7 | DIIKUTI

KATLYN merasa ada yang mengikutinya sejak keluar dari wahana. Awalnya, ia mengira itu Janesa. Namun setelah apa yang terjadi kemarin, Janesa tak punya alasan lagi untuk menguntitnya diam-diam. Lantaran terlalu sibuk melamun, Katlyn melewatkan bus merah tumpangannya hari itu. Dia baru menyadarinya ketika bus telah menjauh.

Sebuah motor yang ditumpangi dua laki-laki berbadan besar berhenti di depan Katlyn. Wajah mereka cukup gahar dan tampak seperti kriminal. Jaket usang yang menutupi kulit gelap mereka menegaskan dugaan Katlyn.

"Mbak Katlyn, ya?" Salah seorang dari mereka bertanya. Laki-laki satunya duduk di sebelah Katlyn, menghalanginya pergi ke mana-mana.

Keringat dingin mengaliri permukaan kulit punggung Katlyn. Ia dapat merasakannya.

"Si-siapa?"

"Kami dari Bank XXX."

Katlyn menelan ludah dengan susah payah. Debt collector berhasil menemukannya.

"Kami sedang menjalankan perintah dari kantor." Laki-laki yang mengajak Katlyn bicara menyandarkan bahunya ke pilar halte seraya menyalakan rokok.

Katlyn melihat sekeliling. Halte ini sepi. Jalan raya juga tidak ramai karena bukan jam sibuk. Katlyn agak menyesali keputusannya pulang lebih awal. Ini masih pukul tiga sore. Tadinya ia ingin buru-buru pulang karena harus menjaga anak-anak. Dua orang ini badannya besar-besar. Tampangnya mirip penjahat. Bagaimana cara dia kabur?

"Akhir bulan nanti, saya janji akan bayar. Pas gajian," cicit Katlyn. "Kalau hari ini, saya nggak ada uang."

Si laki-laki pertama dengan rokok mengembuskan asap pekat lewat mulut seraya mengamati Katlyn dari kepala sampai kaki dengan pandangan menilai. "Mbak berani ambil kredit sampai puluhan juta, tahu berapa persen bunga yang bakal ditanggung. Kok, sudah waktunya bayar, Mbak malah pake alasan nggak ada duit? Mana susah banget dicarinya. Sengaja kabur, ya?"

"Kami cuma melakukan perintah dari kantor. Sekarang kudu bayar, Mbak." Laki-laki yang duduk di sebelah Katlyn ikut menimpali. "Mau Mbak pinjem lagi ke orang, jual diri atau jual organ, terserah. Pokoknya kita tungguin sekarang."

Katlyn menggigit bibir, menahan tangis. "Emang yang nerima jual beli organ jam segini masih buka, Pak? Kalau bisa cepet, saya nggak masalah. Toh, cuma satu ginjal yang dijual."

Dua debt collector yang mengelilingi Katlyn saling pandang. Mereka juga tidak tahu. "Ribet kalau jual organ, Mbak. Jual diri aja, deh. Langsung kelihatan hasilnya."

"Saya kudu cari pelanggan dulu kalau gitu," gumam Katlyn. "Masa kalian berdua mau nungguin saya?"

Mereka kompak mengangguk. "Lebih cepat, lebih baik. Kami harus bawa hasil hari ini."

"Kalau kalian ngikutin saya, nanti nggak ada pelanggan yang mau. Keburu takut dulu sama kalian." Katlyn mencoba bernegosiasi.

"Kalau Mbak Katlyn ini nggak ditungguin, entar kabur lagi. Nyariin Mbak itu susah banget. Gonta-ganti alamat sama nomor telepon terus."

"Gimana? Kudu lunas hari ini, lho!" Si laki-laki dengan rokok masih memandang Katlyn sambil berpikir. "Kalau dilihat-lihat, badan kayak Mbak gini sekali dapet bisalah sejuta dua juta. Tapi walaupun ngelayanin pelanggan nonstop sampai besok, belum tentu ketutup utangnya. Kita kasih kemudahan, deh. Hari ini boleh bayar setengahnya, tapi besok wajib lunas."

Katlyn menahan tangis. Ia tak bisa membayangkan jadi pelacur hanya demi membayar utang kartu kredit. Jika boleh memilih, dia lebih suka prospek menjual satu ginjal. Kalau laku, masih ada kembaliannya. Lumayan untuk tabungan.

"Kok diem, Mbak? Keburu hujan, nih!"

"Kalau perlu, saya yang anterin Mbak ketemu pelanggan. Cari dulu, gih! Biasanya pake media sosial manjur. Cepet! Posting aja foto semi-telanjang buat pancingan. Punya, 'kan?"

Katlyn tahu kalau dua debt collector ini hanya sedang melakukan tugasnya demi mencari nafkah. Namun, saran dari mereka membuatnya takut. Ia merasa dilecehkan secara terang-terangan, entah sengaja atau tidak.

Ia masih bergeming. Otaknya berputar untuk mencari cara agar dapat lolos dari mereka. Jika gesit, Katlyn bisa saja memanfaatkan celah di samping kirinya. Dua orang ini punya motor. Katlyn harus menjauhi jalan raya supaya tidak mudah terkejar. Ia cukup percaya diri dengan kekuatan kaki-kakinya untuk berlari. Pasti cukup sulit mengejar dengan tubuh sebongsor mereka.

Oke, Katlyn sudah memantapkan hati. Dicengkeramnya tasnya kuat-kuat. Ia hanya perlu mengalihkan perhatian sedikit dan lari sekencang-kencangnya saat ada kesempatan.

"Eh, ada Pak Polisi!" tunjuk Katlyn.

Benar saja, dua debt collector yang sejak tadi mengelilingnya langsung menegakkan tubuh, khawatir polisi menghampiri dan bertanya macam-macam. Begitu sadar baru saja dibodohi, mereka berbalik ke arah Katlyn.

"Juancok! Mlayu maneh, Cok!"

"Ndang dikejar!"

Punggung Katlyn sudah menjauh.

Para debt collector itu tergopoh mengambil motor, tetapi gerakan mereka terhenti setelah dua jarum beracun melesat di udara sampai tertanam ke masing-masing leher mereka. Tepat di pembuluh darah. Obat bius dosis tinggi yang kini masuk ke aliran darah membuat keduanya roboh ke tanah. Mereka jatuh tertidur. Salah satunya bahkan sudah mendengkur keras.

Sebuah mobil van hitam berhenti di depan halte bersamaan dengan Looney yang keluar dari semak-semak tempat persembunyiannya sejak tadi.

"Bantuin, Kak! Berat!" erang Looney ketika mencoba mengangkat salah satu lengan laki-laki yang tak sadarkan diri.

"Tea, aman?" tanya Maniak yang berada di balik kemudi.

"Aman. Lalu lintasnya udah gue atur supaya nggak ada kendaraan lewat sini. Lima menit. Cukup, 'kan?" Tea duduk sambil mengangkat satu kaki untuk menopang laptop di pangkuannya.

"Biar tepat waktu, ko bantu jugalah! Sa pu badan, kan, kerempeng!" protes Maniak ketika dilihatnya Tea tidak juga turun dari van.

Tea mendecakkan lidah. "Kalau gue ikut bantuin, terus yang ngawasin jalan siapa?"

Maniak terus menggerutu.

***

"Apa dulu, nih? Dicelup peroksida atau diukir?" Looney mengacungkan belati tajam kesayangannya.

Dua debt collector yang sedang terikat di kursi dengan mulut disumpal kain itu mendadak panik. Mereka sudah sadar sejak tadi dan kebetulan menjadi saksi persiapan alat-alat yang akan digunakan. Ngerinya, yang menyiapkan alat-alat itu justru bocah bau kencur. Dua orang dewasa lain yang menculik mereka kelihatan tenang-tenang saja mengobrol—tentang entah mayat siapa—selagi si bocah menyiapkan segalanya.

Para debt collector malang itu membelalak saat Looney mendorong meja yang berisi perlengkapan seperti tang, bovie, bor tangan, dan lainnya. Teriakan mereka teredam oleh kain yang disumpal ke mulut.

Maniak meletakkan tabung kaca besar berisi cairan peroksida pekat dengan konsentrasi tinggi di atas meja. Cairan di dalam tabung itu tak berwarna.

Looney menggeleng. "Kalau dicelupin duluan, nanti kulitnya ilang setulang-tulangnya. Aku nggak bisa ngukir, dong!" protesnya.

"Mereka ada dua, Looney. Berbagilah. Satu ko, satu buat sa!"

"Nggak mau! Aku pengin dua-duanya digambarin unicorn pake ini!" Looney terus-terusan mengacungkan belatinya, tak sabar ingin segera mengukir dada tawanan mereka sekaligus.

"Ya sudah, ko ukir saja! Sa mau celupin jempol kakinya."

"Jangan! Nanti mereka nggak konsen! Satu-satulah!" Maksud Looney, tidak konsen merasakan rasa sakit yang mana dulu.

"Kenapa ko egois sekali?" protes Maniak.

"Ini namanya negosiasi!"

Tea yang sedang sibuk push rank demi menaikkan level game online mendesah dramatis. "Lo berdua berisik banget! Suit ajalah! Yang menang, duluan!" cetusnya.

"Nah, ide bagus. Ayo, suit!" Maniak menimpali karena setuju dengan ide itu.

Looney mengangguk. Mereka melakukan suit beberapa kali. Hasilnya selalu seri. Maniak dan Looney sama-sama tidak mau kalah. Bagaimanapun, dua tahanan baru mereka harus menerima eksekusi. Sudah lama komplotan mereka tidak mendapatkan tawanan sebanyak hari ini.

"Sa menang!" Maniak berseru sambil meninju udara.

"Nggak! Ayo diulang!" Looney mengentakkan kakinya sebal. Ia menggenggam belati erat-erat.

"Ko egois, Looney! Yang fair, dong!"

Perdebatan mereka tertunda oleh suara keras kunci motor yang membentur meja. J baru saja tiba. Ia memandangi tiga orang anggotanya satu per satu, lalu beralih pada dua laki-laki dewasa yang diikat di kursi serta tiga orang berpakaian hitam yang disalib di balik jeruji besi dengan tali tambang. Kepala mereka dipasangi mahkota berduri dan sekarang dalam keadaan lemas, hampir sekarat.

Di sebelah sel, berdiri sebuah tangki raksasa yang berisi cairan keruh. Jika dilihat lebih dekat, cairan itu berubah keruh karena proses pelarutan jasad tubuh manusia yang membeku. Jasad itu merupakan mayat yang ditemukan Katlyn semalam di dalam freezer. Sekarang sedang melalui proses pemusnahan.

Ruangan ini sudah mirip tempat penjagalan yang mengutamakan kerapian.

"Kalian ini apa? Psikopat?" gerutu J setengah hati.

Looney menghampirinya. "Kami nangkep orang-orang Krotos yang gangguin Kak Kat!" Ia memberi pengumuman dengan antusias sambil menunjuk dua tawanan yang terikat di kursi.

"Mereka siapa?" J memandangi tiga orang di balik jeruji. Darah menetes-netes dari wajah mereka. Salah satunya punya leher berlubang. Sebuah pensil masih menancap di sana.

"Maling. Ketangkep waktu ketahuan ngendap-endap di rumah."

"Bukan orang Krotos, kok," sahut Tea dari meja lain. Cewek itu bahkan tak mengangkat kepalanya saat J tiba.

J lagi-lagi memandang Maniak dan Looney bergantian. "Kenapa disekap di sini?"

"Bingung soalnya mau dibawa ke mana." Looney menggaruk kepalanya. "Dibunuh juga belum salah apa-apa."

J menghela napas berat. "Kalian ceroboh." Ia melempar jaketnya ke kursi terdekat. "Jadi, dari mana kalian tahu kalau dua orang ini," dia menunjuk dua tawanan baru di depannya, "adalah orang kiriman Krotos?"

Maniak dan Looney kompak memandang Tea, si profiler. Yang ditatap justru sibuk menyiksa keyboard laptopnya demi menaikkan level game.

"Tea ...." Panggilan J yang bernada dingin membuat Tea berhenti bermain.

"Apaan?"

"You heard me." Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada, menunggu jawaban.

Tea mengembuskan napas berat lewat mulut. "Bukan kiriman Krotos. Mereka debt collector."

Looney mendadak panik. "Ta-tapi ... tapi mereka kasar banget ke Kak Kat!" Ia tak mau tawanannya hari ini dilepaskan J. Looney butuh mainan baru untuk menyegarkan kepalanya sehabis ujian tengah semester, bahkan baju seragamnya belum diganti. Semua orang bisa lihat di mana remaja itu bersekolah.

Kini, Looney mendapat perhatian J sepenuhnya.

"Kasar?" tanya J.

Looney mengangguk heboh. "Mereka ...," tunjuknya pada dua tawanan yang terus-terusan berontak di atas kursi, "nyuruh Kak Kat jual organ, abis itu jual diri."

Saat mendengar laporan Looney, J meraih sebuah tang besar dari atas meja untuk ditimbang-timbang. Dia mengamati wajah tawanan di depan mereka sebelum mencengkeramnya. J melepas kain sumpalan dari dalam mulut si tawanan hingga memungkinkannya berteriak kencang-kencang.

"Scream for your life."

Dengan cengkeraman kuat, J memaksa mulut si tawanan terbuka lebar, kemudian mencabut salah satu gigi taringnya menggunakan tang dalam sekali entakan. Darah mengucur deras dari gusinya.

Tawanan itu berteriak minta ampun.

J tak peduli. Ia merampas belati dari tangan Looney, lalu menancapkannya ke paha si tawanan.

"Am-ampun, Bang! Ampun!"

"Berapa utangnya sampai kalian nyuruh Katlyn jual diri?" desis J penuh kemarahan.

Tea menyeringai lebar. Satu tawanan yang masih selamat menggeleng kuat-kuat ke arah Tea, berharap gadis berkacamata itu tidak membuatnya jadi korban berikutnya.

"Totalnya 411 juta rupiah, sudah termasuk bunga dan denda." Tea menyebutkan dengan suara lantang.

"Buat semua utangnya lunas!" titah J.

Tea mengangkat satu jempol, lalu menatap laptop lagi. Setelah beberapa detik berpikir, ia menoleh ke arah J. "Jok, lunasinnya pake cara jujur atau biasa?"

"Pake nanya segala! Ya, biasalah!"

Tea mengangguk sebelum menatap monitor lagi. Tak berapa lama, ia kembali memandang J. "Jok, yang bisa ngeretas data bank, kan, cuma lo."

J baru sadar. Meretas data bank cukup memakan waktu. Dia perlu sehari semalam untuk membuat semua utang Katlyn lunas tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia tidak punya waktu selama itu.

"Ya udah, pake jalur yang jujur!"

"Oh, oke." Tea baru akan menyentuh keyboard ketika tiba-tiba ingat sesuatu. "Jok?"

"Apa lagi?"

"Lo mau bayar utangnya pake duit apa?"

Janesa berpikir sebentar. Mereka tidak punya rekening pribadi atas nama sendiri. Terlalu berisiko. Mereka menerima pembayaran lewat mata uang digital alias cryptocurrency, tunai, dan batu permata. Kadang-kadang J memilih untuk mendapat tiket konser gratis jika menyelesaikan misi ringan yang hanya memerlukan dirinya untuk melacak orang.

"Pake bitcoin bagianku dari Scaroni." J menyinggung misi Italia yang sengaja digagalkan beberapa waktu lalu.

Mendapat perintah baru, sepuluh jari Tea bergerak lincah di atas keyboard untuk menukar bitcoin bagian J agar bisa digunakan untuk melunasi semua utang Katlyn. Melakukan hal jujur sekali-sekali membuat adrenalin Tea terpacu. Jadi begini rasanya menjadi orang yang lurus.

"Mau ke mana?" tanya Looney saat melihat J mengambil kembali jaketnya setelah mengelap tangan kirinya yang kena darah dari gusi tawanan.

"Ketemu gebetan."

"Debt collector-nya boleh dibunuh nggak?"

Pertanyaan Looney mengundang erangan serta isakan dari dua tawanan mereka.

J mendengkus. "Lepasin mereka semua!" Ia menatap Maniak yang sejak tadi diam. "Pastikan mereka hilang ingatan sebelum dilepas."

Maniak mengangguk, sedangkan Looney menghela napas kecewa.

"Maling dalam sel juga?" Looney menunjuk tiga orang korbannya dua malam yang lalu.

"Semuanya." J menjawab singkat sebelum pergi dari ruangan besar yang khusus digunakan Maniak sebagai ruang kerja. Ruangan itu berada di bawah tanah yang luasnya mirip lantai parkir basemen mal besar Surabaya.

Selagi lantai bawah dimanfaatkan sebagai ruang kerja Maniak, lantai atas berupa toko kelontong yang menjual obat-obatan herbal Cina bernama Zhang Zao. Beberapa karyawan toko yang melihat J keluar dari ruang bawah tanah memilih untuk mengabaikannya saja seperti yang sudah-sudah. Mereka lebih suka menganggap J tak kasatmata.

***

Sudah dua jam lebih Katlyn menghabiskan waktu di bawah air. Ia mendapatkan izin khusus dari Baron untuk menggunakan akuarium dengan alasan melatih trik baru.

Katlyn sengaja kembali ke Seaworld karena cemas debt collector yang mengadangnya tadi tahu alamat tempatnya tinggal selama ini. Satu-satunya hal yang terlintas di kepala Katlyn ialah bersembunyi selama mungkin sampai para debt collector itu kehilangan jejaknya.

Berhubung Yesi sedang mencoba ekor baru, Katlyn jadi punya alasan agar Baron mengizinkannya menyelam di luar jam kerja. Yesi mencoba ekor barunya di permukaan selagi Katlyn menyelam sampai dasar seperti biasa. Ia memilih ekor duyung berbahan kain yang paling jarang digunakan. Warna dan ornamennya memang cantik, tetapi ekor berbahan kain yang dimiliki Katlyn tidak punya tambahan sirip di pinggul seperti ekor berbahan silikon. Selain punya harga yang lebih murah serta perawatan lebih mudah, ekor berbahan kain juga membuat Katlyn dapat berenang lebih cepat dan cocok digunakan untuk menyelam tanpa membuang banyak tenaga karena bobotnya lebih ringan daripada ekor silikon.

"Gimana ekornya? Nyaman?" tanya Katlyn ketika naik ke permukaan untuk mengambil napas.

Yesi kelihatan ragu. "Belum terbiasa. Berat banget!" Ia mendapatkan ekor silikon baru karena ekor lamanya sudah rusak sampai mustahil untuk diperbaiki. Karena harga yang mahal dan harus dibuat khusus sesuai bentuk tubuhnya, Yesi mendapatkan ekor baru setelah dua bulan bekerja dengan ekor berbahan kain.

Katlyn terkekeh. "Kelar dari sini, jangan lupa tempelin koyo di punggung sama pinggang. Besok bakal berasa sakit semua." Karena pernah merasakannya, ia percaya diri memberikan saran. "Test drive-nya di permukaan aja. Kalau udah terbiasa, baru nyelam."

Yesi mengangguk, memang itu rencananya. Ia tak berani menyelam ke dasar kalau masih belum mahir mengendalikan ekornya sendiri.

Demi membiarkan Yesi beradaptasi dengan ekor baru, Katlyn kembali menyelam ke dalam air. Di bawah, ia bertemu Louis si Paus Orca. Mereka melakukan high five singkat sebagai sapaan. Berhubung Louis berenang ke arah yang berlawanan menuju area atraksi lumba-lumba, Katlyn bertualang sendiri menyusuri dasar akuarium yang sudah dianggapnya sebagai rumah kedua.

Katlyn berenang menuju kaca pembatas, tempat di mana para pengunjung biasanya berkumpul untuk menontonnya.

Di sana telah berdiri seseorang. Katlyn buru-buru mendekat. Ia ingin tahu siapa yang masih berada di wahana selain dirinya, Yesi, dan para petugas berkepentingan.

Ah, seharusnya ia bisa menduga. Yang sedang berada di balik kaca pembatas itu adalah Janesa. Entah bagaimana caranya lelaki itu masuk kemari tanpa keributan, Katlyn sudah tak penasaran.

Ia menempelkan telapak tangannya ke kaca pembatas di mana Janesa berdiri diam, menatapnya seraya bersandar pada besi pembatas. Katlyn tidak bisa menerka apa yang ada di pikiran Janesa saat memandangnya dengan sorot sendu bercampur kekaguman seperti sekarang.

Separuh tebakan Katlyn memanglah benar.

Kekaguman di hati Janesa mendominasi ketika melihat Kitten-nya berada di depan mata. Kaca pembatas dan air yang mengelilingi Katlyn membuatnya mirip makhluk magis. Rambut silver keabu-abuan bergerak ke sana kemari, dengan indah mengikuti arus air di sekitar kepala Katlyn.

Janesa mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, lalu mengetikkan sesuatu di sana. Tak lama, ia membalik layar agar Katlyn dapat membaca dari balik kaca pembatas.

Kamu cantik.

Usai membacanya, Katlyn memandang Janesa. Tak tampak ekspresi tertentu dari raut wajahnya.

Janesa masih belum selesai. Ia mengetikkan hal lain secara kilat sebelum menunjukkannya pada Katlyn lagi.

Balikan, yuk?

Katlyn masih tak bereaksi. Wajahnya datar-datar saja, tanpa senyum seakan tak membaca apa yang barusan Janesa tunjukkan.

Ketika ia pergi menjauhi kaca pembatas, Janesa tak tahu apakah itu bertujuan untuk menghindarinya atau sudah waktunya Katlyn mengambil napas.

***

Di luar hujan deras. Janesa sedang menunggu di dekat pintu saat Katlyn keluar dari gedung. Sebatang rokok tersemat di antara dua jarinya. Lelaki itu hanya menoleh sekilas seolah tahu Katlyn pasti menghampirinya.

"Bersedia dengar kamu kemarin bukan berarti aku percaya kamu sepenuhnya, maafin kamu, apalagi bersedia nerima bantuan kamu," ujar Katlyn.

"Aku cuma mau nganterin kamu pulang."

"You don't have to."

"Yet I want to." Janesa mengedikkan bahu.

"Lagian, aku udah kapok naik motor kamu. Apalagi hujan begini."

Janesa mengisap rokok dalam-dalam sebelum melempar sisanya ke lantai. "Aku bawa mobil." Ia menginjak puntung rokok itu sampai hancur.

"Nyuri punya siapa?"

Janesa memutar bola matanya. Sulit memutuskan harus tersinggung atau tidak. Toh, mobil yang dia kendarai memang hasil mencuri dan sekarang sudah jadi hak milik komplotannya.

Lelaki itu melepas jaketnya sebelum diberikan pada Katlyn. Bukannya menjelaskan lebih lanjut, Janesa malah menunjuk Rover hitam yang diparkir tak jauh dari posisi mereka berdiri.

Di saat yang sama, Katlyn sedang mempertimbangkan kemungkinan bertemu lagi dengan debt collector yang tadi.

"Apa susahnya nerima bantuanku?"

Katlyn menoleh karena pertanyaan bernada tak sabar dari Janesa. "Aku lagi nggak ngerasa sesusah itu sampai perlu nerima bantuanmu."

Jika berniat membantu, kenapa tidak melakukannya sejak dulu saat Katlyn dan Timothy kelaparan? Atau saat ia tak punya uang sepeser pun dan meninggalkan banyak utang di bank? Atau saat tadi, ketika ia membutuhkan bantuan untuk menghadapi debt collector?

Ha! Seperti Janesa tak akan menipunya lagi saja!

Janesa itu selicik ular. Ah, salah. Kasihan ularnya kalau disamakan dengan Janesa.

"Ditambah, kamu orang yang disewa buat membunuh mamaku. Memangnya aku setolol itu sampai kamu berpikiran aku akan anggep semuanya baik-baik aja?" lanjut Katlyn.

"Aku cuma ngelakuin hal terbaik yang kubisa." Janesa mengedikkan bahu. Ini bukan waktunya membela diri, tetapi pikiran buruk Katlyn tentangnya perlu diluruskan. Lurus versi Janesa belum tentu lurus bagi Katlyn.

"Bagian mana yang belum kamu pahami?" desah Katlyn sebelum menatap Janesa lekat-lekat. "Kamu. Membunuh. Mamaku. Apa pun konteksnya, kamu tetap pembunuh."

"I'm not proud of what I've done, but I have no regrets."

"Kalimat sebelum kata 'tapi' biasanya omong kosong."

"You hate me that much?"

"More than much," bisiknya. Pandangannya menerawang jauh. Saking bencinya, Katlyn sampai tidak tahu apa yang harus ia perbuat pada Janesa.

"Well," Janesa menghela napas berat, "doesn't matter. Ada hal yang lebih penting dari perasaan bencimu atau perasaanku yang bertepuk sebelah tangan."

Katlyn mengangguk, kali ini setuju. "Ada banyak orang yang perlu dipikirin." Ia menatap Janesa tepat di matanya. "Itu pun kalau kamu berkata jujur kemarin. Tentang virus, Krotos, dan Mama."

"Aku senang kita sepakat seenggaknya tentang satu hal." Lelaki itu menyeringai tipis. "Jadi, kamu mau dianter pulang nggak? Hujannya bakal deras sampe malem."

"Fine." Akhirnya, Katlyn menyahut usai terdiam lama.

***

"Mau makan dulu?" Nada Janesa terdengar amat kasual.

Katlyn memutar bola mata. Dapat dipastikan dia akan muntah kalau harus makan bersama Janesa. Walaupun sudah dijuteki berkali-kali, Janesa masih tak menyerah menawarinya ini-itu.

Ia menggumamkan penolakannya selagi mengamati lalu-lalang kendaraan yang mereka lewati. Hujan senja itu mengguyur makin deras. Langit sudah tampak seperti malam hari karena terlalu mendung.

"Papa kamu udah nggak ditahan di Jawa Barat."

Kalimat Janesa barusan mendapatkan perhatian Katlyn sepenuhnya.

"Apa?" Ia menoleh ke arah Janesa yang fokus menyetir, menuntut penjelasan. "Di mana? Gimana aku bisa tahu kalau kamu nggak bohong tentang ini? Kenapa aku nggak dapet notifikasi dari pihak lapas?" desak Katlyn.

"Kalau kamu dinotifikasi, kemungkinan besar pihak Krotos juga bakal dengar."

"Tapi, dipindahin ke mana? Aku harus ngunjungin papaku dalam waktu dekat!"

"Chill, Kitten. I'll take you to him."

"Kapan?" kejar Katlyn.

"Secepatnya, tapi bukan hari ini."

"Like what? Kenapa juga aku harus nunggu kamu buat ketemu papaku sendiri?" Katlyn mulai kehilangan kesabaran.

Janesa tidak merespons. Sejak tadi, tatapannya selalu tertuju ke spion. Perhatiannya terbelah.

"Janesa!"

"Bentar, Sayang. Ada yang ngikutin kita."

Katlyn mengernyit. Entah karena panggilan dari Janesa barusan atau fakta bahwa ada Cadillac hitam di belakang mereka.

Memiliki Cadillac mewah bukanlah pemandangan umum di Surabaya. Sekalipun banyak super car berseliweran di jalan raya daerah ini, tetap saja jenis Cadillac bisa dibilang sangat jarang terlihat.

"Siapa?" Katlyn mulai merasakan jantungnya berdegup kian cepat.

Janesa mengedikkan sebelah bahu. "Krotos, mungkin."

"Apa mereka memburu kita?"

"Bukan kita, tapi kamu."

Katlyn menelan ludah. "Te-terus gimana?"

Janesa tak menjawab. Lelaki itu masih santai menyetir. Karena terlalu sibuk menengok ke belakang, Katlyn sampai tak sadar arah yang dituju Janesa bukanlah rumah.

Mereka berhenti di depan minimarket yang lokasinya agak jauh dari jalan raya. Meskipun kanan-kirinya merupakan pabrik dan gudang yang masih beroperasi, tetapi secara keseluruhan tempat ini cukup lengang.

Cadillac yang tadi dilihat Katlyn berhenti di sebelah mobil Janesa. Tentu saja hal itu membuat Katlyn makin cemas.

"Kok, kita turun di sini?"

Awalnya, ia mengira mereka akan terlibat kejar-kejaran di jalan, bukannya berhenti di depan sebuah minimarket.

"Kita turun di sini. Tutupin kepalamu pake jaket biar nggak kebasahan." Janesa mengenakan topi hitam untuk melindungi kepalanya sendiri.

"Sebentar, sebentar!" Katlyn tak sengaja berseru ketika Janesa hampir membuka pintu mobil. "Itu beneran Krotos atau bukan? Kalau mereka bunuh kita, gimana?"

"No one's gonna hurt you. Nah, sekarang, ayo turun dan bersikap seolah kita nggak tahu mereka itu suruhan Krotos, hm?" Janesa menggenggam tangannya, meremasnya sedikit demi membuat Katlyn merasa lebih baik.

Tidak bisa. Katlyn tetap panik. Perkataan Janesa barusan berbanding lurus dengan sikap masa bodohnya.

Janesa mendecakkan lidah sebelum melanjutkan, "Kitten, tenang. Kamu akan baik-baik aja selama kamu nurut apa kataku."

Jantung Katlyn masih berdegup kencang. Ia tak punya pilihan selain mengangguk.

Keduanya turun agak terburu untuk menghindari hujan deras. Jaket kulit Janesa menutupi kepala Katlyn selagi lengan lelaki itu merangkul pundaknya, menuntun Katlyn menuju minimarket. Tak disangka, pengendara Cadillac juga ikut turun. Mereka berjumlah dua orang. Semuanya laki-laki berpakaian hitam. Tubuh mereka tegap dan besar. Salah satu dari mereka punya tato yang menutupi separuh wajah.

Berbeda dari Janesa dan Katlyn yang sewajarnya cemas kebasahan, dua laki-laki pengendara Cadillac tampak santai berjalan di bawah guyuran hujan.

"Selamat datang, selamat belanja!" Sapaan kasir di dekat pintu masuk menyambut Janesa dan Katlyn.

Ketika melihat Janesa, si kasir sontak mengulurkan satu tangannya ke bawah meja, lalu meletakkan sebuah revolver laras pendek ke atas meja. Kotak kecil berisi amunisi menyusul kemudian. Kasir itu masih tersenyum tatkala Janesa meraih revolver dan kotak amunisi tanpa memandangnya sama sekali.

Janesa mendorong selongsong silinder magasin dan mengisi setiap selongsongnya dengan peluru yang ia ambil dari kotak di atas meja. Setelah semua selongsong terisi dan kembali ke posisi semula, lelaki itu menarik hammer ibu jari dalam posisi siap menembak. Ia tak perlu mencoba untuk tahu revolver itu berfungsi dengan semestinya.

Selagi Janesa mempersiapkan senjata dalam kecepatan mengagumkan, selama itu pula Katlyn membelalak tak percaya. Ini pertama kalinya ia melihat senjata api.

Janesa menggandeng Katlyn menjauhi pintu untuk memberi kesempatan pada dua laki-laki Cadillac masuk ke dalam toko.

"Selamat datang, selamat belanja!" Si kasir kembali menyapa dengan ekspresi ramah, kecuali perlakuannya. Ia tak memberikan senjata api pada mereka seperti yang dilakukannya pada Janesa.

Selain suara guyuran hujan di luar, minimarket ini sunyi. Sunyi yang ganjil.

Janesa menuntun Katlyn dalam diam menuju lorong peralatan rumah tangga. Sesekali Janesa mendongak untuk melihat bayangan dua pengunjung mencurigakan yang mengikuti mereka lewat cermin cembung di sudut atas toko.

Tanpa sadar, Katlyn telah menggenggam lengan Janesa kuat-kuat. Kecemasannya muncul untuk mengantisipasi hal yang akan terjadi sebentar lagi. Kepala Katlyn masih berusaha untuk mencerna sekelilingnya.

Janesa punya senjata api. Dua laki-laki menaiki Cadillac mencurigakan tengah memburunya. Toko yang terlalu sempit untuk dijadikan tempat persembunyian.

"Tadi katanya kebelet, ada toilet di belakang." Tiba-tiba, Janesa menoleh.

Katlyn mengerjapkan mata, bingung. "Hah?"

Janesa tersenyum tipis. "Nggak baik nahan pipis lama-lama. Buruan sana!" Ia menarik Katlyn menuju pintu yang agak tersembunyi di belakang toko.

"Ta-tapi ...." Katlyn masih enggan melepaskan genggamannya pada lelaki itu. Ia menggeleng ketakutan.

"Just do what I said, Kitten."

Suara Janesa lembut, penuh pengertian. Di balik topi itu, Katlyn merasa Janesa sedang bersungguh-sungguh.

Walau enggan, akhirnya Katlyn melepaskan lengan Janesa. Dengan patuh, ia masuk ke ruangan gelap di balik pintu. Alam bawah sadarnya mengatakan kalau berada di pihak Janesa adalah pilihan paling tepat saat ini.

Katlyn melihat sekeliling. Udaranya pengap sekali. Banyak kardus yang belum selesai dibongkar dan rak yang penuh berisi produk-produk toko. Di sebelah rak, ada toilet kecil. Karena ingat pesan Janesa, cewek itu buru-buru masuk ke dalam toilet dan mengunci pintunya.

Jantung Katlyn berdegup kencang. Ia merasa seperti sedang mendapatkan serangan panik.

Tak tahan dengan perasaan bergejolak dalam dadanya, Katlyn duduk berjongkok di dekat pintu. Ia cemas dengan keadaan di luar. Katlyn tak tahu jika kasir itu bisa membantu Janesa atau tidak. Dua laki-laki berbadan besar dengan tampang menakutkan tadi bukanlah lawan yang adil bagi Janesa.

Katlyn menahan pekikan terkejut dari mulutnya saat terdengar suara tembakan di luar. Suaranya keras dan bersahut-sahutan tanpa henti. Siapa menembak siapa, Katlyn hanya bisa menebak-nebak. Tubuhnya gemetar tanpa kendali. Air matanya tak dapat ditahan lagi. Ia merasa bodoh karena tak sanggup bertahan melawan kepanikannya sendiri.

Katlyn tidak tahu sudah berapa lama ia mendengarkan samar-samar keributan di luar. Suara tembakan pada akhirnya berhenti. Hanya ada deru napas Katlyn yang terdengar.

Tok tok tok

Katlyn otomatis melompat berdiri. Ia bersandar pada dinding dengan mata nyalang menatap pintu, berharap tak terbuka tanpa izin darinya.

"Kitten, ini aku."

Ia mendesah lega dan buru-buru membuka pintu toilet. Janesa sudah tak mengenakan topi lagi. Seringaian tipis yang begitu lekat dengan wajah tengilnya muncul sepersekian detik sebelum berganti dengan ekspresi datar. Katlyn hampir tidak mengenalinya.

Oh, Katlyn memang tidak pernah benar-benar mengenal Janesa.

"Umm ... I need to use the bathroom. A bit messy." Janesa menyembunyikan kedua tangannya di balik tubuh. Katlyn sempat melihat percikan merah di ujung sepatu bot kombat Janesa. Tak ingin berspekulasi, ia buru-buru menyingkir dari pintu toilet. "Jangan keluar tanpaku, oke? Aku cuma mau cuci tangan sebentar," lanjutnya.

Katlyn mengangguk cepat. Ia menunggu dengan tak sabar di depan pintu toilet. Tubuhnya berkeringat dingin. Ia menggenggam kedua tangannya agar tak terus-terusan gemetar.

Tak berapa lama, Janesa membuka pintu. Ia tersenyum melihat Katlyn yang penurut. Rugi sekali tadi dia tidak sekalian kencing dulu karena cemas Katlyn meninggalkannya.

"Di sini cuma ada satu pintu keluar masuk. Tetap menunduk sampai kita keluar dari toko, ya?" Janesa merengkuh bahu Katlyn dengan satu lengan yang basah. Nada suara dan sikapnya yang lembut membuat Katlyn merasa agak tenang.

Hanya sementara, sampai Katlyn keluar dari tempat persembunyian kecilnya. Cukup sedetik bagi Katlyn untuk melihat kekacauan yang terjadi di toko.

"Ya Tuhan!" Katlyn bergumam sembari menutup mata. Satu tangannya terangkat untuk menggenggam kalung rosario yang selama ini menggantung di leher. Wajahnya dipalingkan ke arah lain, membuat lelaki itu makin mempererat pelukannya di sekeliling tubuh Katlyn.

Semua isi rak di dalam toko hancur berantakan. Kaca-kaca di lemari pendingin pecah, sebagian besar isi minuman ringan yang di display tumpah ke lantai karena wadahnya hancur. Beberapa rak roboh sekaligus, sedangkan sisanya bergeser dengan posisi tak wajar.

Ada percikan darah di dinding sebelah Katlyn. Di permukaan lampu di atas kepalanya juga. Tentu bukan darah Janesa.

Saat mereka berjalan melewati lorong yang kerusakannya tidak terlalu parah, Katlyn tak sengaja menginjak genangan darah. Janesa tak sempat menariknya menghindar.

Merasakan cairan pekat di bawah sepatunya, Katlyn membuka mata. Tak tahan lagi, ia mengeluarkan isi perutnya ke lantai. Katlyn tak dapat mengatasinya. Darah di mana-mana.

Janesa memegangi rambut Katlyn agar tidak terkena muntahan. Ia memberi isyarat pada kasir lewat anggukan kepala. Kasir itu mendorong troli galon untuk membantunya membawa salah satu mayat yang menghalangi jalan Janesa dan Katlyn. Dalam sekejap, mayat yang mengakibatkan genangan darah di lantai sudah dibawa pergi. Sayang, genangannya masih ada. Katlyn juga belum puas mengeluarkan isi perutnya.

Katlyn lemas bukan main. Kepalanya terasa ringan dan tengkuknya terasa dingin. Ia ingin segera pergi dari tempat ini.

"Tolong ...." Katlyn meraih lengan Janesa yang masih memeganginya. Ia butuh penopang agar tidak merosot ke lantai. Pandangannya berkunang-kunang. Ia masih dapat membayangkan mayat bergelimpangan dengan isi kepala tumpah keluar di depan matanya.

"Mau digendong?" tawar Janesa.

Katlyn buru-buru menggeleng. Sebulir air mata jatuh membasahi pipinya yang berkeringat. Ia menatap Janesa dengan tenaga yang masih tersisa.

"Take me home, please," bisiknya.

Janesa mengangguk. Kali ini tanpa senyum.


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top