6 | OPEN FOR BUSINESS

MENGHARAPKAN grasi dari presiden alias Phoenix, lalu mengabdi agar dosa-dosanya diampuni tidak membuat J sepenuhnya tunduk. Istilahnya, dia ingin tampak jinak agar negara tak merasa terancam dengan keberadaannya. Menurut Phoenix, J bisa menjadi ancaman jika sedang ingin memainkan kartunya. Pasalnya, hampir semua orang yang duduk di parlemen saat ini pernah menjadi kliennya. Bisa dibilang dari situlah antrean musuh J bermula.

Berhubungan dengan klien yang tidak semuanya orang suci membuat J terlibat dengan banyak penjahat—jauh lebih jahat darinya. Alhasil, musuh para kliennya berakhir menjadi musuhnya juga. Mantan klien yang tiba-tiba berubah haluan ingin J mati juga banyak. Bukan masalah pihak-memihak, melainkan cara-cara yang digunakan J tidak selalu diterima. Membunuh, mengadu domba, dan mencuri hanya salah tiganya. Daftar musuh yang merasa dirugikan oleh J juga panjangnya bisa berkilo-kilo meter. Jumlah mereka mungkin sama banyaknya dengan jumlah hari dalam dua dekade J hidup.

Selama ini, J memang tak punya identitas resmi sehingga ketika nama Junaidi Hasan mendadak muncul di daftar calon penerima grasi presiden, tak ada satu pun yang curiga. Phoenix juga bukan orang yang ceroboh. Di mata orang-orang yang pernah berurusan dengan J, sosok Junaidi Hasan tak lebih dari kriminal kelas berat yang bertobat dan mengabdikan dirinya pada negara. Phoenix yang mengaturnya demikian. Selain Kepala BIN dan Kapten yang merupakan orang kepercayaan Phoenix, tak ada lagi yang tahu tentang keterkaitan mereka.

Sekali lagi, bekerja untuk BIN tak membuat J kehilangan jati diri. Bisnis gelap CRT masih dibuka secara diam-diam. J diberi tahu minion-nya kalau calon klien yang akan ditemuinya malam ini merupakan founder perusahaan start-up yang baru mendapatkan investasi tujuh miliar dolar Amerika. Codet mengatur pertemuan keduanya di coffee shop kecil di pinggir jalan. Tidak ada CCTV di sana maupun di jalanan sekitar sehingga J bersedia menunjukkan batang hidungnya.

Klien yang ia temui rupanya sudah menunggu di salah satu meja. Ia duduk membelakangi pintu masuk sesuai perintah Codet.

"Raditya Swasty?"

Sosok yang baru disebut J menoleh dan berdiri. Sikapnya canggung sehingga hampir menumpahkan segelas kopi di atas meja. Wajahnya berkeringat, mengakibatkan kacamata yang ia kenakan melorot. Untung saja Codet menyuruhnya duduk di dekat jendela sehingga tidak terlalu menarik perhatian.

"Anda J?" Lelaki itu usianya pasti tidak lebih dari awal tiga puluhan. Kulitnya agak gelap, khas peranakan India. Bulu dada mengintip sedikit dari balik kemejanya.

J tersenyum simpul. Mendapat konfirmasi kalau sosok yang ia hampiri merupakan calon kliennya, J segera menarik kursi agar duduk berhadapan dengannya.

"Kartu."

Raditya merogoh saku jinsnya demi mengeluarkan kartu yang menjadi tiketnya untuk berbisnis dengan J. Mendapat satu kartu itu saja sudah sulit dan mahal. Melalui kenalan dari kenalannya yang punya akses ke seorang agen misterius, Raditya membeli kartu hitam mengilap yang hanya bertuliskan huruf J di kedua sisinya seharga empat puluh juta rupiah. Ini belum termasuk biaya jasa pekerjaan yang akan dilakukannya. Satu kartu nama untuk satu kali pekerjaan.

J mengambil kartu di atas meja, membolak-baliknya dengan saksama sebelum memasukkannya ke saku celananya. Ia menyuruh Raditya kembali duduk. Gayanya kelewat santai.

"Apa benar Anda ini J?" Raditya mengulang pertanyaan yang belum dijawab. Ia merasa perlu memastikan mengingat penampilan J berbanding terbalik dengan apa yang ia pikirkan. Inisial J telah menjadi sosok yang selalu dikaitkan dengan hal-hal ekstrem. Maling profesional, terlibat sindikat perdagangan organ manusia, pembunuh bayaran ... sebutkan semuanya.

Lagi-lagi pertanyaan Raditya tidak dijawab. J langsung menodong, "Apa yang bisa kubantu?"

Raditya mendorong sebuah map. "Tolong carikan anak saya."

J meraih map itu dan mengeluarkan beberapa lembar foto.

"Namanya Tarin. Usianya enam belas. Saya kehilangan dia seminggu yang lalu," lanjut Raditya.

J membaca detail ciri-ciri putri Raditya yang isinya lebih mirip laporan visum. Mendetail.

"Jelaskan kronologinya," jawab J tanpa mengangkat kepalanya dari foto-foto. Wajah Tarin punya kemiripan sedikit dengan Raditya. Hanya saja, anak itu tak pernah tersenyum atau tertawa di depan kamera. Wajahnya selalu datar tanpa ekspresi, bahkan sorot matanya juga kosong.

"Seminggu yang lalu, saya dan anak saya pergi jalan-jalan ke kebun binatang. Kami berkeliling selama beberapa jam. Lalu, saya pergi sebentar untuk beli minuman, kemudian dia ... menghilang. Saya sudah meminta petugas keamanan untuk mengecek CCTV dan sebagainya. Tapi, Tarin seperti ditelan udara. Kami kehilangan jejak di kebun binatang itu."

"Polisi?"

Raditya menghela napas. "Tolong jangan libatkan mereka."

J mengangguk sekilas. "Punya musuh atau orang yang dicurigai?" Ia belum penasaran mengapa founder perusahaan unicorn tak ingin melibatkan pihak berwajib. Mungkin Raditya terbiasa menjaga privasinya.

Raditya butuh waktu berpikir yang cukup lama sampai akhirnya menggeleng.

J memasukkan kembali semua dokumen dan foto ke dalam map sebelum meletakkannya di atas meja. Tangannya dilipat di depan perut. Tatapannya terpaku pada wajah Raditya yang semakin berkeringat, padahal suhu di kafe ini cukup sejuk.

"Mendengar kronologinya, bisa disimpulin dua hal. Satu, putrimu menghilang karena diculik seseorang. Mungkin dia sedang dalam perjalanan dijual ke Cina atau ... dikurung untuk dipanen organnya."

Raditya terkesiap mendengar penjelasan J.

"Dua," J melanjutkan, "dia kabur."

"Tarin bukan seseorang yang bisa kabur begitu. Dia terikat dengan saya—"

J mengangkat satu tangan untuk menginterupsi Raditya. "Cuma kemungkinan." Ia menegakkan punggung agar bisa mencondongkan tubuhnya ke depan. "Nah, kembali ke bisnis. Kamu mampu bayar berapa?"

"Sebut saja harganya. Saya pasti mampu bayar."

Bibir J mengerucut sedikit, menimbang-nimbang. "Hm ... harga bitcoin lagi anjlok. Dalam beberapa bulan ke depan, prospeknya juga nggak bagus." Ia menggeleng. "Alternatif pembayaran yang bisa kuterima sekarang cuma uang tunai."

"Berapa tepatnya harga yang Anda inginkan?"

J melirik map. "Aku bisa temuin anak ini dalam waktu kurang dari tiga hari. Kasih aja uang muka." J mengedikkan sebelah bahu. "Sekitar dua ratus lima puluh?"

"Miliar?"

"Juta. Dua ratus lima puluh juta." J mendengkus pelan. Mentang-mentang habis dapat investasi sudah ngegas sebut miliar. "Pekerjaan melacak orang nggak terlalu rumit, tapi aku perlu wrap up the situation first. Butuh satu sampai dua hari sebelum mutusin apakah nilai itu cocok untuk pekerjaan ini."

Raditya mengangguk cepat. "Berapa pun, yang penting anak saya ketemu."

"Dia punya alergi atau semacamnya?"

"Ya. Dia alergi radiasi. Elektromagnetik, gamma, termal, neutron ... semuanys sudah saya tulis di catatan dalam map."

J mengernyit heran karena penjelasan Raditya. "Males baca. Selain radiasi?"

Menurutnya, alergi putri Raditya terdengar agak aneh. Namun, apalah J ini. Banyak hal yang tidak dia tahu. Sekolah saja tidak. Jika di telinganya terdengar ganjil, belum tentu bagi orang lain juga.

"Nggak ada. Cuma itu."

Lelaki itu mengangguk. "Tinggalkan nomor telepon di sini. Tolong siapin uang mukanya." J hampir yakin Raditya akan menawarkan jam tangan yang ia kenakan di tangan kirinya lantaran tak melihat Raditya membawa barang.

Di luar prediksi, Raditya malah menelepon seseorang. "Ambilkan tas hitam di mobil. Iya, semuanya." Hanya obrolan singkat. Tak sampai satu menit, telepon sudah ditutup.

Sejurus kemudian, muncul seorang laki-laki berkemeja dari pintu masuk sambil menenteng tas hitam. Mungkin ajudannya. "Ini, Pak." Lelaki itu meletakkan tas ke atas meja sebelum pamit.

"Ini." Raditya mendorong tasnya. "Isinya tiga ratus." Ia memberi lebih dari angka yang J sebutkan karena malas menghitung dan mengeluarkan selisihnya. Toh, lelaki itu juga tidak menolak.

J membuka tas, lalu mulai menghitung. Ia tak kelihatan buru-buru. Setiap bundel uang ditelitinya secara cermat. Sesekali ia mencuri lihat ke arah Patek Philippe yang melingkari pergelangan tangan Raditya. Itu jam tangan mahal. Di pasaran, harganya di atas tiga puluh ribu dolar dalam kondisi baru.

Raditya menuliskan nomor telepon pribadinya di tisu sebelum diserahkan pada J.

"Dalam dua hari akan kuhubungi untuk jelasin detail rencana yang kubuat." J bangkit seraya mengulurkan tangan kirinya. "Kidal." Ia tersenyum tipis, berharap Raditya maklum.

Kliennya mengangguk sembari menjabat tangan J dengan tangan kiri yang sama.

"Jangan khawatir. Anakmu pasti kutemuin." Ia menggenggam tangan Raditya agak erat, membuat sang founder berpikir J bersimpati padanya.

Lima menit setelah jabat tangan berakhir dan Raditya pergi dari coffee shop, J tiba-tiba tersenyum.

"Yang biasa, Bos?" tawar barista di balik meja konter.

J meletakkan jam tangan di sebelah tas uangnya seraya membalas, "Air putih aja. Yang dingin." Ia memandangi jam tangan itu dengan senyum tipis. "Hubungin Tea buat ngambil tas ini nanti."

"Oke, Bos."

J meraih jam tangan itu agar bisa disimpan di balik jaket kulit hitam yang ia kenakan. Sebaiknya kebiasaan mencuri ini segera dikurangi. Sebentar lagi, dia akan jadi seorang ayah. Mau sehebat apa pun kecepatan tangannya, mencuri bukanlah hal yang bisa dibanggakan pada sang anak di masa depan.

Namun, mau bagaimana lagi ... Patek Philippe termasuk merek jam tangan kesukaannya.

***

"Halo, Guys! Balik lagi sama Angkasa di sini."

Duk duk duk!

Tongkat putih Noir yang diketukkan ke lantai kayu menginterupsi intro Angkasa. "Balik lagi bagaimana maksud ko? Kan, ini video perdana."

Koreksi Noir memang betul. Semua temannya kompak mengangguk, bahkan yang sedang berulang tahun juga.

Untuk merayakan ulang tahun Timothy sekaligus debut perdana jadi vlogger, malam ini keempat anak itu berdandan habis-habisan. Rambut mohawk Noir masih tegak walaupun sudah berjam-jam sejak ia mengaplikasikan sebotol pomade. Angkasa dan Jagad kompak mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang yang dilengkapi dasi kupu-kupu. Rambut mereka disisir rapi belah pinggir. Timothy tak kalah keren. Katlyn memilihkan rompi tuksedo abu-abu, celana selutut berwarna sama, serta dasi kupu-kupu putih polkadot.

"Betul, tuh, kata Noir. Coba intronya pake perkenalan dulu. Satu-satu." Jagad, adik Angkasa, memosisikan teman-temannya berdiri berjajar sesuai usia. "Mulai dari Timmy."

Usia Timothy memang sudah dua belas tahun, tetapi mentalnya masih seperti anak usia delapan tahun. Dia terbiasa memanggil Angkasa dengan sebutan 'Kak' karena tubuhnya lebih tinggi tiga senti dari Timothy. Salahkan saja sindrom autis yang diderita sejak bayi plus sikap wajar yang ditunjukkan oleh orang di sekelilingnya. Hal itu membuat Timothy terbiasa menganggap dirinya seumuran Jagad. Inilah yang menjadi salah satu penyebab Katlyn tidak memasang lilin angka di atas kue ulang tahun Timothy. Katlyn hanya memasang lilin kecil sejumlah dua belas di atas kue black forest kegemaran Timothy, lalu menyuruh semua orang meniupnya bersama-sama seperti keinginan Timothy.

"Namaku Timmy." Timothy berkata ragu-ragu.

"Belum direkam, Timmy!" Angkasa buru-buru menekan tombol rekam pada ponselnya sebelum diarahkan pada Timothy. "Ayo, sekali lagi!"

"Namaku Timmy."

"Yang keras! Nggak kedengeran di kamera."

Jagad memukul lengan kakaknya. "Mana kedengaran kalau Kak Kasa terus yang ngomong? Biarin Timmy aja yang pegang!" Ia meraih ponsel baru di tangan Angkasa.

Angkasa menangkis tangan Jagad. "Jangan, nanti rusak dimarahin Ibu!"

"Kasih ke Timmy dulu biar dia yang ngomong. Suaranya, kan, kecil."

"Coba Noir dulu aja, deh!" Kini, Angkasa mengarahkan kamera ke depan muka Noir.

"Lho? Ya Timmy dululah! Kan, dia yang lagi ulang tahun!" Jagad tidak terima.

Kepala Noir dan Timothy kompak menoleh ke kiri dan kanan, menonton perdebatan dan adegan rebutan ponsel baru. Noir memang tidak bisa melihat, tetapi dari keributan yang didengarnya, ia menerka-nerka apa yang sedang terjadi.

Mendadak sosok Bu Ika muncul untuk melerai.

"Ribut teroosss! Sekali-kali rukun gitu nggak bisa?!" hardik ibu mereka. "Ayo rebutan lagi biar Ibu jual ponselnya!"

"Yah, jangan, dong, Bu!" Angkasa memeluk ponselnya erat-erat. "Kasa mau jadi youtuber!"

"Youtuber apaan?" Jagad mencibir. "Ngerekam video aja nggak becus!"

"Ya udah, coba kamu yang rekam sendiri! Awas aja kalau hasilnya nggak bagus!" Akhirnya, Angkasa menyerahkannya pada sang adik. Lebih baik begitu daripada ponselnya dijual oleh Ibu.

"Yang rukun mainnya! Awas kalau ribut lagi!" Pelototan Bu Ika menjadi motivasi mereka untuk berhenti berebut. Tak berapa lama, mereka jadi berempat lagi. Bu Ika sudah kembali ke ruang makan untuk mengobrol bersama Katlyn, Tamara, dan Pak Wishnu, papa Timothy.

"Ayo, cari tempat bagus!" Jagad yang kini memegang kendali, celingukan mencari tempat yang cocok untuk shooting. "Sekarang lagi viral yang hantu-hantu. Syuting di ruang bawah tanah, yuk! Kita rekam penampakan!"

"Nggak mau, ah! Kata Kak Tea, ada hantunya betulan!" Angkasa langsung menolak. "Sini-sini aja yang dekat."

"Kalau ada hantunya, tra mungkin Kak Tea betah tinggal di sana kemarin-kemarin, betul?" Noir buka suara.

"Betul," timpal Timothy pelan.

"Tiga lawan satu. Kak Kasa nurut kita aja napa, sih?! Ayo!" Jagad memimpin jalan menuju pintu ruang bawah tanah rumah Timothy yang dahulu dijadikan indekos mereka. Anak-anak itu hafal setiap koridor dan kamar-kamar tak berpenghuni yang tak boleh dimasuki. "Nggak dikunci, nih!" Ia tersenyum lebar mendapati pintu menuju bekas kamar Tea dapat dibuka dengan mudah.

"Nggak bawa senter?" tanya Angkasa.

Noir mengira pertanyaan itu ditujukan untuknya. "Sa tra perlu senter. Setiap hari mati lampu. Sama saja."

Jagad menyalakan fitur senter di ponsel Angkasa. "Intronya nyusul, deh. Kita syuting dulu. Oke, kamera ... action!" Padahal, ia sudah menekan tombol rekam sejak tadi. "Wah, Guys ... gelap, ya?"

"Iya," sahut Angkasa, Noir, dan Timothy bersamaan.

"Bukan kalian! Aku lagi ngomong sama penonton!"

"Ya, memang gelap, kok!"

"Capek sa dengar kalian ribut terus!" Noir melerai kakak beradik itu sebelum pecah pertengkaran lagi.

Mereka berempat menuruni anak tangga curam dengan hati-hati. Semakin ke bawah, kesunyian mulai menyelimuti. Hanya langkah kaki mereka saja yang terdengar setiap kali menginjak anak tangga yang berderit.

"Mana lampunya?" Di bawah, Angkasa mulai meraba-raba tembok untuk mencari sakelar. Tak ketemu.

"Sshhh ... denger nggak?"

Pertanyaan Jagad membuat mereka kompak berdempet-dempetan. Dalam keadaan gelap gulita begini, sosok misterius bisa saja muncul. Bulu kuduk mereka berdiri. Keheningan aneh ini tiba-tiba tidak mengenakkan lagi.

"Naik aja, yuk! Takut," bisik Timothy pada Noir.

Suara gemeresik yang asalnya tak jauh dari posisi mereka benar-benar mengejutkan. Tubuh anak-anak itu seketika menegang, apalagi saat gemeresik itu berganti dengan langkah kaki seseorang. Makin lama makin dekat.

"Hantuuu ....!"

Angkasa dan Jagad berlarian ke atas, meninggalkan Timothy yang kebingungan apakah harus mengejar atau menuntun Noir dulu.

"Aduh, kayaknya sa kencing di celana," gumam Noir putus asa. Wajahnya pucat pasi. Walaupun tidak dapat melihat langsung hantunya seseram apa, kengeriannya tetap bisa ia rasakan. "Sa ditinggalkah? Lupakah kalau sa ini buta?" Kepala Noir celingukan, mencari teman-temannya.

"Ayo, Noir. Pelan-pelan. Keburu hantunya nyusul." Timothy menggenggam tangan Noir, tetapi langsung ditepis.

"Eh, ko hantu apa manusia?"

"Ini Timmy."

"Ko nyamar jadi Timmy supaya bisa ajak sa ke neraka?" Noir makin ketakutan.

"Aku betulan Timmy."

"Tra ada hantu yang ngaku jadi hantu!"

Bunyi langkah kaki semakin dekat.

"Pada ngapain di sini?" Looney muncul dari kegelapan sambil mengarahkan senter ke wajahnya. Anak-anak itu berteriak serentak. "Heh, berisik!" hardik Looney.

Noir dan Timothy kompak tutup mulut.

"Ngapain gelap-gelapan di sini?"

"Kak Looney yang ngapain di sini?" Noir balik bertanya.

Looney menggiring kedua bocah itu menuju tangga. "Urusan orang gede! Balik ke atas, sana! Jangan main-main ke bawah lagi!"

"Pelan-pelan, Kak! Sa ini tra bisa melihat!"

"Pegang tanganku, Noir."

"Tra mau! Ko Timmy, 'kan?" Setahu Noir, ketiga temannya sudah kabur sejak tadi. Apakah sekarang hantu-hantu ini kompak menyamar menjadi Looney dan Timothy untuk menuntunnya ke neraka?

"Itu Timmy beneran." Looney mengonfirmasi.

Noir tak mendebat lagi. Dengan patuh, ia mengikuti arahan Timothy untuk meniti anak tangga. Langkahnya hati-hati. Looney hanya memandangi anak itu sampai menghilang di balik pintu.

"Udah ketemu belum baterainya?" Suara Tea memecah kesunyian ruang bawah tanah.

"Udah." Looney mendekatkan ponselnya ke depan mulut agar Tea dapat mendengar. "Ngomong-ngomong, aku nemu kotak es yang isinya jantung. Udah nggak bisa dipake. Kayaknya lupa dibawa Kak Maniak waktu pindahan dulu. Setengah busuk. Tadi hampir ketahuan anak-anak."

"Ngapain mereka turun segala, sih?"

"Nggak tahu. Uji nyali kali. Tadi aku lupa ngunci pintu waktu turun."

"Lo kasih tahu Maniak biar cepet nyingkirin itu jantung sebelum ketahuan Katlyn."

"Oke, Bos!"

Looney memutus sambungan telepon. Pekerjaannya selesai. Sewaktu makan malam tadi, Tea menghubunginya, minta dicarikan baterai untuk papan surfing J yang ketinggalan di ruang bawah tanah ini.

Ketika keluar dari rubanah, Looney memastikan pintunya kembali dikunci agar geng bocah nakal itu tidak iseng turun lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top