11 | A BULLY

LUNA menggeram kesal. Ujung alisnya menyatu. Seharusnya ekspresi Luna saat ini seram, tetapi entah bagaimana Brandon malah terhibur. Ia berjalan mendekat hingga posisinya tepat di bawah jendela kecil tempat Luna mengintip.

"Waktu itu, aku kesurupan gara-gara makan makanan kamu. Kamu kasih apa, hah?"

"Nggak dikasih apa-apa!" Luna setengah berseru.

"Jangan bohong! Dokter bilang darahku ada kandungan alkaloidnya!" tuduh Brandon berapi-api. "Hal terakhir yang kumakan, ya, makanan dari kamu!"

"Makanan yang kamu rampas!" koreksi Luna. "Kalau emang gara-gara makananku, kenapa Tobi nggak kesurupan kayak kamu?"

"Alah, banyak omong!"

"Buka pintunya!" Kali ini, Luna benar-benar berseru. Ia menepis tangan Tobias yang setengah memaksanya turun dari posisi berbahaya karena cemas cewek itu bakal jatuh.

"Selamat nginep, ya?" Brandon melambai disertai senyum lebar. Tanpa mengindahkan seruan Luna, ia berlalu bersama teman-temannya.

Luna geregetan. Ia melompat turun dengan lincah, mengagetkan Tobias yang mencemaskan keselamatannya.

"Mereka minta dikasih pelajaran lagi," gerutunya keras-keras sambil menendang pintu.

Seandainya sedang tak bersama Tobias, Luna bisa saja keluar dari sini dengan membobol plafon atau menghancurkan pintu reyot ini lewat tendangan keras. Toh, gemboknya bukan kunci seharga ribuan dolar yang sulit dihancurkan.

Tobias mondar-mandir. Ponselnya sudah ia genggam di tangan, tampak agak ragu untuk menghubungi seseorang.

"Telepon pacar kamu biar bisa nolongin kita."

Ujung lidah Luna serasa habis disiram cuka menyebut kata pacar. Uh-oh, kelihatannya dia memang sedang jatuh cinta dan saat ini tengah cemburu. Namun, tunggu! Mengapa Luna tidak memikirkan silver lining-nya? Ia sedang terkunci bersama Tobias di gudang remang-remang.

Luna menahan seringaian agar tidak tampak bodoh di depan gebetan.

"Aduh, kok gelap, ya?" Ia mulai melancarkan usaha agar Tobias melihatnya sebagai cewek polos yang harus dilindungi. Siapa tahu orientasi seksual Tobias berubah.

Fisik Tobias lebih ramping dan tinggi daripada cowok seumurannya. Kalau sedang bersisian, Luna seperti semut di samping batang pohon. Tingginya tidak memberi keuntungan apa pun pada situasi mereka saat ini. Bukan berarti Luna ingin keluar cepat-cepat. Masalahnya, gudang pengap dan minim ventilasi membuat mereka kegerahan. Rambut hitam Tobias sampai basah oleh keringat.

Senyum Luna mendadak pudar ketika Tobias berjalan mondar-mandir. Ia sudah menghubungi seseorang.

"Iya, lurus aja. Nanti di koridor kanan, ada jalan buntu. Di sebelahnya ada pohon besar. Nah, iya aku di dalam. Pintu sebelah kiri yang digembok. Oke, makasih." Tobias menutup sambungan teleponnya, lalu memandang Luna. Ia tersenyum kecil. "Bantuan datang."

Cewek itu justru mendengkus. Mukanya masam.

Suara yang terdengar kemudian memicu respons tubuh Luna siaga. Ia mundur, tanpa sengaja menekan Tobias ke dinding. Pancaindranya waspada.

"Ada apa?"

Luna membekap mulut Tobias.

Pintu gudang terbuka bersamaan dengan Luna yang mengangkat potongan kayu. Siluet hitam berdiri menghalangi cahaya. Asap rokok mengepul di sekitar kepalanya. Di tangan sosok asing itu, Luna ragu-ragu mengidentifikasi revolver jenis apa yang habis dipakai untuk menghancurkan engsel gembok. Panjang larasnya sekitar tiga senti. Kecil, tetapi mematikan. Senjata genggam jenis itu tidak didukung peredam suara. Bunyi yang ditimbulkan tadi bisa mengejutkan warga kompleks yang tinggal di belakang sekolah.

"I-itu Justin, pacarku."

Wajah Tobias bersemu. Ia mengambil kayu yang diacungkan Luna agar diletakkan kembali ke tempat semula.

"Siapa yang ngunciin lo di gudang?" Suara pacar Tobias agak serak. Efek kebanyakan merokok, barangkali.

Tobias tak langsung menjawab. Ia menghampirinya dan menyuruhnya segera menyembunyikan revolver.

"Lun, kami duluan, ya? Nggak pa-pa, kan, aku tinggal?"

Cewek itu mengangguk singkat.

Tak berapa lama, keduanya pergi. Justin merengkuh pundak Tobias erat. Saat menoleh ke arah Luna, seringaian tipis tersungging di wajahnya. Cowok itu melambaikan tangan sekilas. Luna sempat melihat cincin hitam serupa milik Tobias melingkari jari tengahnya. Pasti cincin pasangan.

Belum seratus persen sembuh dari apa yang baru saja terjadi, perlahan Luna keluar dari gudang. Diperhatikannya engsel gembok yang ringsek. Lubang di pintu bekas peluru masih mengeluarkan asap tipis. Agak terburu, ia kembali ke dalam dan berjongkok mencari-cari sesuatu.

Lima belas menit mencari, ia menemukan lubang bekas peluru di bawah kaki meja. Luna mengulurkan tangan sejauh mungkin untuk meraih peluru agar bisa dibawa pulang.

***

Looney memutar kursinya seratus delapan puluh derajat hanya untuk diputar lagi ke arah sebaliknya. Kursi yang ia duduki berderit memecah keheningan warnet. Bunyinya tidak terlalu mengganggu konsentrasi Tea dalam mengamati peluru penyok di bawah kaca pembesar.

"Revolver, lo bilang?" tanya Tea tanpa mengangkat kepala.

Sepulang sekolah, Looney langsung pergi ke tempat kerja Tea untuk memastikan produsen senjata yang tadi digunakan Justin. Keributan yang dihasilkan sampai membuat beberapa anak Pramuka dan PMR yang sedang latihan jadi ketakutan.

"Jenis 38 S&W Short. Moncong pendek, 'kan?"

Looney mengangguk. "Pabrikan Amerika?"

"Revolvernya, iya. Pelurunya, bukan."

Cewek itu menegakkan tubuhnya dengan mata berbinar. "Custom?" Ia merasa mendapatkan titik terang tentang jati diri Justin.

Tea menggeleng sebagai jawaban. "Krotos Jerman."

Looney mendesah pelan. Ia kira peluru itu istimewa. Kalau buatan Krotos berarti tidak spesial lagi. Perusahaan yang dimaksud Tea merupakan salah satu produsen senjata terbesar di dunia yang saat ini sedang mengalami krisis kebangkrutan karena petingginya terlibat dalam usaha genosida lewat virus mematikan yang sengaja disebar. CRT berhasil menghentikan, tetapi tidak mendapatkan bayaran apa-apa. Yang ada justru J dipenjara akibat pengorbanan tidak perlunya.

"Hari ini, lo diserang siapa?" Tea kembali memasang headset dan melanjutkan permainannya.

"Bukan siapa-siapa."

"Lo nggak bisa ngibulin gue!" Mata Tea bergerak-gerak seirama dengan tekanan jari-jarinya di atas keyboard.

"Aku nggak bohong!" Kontras dengan apa yang ia katakan, ingatan Looney justru kembali pada kata-kata Tobias.

Pacarku, Justin.

Looney langsung menjambak rambutnya, berupaya mengenyahkan suara Tobias serta seringaian misterius Justin.

"Kalibernya bukan ukuran yang dibolehin buat dimiliki warga sipil."

Looney mengangkat kepalanya. "Emangnya Indonesia ngebolehin kepemilikan senjata api?"

Tea meliriknya sekilas. "Jenis revolver yang diizinin cuma kaliber ukuran 32, 25, atau 22. Syarat pengajuan kepemilikan juga ribet banget. Kalau senjata dipake buat hobi atau berburu, lo kudu ikut klub menembak dulu, dites kejiwaan, dan wawancara. Kalau dipake buat pertahanan diri, kudu izin ke Mabes Polri."

Di telinga Looney, penjelasan Tea terdengar amat merepotkan sampai membuatnya mengernyit.

"Kriminal profesional kayak kita harus ngerti undang-undang biar tahu cara bengkokkinnya. Tahu celah mana yang bisa dipake." Tea menjelaskan tanpa diminta. "Ngomong-ngomong, di sekolah baru nggak nemu gebetan? Umur lo udah waktunya buat ngerasain cinta monyet."

Peralihan topik yang begitu drastis membuat wajah Looney seketika memerah.

"Hilih!" Tea memekik. "Beneran ada yang ditaksir?" Ia rela menunda permainan demi mendapat konfirmasi.

"Nggak ada, kok!" Pipi Looney semakin merah. Jika mungkin, wajahnya bisa saja berasap. "Sebenarnya ... ada, sih." Ia berubah pikiran. "Tapi, dia udah punya pacar."

"Senior?"

"Temen sekelas. Cowoknya yang nembakkin peluru itu." Looney menunjuk peluru penyok di sebelah keyboard Tea.

Otak lawan bicaranya nge-lag beberapa detik. Begitu menyadari maksud Looney, Tea menutup mulutnya secara dramatis.

"Lo lesbi, Loon?" Pengakuan yang amat mengejutkan sekaligus mengharukan. Tidak banyak orang yang berani terbuka mengenai jati dirinya. Di usia semuda ini, Looney sudah mengetahui apa yang ia inginkan. Rasanya Tea bangga.

"Aku nggak suka cewek, Kak." Dahi Looney mengernyit karena keterlambatan berpikir sosok yang terkenal punya otak canggih. "Gebetanku ini cowok, tapi dia punya cowok."

Tea baru mengerti. "Oh, dia yang homo?"

Looney mengangguk.

"Wah, pelik, Loon. Mending lo mundur, deh. Tancap gas yang jauh. Dia nggak doyan sama lo."

"Gimana caranya bikin dia berubah orientasi, Kak? Apa aku harus operasi ganti kelamin biar dia mau lihat aku?"

Pletak!

Looney meringis karena tak sempat menghindar dari jitakan Tea. Kepalanya langsung cenat-cenut.

"Efeknya jangka panjang, ogeb!" semprot Tea. "Mau sekeras apa pun usaha lo, kalau dari sononya dia nggak doyan tet*k sama mem*k, nggak bakal bisa. Dia suka kont*l, titik!"

Telinga Looney mendadak geli mendengar Tea bicara.

"Mau ke mana?" tanya Tea ketika Looney berkemas. Peluru penyok dimasukkan ke saku seragam.

"Mau pulang. Tadi, Tante Tamara bilang hari ini geng bocil dititipin lagi ke rumah. Aku dimintain tolong buat bantu jaga mereka."

"Emangnya Bu Ninja sama Katlyn pada ke mana?"

"Belanja peralatan bayi. Bentar lagi, Kak Kat lahiran." Looney menyampirkan ransel di pundak. "Pulang dulu, Kak. Dadah!"

***

Tobias tidak masuk sekolah. Tidak ada pemberitahuan apakah dia izin sakit atau menghadiri acara keluarga. Dengar-dengar, Tobias memang terkenal sering absen. Hal tersebut membuat Luna merasa kesepian.

Pagi-pagi buta, ia menyusup ke sekolah dalam rangka membetulkan pintu gudang yang ditembak Justin kemarin. Dua daun pintu baru diantarkan oleh minion yang ia pinjam dari Tea. Harganya tak murah. Di antara anggota CRT memang hanya Luna yang belum punya minion alias pesuruh. Tak ada alasan khusus. Selama ini, pekerjaannya memang tidak pernah terlalu merepotkan sehingga bisa dikerjakan sendiri.

Harapannya untuk bertemu Tobias hari ini mendadak sirna. Suasana hati Luna semakin buruk sampai tiba waktunya bimbingan belajar.

Ia pergi bimbel dengan sepeda baru yang dibelikan oleh Tamara. Beruntung lokasi bimbelnya tidak jauh-jauh amat. Hanya butuh lima belas menit mengayuh sepeda.

Tamara bilang tempat bimbel itu merupakan yang terbaik se-Surabaya. Uang pendaftaran dan biaya bulanannya juga mahal. Kalau urusan pendidikan, Tamara selalu bermurah hati menggelontorkan uang. Selain modal restoran, biaya pendidikan Luna termasuk hal yang paling menguras kantong.

Sebetulnya Luna merasa bersalah. Materi selama dua jam mengikuti bimbingan belajar tidak ada yang masuk ke otaknya gara-gara memikirkan Tobias. Mungkin ini sebabnya pacaran tidak disarankan untuk anak sekolahan. Fokusnya bisa kacau balau. Tanpa sadar, Luna mendesah lesu di sebelah dispenser air dekat meja resepsionis.

"Minggir! Jangan ngalangin jalan!"

Luna menoleh karena suara familier di belakangnya. "Ngapain di sini?"

Brandon menunjuk tas selempangnya. Kelihatan berat. "Ngemis."

Itu sarkasme bukan, ya? Luna menggaruk pelipisnya.

"Minggir!" hardik Brandon lagi.

Kalau dilihat-lihat, posisi Luna memang menutup akses lalu lintas di koridor dan orang-orang yang berniat mengambil air di dispenser. Cewek itu buru-buru menyingkir.

"Kak, tunggu!" Luna menarik tali tas Brandon sampai cowok itu terjungkal ke belakang. "Eh, sori. Terlalu semangat!"

"Gila, ya?" Brandon mengusap-usap bokongnya yang nyeri. Ia bangkit sambil menahan emosi. Jika terang-terangan memberi pelajaran pada Luna di tempat ramai seperti ini, ia bakal dicap tukang rundung. Di lingkungan sekolah, sih, tidak apa-apa. Di tempat bimbel begini, Brandon punya karisma yang harus dipertahankan.

"Jangan sok akrab di sini atau di mana pun! Kalau nggak sengaja lihat, putar balik. Ngerti?" Brandon mewanti-wanti. Serius, wajahnya galak. Luna sampai heran mengapa Brandon bersikap antipati begini terhadapnya.

Belum sempat Luna merespons, Brandon sudah keburu pergi. Gertakan semacam itu tidak akan mempan bagi Luna. Yang ada dia justru berlari mengejar. Luna bertekad tak akan berhenti sebelum Brandon meminta maaf setelah mengunci Tobias dan dirinya kemarin.

Seolah tahu sedang dikejar Luna, langkah Brandon lebih tergesa. Kakinya yang panjang tidak membuat Luna berhenti menyusul. Alih-alih mengambil motornya di parkiran, cowok itu justru berbelok menuju jalan raya.

***

Semenjak Brandon menerima pesan aneh itu, ia tidak dapat konsentrasi belajar. Ujian akhir sudah dekat dan rata-rata nilainya tak juga membaik. Jika tak ada peningkatan, Papa akan mengirimnya ke Sekolah Pendeta.

Kembali pada pesan aneh tadi. Brandon jadi penasaran siapa pengirimnya.

Unknown

Ada barang bagus. Sebelah Apotek R24.

Itu apotek dekat lokasi bimbelnya. Dari mana orang ini tahu posisinya saat ini?

Brandon tentu saja punya kecurigaan. Dua tahun lalu, ia pernah iseng mencoba narkoba jenis sabu di pesta seorang teman. Dia terjerumus selama beberapa bulan sampai suatu hari ketahuan oleh orang tuanya. Segera saja dia dipukuli dan semua fasilitas dicabut. Ketergantungannya belum separah itu sehingga rehabilitasinya berjalan lancar.

Suara kecil dalam pikirannya otomatis mengarah ke sana saat nomor asing ini memberitahunya tentang barang bagus. Ia tidak akan terjerumus lagi. Ia ingin mengakhiri ini dengan mencari tahu orang yang mengirimkan pesan mencurigakan.

Di sebelah Apotek R24 merupakan gang lebar yang terisolasi. Gedung di sekitarnya kosong, selaras dengan kondisi apotek yang selalu sepi pengunjung. Di gang itu tak ada seorang pun yang menunggu.

Brandon mengecek sekeliling. Ide tentang pesan spam mulai bermunculan di kepalanya.

Seorang laki-laki berkaus hitam dan lengan dipenuhi tato datang dari arah depan. Lelaki itu membawa pistol di tangan kanan. Brandon sontak menelan ludah. Ia mundur untuk berbalik arah, tetapi tubuhnya langsung menabrak dada bidang seseorang. Tingginya hampir dua meter.

"Kamu Brandon?" tanya raksasa itu.

"Si-siapa kalian?"

Brandon terkepung. Tak kunjung mendapat jawaban, ia berusaha menghubungi bantuan. Sebelum jarinya menekan tombol panggil, pergelangan tangannya dicengkeram. Brandon berteriak kesakitan. Seakan belum cukup, kini ia merasakan sesuatu menekan pinggangnya. Moncong pistol.

"Siapa kalian?" tanya Brandon sembari meringis nyeri karena pergelangan tangannya hampir remuk seperti kondisi ponselnya yang jatuh ke tanah.

Hal selanjutnya hanya bisa ditonton Brandon dengan mulut separuh terbuka.

Derak tulang menjadi hal pertama yang terdengar sebelum raksasa itu tiba-tiba jatuh berlutut. Bunyi tembakan memekakkan gendang telinga Brandon ketika pistol di tangan si preman mendadak diarahkan ke atas oleh tangan mungil milik Luna. Preman itu bahkan tak sempat melawan saat Luna menendang wajahnya dengan lutut.

Sejurus kemudian, Luna membanting tubuh laki-laki yang besarnya dua kali lipat darinya ke tanah dengan gerakan berputar. Si raksasa yang masih berlutut dipukul Luna dengan gagang pistol yang ia rebut. Dalam hitungan detik, dua orang itu jatuh pingsan.

Tak selesai sampai di situ, Luna juga mempreteli pistol hasil rampasan dan melemparnya sembarangan seperti sampah. Semuanya dilakukan dalam kecepatan mengagumkan.

"Kamu belum minta maaf!"

Seolah dirinya tidak habis menjatuhkan dua laki-laki dewasa sekaligus, Luna mengentakkan kaki di depan Brandon yang melongo tak percaya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top