunyikan di balik jaket. Setelah mengecek amunisi dan mengokang pistol itu, Looney menggenggamnya.
"Nah ...," ia memandang para sandera, "yang merasa habis merekam, tolong ponselnya siniin. Kumpulin di tengah."
Semua orang masih mematung.
Dor!
Pekikan terdengar. Looney baru saja menembak lantai dekat tempat persembunyian terakhirnya. "Waktuku nggak banyak. Kamu yang pake baju putih, sini!"
Orang yang dimaksud merangkak mendekat, tetap menjaga jarak aman. Ponsel yang digunakan untuk merekam tadi didorongnya hingga meluncur ke arah Looney. Cewek itu langsung menembaknya sampai hancur, menimbulkan pekikan tertahan lain di sekeliling.
"Kalau kalian nggak mau jatuh korban lagi hari ini, sebaiknya kemarikan ponsel yang kalian pake buat ngerekam. Aku lagi nggak mood negosiasi."
Kompak meski takut-takut, beberapa orang mulai keluar dari persembunyian masing-masing untuk menyerahkan ponsel mereka pada Looney di dekat kakinya.
"Ini aja?"
Tak ada yang menjawab.
"Kalau nanti aku nemu videoku di internet, aku pasti tahu siapa yang harus kucari." Looney menyeringai lebar, mirip ekspresi tokoh jahat dalam film kartun.
Tiga orang menyusul untuk menyerahkan ponselnya.
Looney berjongkok untuk mengumpulkan semua benda elektronik itu. Ia memungut ranselnya dan mengeluarkan amplop cokelat tebal. Tumpukan ponsel yang terkumpul dimasukkan sekaligus ke dalam tasnya.
"Nih, isinya lima puluh juta. Buat kalian yang ponselnya kuambil." Looney bangkit seraya menendang amplop cokelat berisi uang milik Tamara. "Seandainya nggak cukup, kalian bisa inget jasaku yang nyelametin nyawa kalian. Kompensasi."
Tatapannya tertuju pada sepasang ibu dan balita yang tadi menjadi penyebab tidur siang dua menitnya terganggu. Sang ibu terisak dengan wajah pucat sambil memeluk balitanya erat-erat. Anak itu sudah berhenti menangis. Kini, ia menatap Looney dengan wajah kemerahan tanpa berkedip.
"Polisi akan datang sebentar lagi. Tolong jangan aduin aku, ya?" Ia melambai pada semua orang. "Take care all."
Sekali lagi, tak ada yang menjawab.
Looney mendesah pelan. Bukan karena orang-orang yang telah ia selamatkan tak tahu cara berterima kasih, tetapi karena ia harus mencari bank lain yang masih buka. Sebelum pergi ke bank, ia juga perlu mengambil simpanan uang tunai untuk mengganti uang Tamara yang telah dihamburkannya. Dia harus bergegas kalau mau sempat.
***
Looney menunduk dalam-dalam. Jika nekat mengangkat kepala, ia hanya akan menemukan dirinya ditatap J. Tatapan laki-laki itu tajam dan menusuk. Wajah yang biasanya tengil, kini dipasang datar. Menakutkan.
Tea sudah mendapatkan tiga puluh juta dari Looney usai menghapus rekaman CCTV bank. Kalau tahu bakal kehilangan delapan puluh juta, Looney tidak akan sudi menghajar para perampok itu. Lebih baik dia tidur-tiduran saja di lantai bank sampai perampokannya selesai. Ini semua gara-gara tangisan balita itu.
"Ada yang mau kamu katakan?" Nada J sedingin es.
Looney hanya bisa menggerakkan bibirnya. "Maaf."
"Maaf apa?" J melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyandarkan pinggul di tepi meja.
"Maaf karena aku ceroboh. Seharusnya kubiarin aja perampokan itu."
J mengangguk. "And?"
"And ...," Looney memaksa otaknya berpikir, "nggak ada yang mati, kok. Sumpah!" Setidaknya si satpam pemberani tewas bukan karena dirinya.
"Kamu ngebunuh calon target, Tarin."
Looney ber-oh ria. Ia kira J sedang mempermasalahkan kasus perampokan tadi siang. "Dia gugur dengan gagah berani. She really could fight. Kalau aku nggak ngeledakkin diri sendiri, mungkin aku bakal mati di tangannya."
"Dia sipil!" hardik J.
Looney terkesiap sedikit, tidak mengantisipasi. "Dia ngira aku musuh dan langsung nyerang."
"Secara teknis, kamu yang nyerang dia duluan." Tea menyahut dari seberang ruangan.
"Tapi, dia betulan bisa berkelahi! Tarin bukan sipil sembarangan. Badannya juga kuat. Ditusuk nggak mempan."
"Gara-gara kamu, kita kehilangan satu klien!" bidas J sengit.
"Uang mukanya nggak usah dibalikin aja, Jok. Itu upah informasi anaknya tewas. Jangan ngasih tahu kalau yang bunuh itu temen kita." Tea mencoba menengahi.
J memutar bola matanya. "Dia bakal nyuruh aku buat nyelidikin kematiannya."
Kini, Tea menggaruk kepalanya. Kemungkinan itu tak ia pikirkan sebelumnya. "Hilang satu klien, tumbuh seribu. Tolak aja. Susah amat!"
J tampak memikirkan ide itu. "Kamu punya kesalahan lain." Ia menunjuk Looney yang sejak tadi memandangnya. "Kamu melubangi leher seseorang, Looney. Sipil. Tahu apa akibatnya?"
Kedatangan Kapten dengan membanting pintu langsung menjawab pertanyaan J. Tak satu pun dari mereka yang terkejut seakan kedatangannya memang sudah dinantikan.
"Apa-apaan kalian ini?" Suara Kapten menggelegar. "Semua televisi nasional menayangkan berita tentang anak SMA yang membantai perampok!"
Looney mengangkat telunjuknya, minta izin interupsi. "Aku nggak ngebantai siapa-siapa, Kapten!"
"Kamu bikin enam orang dari mereka sekarat! Saya harus menjelaskan apa ke Phoenix?!" semprot Kapten. Begitu dengar berita tentang perampokan di bank, Kapten mengaitkan ciri-ciri remaja yang dimaksud dengan Looney. Remaja mana lagi yang begitu brutal menghadapi belasan perampok sendirian?
"Looney itu tanggung jawabku." J memutar bola mata. "Lagian, selama kamu tutup mulut tentang CRT, Phoenix nggak akan tahu." Ia memandang Kapten penuh arti, diam-diam menagih utang budinya setelah menyelamatkan nyawa Bagas di Rainbow Café dahulu. Jika dirinya dan Looney tidak membunuh Revita, mungkin saat ini riwayat Kapten sudah tamat. Sekali lagi, J adalah orang yang suka mengungkit kebaikan.
"Seharusnya kamu bisa ngawasin dia, J!"
"Well, aku bukan babysitter," balas J. Kelihatannya dia tak betah mempertahankan sikap dingin lama-lama. Diam-diam J ingin meniru kewibawaan Kapten agar Looney takut padanya.
"Aku juga nggak butuh babysitter," sahut Looney.
"And look what you've done! Tinggal nunggu waktu sampai semua orang menemukan identitasmu. Para polisi berupaya mengumpulkan keterangan dari saksi di TKP. Mereka semua menjelaskan ciri-ciri yang sama! Kasus ini akan diselidiki!"
Looney memilin ujung rok seragamnya.
"Kami menghapus semua rekaman CCTV. I'll take care of the rest." Lagi-lagi, J membelanya.
"Apa, sih, yang kamu pikirkan?" Kapten menunjuk Looney yang masih tertunduk lesu. "Mau sok jagoan? Mana masih pake seragam! Semua bisa lihat kamu sekolah di mana!"
Nah, hal itu luput dari rencana impulsif Looney. Ia baru sadar sejak tadi masih mengenakan seragam sekolah.
"Oh, come on! She'll be fine!" Tea mendongak dari baskom yang berisi tumpukan ponsel hasil rampasan. "Gue udah retas medsos orang-orang yang tadi ngerekam Looney plus hapus semua video yang kesimpen di ponsel mereka. Kalau ada video lain yang muncul di internet besok, bakal gue take down sebelum viral." Sambil menatap Looney, ia berkata, "Eh, Cil, tiga puluh juta kurang, nih. Ngerepotin banget! Tambahin lagi lima puluh. Besok duitnya kudu ada!"
Looney semakin ciut. Uang tabungannya bisa cepat ludes kalau begini. "Kak, jangan mahal-mahal, dong. Harga teman gitu. Uang jajanku nanti abis," cicitnya.
"Siapa suruh lo berlagak kayak pahlawan?"
Looney kembali menunduk dalam. Ish! Semua orang menyalahkannya. Yah, memang dirinya pantas disalahkan, sih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top