3 | PECUNDANG

LUNA mendengkur keras dengan kepala menggantung di tepi ranjang. Ia bukan pendengkur, hanya saja jadwal tidur yang berantakan akibat misi selama beberapa minggu terakhir membuat rasa lelahnya berkumpul jadi satu. Siapa saja rentan mengalami sleep apnea kalau sudah kelelahan seperti Luna.

Begitu pulang dari misi, ia naik ke kamarnya untuk segera mandi, mengobati luka bakar di punggungnya dengan bantuan Tamara, minum susu hangat, sikat gigi, kemudian tidur. Ia melewatkan makan malam karena kantuknya lebih dominan.

Ketika pagi menjelang, alarmnya berdering nyaring dan membuat cewek itu melompat bangun. Kedua matanya masih terpejam, tetapi kewaspadaannya meningkat. Menyadari dirinya sedang berada di ranjangnya, ia buru-buru mematikan alarm di nakas.

Ia meregangkan sendi lehernya. Salah tidur membuat ototnya kaku semua, apalagi dia harus tidur menelungkup semalaman agar tidak memperparah luka bakar di punggung dan pinggangnya. Luka itu memang tidak terlalu parah—sekali lagi, berkat lapisan pelindung—tetapi sakitnya tetap menyiksa. Ditambah, Luna habis mengalami mimpi buruk. Di mimpinya, Luna terjebak di gudang bahan peledak bersama Hanafi yang terus-menerus berkhotbah tentang surga dan neraka. Mungkin gara-gara sepanjang perjalanan di pesawat kemarin, Hanafi tak henti-hentinya mengoceh tentang bagaimana ia menjadi utusan Tuhan dan berapa banyak malaikat yang menjadi kenalannya.

Cewek itu turun dari ranjang untuk cuci muka dan sikat gigi. Ia meraih segelas air putih yang selalu disediakan Tamara di nakas. Luna mengganti piama unicorn-nya dengan sport bra kuning terang dan celana pendek ketat. Setelah menalikan sepatu dan mengikat rambut gaya ekor kuda, ia keluar kamar.

Lantai tiga ruko ini menjadi hadiah Tamara untuk dirinya seorang. Di luar kamar, terdapat perpaduan fasilitas gym dan dojo. Alat-alatnya tak terlalu banyak. Hanya ada satu treadmill, power tower untuk bergelantungan, samsak, wooden dummy untuk teman berkelahi, serta matras di tengah-tengah ruangan.

Porsi latihannya setiap hari menjaga kebugaran Luna di luar misi. Dengan begini, daya tahan tubuh dan ketangkasannya tak akan menurun meski tidak mendapat jatah misi. Latihan harian Luna biasanya dimulai pukul empat pagi seperti hari ini. Ia akan menghabiskan waktu dua jam sebelum pergi mandi, sarapan, lalu berangkat ke sekolah.

Ah, hari pertama sekolah. Luna merasa lebih bersemangat.

Sebagai pemanasan, ia melakukan peregangan ringan sebelum naik ke treadmill. Lima menit pertama, ia berjalan santai. Tiap lima menit berikutnya, Luna menambah kecepatan. Berlari di treadmill membantunya melatih pernapasan. Porsi lari ini akan dilanjutkan selama sejam ke depan tanpa istirahat.

Selesai dengan treadmill, Luna memilih rebahan di atas matras. Ia melakukan sit up seratus kali tanpa henti. Sesekali ia meninju udara, membiasakan otot-otot lengan dan beralih ke latihan berikutnya. Perih luka bakar akibat keringat sudah sepenuhnya diabaikan.

"Pagi ...." Raden Satria, laki-laki awal tiga puluhan yang menjadi kekasih Tamara, mendadak muncul di lantai tiga.

Tanpa sungkan, laki-laki itu menyeberangi ruangan lalu naik ke treadmill yang habis dipakai Luna. Sama sepertinya, Raden juga mengenakan baju olahraga berupa celana pendek dan kaus ketat yang memeluk tubuh tegapnya, membuat otot-otot perutnya tercetak jelas. Luna juga punya otot perut seperti itu walau tidak terlalu kentara.

Luna berhenti sit up. Cewek itu duduk sambil meletakkan kedua tangan di atas lututnya, terengah.

"Tante Tamara nggak bilang tentang peraturan dilarang naik ke lantai tiga?" Luna menyeka peluh di pelipisnya dengan telapak tangan. Semangatnya mendadak hilang dan berganti dengan perasaan dongkol.

"Bilang, kok." Raden sama sekali tak memandang Luna. "Tempat ini terlalu luas buat kamu pake sendiri. Berbagilah."

Luna mendengkus sebal. Membantah perkataan si pecundang itu hanya akan membuat waktu latihannya habis sia-sia. Lebih baik dia sampaikan saja pada tantenya. Papa pernah menyinggung selera Tamara yang kelewat buruk dalam memilih laki-laki. Hal itu diyakini sepenuhnya oleh Luna.

Di tahun pertamanya tinggal bersama Tamara, tantenya itu sedang menjalin hubungan dengan anak orang kaya bertemperamen buruk. Luna hampir membunuhnya setelah dia ketahuan memukuli Tamara. Tantenya itu mati-matian membela dengan alasan kalau kekasihnya sedang mabuk berat sehingga tak menyadari apa yang ia lakukan. Luna membuat laki-laki itu berjanji untuk tidak menemui Tamara lagi dan akhirnya diingkari. Hal yang kemudian dijadikan kesempatan bagi Luna untuk membuatnya sekarat di sebuah gang sempit. Cewek itu mengirimnya ke rumah sakit setelah memastikan kedua kaki kekasih Tamara lumpuh seumur hidup. Berhubung ayahnya adalah seorang pengacara terkenal, keributan yang dibuat Luna menjadi berita di televisi nasional. Mereka mencari sosok misterius yang telah menghancurkan masa depan putra tunggal si pengacara kondang. Di saat itulah J muncul dengan obat penghilang ingatan di tangannya, padahal Luna juga telah memastikan laki-laki itu mengalami amnesia berat setelah ia menghantam tengkoraknya dengan pemukul bisbol.

Singkat cerita, Tamara berhasil putus dengannya setelah keributan itu.

Pacar kedua Tamara merupakan pecandu narkoba. Luna berhasil melenyapkannya tanpa sepengetahuan Tamara. Hal itu berujung pada patah hati berminggu-minggu karena Tamara merasa dicampakkan.

Pacar ketiga dan terakhir ... ya ini. Si Raden Pecundang Satria. Laki-laki berlagak dewasa yang pengangguran, tidak berguna, vlogger yang memiliki tak lebih dari seribu subscribers, pelaku gaya hidup veganisme sekaligus parasit.

Luna tidak ada di sini saat Tamara mengajak Raden yang ia kenal secara singkat lewat aplikasi kencan untuk tinggal bersama karena laki-laki itu mengaku kehilangan pekerjaan dan rumah setelah habis-habisan ditipu orang. Luna sudah menyelidikinya, tentu saja. Ia meminta bantuan Tea. Nyatanya, Raden memang sosok pecundang sejak sebelum bertemu Tamara. Laki-laki itu menggantungkan hidup pada perempuan yang dikencaninya. Kedok ditipu hanyalah alasan agar bisa numpang hidup gratis. Si Pecundang bahkan tidak memiliki uang satu juta di semua rekeningnya jika digabungkan.

Wajah tampan, tubuh atletis, dan mulut manis menjadi modalnya. Nama Raden juga tidak membuktikan kalau dirinya punya warisan darah biru. Sepertinya dulu ia hanya beruntung karena orang tuanya asal comot nama yang terdengar ningrat. Biar keren dan terhormat, barangkali. Kebetulan selera Tamara juga payah. Ditipu mentah-mentah pun tak akan sadar karena sedang dimabuk cinta.

"Woah ... belajar bela diri di mana?"

Pertanyaan si Pecundang membuyarkan lamunan Luna. Sejak tadi, ia menganggap Raden tidak ada di sini sehingga bisa berkonsentrasi latihan bela diri melawan dummy.

Luna kembali mengabaikannya. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam. Ia harus bersiap-siap kalau tidak ingin terlambat.

"Luna sayang ...." Tamara naik ke lantai tiga dengan membawa sarapan Luna. Semangkuk besar sereal dan segelas susu hangat. "Hei, Baby, kok di sini?"

Tantenya itu baru menyadari kehadiran Raden. Ia melirik Luna, mendadak waswas. Kadang-kadang sifat penuh kejutan Luna membawa dampak buruk pada jantung dan mental Tamara. Bisa saja keponakannya itu mematahkan leher sang kekasih tanpa ribut-ribut.

Detik-detik penuh ketegangan—menurut Tamara—berakhir saat Luna berkata, "Aku mau mandi. Sarapannya taruh aja di meja makan, nanti aku ke bawah."

Luna menyeka keringat di sekujur leher dengan handuk kecil sebelum berlalu masuk ke dalam kamar dan berganti dengan seragam.

"Baby, lantai tiga ini nggak boleh dimasuki."

Dari balik pintu kamar, Luna dapat mendengar sayup-sayup suara Tamara menegur kekasihnya.

"Emangnya kenapa? Ini, kan, rumahmu. Lagian, ruangan seluas ini masa dipake dia sendiri?" Raden membantah dengan nada manja.

Luna ingin sekali muntah mendengarnya.

***

Luna ikut menyenandungkan lirik lagu My Little Pony dari airpod yang menempel di telinganya. Sekolah barunya itu berlokasi tidak jauh dari restoran Tamara, jadi ia hanya perlu naik sepeda sepuluh menit untuk sampai.

Luna menurunkan standar sepeda putih yang penuh stiker unicorn dan pelangi. Usianya sudah tujuh belas tahun, tapi kesukaannya terhadap kuda bertanduk dengan surai warna-warni tak pernah hilang. Di antara beberapa sepeda yang diparkir, milik Luna menjadi yang paling menarik perhatian.

Luna melepas airpod bersamaan dengan terdengarnya decit ban. Sebuah motor besar keluaran terbaru hampir saja menabrak Luna ketika pengemudinya ngerem mendadak demi bisa mengklaim ruang kosong di deretan sepeda. Selama sepersekian detik, Luna bergeming. Instingnya mengenal bahaya. Menurutnya, pecundang ceroboh mana pun yang sedang mengemudikan motor besar bersuara berisik itu tak akan mencelakainya.

Instingnya terbukti benar. Setelah ngerem mendadak, si pengemudi melanjutkan perjalanan mencari tempat parkir. Luna menyipitkan mata. J juga memilih motor sejenis itu untuk berkendara ke mana-mana. Apa semua pengendaranya arogan?

Cewek itu memutar tubuh karena baru ingat tasnya ketinggalan di keranjang sepeda. Ketika hendak mengambilnya, ia tak sengaja bertemu pandang dengan si pengemudi motor yang baru melepaskan helm. Ternyata pemiliknya merupakan senior yang paling ditakuti di sekolah. Namanya Brandon.

Brandon tergabung dalam grup Agit—kata tiga dibalik untuk menyebut senior kelas tiga yang didefinisikan sebagai penguasa sekolah—paling ditakuti sekaligus diidolakan. Luna kurang mengerti masalah agit-agit ini. Pergaulannya di kalangan anak seusianya boleh disebut amatir. Sering pindah-pindah sekolah menjadikan Luna sosok pelajar yang hanya tahu belajar dan minim bergaul.

Selagi Brandon melangkah menuju gedung sekolah, ia menyempatkan diri untuk menyenggol bahu Luna. "Buta!"

Hardikan kecil itu membuat momen Luna menikmati harumnya parfum Brandon buyar seketika. Dia menyalahkan Luna karena motornya tadi hampir menabraknya?

Luna mengasihani Brandon dalam hati. Masih muda, tetapi arogan. Sungguh menyia-nyiakan tampang cakep dan tubuh tingginya. Ransel disampirkan Brandon di satu pundak, khas bad boy yang sok keren. Untung wajahnya mendukung, jadi Luna tak akan protes.

Ngomong-ngomong tentang sekolah barunya, Luna didaftarkan ke sekolah swasta di mana anak-anak berparas oriental mendominasi populasi. Di sini, murid berpenampilan seperti Luna menjadi kaum minoritas. Luna tidak punya kulit seputih mereka, matanya tidak sipit, dan hidungnya tidak terlalu mancung. Ia hanya berharap bisa memperoleh teman tanpa kesulitan.

Ia dengar sekolah ini cukup bagus dan terkenal, sepadan dengan biaya sekolahnya yang mahal. Terbukti dari barisan mobil-mobil bagus di seantero lapangan parkir. Satu-satunya kendaraan alternatif selain mobil, ya motor atau sepeda.

Sebetulnya Luna resmi menjadi siswa SMA Pelita Nusantara sejak dua minggu lalu. Hari ini juga bukan hari pertamanya. Wali kelas sudah memberinya izin satu minggu untuk menjalani pemulihan pascaoperasi usus buntu, jadi sekarang ini hari pertamanya setelah seminggu tidak masuk.

Luna hafal setiap koridor yang dilaluinya. Langkahnya ringan, seringan perasaannya. Setelah melalui petualangan adrenalin selama beberapa hari di tempat antah berantah, ia mendapat semangat baru untuk menjalani hari di sekolah.

Sesampainya di kelas, Luna mengeluarkan semua buku tugasnya untuk dititipkan pada ketua kelas. Dengan begitu, nilai Luna selama absen di sekolah tidak akan buruk-buruk amat.

"Kamu udah sembuh, Lun?" Maya memandang Luna dengan ekspresi simpatik. Luna tersenyum lebar, memamerkan giginya yang berbaris rapi. Ia mengangguk sebagai jawaban. "Sebetulnya kami mau jenguk kamu, eh, ternyata kamunya udah masuk duluan," lanjut Maya.

"Keburu sembuh." Luna terkekeh sebelum kembali ke kursinya di bagian paling belakang.

Maya merupakan ketua kelas yang memang pantas jadi ketua. Cewek mungil bermata kecil itu sangat perhatian, tidak pilih-pilih teman, dan tentu saja rajin. Luna senang berteman dengan Maya gara-gara dirinya jadi tidak ketinggalan banyak pelajaran atas bantuannya. Maya rutin mengirimkannya catatan lewat surel agar Luna dapat mempelajari materi yang diberikan guru selama ia tidak masuk sekolah.

Seperti biasa, Luna mengeluarkan buku dan alat tulis yang berhubungan dengan mata pelajaran pertama. Ranselnya diletakkan di kursi sebelah. Kursi itu selalu kosong, jadi Luna merasa dirinya menguasai bangku belakang sendirian.

Tepat sebelum bel berdentang, murid baru masuk ke kelas. Cowok itu berjalan lurus menuju bangku paling belakang. Luna tak sempat mencegah ketika si anak baru memindahkan tasnya ke atas meja, lalu duduk di sebelahnya.

Saat itu barulah Luna sadar kalau kursi di sebelahnya sebenarnya berpenghuni.

"Hai," sapa Luna lebih dulu.

Cowok itu menoleh. Tidak ada seulas senyum pun yang ditunjukkannya. Dia cowok yang cantik. Bulu matanya lentik, bibirnya tipis kemerahan, tulang pipinya tinggi, dan alisnya begitu tebal dan rapi. Luna belum pernah melihat cowok cantik selain J sebelumnya.

"Namaku Luna." Ia mengulurkan tangan.

Cowok itu membalas uluran tangannya. "Tobias. Tobi."

Masih tanpa senyum, tetapi Luna merasa itu kemajuan daripada dicueki. Telapak tangan Tobias halus, berbanding terbalik dengan tangan Luna yang kasar karena tingginya intensitas latihan berat dan pemakaian belati. Ia sempat memperhatikan jari-jari Tobias yang lentik.

Aduh, cantik banget Tobi ini, puji Luna dalam hati.

Muncul sebersit rasa iri. Jika Tobias cewek, mungkin dia akan dicemburui seluruh siswi di sekolah. Biasanya wajah seperti Tobias ini punya banyak pengagum di media sosial.

"Kamu selebgram?" Luna memutuskan untuk bertanya saja.

Tobias menggeleng seraya merapikan sedikit rambutnya yang ikal. Ketika cowok itu mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas, Luna memperhatikan cincin hitam yang melingkari jari tengahnya. Mengira Tobias tak ingin bicara lagi, Luna kembali menghadap ke depan. Bu Guru sudah tiba di kelas.

"Kamu anak baru?"

Luna menoleh. Tobias mengajaknya bicara.

"Waktu aku pertama masuk, kamu nggak ada. Seminggu kemudian, aku operasi usus buntu jadi nggak masuk." Lancar betul bohongnya. Luna mengatakan itu semua tanpa berkedip, jantungnya juga berdegup stabil. Jika lebih banyak latihan, ia bisa menipu semahir J.

"Pantes." Tobias manggut-manggut. Cowok itu melipat kedua lengannya di atas meja. Tubuhnya agak membungkuk sambil menghadap Luna. "Aku juga nggak masuk seminggu pas kamu pindah ke sini." Berbanding terbalik dengan rautnya yang dingin, ternyata Tobias lumayan ramah.

Luna meniru sikap duduk Tobias, ikut menunduk sedikit agar obrolan mereka tidak didengar guru. "Kamu sakit juga?"

Tobias hanya mengangguk. Tiba-tiba ia menyeringai. Luna sampai terpana pada gurat ekspresi yang membuat wajah Tobias kelihatan berkali-kali lipat lebih menarik. Apa Luna sudah bilang kalau suara Tobias amat enak didengar bahkan ketika bicara sambil bisik-bisik begini?

***

Tobias mengekori Luna ke mana-mana. Ia menjelaskan ini-itu pada Luna, mengajaknya berkeliling sambil minum susu kotak rasa pisang saat jam istirahat pertama, dan mengobrol lebih banyak lagi di kelas. Luna merasa dirinya dan Tobias memang sudah ditakdirkan untuk bersama.

Yang tidak disadarinya, kedekatan mereka menjadi pemandangan asing di sekolah. Semua orang saling berbisik ketika Luna dan Tobias lewat. Luna masih belum terlalu menyadarinya karena Tobias cukup ahli dalam mengalihkan perhatian dengan obrolan seputar kegiatan ekstrakurikuler.

Lewat perkenalan singkat mereka hari itu, Luna jadi tahu Tobias sebetulnya penerima beasiswa. Setahun belakangan, beasiswanya dicabut lantaran sering tidak masuk sekolah sehingga berakibat pada skor kerajinannya. Setahu Luna, penerima beasiswa berasal dari golongan keluarga tak mampu tetapi berprestasi dalam bidang akademik. Jika beasiswanya dicabut, lalu bagaimana Tobias dapat melanjutkan sekolah di Pelita Nusantara yang terkenal mahal?

Bagi Luna, itu pertanyaan sensitif yang seharusnya tidak ditanyakan pada perkenalan pertama sehingga mengangguk saja.

"Ke kantin, yuk? Pengin makan bakso," ajak Luna tepat sedetik sebelum bel istirahat kedua berbunyi.

Tobias tampak enggan. "Nggak, deh."

"Kenapa? Kamu bawa bekal?"

Cowok itu menggeleng. Wajahnya masih ditekuk. "Males ketemu Agit."

"Agit?" Luna mengernyit. "Takut sama mereka?"

"Bukan takut. Males aja."

Luna menyenggol pelan lengannya. "Agit itu, kan, suka narget Utas, anak-anak kelas satu. Mereka nggak bakal ganggu anak kelas dua." Sejujurnya, Luna tidak tahu persis bagaimana mode operasi Agit di sekolah ini. Selama seminggu bersekolah kemarin, tak sekali pun dilihatnya anak kelas seangkatannya diganggu Agit. Wajar kalau Luna beranggapan semuanya bakal baik-baik saja. "Aku traktir, deh. Makan bakso sepuasmu."

"Serius?" Satu alis Tobias yang tebal dan bagus terangkat. "Tapi, janji jangan jauh-jauh, ya?"

Luna menangkap kepedulian dari nada Tobias barusan. Ia merasa terharu. "Iya. Yuk!"

Bagai sahabat lama, Luna mengaitkan lengannya tanpa ragu ke lengan Tobias, lagi-lagi tak menyadari tatapan aneh dari penghuni kelas yang kini terang-terangan memandangi mereka.

"Dulu, kamu dari sekolah mana?" tanya Tobias begitu keluar dari kelas.

"Terakhir Bina Bangsa, cuma bertahan beberapa bulan."

"Bina Bangsa? Sekolah Seni?" tanya Tobias. Anggukan Luna mengonfirmasi. Tobias berdecak kagum. "Wah! Dulu, aku pengin banget masuk situ, tapi mereka nggak nerima siswa baru jalur beasiswa. Uang gedungnya mahal banget."

Alasan Luna memilih Bina Bangsa waktu itu sebenarnya karena seragamnya bagus. Macamnya juga lebih banyak. Luna suka corak rok lipit dan warna outer seragamnya.

"Kamu suka seni apa?" tanya Luna.

Tobias menyeringai lebar, memamerkan sepasang lesung di kedua sudut bibirnya. Lagi-lagi, Luna terpana. Kalau begini, sih, Tobias jelas lebih cantik dari J.

"Aku suka ngegambar. Corat-coret aja. Doodling."

"Oh, ya? Boleh lihat hasilnya?" Mata Luna berbinar. Baru kali ini ia punya teman penyuka seni. Cewek itu sudah membayangkan kualitas dirinya jadi lebih ter-upgrade karena kenal Tobias setelah terlalu banyak bergaul dengan komplotan psiko sadis nan bodoh.

"Banci!" Seseorang mendengkuskan kata itu sekilas.

Luna menoleh, yakin tidak salah dengar. Tidak ada yang mencurigakan. Beberapa orang kedapatan memandangi dirinya dan Tobias, tetapi tidak seorang pun yang tampak seiseng itu untuk mengatai.

"Kenapa?" Tobias mengangkat alisnya. Satu lengannya memeluk pundak Luna, mencegahnya celingukan. Dalam sekali lihat, orang akan menganggap mereka sangat akrab.

Menyadari dirinya mungkin salah dengar, Luna kembali menatap ke depan. Kali ini telinganya dipasang lebih awas.

***

Luna menawarkan diri untuk membeli minuman selagi Tobias memesan bakso. Kini, ia sedang menunggu minuman pesanannya jadi. Satu cup reguler teh lemon untuk Tobias dan sekotak susu full cream dingin untuk dirinya sendiri. Luna mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari sakunya.

"Gede banget uangnya ...." Seorang Agit muncul di samping Luna, bersandar pada salah satu lemari pendingin sambil melipat tangan di depan dada. Namanya Kylie, anak IPS paling hit di sekolah karena kecantikannya. Selain pelajar, Kylie juga selebgram. Dia banyak menerima endorse produk perawatan kulit dan baju bermerek. Sayangnya, perawatan yang Kylie lakukan membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih tua dari usianya, terlampau dewasa.

"Ini kembaliannya."

Si penjaja kios hampir menyerahkan uang kembalian Luna ketika Kylie mengambil beberapa camilan dan dibagikan pada tiga dayang-dayangnya.

"Makasih traktirannya."

Selepas mengatakan itu, Kylie berlalu diikuti teman-temannya.

Si penjaja kios tampak serbasalah. Camilan yang diambil Kylie barusan jumlahnya cukup banyak. Kalau tidak ada yang membayar, dia jelas merugi.

"Kurangin aja, Bu." Luna menyunggingkan senyum kecil sembari menyedot susu full cream dingin di tangannya.

"Lain kali bawa uang pas aja, ya, Dek? Anak-anak itu matanya suka ijo kalau lihat pecahan duit besar kayak gini." Si penjaja memberi wejangan.

Sebagai respons, cewek itu hanya mengangguk. Tidak tampak benar-benar peduli.

Begitu kembali ke tempat Tobias menunggu, ia agak heran melihat meja mereka sudah dikelilingi para Agit cowok. Kylie dan gengnya duduk tak jauh dari mereka, mengamati sambil ngemil snack yang tadi dibeli pakai uang Luna.

"Tobi." Mengabaikan para Agit, Luna meletakkan teh lemon ke hadapan Tobias, menyela obrolan sepihak senior yang mengeliling temannya. Tobias terus menunduk, bahkan setelah Luna berdiri di hadapannya. "Itu punya kita?" tunjuk Luna pada semangkuk bakso yang sedang dimakan Brandon. Mangkuk yang satunya sudah ludes tak bersisa.

Anehnya, Tobias tak menjawab. Justru gerombolan Agit di meja mereka yang kini memandangi Luna. Para Agit itu berasal dari kelas yang berbeda-beda.

"Tobi," panggil Luna sekali lagi.

"Tobi ...." Brandon meniru ucapannya, lalu terkekeh. "Kamu anak baru yang tadi pagi ngehalangin jalanku, kan?"

Luna masih bergeming. Ia memperhatikan perubahan minor yang terjadi pada ekspresi Tobias. Mungkin hanya Luna yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini.

"Selain buta, kamu budek juga?" Nada bicara Brandon masih santai.

"Kenapa makan bakso orang?" Luna balik bertanya, kini memandang Brandon. "Nggak punya duit?"

Sejujurnya, Luna heran sekali dengan tingkah agit-agit ini. Dari luar, mereka terlihat seperti anak yang tak kekurangan uang. Lalu, kenapa merampas makanan yang bukan milik mereka?

"Tobi yang ngasih ke kita." Brandon mengalungkan lengannya ke pundak Tobias, menariknya mendekat sebagai gestur sok akrab. Teman sebangku Luna itu kelihatan kurang nyaman. Ia terus-menerus memalingkan wajahnya.

Luna mengangkat pergelangan tangannya di mana arloji bertali kuning terpasang. Jam istirahat akan berakhir sebentar lagi. Kalau meneruskan ini, perut mereka akan keroncongan sampai pulang sekolah nanti.

"Tobi, kita makan yang lain aja. Bentar lagi bel." Cewek itu mengambil kembali cup berembun yang berisi teh lemon.

Tobias ingin bangkit, tetapi lengan di atas pundaknya menahan.

Di lain pihak, Brandon masih terus memandang Luna tanpa berkedip. "Kayaknya kamu masih nggak ngerti sama situasi ini," ujarnya kemudian. "Di Pelita Nusantara, kami kenal istilah hierarki. Anak-anak kelas tiga wajib dihormati."

Luna lapar. Ia tak punya kesabaran untuk mendengarkan ocehan badut ini. Mengikuti keisengan yang tiba-tiba muncul di kepalanya, Luna memindahkan seluruh isi wadah sambal ke dalam mangkuk bakso yang belum dihabiskan oleh Brandon. Mendadak, ia ingin melihat ekspresi Brandon saat makan bakso penuh sambal. Apakah masih tetap sok keren begini?

Terdengar suara terkesiap. Tingkahnya barusan menjadi tontonan. Semua orang saling berbisik, bahkan Kylie dan gengnya ikutan mendekati meja mereka. Karena mereka Agit makanya bisa mendekat sesuka hati.

"Makanan nggak boleh dibuang-buang, loh." Luna mengaduk bakso dan sambal agar tercampur rata. Dirinya sedang baik hari ini. "Tuh, abisin!"

Brandon hanya memandangi bakso yang kini kuahnya menjelma jadi merah dengan banyak biji cabai. Rahangnya bergerak-gerak, tanda cowok itu sedang menahan kekesalan.

"Abisin."

"Apa?" tanya Luna.

"Makan baksonya sekarang juga. Abisin," ulang Brandon dingin.

Luna tersenyum lebar. "Oke." Ia maju selangkah untuk meraih mangkuk bakso hanya untuk ditumpahkan ke wajah Brandon.

Cowok itu melompat panik. Teman-temannya juga. Brandon memaki sambil berusaha membersihkan wajahnya. Semua Agit berdiri mengelilinginya, menawarkan air, tisu, atau apa saja untuk membuat Brandon merasa lebih baik. Cowok itu dituntun oleh teman-temannya ke toilet agar bisa membasuh muka.

"Tunggu apa lagi?"

Pertanyaan Brandon barusan memecah lamunan Luna.

"Ha?" Luna cengo. Ternyata Brandon masih di sini. Bakso di hadapannya juga masih utuh. Rupanya adegan tadi hanya imajinasi belaka.

Brandon mendorong mangkuk yang lebih mirip bakso rasa sambal saking merahnya. "Abisin baksonya!"

Penampakan biji cabainya membuat asam lambung Luna mendadak naik ke tenggorokan. Luna lahir dan besar di Thailand. Lidahnya terbiasa dengan masakan bercita rasa campuran asam, pedas, dan asin. Namun ini ... Luna belum pernah melihat biji cabai sebanyak ini.

"Cepetan!" Brandon menyuruh sekali lagi dengan nada mendesak.

Luna menelan ludah. Wah, bisa-bisa dia betulan kena usus buntu. Karma instan dibayar tunai akibat membohongi guru demi bolos sekolah.

Jika boleh jujur, Luna punya kecenderungan brutal kalau sedang gemas. Sebutan Looney disematkan padanya bukan tanpa alasan. Ia senang jika adrenalinnya terpacu, girang jika punya lawan yang boleh dibunuh, bersemangat menantang kematian, lalu merasa bangga jika berhasil lolos dari malaikat maut. Bergabung dengan CRT, ia merasa hidup. J memberinya wadah untuk menggeluti hobinya. Sekalipun Luna membuat kesalahan, J akan sigap membantunya lepas dari konsekuensi.

Tapi, tidak selamanya J ada di sisinya untuk membantu melenyapkan masalah. Jika Luna sedang berada di tengah masyarakat sipil, ia punya kewajiban untuk bertingkah normal. Kalau sampai ia menghilangkan nyawa seseorang di luar misi—seperti Brandon—J tak akan segan mem-blacklist Luna dari semua misi di masa depan. Ditambah, Tamara akan mengamuk dan mengadukannya pada Papa di Thailand. Luna suka tinggal di sini. Ia tak mau diseret pulang untuk menghabiskan masa mudanya di tengah-tengah ladang opium bersama kelompok kartel narkoba.

Setelah menimbang-nimbang, Luna mengurungkan niat untuk bersenang-senang. Lagi pula, apa enaknya membunuh rakyat sipil seperti Brandon? Mereka tak punya keahlian untuk melakukan perlawanan.

Ah, kenapa juga tadi dia sok ngide menuangkan semua sambal ke dalam bakso?

Sambil mendesah pelan, Luna menarik kursi di depan Brandon. Aroma cabai menusuk hidungnya. Tidak perlu dipertanyakan lagi isi mangkuk itu bakal sepedas apa.

"Lun, jangan!" Tobias menggeleng. Pupilnya melebar. Kalau saja dia tidak memiliki tukak lambung, mungkin dia akan menggantikan posisi Luna untuk menghabiskan bakso mercon itu.

Luna mengaduk sekali lagi bakso merah di hadapannya agar pedasnya makin merata. Dalam hati, Luna berharap bel tanda masuk segera berbunyi.

Tanpa ia sadari, kerumunan yang terbentuk di sekeliling meja mereka mengangkat kamera ponsel, siap merekam. Luna mulai menyendok. Sebiji bakso yang permukaannya berubah merah terang kini ada di depan mata. Ia menyuapkannya ke mulut tanpa ragu.

Yeah, not bad. Luna menyendok bakso kedua. Tak lupa ia menyeruput kuah bakso langsung dari mangkuk. Brandon memandangnya dengan ekspresi dingin. Sesekali seringaian kecilnya muncul saat Luna tak sengaja mendesis kepedasan. Penonton yang mengitari meja tak memberi semangat ataupun mencercanya. Mereka diam, menunggu reaksi Luna.

Rasanya seperti ada bara api yang meluncur turun ke perutnya. Wajah Luna mulai berkeringat. Ia menahan diri untuk tak mencari-cari minuman. Hal itu hanya akan membuat Brandon merasa lebih unggul darinya. Luna tak mau memberi cowok itu kepuasan.

Ia mengunyah pentol bakso, lalu tahu, siomai, dan mi. Mengabaikan sengatan yang menyebar di lidahnya, Luna menyeruput kuah sampai habis. Ketika isi mangkuknya tandas, tubuh Luna basah oleh keringat, wajahnya memerah, dan bibirnya ... astaga, jadi jontor! Menebal beberapa inci.

Luna mengambil tisu untuk mengeringkan wajahnya yang basah. Di saat yang sama, bel masuk berdentang. Brandon jadi orang pertama yang bangkit, baru disusul kroconya. Cowok mengesalkan itu tak mengatakan apa-apa selain menyeringai.

Begitu kantin bersih dari penonton, Luna melompat berdiri. "Hah ... pedaassss!"

Ia mengipasi lidahnya sendiri. Air liur menetes-netes ke lantai. Luna mirip anjing yang terengah-engah.

Tobias memborong banyak susu dari kios. Cowok itu memasang sedotan pada tiap-tiap kotak susu agar Luna dapat minum secepatnya. Diabaikannya fakta bahwa bel masuk sudah berbunyi sejak tadi dan mungkin Komite Pendisiplinan Sekolah sedang berkeliling mencari mangsa empuk untuk dihukum lantaran kepergok berkeliaran pada jam pelajaran.

Luna terengah dan mendesis sekaligus. Wajahnya masih merah. Ia menghabiskan beberapa kotak susu dalam hitungan detik. Selama perutnya belum kembung, ia tak berniat berhenti.

"Kayaknya abis ini kamu bakal diare, deh."

Tobias mengulurkan kotak susu yang baru dibukanya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top