8 | PENGHILANG JEJAK

BUNYI wiper yang bergerak konstan membersihkan kaca depan menjadi satu-satunya yang menyaingi deru hujan di luar. Usai mengantar Katlyn pulang, J menyempatkan diri untuk menemui Looney sekalian.

"It's gettin' worse," ujar J memulai. Ia mengulurkan satu tangan ke kursi belakang untuk mengambil tas hitam sebelum menyerahkannya pada Looney.

Looney mengecek isi tas yang ternyata punya bobot cukup berat.

"Krotos udah terang-terangan narget Katlyn."

Looney meliriknya sekilas. "Kamu lihat mereka dengan mata kepala sendiri?"

J mengangguk. "Dua orang dikirim untuk ngikutin kami sejak dari Seaworld. Mereka bersenjata lengkap. Untung aku nggak mampus ditembakin." Ia menyentuh rusuk kanannya yang nyeri, lalu mengangkat ujung kausnya untuk memeriksa. Ternyata benar. Memarnya hampir menutupi seluruh bagian rusuk sampai punggung belakang. Tubuhnya sempat dilempar ke lemari pendingin minuman hingga seluruh kacanya pecah.

Looney mengeluarkan paspor, visa, dan beberapa gepok NZD dari dalam tas. "Tiba-tiba? Apa pemicunya?"

Dia tak mengenal Krotos Enterprises sebaik J ataupun anggota komplotannya yang lain. Namun, ia tahu persis kalau perusahaan sebesar itu tak akan menyerang tanpa pikir panjang.

"Aku ngunjungin Revi semalem. She knows everything, termasuk soal kamu."

Ekspresi Looney berubah datar. Ia masih menghitung jumlah uang di dalam tasnya. "Udah kubilang kamu harus pindahin dia ke tempat lain. Rumah sakit itu nggak cukup aman dari penyusup Krotos."

"Tapi, aman darimu."

"Someday, she will be killed by my hands. You can do nothing to protect her." Looney masih tidak bisa mengenyahkan dendam yang bersarang di otak dan hatinya karena kematian omnya bertahun-tahun lalu. "Jadi, apa yang kalian obrolin semalem?" Selesai menghitung uang, Looney memasukkan kembali semuanya ke dalam tas.

J menghela napas. "Nggak banyak. In the end, aku malah memprovokasinya. Nggak sengaja. Sekarang Krotos benar-benar ngelakuin segalanya secara terang-terangan."

"Jadwalku ke Selandia dicepetin?"

Lelaki itu mengangguk. "Awasi Miranda. Kuusahain dalam waktu seminggu bisa nyusul dan bawa Katlyn."

"Dia udah tahu semuanya?"

"Yep, seperti rencana semula. Miranda satu-satunya kesempatan kita. Supaya Miranda percaya, kita butuh Katlyn dalam keadaan utuh. Kalau ke sana dengan tangan kosong, dia nggak akan mau kerja sama."

"Aku lagi nggak ngomongin misi," geleng Looney. J terdiam cukup lama. "Aku nggak sengaja denger obrolan Kak Tea sama Bu Ninja beberapa hari lalu tentang Kak Kat. Dia pernah keguguran. Anakmu?"

"It happened years ago. I couldn't do anything about it." Raut J dingin saat mengatakannya.

"Ah, pasti sulit milih antara pacar atau kakak sinting," sindir Looney.

"Fokus aja sama misimu."

Akhirnya, Looney mengangguk. "Aku butuh peralatan. Boleh bawa Kak Tea?"

"Aku juga butuh dia. Kamu bakal ditemenin salah satu orangnya Codet, ditambah satu lagi orang suruhan Phoenix."

Pupil Looney melebar. "Phoenix? Serius?"

"Iya. Kita butuh segala bantuan yang tersedia, Looney."

Looney bertepuk tangan antusias. Melibatkan Phoenix berarti J benar-benar serius melawan kakaknya. Orang sepenting Phoenix tidak setiap hari menawarkan bantuan secara cuma-cuma.

"Aku tahu apa yang kamu pikirin." J melirik sekilas. "Phoenix bersedia membantu karena nggak ingin tangannya kotor."

"Of course!" Looney menyeringai.

"Nggak boleh ada kematian yang nggak perlu. Jangan nunjukkin dirimu ke Miranda, apalagi nakutin dia. Cukup awasi dan lindungi Miranda dari jauh. Usahain Krotos nggak tahu apa pun tentang eksistensinya."

Looney menghela napas bosan, membuat J memutar bola mata karena tingkah kekanakannya.

"Ujianmu udah selesai, 'kan?"

Looney mengangguk. "Nanti biar Tante Tamara yang minta izin ke sekolah." Ia terdiam cukup lama. "Kalau sampe aku nggak naik kelas lagi gara-gara kebanyakan izin, kamu harus tanggung jawab!"

J memandangnya lucu. "Nggak ada gunanya juga kamu sekolah. Sekolah nggak ngajarin hal sebanyak yang kamu mau dan butuhkan untuk bertahan hidup."

"Who cares? Aku butuh ijazahnya! Kalau suatu saat aku pensiun dan hidup normal, aku pengin kerja kantoran."

J tak tertawa walaupun menahan rasa geli karena membayangkan remaja seusia Looney sudah membahas masa pensiun.

***

Tidak biasanya Suroboyo Bus datang seterlambat ini. Sudah lima belas menit Katlyn menunggu di halte, tetapi transportasi yang ia tunggu tak datang juga. Jalanan di depan halte amat lengang karena waktu telah menunjukkan larut malam.

Suara ban berdecit yang datang dari arah samping mendapat perhatian Katlyn. Ia langsung mengenali mobil itu. Oh, pengendaranya juga.

"Mau apa ke sini?"

Pertanyaan Katlyn tak digubris. Wajah Janesa datar tanpa senyum sejak turun dari kursi pengemudi. Ia menatap Katlyn agak lama. Tujuannya datang kemari adalah mengonfirmasi suatu hal yang selama ini mengganjal hatinya. Sebelum muncul ke hadapan Katlyn, Janesa mencari tahu semua informasi yang berkaitan dengan sang mantan kekasih. Sedikit pun tak ada yang terluput olehnya. Gara-gara pertanyaan Looney tadi, dia jadi makin kepikiran. Kegelisahan itu tidak akan pernah usai jika dia mendiamkannya lebih lama.

"Aku punya pertanyaan. Pilihan jawabannya cuma dua."

Katlyn mengernyit bingung.

"Kita pernah punya anak. Iya atau nggak?" todong Janesa.

"Apa? Tahu dari mana?" Katlyn jelas terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba ini.

"Iya atau nggak, Katlyn?"

Penekanan pada namanya membuat Katlyn sembuh dari kebingungan. "Bukan urusanmu!"

Katlyn berbalik, tetapi lehernya lebih dulu dicekal. Janesa memaksanya berdiri berhadapan dengan jarak teramat dekat.

"Iya atau nggak?" Janesa mengulang pertanyaan yang sama.

Walaupun Katlyn merasakan sakit pada tengkuknya, ia tetap menahan diri untuk tidak menunjukkan raut kesakitan. "None. Of. Your. Business," desisnya.

Rahang Janesa mengeras. Tatapannya mencari-cari kesungguhan di wajah Katlyn.

"Itu urusanku juga." Janesa balas mendesis.

Katlyn memilih bungkam. Bibirnya membentuk sebuah garis lurus selagi memandang Janesa penuh benci.

"Jawab, Katlyn!"

Katlyn menggeleng kaku.

Janesa melepas cengkeramannya. "F*ck!" Ia sudah tahu jawabannya. "Seharusnya kamu ngasih tahu aku sejak awal!" Hardikannya membuat Katlyn terkejut. Bukan ini reaksi yang dia harapkan. "Itu anakku, dan selama ini kamu diam!" Janesa kembali menghardik.

Katlyn sedang buru-buru dan ia tak punya waktu untuk meladeni orang gila. Akhirnya, ia berbalik pergi.

"Mau ke mana?"

"Kerja."

"Jangan bohong! Wahana mana yang buka jam segini?" Janesa setengah berseru karena Katlyn semakin menjauh. "Katlyn!" Lelaki itu mengejarnya.

Katlyn berhenti melangkah, lalu memutar tubuhnya. "Aku lagi nggak pengin diganggu malam ini."

"Jawab dulu kamu mau ke mana!"

Katlyn menghela napas berat. "Hotel Antoinette. Malam ini, aku ada job buat ngisi private pool party," jelasnya dengan nada lelah karena sedang tak memiliki tenaga untuk mengarang kebohongan.

"Antoinette?" Janesa mengernyit karena ingat hotel itu dan pemiliknya. Salah satu cabang Hotel Antoinette pernah diledakkan oleh Looney setahun lalu. Ruangan bawah tanah hotel itu merupakan salah satu pabrik narkoba terbesar di kota ini. Looney sengaja melakukannya demi mencari tahu siapa pemiliknya.

"Ngisi acara malam-malam gini?" Janesa masih bertanya.

"Aku harus cari uang lebih banyak."

"Semua utangmu udah kulunasin!"

Katlyn mengerjap. Janesa mengumpat lagi karena keceplosan. Ah, dia frustrasi menghadapi Katlyn. Kalau begini terus, sekalian saja ia bongkar semua rahasianya.

"Apa maksudmu?"

Janesa baru akan menjawab ketika sebuah Land Cruiser hitam berhenti tak jauh dari mereka. Ia refleks menarik tubuh Katlyn untuk berlari menjauh. Lewat pengamatan singkat saja, dia tahu permukaan mobil itu dilapisi antipeluru.

Katlyn otomatis membungkukkan badannya sambil menahan pekikan saat tembakan memenuhi pendengarannya. Mereka ditembaki secara membabi buta.

Janesa membawa Katlyn berlindung di balik mobil. Beruntung mobil lelaki itu juga dilengkapi dengan permukaan antipeluru.

"Siapa mereka?" tanya Katlyn. Ia jatuh terduduk sambil melindungi kepalanya. Tembakan itu masih belum berhenti.

"Krotos." Janesa membuka pintu belakang mobil untuk mengambil sesuatu dari bawah kursi.

"Kamu punya senapan di mobil?"

Katlyn membelalak ngeri ketika Janesa memastikan amunisinya terisi pada Beretta jenis Cx4 di tangannya. Dari caranya menggunakan senjata itu tanpa canggung, ia langsung tahu kalau Janesa sangat mahir.

Tak perlu waktu lama sampai Janesa mulai membidik dan menembak dua ban depan serta belakang mobil yang menyerang mereka dari seberang jalan. Cukup dua peluru bagi Janesa untuk melakukannya. Ia bersembunyi di sebelah Katlyn saat penyerang mereka kembali menembak.

Keributan ini pasti akan menarik perhatian semua orang.

"What now? Kita nggak kabur?" Katlyn bertanya tanpa memandang Janesa. Ia masih syok. "Kapan polisi datang?"

"Mereka nggak boleh kabur setelah bikin kita kaget kayak tadi." Seringaian Janesa mengingatkan Katlyn bahwa laki-laki ini seorang pembunuh.

Setelah suara tembakan berhenti, Janesa bangkit untuk membidik kamera-kamera pengawas yang dipasang di sekitar halte, lalu kembali bersembunyi di balik mobil.

"Kamu apa-apaan, sih? Bukannya lari dari mereka malah nembakin kamera! Kan, bisa dipake buat bukti kalau mereka nyerang kita!" Katlyn berbisik heboh. Janesa tertawa kecil.

Sumpah, lelaki ini sinting!

Suara tembakan terdengar lagi. Sepertinya penyerang mereka jauh lebih sinting. Sudah tahu mobil ini dilengkapi antipeluru, masih saja ditembaki.

"Kalau polisi kemari, bisa-bisa merepotkan. Aku nembakin kamera biar nggak ada yang lihat mukaku." Janesa menjawab pertanyaan yang sempat tertunda tadi.

"Terus kita nungguin apa di sini?"

"Nunggu persediaan peluru mereka habis."

"Hah?"

Janesa menyeringai lebar. "Oh, I can do it all night, Kitten."

Katlyn benar. Janesa memang sinting! Ia baru hendak menengok ke samping untuk mengintip ketika Janesa menarik lengannya agar kembali ke tempat semula.

"Stay."

Katlyn tak punya keberanian untuk membantah.

Janesa tampak santai saja menunggu para penyerang puas menembaki mobilnya. Sesekali, ia mengecek persediaan amunisi yang disusun di atas trotoar. Tak lama, suara tembakan berhenti. Janesa mengambil jam saku dari balik jaketnya.

"Kasih aku tiga menit. Setelah itu, kamu pergi bawa mobil. Kuncinya masih nempel di dalem," Janesa berujar.

"Ha? Tiga menit buat apa?" Katlyn panik karena tidak melihat tanda-tanda Janesa akan menjelaskan. Alih-alih menjawab, Janesa justru berdiri.

"Kali ini siapa yang ngirim kalian?" Janesa meletakkan senapannya di atas bahu. Wajah tengilnya kembali lagi.

"Minggir, J. Target kami bukan kamu."

Dua pengendara Land Cruiser turun. Sepasang laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama mengenakan kemeja gelap. Penampilannya rapi, serapi pembunuh bayaran.

"She's mine."

Keduanya masih mendekat. Masing-masing dari mereka punya senjata favorit. Si perempuan dengan pistol, sedangkan si lelaki dengan belati.

"Punyamu untuk dibunuh atau bagaimana? Jawabanmu agak ambigu," sahut si laki-laki.

Janesa membidik salah satu dari mereka. Keduanya kompak berhenti bergerak dan langsung mengangkat kedua tangan ke atas.

"Easy there, J."

"Siapa pun yang nyentuh dia bakal kuhabisi."

"Revita di pihak kami."

Janesa memiringkan kepalanya sedikit. "So?"

"Seharusnya kamu juga ada di pihak kami."

"Ah, not anymore."

"Kalau gitu ...," si perempuan mengacungkan pistolnya, "target kami hari ini bertambah satu."

Bunyi senjata yang ditembakkan Janesa mengagetkan Katlyn yang sedang berjongkok menunggu tiga menit berakhir. Perempuan berpistol berteriak kesakitan. Punggung tangannya berlubang terkena tembak. Pistolnya terlempar ke aspal.

"Fool! Di sini, aku yang pegang kendali." Janesa siap menembak lagi.

"Dia harus mati, J!"

"Semua orang juga akan mati pada waktunya, kecuali dia! Hidupnya bakal panjang. Lebih panjang daripada kita." Ia mendengkuskan tawa kecil.

"Kamu kenal mereka?" Katlyn berbisik.

"Nggak, tapi mereka kenal aku." Janesa menjawab tanpa memandangnya.

Si lelaki dengan belati memungut pistol yang tergeletak tak jauh darinya, lalu menembak ke arah Janesa. Namun, lelaki itu lebih gesit dengan berlindung di balik mobil.

"Keras kepala!" gerutu Janesa. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya untuk mengetikkan sesuatu di sana.

"Kamu ngapain, sih? Nyawa kita lagi terancam!" protes Katlyn.

"Aku lagi ngabarin anggota timku buat beresin TKP kalau kita kelar nanti, sama sekalian ngilangin bukti." Ia menunjuk kamera-kamera di sekeliling halte yang rusak akibat ulahnya sebelum memasukkan kembali ponsel ke dalam jaket. "Kamu masuk mobil, gih!" Kini, Janesa memandang Katlyn.

"Belum kelar tiga menit!"

"Udah lewat. Mereka nggak bawa peledak. Kamu bisa pergi dengan aman."

"Nggak mau! Kalau kamu mati, gimana?"

Janesa menatapnya agak lama. "Kamu peduli banget aku mati atau nggak?"

"Kalau kamu mati duluan, dendamku nggak kebalas!"

Janesa meringis. Ia menggaruk pangkal hidungnya, grogi mendapat ancaman pembunuhan dari si Pujaan Hati.

"Keluar, J! Hadapi ini secara jantan!" seru si penyerang.

"Kalian mainnya keroyokan! Pake pistol pula!" Janesa balas berseru.

"Nggak ada senjata api! Kita bertarung satu lawan satu supaya cepat selesai!"

Janesa tertawa setengah mendengkus. "Kalau mau cepet selesai, aku tinggal mecahin kepala kalian satu-satu, beres!" Ia mengacungkan senapannya ke atas, menunjukkan kepada para penyerang kalau dirinya punya kendali penuh atas nasib mereka.

"Perasaanku aja atau kamu emang aslinya banyak omong?" Katlyn berbisik padanya.

"Krotos akan mengirim lebih banyak orang." Si laki-laki dengan belati memberi peringatan.

Mendengar ancaman tersebut, Janesa bangkit. Namun, lengannya dicekal oleh Katlyn. Janesa tertegun melihat raut panik Katlyn saat menggeleng padanya.

"Masuk ke mobil, Kitten. Aku mau selesaiin ini," ujar Janesa lembut. Cekalan Katlyn makin erat. "Kamu harus pergi, Sayang. Mereka mau bunuh kita, lho. Pemandangannya akan bikin kamu mual."

Kali ini, cengkeraman Katlyn melonggar. Ia berubah pikiran.

Janesa membukakan pintu mobil untuknya, kemudian memberi isyarat agar Katlyn segera naik dengan anggukan dagu. "Now."

Melawan instingnya sendiri, Katlyn bergegas masuk ke dalam. Ia duduk di belakang kemudi. Cukup lama dirinya memperhatikan setir sebelum memandang Janesa lagi. "Aku udah lupa caranya nyetir mobil."

Janesa menepuk jidat. "Ya udah, tunggu di sini. Turunin kepalamu, jangan lihat ke luar! Kunci pintunya!"

Janesa membanting pintu. Kalau dilihat-lihat, lelaki itu mirip teroris karena menenteng senapan, apalagi dengan pakaian serbahitam begitu.

"Amunisi kami sudah habis." Si laki-laki dengan belati mengangkat pistolnya sekilas sebelum melemparkannya ke aspal. "Jangan jadi pengecut!" Ia menunjuk senapan di tangan Janesa, menyuruhnya untuk melemparkan senjata berbahaya itu juga agar mereka bisa duel.

Janesa menurutinya. Ia meletakkan senjata di atas kap mobil.

Katlyn menjulurkan kepala sedikit untuk mengintip lewat jendela. Ini pertama kalinya ia melihat Janesa benar-benar berkelahi dengan seseorang. Kejadian terakhir di minimarket hanya memberinya pengalaman yang membuat perutnya mual jika diingat.

Si perempuan yang tadi membawa pistol telah melepas kemeja dan merobek ujungnya agar dapat dililitkan ke sekeliling pergelangan tangannya yang berlubang. Dengan satu tangan gemetar menahan sakit, ia mengikat rambutnya tanpa kesulitan yang berarti. Kini, ia hanya mengenakan atasan berupa bra hitam. Tubuhnya yang tinggi serupa model agak kontras dengan otot perut dan bisep trisep di kedua lengannya.

"I don't fight girls," ujar Janesa.

Seakan tak mendengar apa yang baru lelaki itu katakan, si perempuan menyerang lebih dulu. Tangan kirinya mengepal di udara untuk melakukan hook dari samping kepala Janesa. Tanpa menoleh, Janesa menangkis serangan tepat waktu. Ia memukul leher samping si perempuan dengan kecepatan yang hampir tak terlihat. Perempuan itu langsung tersedak akibat serangan tak terduga barusan. Pandangannya agak mengabur. Ia menggelengkan kepala untuk mengembalikan fokusnya.

Perempuan itu pulih dengan cepat. Ia memblok setiap serangan dari Janesa dan balas menyerang. Dalam satu gerakan kilat, tahu-tahu kedua lengan Janesa sudah terkunci.

Bukannya melepaskan diri, Janesa justru mendesah dramatis sambil memandang langit malam.

"Kamu ngingetin aku sama Master Krav Maga-ku many years ago. Dulu, dia sering mengunciku begini, bertaruh lima puluh dolar apa aku bisa lolos darinya."

Ia menukikkan tubuhnya, memungkinkan salah satu lengannya punya ruang gerak untuk balas mengunci. Dalam sekali entakan, Janesa menghantam wajah sang lawan dengan kepalanya sendiri.

Voila! Dia lolos dengan mudah.

Selagi lawannya lengah, Janesa bermaksud membalik keadaan. Perempuan itu tak mengantisipasi adanya serangan mendadak ke arah lehernya lewat tendangan samping. Lagi-lagi, dia tersedak sampai jatuh berlutut karena otot lehernya langsung tegang akibat tendang tumit sepatu bot kombat.

Dua kali serangan di tempat yang sama membuat saluran pernapasan perempuan itu terganggu. Kepalanya terasa amat ringan dan pandangannya menggelap. Ia bersujud di aspal sambil memegangi lehernya sendiri.

"Not fighting girls doesn't mean I can't kill ones," ujar Janesa, masih dengan senyum mengembang.

Perempuan itu memukul aspal, entah kesal karena dikalahkan atau sikap tengil Janesa padanya. Ia bangkit lagi.

Janesa takjub, tak menyangka perempuan itu masih kuat berdiri. Setidaknya serangan tadi telah merusak pembuluh carotid artery hingga mengakibatkan aliran oksigen ke otak berhenti. Dengan kata lain, dua serangan Janesa dapat berakibat kematian alias sangat fatal.

"Apa aku yang salah target, ya?" Ia bergumam, menerka-nerka apakah tadi salah menentukan titik serangan.

Perempuan itu menyerang Janesa secara membabi buta. Janesa memperhatikan setiap gerakan kaki penyerangnya. Hal ini memungkinkannya untuk menghindar tanpa perlu banyak berusaha. Tak cukup dengan menghindar, Janesa menjegal kaki lawannya sampai terjungkal ke depan. Belum puas hanya dengan menjatuhkan, Janesa menginjak salah satu pergelangan kaki lawannya sampai retak. Teriakan yang muncul bersamaan dengan suara derak tulang seindah melodi di telinga Janesa.

"Krav Maga."

Janesa menoleh ke asal suara. Ia hampir lupa lawannya ada dua. Masih ada si laki-laki dengan belatinya menanti sambil menonton. Tentu saja Janesa tidak bodoh. Ia juga punya pisau lipat yang selalu disimpan di balik sepatunya.

"Aku mempelajarinya sebelum bisa baca tulis."

"Impressive." Itu pujian atau bukan, Janesa tidak tahu dan tidak peduli. "Siapa yang mengajarimu?"

"Beberapa master." Janesa mengedikkan bahu. "Aku petarung jalanan. Krav Maga cuma satu dari banyak bela diri yang pernah kupelajari. Kamu juga?" Ia memainkan pisau lipat di salah satu tangannya.

Laki-laki dengan belati menggeleng. "Krav Maga itu sudah mematikan, ditambah seorang psiko sepertimu yang menguasainya bisa jadi kombinasi berbahaya."

Janesa meletakkan satu tangan di dada, sebuah gestur terhormat. Ia meniru ekspresi tersinggung palsu. "Kenapa semua orang menyebutku psiko, sih? Revita jelas-jelas lebih psiko!"

Selagi Janesa menggerutu, si laki-laki dengan belati maju sambil menghunuskan senjata. Janesa yang lengah dianggapnya sebagai kesempatan. Namun, Janesa jarang lengah. Dia hanya lengah jika sedang bersama Katlyn. Berhubung Kitten-nya sedang duduk manis di dalam mobil yang terkunci, tingkat kewaspadaannya masih berada di level tertinggi.

***

Di mata Katlyn, pertarungan Janesa dengan si laki-laki belati hanya berupa kelebatan-kelebatan. Ia tak bisa mengikuti setiap gerakan tangan maupun kaki mereka yang saling menyerang. Pisau saling terhunus dan ditangkis. Kecepatan tangan mereka tak masuk akal. Jika Katlyn ada di sana, mungkin ia bisa mendengar suara udara yang terbelah akibat hunusan senjata-senjata tajam itu.

Katlyn memekik tertahan saat si laki-laki dengan belati memukul pergelangan tangan Janesa hingga pisau lipatnya terlempar. Bukan itu saja, laki-laki itu juga meninju dada, leher, dan rahang Janesa secara berturut-turut dan berulang sampai terjatuh ke aspal. Saking cepatnya gerakannya, Katlyn sulit melihat bayangannya.

Janesa bangkit sambil meludahkan darah dari bibirnya yang robek sembari meregangkan otot yang serasa kaku karena lambat mengantisipasi. Dia tak cukup cepat menangkis.

"You're good." Janesa tersenyum tipis. Katlyn gemas sekali dengan sikap santai Janesa dalam menghadapi ancaman nyata di depan mata.

Tak butuh waktu lama sampai mereka berdua terlibat pertarungan jarak dekat lagi. Jika tadi Janesa terkesan main-main, kali ini Katlyn dapat melihat kesungguhannya. Mungkin karena baru kena jotos, makanya ia sadar.

Perasaan Katlyn campur aduk. Beberapa waktu belakangan, hidupnya penuh kejutan. Janesa termasuk salah satu kotak kejutannya. Masa pacaran mereka yang singkat tak menunjukkan siapa lelaki itu sesungguhnya. Dia juga tidak menyangka Janesa pandai berkelahi dan lumayan sinting.

Lelaki itu menjadi salah satu aktor tersukses yang pernah dikenal Katlyn. Jika memungkinkan, ia ingin memberikan Janesa piala penghargaan sebagai karakter bertopeng paling tebal yang pernah eksis di dunia.

Perhatian Katlyn teralihkan pada sosok yang berjalan terseok-seok dengan sebuah pisau lipat yang teracung tinggi. Pisau itu milik Janesa yang jatuh. Kini, perempuan itu mendekat ke sumber perkelahian, berniat menusuk Janesa.

Janesa belum menyadari kedatangan perempuan itu. Ia terlalu sibuk menghadapi si laki-laki berbelati yang kokohnya menyamai benteng. Susah sekali dikalahkan.

Tanpa pikir panjang, Katlyn menyalakan mobil. Mengikuti naluri serta ingatan bawah sadarnya, ia memasukkan gigi dan langsung menginjak gas.

Brak!

Jantung Katlyn berpacu tak terkendali. Ia baru saja membunuh orang.

Kelengahan si laki-laki berbelati akibat tabrakan itu dimanfaatkan Janesa untuk meninju jakunnya sampai lawannya berlutut. Sambil terengah, Janesa meraih kepala laki-laki itu lalu mengentaknya ke belakang tanpa ragu. Laki-laki itu langsung tewas di tempat. Janesa menyeringai tipis saat melepaskan tubuh lawannya.

"Dia mati? Apa aku baru aja nabrak orang sampai mati?" Katlyn terisak dengan tubuh gemetar saat Janesa membuka pintu pengemudi.

Lelaki itu tak mengatakan apa-apa. Ia memeluk Katlyn yang menangis tak terkendali akibat syok. "Sshh! Kamu nggak bunuh siapa-siapa." Janesa menepuk-nepuk punggung Katlyn untuk menenangkannya. Tentu saja dia berbohong. Ia sempat mengecek sekilas kondisi korban di bawah mobil. Separuh gepeng dengan isi tengkorak mengotori ban depan.

"Ya Tuhan!" Katlyn masih terisak. Ia tak sanggup lagi berkata-kata.

"Pindah ke sebelah, ya? Kita harus pergi dari sini."

Katlyn mengangguk cepat. Ia hampir melompat ketika pindah duduk ke kursi sebelah pengemudi.

***

Tea menguap lebar ketika berjalan menuju halte dekat rumah. Maniak memimpin di depan. Langkahnya tak kalah lebar dari mulut Tasya saat menguap tadi. Dia tak sabar ingin melihat mayat baru yang bisa masuk lemari koleksinya. Sebuah ransel besar sudah melekat di punggungnya. Ia juga menenteng alat penyemprot disinfektan di tangan kanan.

Para pesuruhnya sudah dikirim untuk menutup akses jalan saat perkelahian berlangsung sehingga tak ada yang bisa mendekat dalam jarak tertentu. Masalahnya, polisi sedang dalam perjalanan kemari karena aduan masyarakat akibat keributan itu. Kaki tangannya di lembaga tersebut hanya sanggup menunda selama satu jam. Jadi, Tea putuskan untuk turun tangan membantu Maniak karena mereka berpacu dengan waktu.

"Lo ngapa, dah, bawa-bawa penyemprot pestisida?" Tea menunjuk alat yang dibawa Marko ketika sampai di tempat kejadian perkara yang dimaksud J lewat pesan singkat.

Maniak tidak tersinggung Tea menyebut alatnya sebagai penyemprot pestisida. "Luminol."

Untuk membuktikan ucapannya, Maniak menyemprot genangan darah di sekitar mayat perempuan tanpa atasan yang tergeletak di tengah aspal. Reaksi kimia yang diakibatkan oleh bertemunya senyawa luminol dan peroksida dengan atom besi pada darah memunculkan cahaya biru terang. Cahaya itu hanya bertahan tak sampai satu menit.

"Biar torang tahu mana spot yang perlu dibersihkan dari darah," lanjutnya menjelaskan.

Tea tak terkesan sama sekali. Ia mengeluarkan perkakas dari dalam koper yang dibawanya dari rumah, mengulurkan teropong pada Maniak, dan menyuruhnya segera mencoba.

Maniak terperangah karena alat yang diberikan rekannya. Lewat teropong itu, ia dapat melihat bercak darah dengan jelas di dekat kakinya meski sudah dituangi larutan amonia.

"Lebih revolusioner," ujar Tea dengan raut jemawa sebelum menarik kopernya ke tengah jalan.

Ia memperhatikan langit sambil mengamati sekeliling. Selagi Maniak sibuk dengan proses pemindahan mayat-mayat ke kantong jenazah, Tea mengecek kecepatan angin dengan ujung jari yang dibasahi liur. Ia mengacungkan dua jari basah ke atas kepalanya, mencari tahu ke mana angin bertiup dan berapa kecepatannya. Tangan Tea tak ubahnya radar cuaca seperti milik BMKG.

Saat Tea sedang menginstal alat-alatnya di atas aspal, datang sebuah mobil van putih. Van itu parkir di belakang Land Cruiser yang teronggok di pinggir jalan. Dari sana, turun tujuh orang berbalut hazmat. Mereka adalah orang suruhan Tea, sebuah sub-unit kecil yang bisa melakukan apa saja.

"Ada enam kamera yang rusak ditembaki. Ganti semuanya dalam waktu setengah jam sebelum polisi dateng ke sini." Tea menunjuk lokasi kamera-kamera pengawas milik pemerintah kota terpasang dan telah dirusak oleh Joker. "Pada bawa ponco, 'kan?"

Minion berkostum hazmat kompak mengangguk. Mereka menunjuk kostum masing-masing. Tea baru mengerti maksudnya. Kostum itu sekaligus jadi ponco mereka. Begitu Tea memberi aba-aba, pasukannya langsung berpencar untuk melakukan tugas masing-masing.

Tea selesai dengan alatnya bersamaan dengan Maniak yang juga rampung memindahkan semua mayat ke dalam kantong beserta serpihan tubuh yang tercecer.

"Ko mau bikin apa?" Maniak memperhatikan alat Tea yang mirip roket mini.

"Mau modifikasi cuaca. Daripada nungguin lo kelamaan buat ngebersihin darah di sini, mending dikasih hujan biar ngalir ke gorong-gorong sekalian." Tea melirik kantong jenazah di belakang mereka. "Nggak ada yang bisa dipanen?"

Maniak biasa memanen organ korban-korban yang belum lama tewas. Organ-organ itu nantinya akan dijual ke pasar gelap dengan harga tinggi, bahkan Maniak sudah punya sindikatnya sendiri sebagai usaha sampingan.

"Tra masuk kualifikasi. Lebih baik dimusnahkan saja. Eh, ko mau bikin hujan, memang bawa payungkah?"

Tea mengangguk. "Lo masukkin kantong jenazahnya ke dalam mobil, buruan! Gue mau mulai!"

Maniak berlari kecil untuk memindahkan kantongnya ke dalam Land Cruiser yang kini tak punya pemilik.

Salah satu minion menghampiri Tea sambil menyeret seorang gelandangan ke hadapannya.

"Dia lihat semuanya," lapor si Minion.

Tea mengamati si Gelandangan yang gemetar syok dari kepala sampai kaki.

"Tinggal di mana?" Tasya memandangi karung yang gelandangan itu tenteng sejak tadi. Ia sempat mengintip isinya, hanya beberapa barang bekas dan kain kumal. Mungkin dijadikan sebagai alas tidur.

"Di-di sini." Gelandangan itu terbata.

"Tadi lihat apa?"

Si Gelandangan menggeleng panik. "Nggak. Saya nggak lihat apa-apa!"

"Gue nggak bisa bantuin lo kalau temen gue yang di sana," ia menunjuk Maniak, "tahu kalau lo ternyata bohong. Mending jujur, deh, daripada lo mati."

"Ampun, Mbak! Saya nggak sengaja denger suara tembakan. Waktu ke sini, saya nggak sengaja lihat ada mobil yang nabrak perempuan sampai mati. Semuanya nggak sengaja, Mbak! Sumpah!"

Tea mengangguk sebelum bersiul nyaring. Maniak menghampirinya dengan wajah ditekuk.

"Memangnya sa ini burung! Ko siul-siul langsung datang?"

"Ada saksi." Tea tak memedulikan gerutuan Maniak. Ia menunjuk si Gelandangan. "Dibikin hilang ingatan aja."

Maniak mendecakkan lidah. Baginya, ide itu tak layak dipertimbangkan.

Melihat ekspresi Maniak, Tasya menambahkan, "Kalau lo nekat nyuri organnya, bakal gue laporin ke Joker biar kepala lo dipelintir. Mau?"

Maniak mendengkus sebal. "Ikut sa, Pak!" Ia menuntun si Gelandangan agar mengikutinya.

"Ampun, Mas! Saya beneran nggak sengaja lihat—"

"Iya, iya! Sa juga tra mau ngapa-ngapain Bapak!" potongnya malas.

Begitu memastikan alatnya terinstal dengan baik, Tea menekan tombol untuk melontarkan roket ke langit. Roket itu membawa muatan senyawa yang dapat mengumpulkan awan dan mempercepat proses hujan. Untungnya malam ini angin bertiup ke arah yang dia inginkan. Sepertinya alam juga tidak mau bukti perkelahian J diselidiki oleh pihak berwajib.

Tasya menunggu.

Lima menit. Sepuluh menit. Ia mengetukkan sepatunya ke aspal dengan tak sabar sambil mengamati pergerakan awan di langit. Memodifikasi cuaca memang tidak mudah. Namun, Tasya sudah berhasil melakukannya berkali-kali jika sedang dilanda kebosanan akut karena tak ada kerjaan. Rekor tercepatnya membuat hujan dalam kurun waktu kurang dari setengah jam. Kalau malam ini ia bisa membuat hujan dalam waktu sepuluh menit, berarti mukjizat.

Baru saja disinggung, rintik-rintik kecil es jatuh ke atas kepalanya. Tea tersenyum lebar. Ia menyuruh Maniak segera mendekat agar bisa berlindung di bawah payung besar yang ia bawa dari rumah. Gelandangan yang tadi dibawa Maniak sudah dibuat tak sadarkan diri dan dimasukkan ke dalam Land Cruiser bersama kantong-kantong mayat.

Pada menit berikutnya, turun hujan amat deras di area itu. Sebut saja hujan lokal buatan Tea.

Selagi para minion berkostum hazmat mengganti kamera-kamera pengawas tanpa kenal lelah, Maniak dan Tea memperhatikan genangan darah yang dibawa air mengalir menuju gorong-gorong. Dengan begitu, jejak mereka otomatis terhapus.


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top