9 | ALLIANCE
KATLYN duduk tak tenang di sebelah Janesa yang sedang fokus mengemudi. Tujuannya ke mana, dia sudah tidak peduli lagi. Hatinya masih gelisah. Bunyi tabrakan yang dia timbulkan tadi terngiang-ngiang di kepalanya. Dia tidak percaya kalau dirinya senekat itu.
"Gimana kalau polisi ngelacak kita?" gumamnya.
"Probably. But it doesn't matter anymore."
"Gimana kalau ada saksi yang melihat kita?"
"Pasti udah diberesin sama yang lain."
Katlyn sontak menoleh. "Apa caramu membungkam saksi harus membuatku khawatir?"
Janesa mengedikkan bahu. "Paling gampang, ya dikasih obat penghilang ingatan. Kalau terpaksa aja baru di ... well, you know."
"Aku pembunuh." Sebulir air mata turun ke pipi Katlyn.
"Kitten, it was between us or them. Kalau kita nggak bunuh mereka, kita yang akan dibunuh lebih dulu." Janesa mendesah lelah. "Look, we have something more important to talk about."
"Apa?" Katlyn memandangnya. "Tentang di mana kamu mindahin papaku?"
"Nggak. Iya—maksudku, eventually we'll talk about it. Tapi, sekarang aku lebih tertarik bahas anak kita—"
"Anak itu sudah meninggal," sela Katlyn, tak dapat menghindari rasa mengiris di hatinya ketika menyebut anak yang tidak sempat dia besarkan.
"Laki-laki?" Janesa menoleh sekilas sebelum mengembalikan fokusnya pada jalan.
Katlyn ingin mengatakan sesuatu, tetapi batal.
"Kenapa bisa ... keguguran?" Janesa masih penasaran. Walau anak itu sudah lama meninggal, ia masih bisa merasakan adrenalin sekaligus kebahagiaan karena prospek menjadi seorang ayah.
"Hidupku berantakan, thanks to you. Aku harus menghidupi Timothy selagi beradaptasi dengan kehidupan baru, thanks again to you. Selama kesibukan itu, aku mengalami kelelahan kronis dan gizi buruk." Nadanya dingin sewaktu menjelaskan.
"Jadi, anak itu ... karena aku?" Janesa menunjuk dirinya. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Perasaan tidak menyenangkan yang ganjil.
Katlyn menghela napas berat. "Nggak tahu. Mungkin Tuhan nilai aku nggak siap untuk punya anak. Baguslah."
"Kok, bagus?"
"Dengan begitu, kita nggak punya ikatan apa-apa lagi. Kehadiran anak cuma bikin keadaan makin rumit." Katlyn membohongi hatinya sendiri. Ia ingat seberapa dalam dukanya ketika mendapati dirinya keguguran.
"Aku bapaknya, jadi aku punya hak nentuin nasibnya."
Katlyn tertawa getir. "Anak itu sudah lama pergi, Janesa. Apa lagi yang mau kamu ributin?" Kemudian, nadanya terdengar gusar. "Kenapa bahas ini, sih?"
Untungnya Janesa tak ingin memperpanjang topik itu. Katlyn memeriksa ponselnya hanya untuk mendapati puluhan panggilan tak terjawab dari Baron. Bosnya pasti kesal karena Katlyn tiba-tiba susah dihubungi, padahal sudah bersedia menerima job. Anehnya, hal tersebut tak membuatnya merasa bersalah. Satu-satunya hal yang membebaninya saat ini adalah keselamatan dirinya dan Timothy.
"Apa aku harus pindah rumah? Sekarang, Krotos udah tahu di mana aku tinggal."
Janesa mengangguk. "Tadinya aku mau nyaranin buat tinggal bareng."
Dahi Katlyn berkerut dalam. "With you?" Ia hampir tertawa. Berani-beraninya Janesa menawarkan hal absurd.
"Tapi, tinggal di rumah itu sebenarnya cukup aman. Krotos nggak akan menyerang kalau kamu tinggal di antara banyak warga sipil. Skenario paling memungkinkan, kamu diculik waktu pulang dari wahana. Lebih baik kamu resign, deh! Toh, gajinya nggak banyak-banyak amat, 'kan?"
"Lalu, tadi itu apa?" Katlyn tersenyum getir. "Mereka menyerang kita di tengah jalan umum. Kebetulan aja lagi sepi, tapi aku skeptis suara tembakannya nggak didengar orang. Pasti besok beritanya masuk televisi," gumamnya.
"Orang-orang tadi lumayan nekat."
"Ada yang belum kamu kasih tahu?" Katlyn menatap Janesa lamat-lamat. "Kenapa mereka nekat menyerang kita di sana?"
"Aku juga nggak tahu."
Katlyn menjambak rambutnya sendiri agar nyeri di kepalanya hilang.
"Hey!" Janesa menahan satu pergelangan tangannya. "Kalau ini bikin kamu lebih baik, aku akan bawa kamu ketemu papamu besok atau lusa. Aku janji."
Katlyn memperhatikan tato salib kecil di setiap buku-buku jari Janesa sebelum menepisnya dengan kasar. Dulu, dia belum punya tato itu. Katlyn juga tak detail mengabsen setiap tato di atas permukaan kulit Janesa. Lagi pula, lelaki yang sekarang dikenalnya itu bukan sosok yang dekat dengan kata religius. Katlyn menganggap ironi tato-tato kecil itu. Sungguh sia-sia sekali keberadaannya.
"Kita mau ke mana?"
"Muter-muter sebentar. Habis itu, aku antar kamu pulang."
"Kenapa harus muter-muter dulu?"
Janesa berdecak. "Kamu ini banyak nanya."
Katlyn sudah lelah secara fisik maupun emosional. Berada di sekitar Janesa membuatnya mempertanyakan kewarasannya sendiri. Tiba-tiba ia tertawa keras. Suaranya amat sumbang.
Iya, Katlyn mulai merasa tak waras.
***
Sudah lima menit lamanya Katlyn berdiri di depan pintu ruangan Baron. Maksud hati ingin mengetuk, tetapi keberaniannya tak mendukung. Ia tak ingin dipecat karena dianggap lalai dalam tugas. Bagaimanapun, Katlyn bersalah sepenuhnya karena tidak memenuhi janjinya untuk mengisi acara di Hotel Antoinette semalam.
Tangan Katlyn terulur ke depan untuk mengetuk ketika pintu ruangan dibuka dari dalam.
"Kat?" Baron mengernyit heran melihat Katlyn berdiri di depan pintu dengan wajah pucat. "Kamu sakit?" Bosnya itu menyentuh dahi Katlyn yang tidak demam.
Katlyn buru-buru menggeleng. "Sa-saya mau minta maaf, Pak." Ia terbata-bata.
Baron melipat lengannya di depan dada, menunggu Katlyn menyelesaikan kalimatnya.
"Se-semalam adik saya sakit, dan saya panik. Ja-jadi—"
Baron menghela napas panjang. "It's okay."
Katlyn tak memercayai pendengarannya. Kebohongan tadi belum selesai, lho.
"Sejak awal, saya juga nggak yakin kamu bisa. Besoknya kamu masih ada jadwal show, 'kan?"
"I-iya, ini juga saya baru selesai langsung ke sini." Kalau untuk masalah ini, Katlyn tak bohong. Rambutnya masih basah saat bergegas menghadap Baron.
"Saya udah ngontak Yesi buat nemenin Wenda ngisi acara."
Katlyn menunduk, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa bersalah sekaligus malu.
"Minimal kamu ngabarin saya semalam. Saya khawatir sekali." Baron menepuk-nepuk pundaknya lembut. "Lain kali, kirimin saya pesan kalau terjadi sesuatu."
Katlyn mengangguk patuh. "Maaf, Pak. Saya nggak bermaksud nyusahin Pak Baron tadi malam."
"Nggak apa-apa. Kamu udah makan siang?"
Katlyn menggeleng seraya mengangkat kepala.
Baron memeriksa jam di pergelangan tangan. "Saya juga belum. Bareng?"
"Nggak, deh, Pak. Nggak enak sama yang lain."
Baron menghela napas lagi. "Kamu ini benar-benar, deh. Saya ngajak kamu makan siang, bukan ngajak nikah! Udahlah, ayo!" Ia setengah menyeret Katlyn agar mau mengikutinya.
Perjalanan menuju lokasi tempat makan lebih jauh dari perkiraan Katlyn. Hatinya serbasalah. Ingin menolak, tetapi sungkan. Untungnya tak ada yang melihat mereka naik kendaraan bersama dari Seaworld.
"Saya dapat rekomendasi tempat ini dari teman-teman saya. Katanya, makanan di sini enak-enak. Saya ngajak kamu buat nyoba biar ada temennya." Mereka berdua turun di depan sebuah kafe ramai yang kelihatan masih baru.
Rainbow Café.
Katlyn langsung bersemangat saat membaca papan namanya. "Temen saya ada yang kerja di sini." Ia tak sabar memberi kejutan pada Bu Ika, teman serumahnya.
"Berarti saya nggak salah, dong, bawa kamu ke sini?"
Katlyn hanya tertawa kecil. Ia mempersilakan bosnya berjalan lebih dulu. Tanpa diduga, Baron justru membukakan pintu untuknya. Wajah Katlyn langsung merona. Ia tak pernah diperlakukan sesopan ini oleh orang lain. Janesa tidak masuk hitungan. Namanya sudah mendarat di daftar hitam karena semua yang dilakukannya hanyalah modus semata.
"Selamat dat—" Tasya mengangkat kepala. Matanya mengerjap dengan mulut separuh terbuka karena melihat pengunjung yang baru datang. "Hai, Kat!" Wajah bingungnya langsung berganti dengan ekspresi ceria. Ia mengecek ponsel sekilas.
"Kamu kerja di sini juga?" Raut wajah Katlyn makin semringah.
Tasya memamerkan deretan giginya yang berbaris rapi. "Well, kayak yang lo lihat. Bu Ika di dapur. Mau gue panggilin?"
Katlyn buru-buru menggeleng. "Aku nggak bermaksud gangguin kalian kerja. Mau langsung makan aja soalnya aku dateng bareng Pak Bos." Dia agak berbisik.
"Rame banget. Apa masih ada tempat?" Baron melihat sekeliling. Dia tidak menyangka interiornya akan secerah ini. Dinding dicat tabrak warna hingga menyilaukan mata. Selain mereka, tempat ini didominasi oleh anak-anak SMA yang baru pulang sekolah.
Tasya sigap memimpin jalan menuju bilik dengan tanda 'no smoking area'. Tempatnya hanya cukup diduduki empat orang. Karena punya sistem penyejuk ruangan khusus, bilik ini bisa dikatakan sebagai meja VIP.
"Wah, bener boleh duduk di sini?" Katlyn merasa tak enak, khawatir Tasya terpaksa memperlakukannya dengan istimewa.
"Kalau duduk di luar berisik, Kat." Tasya menyerahkan buku menu.
"Saya pesan apa aja yang jadi rekomendasi di sini." Baron mengembalikan buku menu pada Tasya tanpa membukanya sama sekali. Entah karena yakin akan rekomendasi teman-temannya atau cukup percaya pada teman Katlyn.
Tasya suka pelanggan yang pasrah begini. Ia langsung mengangkat jempol, lalu pergi untuk menyiapkan pesanan.
Katlyn memperhatikan sekeliling. Ia menahan tawa karena interior tabrak warna pelangi di dalam kafe. Sesuai dengan namanya. Langit-langitnya punya banyak gantungan miniatur unicorn terbang, mengingatkannya pada Luna. Banyak tanaman hias yang disebar di sudut-sudut kafe. Musik yang diputar juga menyenangkan, ramah di telinga semua kalangan.
"Jadi, itu temen kamu?"
Pertanyaan Baron membuat fokus Katlyn kembali pada bosnya. "Yang tadi itu namanya Tasya. Dia temen satu kosan saya." Katlyn tersenyum. "Koki di sini juga. Namanya Bu Ika. Masakannya enak banget."
"Memangnya indekos kamu di mana?"
"Nggak jauh, kok, dari High Bay. Bangunan lama zaman kolonial. Satu rumah ada sepuluh kamar. Yang tinggal di sana baru sedikit. Mungkin karena bangunannya kurang menarik."
"Kalau lagi libur, saya suka motret bangunan-bangunan bersejarah."
Pupil Katlyn melebar. "Serius? Boleh lihat hasilnya?"
Baron mengangguk sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia membuka media sosial untuk menunjukkan hasil jepretannya pada Katlyn.
Katlyn terkesima dengan hasil karya Baron. Ia tidak menyangka kalau bosnya ini punya bakat fotografi.
"Keren!" Matanya berbinar saat memandang Baron. "Bangunan indekos saya pasti hasilnya bisa sebagus ini kalau Pak Baron yang motret!"
Baron agak tersipu. "Masih amatir. Cuma hobi, kok."
"Ini, sih, bakat namanya, Pak."
Tak sampai lima menit, Tasya datang lagi dengan baki penuh makanan. Ia meletakkan dua gelas minuman di atas meja disusul piring-piring makanan.
"Kok cepet?" Katlyn memandangi makanan yang tersaji di depannya.
"Kami karyawan yang cekatan dan multitalenta. Bikin beginian doang pasti cepetlah! Semoga kalian suka sama rekomendasinya. Tekan bel kalau butuh apa-apa." Tasya menunjuk bel kecil di dekat pintu bilik. Ia berpamitan sebelum menutup pintu untuk membiarkan dua pelanggan istimewanya menikmati makan siang mereka.
"Baunya enak." Belum apa-apa, perut Baron sudah keroncongan karena mencium aroma masakannya. Ia segera mencicipi. "Kalau bukan karena kamu, saya nggak akan duduk di meja VIP dan nyobain makanan seenak ini."
Katlyn tersenyum lebar sembari menyendok makanan dari piringnya sendiri. Baron tidak berlebihan, makanan ini memang enak.
"Temen-temen Bapak emang nggak salah ngasih—"
Katlyn terkejut bukan main lantaran mendadak kepala Baron jatuh di atas piring lasagna. Bosnya itu tak sadarkan diri seketika.
"Pak?" Katlyn mengguncang bahu Baron. Ia mulai panik. "Bapak kenapa?" Guncangan Katlyn makin keras karena Baron tak juga bangun.
Mendadak pintu bilik dibuka dari luar. Janesa bersandar di ambang pintu dengan gaya tengil dan wajah datar. Lelaki itu mengenakan apron merah muda di depan kaus hitamnya sembari memeluk baki kayu seperti yang dibawa Tasya tadi.
"Sweet. I can't take it, so I wanna puke." Janesa mendengkus.
Katlyn menelan ludah karena sindiran barusan.
Janesa mengamati Katlyn yang masih belum sembuh dari syok karena bertemu dengannya di sini. Puas memandangi Katlyn, ia beralih pada Baron yang masih mendengkur di atas piring berisi lasagna. Wajahnya belepotan saus.
"Kenapa bawa dia kemari?" tunjuk Janesa pada Baron dengan dagunya.
Katlyn terlalu terkejut untuk berkata-kata. Sebenarnya dia bingung. Kehadiran Janesa dengan apron merah muda di kafe ini tak pernah terlintas sekali pun dalam benaknya. "Kamu nguntit aku ke mana-mana?" tanyanya.
Janesa tidak menjawab. Ia sibuk meredakan perasaan cemburu di hatinya.
"Jangan makan sama cowok lain!" kata Janesa dengan setengah bergumam.
"Dia bosku. Lagi pula, kamu nggak ada hak buat larang-larang aku pergi makan sama siapa!"
Janesa menegakkan tubuhnya. "Biar kubalik. Kalau aku pergi makan siang sama cewek lain, kamu keberatan nggak?" tanyanya menantang.
"Persetan! Aku nggak peduli!" Katlyn menjawab, setengah menghardik. Ia berkata terus terang. Katlyn memang tidak peduli Janesa mau makan dengan siapa.
Janesa menggaruk pelipisnya. Ia akui telah salah melempar pertanyaan.
"Bangunin bosku!" Katlyn setengah berseru.
"Atau apa?" Janesa masih dengan raut menantang.
"Atau ...," Katlyn melihat sekeliling, "atau aku buat keributan di sini! Akan kubilang kalau kamu pembunuh, perampok, dan psikopat!"
"Aw, Katlyn!" Kedua ujung bibir Janesa menekuk ke bawah. Ia memegangi dadanya dengan wajah sedih. "Kamu bikin aku tersinggung. Hatiku rapuh, tahu!"
"Janesa!" Kedua bahu Katlyn merosot putus asa. "Aku nggak main-main!"
"Aku juga!" Janesa meniru ekspresi Katlyn, lengkap dengan kedua bahu yang merosot.
Mendadak kepala Tasya muncul dari balik lengan Janesa. "Kalau masih bikin pengunjung dan karyawan lain ngerasa nggak nyaman, sebaiknya Anda segera pergi dari kafe ini!" Ia memandang lelaki itu dengan mata menyipit.
Janesa menunjuk dirinya sendiri. "Ngusir aku? Nggak salah?"
Tasya mengangkat satu telunjuknya di depan wajah Janesa. "Cewek nggak pernah salah."
"Kalian saling kenal?" Katlyn memandang mereka secara bergantian.
"Dia pelayan." Tasya menyahut seraya tersenyum.
"Aku owner-nya!" timpal Janesa tidak terima.
Kemudian, mereka saling pandang.
"Pelayan gigimu! Kafe ini dibangun pake duitku!" Janesa protes tepat di depan muka Tasya. Dia emosi sekali disebut-sebut sebagai pelayan di hadapan Katlyn. Janesa ingin punya nilai jual, setidaknya agar Katlyn dapat melihat satu hal bagus tentangnya.
"Dia bosnya," ralat Tasya.
Katlyn makin pusing. Janesa adalah bos Tasya. Kalau begitu, Janesa juga bosnya Bu Ika. Teman-teman serumahnya kenal Janesa. Apakah mereka tahu kalau Janesa ini sebetulnya penjahat?
Ia menghela napas panjang untuk menenangkan diri. Ditariknya tisu dari atas meja seraya bangkit untuk menegakkan tubuh Baron yang tak sadarkan diri.
"Pacar lo kenapa, Kat?" Tasya bertanya iseng tanpa memedulikan Janesa yang memelototinya.
"Pingsan. Tidur. Aku nggak tahu."
Katlyn membersihkan wajah Baron dari lasagna.
"Kasih minyak angin." Bagai kantong Doraemon, Tasya mengeluarkan sebotol minyak kayu putih dari apronnya.
Katlyn menggumamkan terima kasih ketika menerima minyak angin itu. Buru-buru ia membuka tutup botol dan mendekatkan minyak angin ke bawah hidung Baron.
Tak ingin jadi alasan batalnya perseteruan Janesa dan Katlyn, Tasya memutuskan kembali ke meja kasir. Lebih baik menonton dari jauh saja.
Wajah Janesa masih mendung. Ia kembali bersandar di ambang pintu untuk mengawasi gerak-gerik Katlyn.
"Sejam lagi juga bangun," ujarnya jutek.
"Sejak kapan kamu punya kafe?" Katlyn mengedarkan pandangan. Kafe dengan interior warna pelangi serta banyak hiasan kuda bertanduk seperti tempat ini benar-benar tidak cocok dengan karakter Janesa.
"Kamu kira kerjaanku bunuh orang doang?"
Sebagai respons, Katlyn berdiri untuk memapah Baron keluar dari bilik itu.
"Mau ke mana?"
"Keluar dari sarang iblis," gerutu Katlyn saat melewati Janesa. Tubuh Baron berat. Ia agak kepayahan saat mengangkat laki-laki itu. Tanpa diduga, Janesa justru menarik Baron dari Katlyn. Ia memapahnya tanpa kesulitan. "Mau ke mana?" Kini, giliran Katlyn yang bertanya.
"Naruh orang ini di mobil. Biar aku yang bawa kamu makan siang di luar, terus balikin kamu ke Seaworld." Janesa tidak rela Baron menang banyak karena dipapah oleh Katlyn. Ia mulai memikirkan kembali keputusannya untuk membunuh Baron tadi. Saingannya jadi berkurang satu.
"Kamu nggak perlu—"
"Jok!" Protes Katlyn dipotong oleh Tasya. Cewek itu menyuruh Janesa mendekat dengan isyarat tangan.
Tanpa mengatakan apa-apa, Janesa meletakkan tubuh Baron kembali di atas kursi, lalu pergi menghampiri Tasya yang sedang menunggu dengan tak sabar. Katlyn tak punya pilihan selain berusaha mengembalikan kesadaran Baron dengan minyak angin di tangan. Ia memperhatikan interaksi Janesa dan Tasya dari kaca. Keduanya tampak tegang ketika membahas sesuatu di meja kasir. Katlyn tak bisa mendengar isi pembicaraan mereka dari jarak sejauh ini. Dari gelagatnya kelihatan cukup serius.
Sampai akhirnya kedua orang itu sama-sama melihat ke arah Katlyn, barulah dia tahu kalau ketegangan mereka pasti ada hubungannya dengan dirinya.
Usai mengembalikan Baron ke dalam mobil dan menyuruh tukang parkir mengawasinya, Janesa setengah menyeret Katlyn mengikutinya menuju kendaraan miliknya. Katlyn berontak heboh saat Janesa memaksanya masuk ke mobil. Anehnya, Tasya juga telah meminta semua pengunjung pulang karena kafe akan segera tutup. Dia sempat menjanjikan makan gratis sepuasnya begitu Rainbow Café kembali dibuka demi mempertahankan para pelanggan setia.
"Aku masih harus kerja!" Katlyn terus-terusan protes, meski mereka sudah dalam perjalanan.
"Kamu mau ketemu papamu, 'kan? Kubawa kamu ke sana."
"Tapi, kenapa arahnya ke rumah?"
"I've got to do something. Kamu siap-siap di rumah, nanti aku jemput," jawab Janesa.
Katlyn memprotes, "Something apa? Barang-barangku masih ada di Seaworld!"
"Kamu udah nggak butuh itu." Rahang Janesa mengeras.
Katlyn dapat merasakan ketegangan yang menguar di sekeliling Janesa. Sisa perjalanan mereka dihabiskan dalam keheningan.
"Bawa apa aja yang perlu. Sejam lagi, aku jemput," ujar Janesa begitu menghentikan mobil di depan rumah Katlyn.
"Boleh bawa Timothy? Sudah lama dia nggak ketemu Papa."
Janesa menggeleng tanpa pikir panjang. "Dia tetap tinggal. Tamara yang akan menjaganya."
Katlyn mengernyit. "Kamu kenal pemilik rumah ini?"
"Nanti kujelasin. Jangan ke mana-mana sampai aku jemput, oke?"
Segalanya serba terburu-buru. Seolah dia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Katlyn karena dipaksa terjebak dalam situasi genting.
Alhasil, Katlyn turun dari mobil dengan perasaan kacau begitu tiba di rumah. Entah bagaimana nasib pekerjaannya kini. Sampai Janesa menghilang dari pandangan, Katlyn tetap mematung di depan rumah. Merasa bingung dan serbasalah.
"Dia memperlakukanku seenaknya lagi." Tangannya terkepal tanpa sadar.
Katlyn hendak menaiki undakan serambi ketika melihat bocah-bocah yang dikenalnya sedang berjalan kaki menuju rumah dalam keadaan compang-camping. Keempat anak itu berbaris di depan Katlyn sambil menunduk dalam-dalam. Baju mereka sudah robek di sana-sini. Katlyn terperangah.
"Kalian habis ngapain?" Ia mengamati goresan kecil di pipi Timothy. Rambutnya berantakan. "Berantem?"
Mereka saling pandang dan saling sikut, berebutan untuk tak jadi orang pertama yang menjelaskan situasi mereka. Noir menengadah, menatap langit dengan kacamata berbingkai satu. Satu bingkai sebelah kirinya hilang entah ke mana. Retakannya tampak agak berbahaya. Katlyn buru-buru melepasnya sebelum retakan itu melukai salah satu mata Noir.
Seluruh bagian iris mata Noir berkabut warna abu-abu. Tak tampak ada pupil di sana. Ini kali pertama Katlyn melihat langsung kedua mata Noir yang buta.
"Mereka bantu sa, Kak. Tadi, ada geng yang cegat sa sama Timothy waktu pulang dari warung. Kasa dan Jagad datang tepat waktu," ungkap Noir.
"Mereka ada banyak, tapi kami menang, Kak. Kak Kasa sama Jagad jago berkelahi." Timothy meneruskan dengan nada polos.
Katlyn menghela napas berat.
***
Revita menghirup napas dalam-dalam meski berada dalam ruangan. Tempat mana pun akan lebih baik asal tidak di bangsal rumah sakit jiwa itu. Sekarang, dia tahu alasan betapa udara yang dia hirup begitu segar. Ternyata bukan semata-mata karena udaranya, melainkan kebebasan yang ia dapatkan berkat Elliot Krotos.
Ya, dia sudah bebas. Krotos memenuhi janjinya untuk membawanya keluar dari rumah sakit jiwa tanpa ribut-ribut. Adiknya pasti terlambat menyadari kalau kini dia sudah melenggang santai di bawah matahari. Revita tersenyum kecil membayangkan kemarahan di wajah J begitu mengetahui dia tidak berada di bangsal memuakkan itu.
"I am always one step ahead," gumamnya pada diri sendiri. "And you can not outsmart me. Never will." Tatapannya terpaku pada bayangannya sendiri di dalam cermin, seolah J dapat mendengarnya melalui cermin itu.
Ketukan pintu membuatnya menoleh. Seorang pelayan berdiri di sana.
"He's waiting, Miss."
Revita kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menyisir rambut sambil mematut diri di depan cermin.
"Dia sudah menungguku bertahun-tahun. Apa bedanya dengan menunggu beberapa menit lagi?" Pelayan itu tidak akan mengerti apa yang dia ucapkan. Semua pekerja Elliot di tempat ini berkewarganegaraan asing. "I'll be there soon." Revita berujar lebih keras.
Pelayan tersebut mengangguk sebelum menutup pintu.
Revita menyisir rambutnya yang tergerai panjang dengan sisir gading. Ia mendapatkan sisir itu dari Elliot Krotos, rekan bisnis sekaligus kekasihnya, sebagai hadiah keluarnya Revita dari rumah sakit jiwa. Kini, ia sudah membersihkan diri dan berganti pakaian dengan gaun pendek merah untuk makan malam bersama Elliot. Jari-jari tangannya dipasangi kuku-kuku palsu panjang lengkap dengan nail art untuk menutupi luka serta kuku-kuku aslinya yang sudah rusak.
Selain sisir gading, kekasihnya itu juga menghadiahinya sebuah tempat yang indah dan terisolasi untuk membantunya memulihkan diri. Tahun-tahun di dalam bangsal telah Revita habiskan dengan memikirkan rencana pembalasan untuk adiknya. Memanfaatkan sumber daya yang dimiliki Krotos dapat mempermudah urusannya. Revita mempertimbangkan rencana mana dulu yang akan ia realisasikan dalam waktu dekat.
Elliot tidak mengetuk saat masuk ke dalam kamar untuk menjemput sang kekasih. Ia berdiri mengamati penampilan Revita dari kepala sampai kaki. Salah satu ujung bibirnya melengkung ke atas sebagai bentuk apresiasi.
"You look as beautiful as ever."
Revita terkekeh seraya berjalan mendekat ke arah Elliot. Lelaki itu meraih tangan kanannya untuk dikecup.
"Welcome home, Darling."
Di balik perangainya yang tenang, Revita menyimpan rasa ingin tahu terhadap hal yang melatarbelakangi keputusan Elliot mengeluarkannya dari rumah sakit setelah penantian tak jelas selama bertahun-tahun. Bisa dibilang, Revita punya kecurigaan tersendiri sehingga kali ini bersikap lebih hati-hati.
"It took you quite some time to get me out. What did I miss?"
"Not much." Lelaki itu menjawab singkat.
Selagi menunggu pelayan menuangkan anggur ke masing-masing gelas mereka, Elliot memberi isyarat pada pemain biola yang berdiri di atas panggung mini untuk mulai memainkan musiknya.
Alunan biola mengisi keheningan di ruang makan itu. Sang musisi memilih sonata kesukaan Elliot, Il trillo del diavolo atau Devil's Trill Sonata karya komposer Giuseppe Tartini. Sonata itu bertempo cepat dan membuatnya jadi salah satu komposisi tersulit untuk dimainkan sepanjang sejarah.
Elliot menyukai sonata itu karena latar belakang sang komposer yang mendapat inspirasi dari mimpi. Tak tanggung-tanggung, Giuseppe Tartini memimpikan sosok iblis mengerikan yang menantangnya adu permainan biola. Sonata itulah yang dimainkan oleh sang iblis dalam mimpinya.
"You're busy planning a genocide without me." Ucapan Revita mengganggu kekhidmatan Elliot mendengarkan permainan biola yang menyayat relung jiwanya.
Laki-laki berkebangsaan Amerika Serikat itu tertawa. Salah satu gigi taringnya yang diganti dengan gigi emas tampak berkilau saat diterpa lampu kristal di atas meja makan. Ia kembali ke kursinya sendiri di seberang Revita.
"Adikmu menjengkelkan. Bajingan itu melenyapkan orang-orangku semudah membalikkan telapak tangan. Aku sedikit kerepotan." Elliot menyahut dalam bahasa Inggris.
Revita menyunggingkan senyum tipis. Ia mengangkat gelas untuk menyesap sedikit anggur. "Jadi, kamu butuh bantuanku."
Salah satu hal yang paling disukai Elliot dari Revita adalah kecepatannya dalam membaca situasi. Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban.
"Informasi apa yang kamu butuhkan darinya?" Revita kembali bertanya.
"Anak-anak Rosita dan antivirusnya."
"Apa yang kamu mau dari anak-anak Rosita?"
"Aku mau mereka mati. Orang-orang yang terkait dengan masa lalu Legacy Biopharma harus mati. Kalau tidak, bisnisku bisa berantakan. Mereka berpotensi menjadi saksi. Aku tidak mau rencana yang sudah kususun selama bertahun-tahun jadi hancur karena keberadaan mereka."
Revita tertawa kecil. "Memangnya apa yang bisa dilakukan anak-anak polos itu pada kerajaan bisnismu?"
Ketika menyadari raut datar Elliot tak berubah, senyum Revita memudar.
"Adikmu berpaling dari kita sejak lama. Sekarang, dia melindungi anak-anak Rosita. Aku yakin saat ini dia sedang merencanakan sesuatu. Hal-hal yang berhubungan dengan J selalu merepotkan. Aku tidak mau itu menghalangi semua rencanaku." Elliot berpindah ke sisi Revita, sedikit membungkuk agar sejajar dengan telinganya. "Sejujurnya, aku tidak terlalu mencemaskan adikmu. Orang-orang yang membayarnyalah yang membuatku cemas."
"Jadi, ini tentang J atau anak-anak Rosita?"
"Dua-duanya, Sayang. Melihat kepedulian J pada anak-anak Rosita membuatku yakin ada satu hal yang kulewatkan. Hal penting dan berharga."
"Apa yang kamu ingin aku lakukan?"
"Mencari tahu apa yang disembunyikan J dan komplotan kecilnya."
Tiba-tiba Revita menyeringai. "Komplotan kecil?" ulangnya. "Mereka masih bersama rupanya."
"Sekarang ditambah satu setan kecil bernama Lunette. Oh, aku sudah dengar pamornya dari beberapa rekanku. Dia bisa jadi bom waktu bagi kita semua."
"Karena ayahnya pemimpin Bermuda?"
"Jangan sekali-sekali menyepelekan koneksinya."
Revita menatap Elliot tepat di mata. Tangannya terulur untuk mengusap pipi lelaki itu. "Yang kamu belum tahu, Sayang, aku punya sejarah panjang dengan keluarga Lunette. Mereka memburuku, tapi lihat ... aku baik-baik saja sampai hari ini." Ia mengecup bibir penuh milik Elliot. "Kembali ke topik awal. Apa rencanamu?" bisiknya.
"Bantu aku mencegah adikmu melakukan hal yang akan membuatku repot."
"Itu saja?" tanya Revita. Elliot mengangguk. "Adikku tidak suka konfrontasi langsung. Kalau mau menyakitinya, sakiti orang-orang di sekelilingnya dulu."
Ujung bibir Elliot menukik ke atas, pertanda kalau dia puas dengan jawaban kekasihnya.
"Jadi, di mana hadiahku? Kamu bilang punya kejutan kecil sebagai penyambutan." Nada Revita sedikit merengek.
Bunyi dentingan dari pertemuan ujung sendok dan permukaan gelas menyaingi alunan biola. Dua orang penjaga mendorong sebuah meja berisi seseorang ke ruang makan. Orang itu diikat di atas meja dalam posisi telentang dan bertelanjang dada. Dia bergerak-gerak gelisah. Dari sorot matanya, Revita dapat melihat keputusasaan.
"Edward." Revita tersenyum ke arah Elliot. Tawanan yang jadi hadiahnya merupakan ilmuwan Legacy Biopharma yang paling dicari. Dia kabur membawa sampel virus D6 untuk dijual ke penawar tertinggi.
"Dia milikmu sekarang." Elliot mengangkat gelas anggurnya, puas dengan respons Revita terhadap hadiah yang ia tawarkan.
Selain dalam keadaan terikat, seekor tikus hitam raksasa diletakkan di atas permukaan perut Edward. Tikus itu dikurung dalam sangkar besi yang tidak memiliki dasar. Kuku-kukunya meninggalkan bekas cakaran di permukaan perut Edward.
"Dia tidak berguna karena kita sudah dapat virusnya. Orang-orangku sedang melakukan tes sekarang."
"Dan kelinci percobaannya?"
"Namibia, India, Myanmar, dan Italia. Mungkin sudah ribuan yang terjangkit saat ini. Kita makin dekat dengan rencana tatanan dunia baru. Kalau dilakukan dengan benar, cita-cita kita akan menjadi kenyataan."
Revita memiringkan kepalanya sedikit. Ekspresinya bisa dibilang mirip dengan J saat sedang mengamati sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Cita-cita siapa? Aku mau orang-orang menderita sampai mati, sedangkan kamu ingin mengeruk keuntungan dari itu." Ia tersenyum amat manis saat mengatakan tiap kalimat dengan penekanan yang berbeda.
Elliot tertawa. Perkataan Revita barusan ada benarnya.
"Bagaimana respons negara-negara lain?" tanya Revita lagi.
"Beberapa negara di Afrika saling menyalahkan atas munculnya kasus di Namibia. Sekarang, pemerintah Amerika ikut terlibat dengan mengirimkan lebih banyak pasukan untuk mencegah perang sipil."
"Hm, kedengarannya seru. Apa kita akan mengirim orang-orang kita juga?"
"Hanya jika adikmu atau PBB ikut campur."
Revita mengangguk setuju seraya tersenyum tipis. "Now, now ...," ia bangkit dari kursinya, menghampiri Edward, "apa yang harus kulakukan padamu, Ed?" Ia menyentuh wajah tawanan itu dengan ujung jarinya yang dilapisi nail art. Edward hanya bisa membelalak dengan suara teredam oleh duct tape hitam yang dipasang berlapis di mulutnya.
Revita mengambil remote di sebelah kaki Edward. Hanya ada satu tombol di sana.
"Aku penasaran apa fungsi dari tombol ini." Revita mengatakannya dengan nada riang.
Tanpa aba-aba, ia menekan tombol itu.
Terdengar suara 'zzrrttt' pada kurungan si tikus. Beberapa percikan kecil api muncul karena listrik yang mengalir di sana mengejutkan si tikus besar. Suaranya berdecit ketika ia berputar-putar panik di dalam kurungan.
"Brilian!" Mata Revita berbinar penuh kekaguman.
Sangkar yang tersengat listrik membuat si tikus panik. Edward memekik ketika hewan pengerat itu mulai menggigit dan mencakar kulit perutnya. Sebentar lagi, tikus itu akan menggali lubang di bawahnya untuk melarikan diri. Dan pada kesempatan berikutnya, tawanan itu mati tersiksa karena organ perutnya digerogoti.
"Lari, pengerat jelek!" gumam Revita seakan sedang memberi semangat pada si tikus agar terus menggali.
"Kukira kamu tadi lapar." Kalimat Elliot mengundang bunyi nyaring di perut Revita. Suaranya tersamar oleh pekikan Edward.
Bersamaan dengan itu, darah mulai membanjiri lantai. Revita mundur agar darah yang menetes-netes tak mengotori gaun dan sepatu yang ia kenakan. Ia lekas kembali ke meja makan di mana Elliot telah menunggunya.
Iringan suara biola dan teriakan Edward menjadi latar belakang makan malam mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top