6 | THE SIBLINGS
"BADANKU enak banget buat dipeluk?" Janesa menepuk lengan Katlyn yang masih melingkari pinggangnya.
Perlahan, pelukan Katlyn melonggar. Kedua betisnya gemetaran. Janesa membantunya turun dari motor karena kaki Katlyn amat lemas. Ia berpegangan pada lengan Janesa agar tidak jatuh.
"Kenapa?"
"Sebentar, mau ngumpulin nyawa," jawab Katlyn lirih. Kepalanya menunduk sehingga Janesa harus membantunya melepaskan helm.
Ketika helm dilepas, Janesa dapat melihat wajah Katlyn yang pucat pasi.
"Kamu nggak pa-pa?" Dahi Janesa berkerut dalam karena cemas.
Katlyn lekas menggeleng. Pegangannya masih belum dilepaskan. Kedua kakinya juga masih gemetaran.
Janesa menyetir seperti orang gila. Sudah bawanya kencang, salip sana-sini pula! Naik motor Janesa membuat Katlyn merasa lebih dekat dengan Tuhan. Ia takut nyawanya hampir dicabut malam ini juga.
"Mau aku gendong ke dalem?"
Janesa terbukti tidak berbohong saat mengatakan tahu di mana rumah Katlyn. Tanpa diberi arahan, dia berhasil membawanya pulang. Memang penguntit ulung.
Katlyn mendongak ke atas, ke arah jendela kamar yang tirainya terbuka dan menampakkan wajah Luna di baliknya. Itu jendela kamar Katlyn. Mereka diawasi.
Janesa ikut mendongak ke arah yang sama. Luna hanya tersenyum tipis, amat samar.
"Kamarmu?" tanya Janesa sok penasaran.
Yang ditanya enggan menjawab. Isi kamar Katlyn memang tidak banyak, bahkan bisa dibilang tidak ada barang berharga di sana. Anak-anak di rumah ini sering keluar-masuk kamar Katlyn karena diajak oleh Timothy. Sejauh ini, Katlyn tetap percaya kalau para penghuni dewasa di rumah pasti tahu batas-batas privasi. Dia belum memutuskan Luna termasuk kategori dewasa atau anak-anak.
Katlyn berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah.
"Aku haus."
Ia agak terperanjat karena rupanya Janesa mengikutinya sampai ke dapur. Laki-laki itu bersandar di tepi meja makan, menunggu Katlyn memberikan minuman dari dalam kulkas.
"Lanjutin ceritamu yang tadi." Katlyn menarik kursi di dekat Janesa setelah mengulurkan segelas air padanya.
Janesa mengangguk. Ia menghabiskan air dalam sekali minum. "Sampai mana tadi?" tanyanya kemudian.
"Krotos Enterprises dan Revita. Ada hubungan apa mereka sama kematian mamaku?"
"Ah, sebaiknya aku mulai dari virus D6 dulu. Kamu tahu ebola di Afrika?"
Katlyn mengangguk. Ebola tercatat sebagai wabah tertinggi dalam sejarah WHO. Penyakit ini pertama kali terdeteksi tahun '70-an di Kongo. Disebabkan oleh virus yang dibawa hewan hingga menjangkiti manusia lewat darah hewan yang terjangkit. Gejalanya berupa demam, mual, muntah, diare, sampai pendarahan dari mata, hidung, dan anus.
"Legacy Biopharma berusaha bikin antivirusnya sejak akhir tahun '80-an. Dalam perjalanan nemuin antivirus dan vaksin, ilmuwan di Legacy Biopharma justru bikin mutasi virus baru dari ebola itu sendiri. Mutasinya disebut D6. Jauh lebih mematikan dari ebola. Virus jenis itu bisa bawa keuntungan yang nggak terhingga bagi perusahaan multinasional pencipta perang saudara semacam Krotos. Singkatnya, konflik internal di Legacy Biopharma jadi celah bagi Krotos untuk beli virus itu."
"Kenapa harus virus D6? Virus lain juga masih banyak yang belum ada vaksinnya. Itu pun kalau tujuan Krotos adalah nyari senjata biologis baru yang bisa dijual."
"Bukan cuma dijual, Kitten. Virus D6 punya kemampuan buat musnahin populasi manusia dalam waktu singkat. Belum ada virus yang terbukti bisa habisin populasi dalam satu waktu secepat D6."
"Mamaku nggak akan biarin virus seberbahaya itu jatuh ke tangan yang salah," tepis Katlyn.
"Memang. Mendiang mama kamu nolak habis-habisan kerja sama yang ditawarin Krotos, jadi Krotos bayar kakakku buat nyuri sampel virusnya. Aku sendiri yang dikirim langsung. Waktu itu, aku masih belum tahu agenda genosida yang direncanain Revita. Kupikir Krotos mau sampel virus untuk dijual ke wilayah yang rentan konflik dan perang saudara. Begitu tahu, diam-diam aku temuin mama kamu buat nyari solusi. Well, just for your information, mama kamu pernah nyewa jasaku buat nyari tantemu yang menghilang selama bertahun-tahun."
Katlyn bangkit secara tiba-tiba. Kepalanya mulai sakit. Informasi yang dimuntahkan Janesa tidak bisa dicernanya sekaligus. Ia tak ingat dirinya punya seorang tante.
Janesa tersenyum lembut. "Kita bahkan belum sampai ke bagian yang paling ingin kamu dengar, Kitten."
Cewek itu berjalan hilir mudik sambil memegangi kepalanya.
"Kamu melakukannya lagi," gumam Katlyn frustrasi. Ia menatap Janesa. "Don't mess with my head. I'm done with it."
"Kamu masih mikir kalau aku nipu kamu?"
"Kamu bilang mamaku nggak bunuh diri. Lalu, siapa yang bunuh dia?"
"Aku."
Cukup sudah! Katlyn muak dengan omong kosong ini!
"You, piece of shit!" Katlyn meraih pisau dapur di belakangnya, lalu berjalan cepat ke arah Janesa untuk menusuk jantungnya.
Meleset.
Janesa mengarahkan pisau itu ke dada sebelah kanan, hanya beberapa senti jauhnya dari bahu. Ujung pisau langsung menancap ke tubuh Janesa. Lelaki itu tidak menghindar atau melakukan perlawanan. Ia pasrah saja ketika ujung pisau Katlyn menusuk dadanya.
"Ya Tuhan!" Katlyn mundur hingga melepaskan pegangannya pada gagang pisau.
Sekarang lihat apa yang ia perbuat. Darah perlahan merembes keluar dari luka yang ditimbulkan. Janesa hanya meringis sedikit.
"Ouch!" Janesa mencabut pisau dari dadanya. Darah segar mengalir makin deras. "Kamu berusaha bunuh aku dua kali malam ini."
Mata Katlyn membulat. Kenekatan Janesa berujung pendarahan. Antara dia gila atau memang ingin mati. Katlyn yang panik buru-buru meraih serbet bersih dari kabinet. Ia menggunakan serbet itu untuk menekan luka terbuka di dada Janesa. Tangannya gemetaran karena tidak menyangka darah yang keluar akan sebanyak itu. Masih untung Janesa tidak langsung tewas. Lukanya masih jauh dari organ mana pun.
Pengecut. Ternyata mental Katlyn hanya sebatas ini, padahal ia berniat membunuh Janesa, tapi lagi-lagi gagal dan bahkan berakhir dengan kecemasan Janesa tewas di rumahnya.
Di lain pihak, Janesa justru tersenyum melihat raut panik Katlyn. "Krotos ngirim pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa seluruh keluargamu. Itu aku," ujar Janesa lirih.
"Lukanya dangkal, 'kan?" gumam Katlyn.
Janesa masih melanjutkan, "Mama kamu menyetujuinya. Lebih baik dia dan semua ilmuwan yang berkaitan dengan virus D6 mati daripada disuruh memproduksi virus yang belum tentu ada vaksinnya."
"Kumohon diamlah!" Kedua mata Katlyn nyalang menatap darah di tangan. Ia merasa dirinya tak akan mampu mendengar lebih banyak. "Stop, please ...." Dadanya sesak diimpit kepanikan. Giginya bergemeletuk dan wajahnya sudah basah oleh keringat bercampur air mata.
Janesa yang membunuh Mama? Malam itu, mereka jelas-jelas sedang bersama!
"Ada apa ini?"
Suara Luna mengagetkan mereka.
"Lu-Luna ...." Katlyn tergagap. Ia tidak mau menyuruh Luna memanggil ambulans. Ia ingin mengulur waktu selama mungkin sampai Janesa mati kehabisan darah. Lalu, kenapa lidahnya ingin berkata sebaliknya?
Melihat pemandangan yang ada di depannya, Luna justru mendengkuskan tawa. "Nyawamu ada berapa, J? Heran, susah banget matinya!"
Remaja itu berbalik setelah mengatakan hal yang tidak masuk akal.
"Dia ngomong apa barusan?" Katlyn tertegun.
"Nggak usah didengerin," gerutu Janesa.
Katlyn menatap lelaki itu dengan raut bingung.
"Aduh, darahku habis." Janesa menyandarkan kepalanya ke pundak Katlyn. Tangannya yang bebas dimanfaatkan untuk menarik tubuh Katlyn mendekat. Untungnya cewek itu tidak menolak sama sekali karena lebih sibuk menekan luka Janesa agar pendarahannya segera berhenti.
"Da-darahnya ... aduh!" Pandangan Katlyn berkunang-kunang karena melihat darah terus merembes keluar. Ia tidak cocok jadi pembunuh. Mungkin lain kali dia harus mencoba racun saja untuk diberikan pada musuhnya. "Harus diapain biar nggak keluar terus?" racau Katlyn dengan kepala pening. "Oh, kasih es!"
Katlyn melepaskan diri dari Janesa, membuat lelaki itu protes. "Kitten, luka tusuk nggak diobati pake es."
Katlyn sudah berdiri di depan freezer. Ia menggeser tutupnya, lalu menjulurkan tangan ke dalam untuk meraup es banyak-banyak. Mendadak ia memekik, kemudian mundur ke belakang. Punggungnya menabrak bagian depan tubuh Janesa.
"Ada apa?"
"Ma-mayat!" Katlyn menunjuk freezer dengan tangan gemetar. Tubuhnya merosot ke lantai. Kedua kakinya terlalu lemah untuk dapat menopangnya.
Sambil menekan luka, Janesa beranjak mendekati freezer. Ia ingin mengecek apa yang dilihat Katlyn barusan.
Di dalam memang ada mayat seseorang. Mayat itu milik korban pembunuhan misi. Ternyata mayat itu disimpan di sini. Dibiarkan meringkuk di dasar freezer hingga membeku, bahkan pakaiannya masih lengkap. Pantas saja Katlyn ketakutan.
"Ah, Maniak bodoh!" Janesa mendesah lelah.
Jika dihitung-hitung, mungkin sudah sepuluh menit lebih suasana di dapur itu sehening kuburan. Memang sudah pantas disebut kuburan mengingat ada mayat orang asing meringkuk di dalam freezer bersama tumpukan es dan nugget beku.
Tatapan Janesa terpaku pada Katlyn yang menyandarkan dahinya di atas lutut. Cewek itu duduk bersandar di sebelah oven. Sesekali ia mengangkat kepala sambil memijat pangkal hidungnya. Mata Katlyn terpejam, tetapi bulu matanya basah. Pertanda air mata belum surut.
Mendadak saja, Janesa mendesis. Luna menarik kulitnya terlalu kencang.
"What. The. Fuck!" Mulut Janesa bergerak tanpa suara sambil memolototi Luna.
Luna yang sedang menjahit luka terbuka Janesa dengan jarum melengkung mirip kail hanya meliriknya sekilas. Remaja itu bahkan tidak repot-repot memberinya obat bius. Sengaja, semata-mata demi melihat setangguh apa si Joker.
Di lain sisi, Janesa justru memandangi Katlyn dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Jika ingin mendapatkan kepercayaan Katlyn, ia harus mempertaruhkan semuanya. Kebenaran tentang masa lalu Katlyn memang menyakitkan. Namun, dia berhak tahu segala hal yang terjadi. Hanya itu satu-satunya cara untuk membuat Katlyn berada di pihaknya.
"Sekarang apa?" bisik Luna. Selesai menjahit luka, ia mengolesi salep antibiotik.
Janesa masih bergeming. Ia juga tidak tahu.
"Your turret has been destroyed."
Perhatian mereka bertiga dialihkan oleh suara dari game online yang sedang Tasya mainkan.
"Goblok! Beban aja lo bisanya! Noob!" Tasya sibuk memaki ponselnya. Ia berjalan ke dapur tanpa mengangkat kepala, sudah cukup hafal denah rumah ini sehingga tak perlu mendongak untuk menghindari meja dan kursi.
"Eh, Bocil! Mending lo main kelereng aja sono, nggak usah main di mari!"
"Songong lo, Bangsat!"
"Bacot! Masih bocah udah berani sama orang gede! Gue cari lo! SD lo di mane, hah?" umpat Tasya.
"Ha-ha, lo aja barusan mati suri! Orang gede goblok!"
"Apes banget gue setim sama lo, Babi!"
Dapur mendadak ramai oleh percakapan Tasya dengan rekan setim game online-nya. Sesekali, ia mengentakkan kaki di lantai karena gemas diserang.
"Bentaran, Cil. Gue haus, mau minum dulu, yes?" Tasya membuka lemari es untuk mengambil air. Karena tidak ada minuman ringan, ia memutuskan untuk membuat es sirop.
Tasya mengambil gelas dan mengisinya dengan air serta sirop merah rasa kokopandan, kemudian beranjak menuju freezer. Begitu melihat seonggok mayat meringkuk di dalam, ia mendecakkan lidah.
"Dih, najis! Bikin nggak nafsu minum aja!"
"Kenapa lo?"
"Nggak pa-pa. Nggak jadi minum gue, ayok lanjut!" Cewek itu menutup freezer lagi dan pergi tanpa membawa gelas siropnya.
Selama itu pula, Tasya tak menyadari kehadiran Luna, Janesa, ataupun Katlyn. Ia datang dan pergi tanpa melihat sekeliling.
"Dia nggak tahu kalau itu mayat?" Suara Katlyn parau.
"Mayat?" ulang Luna, wajahnya dipasang polos. Ia melirik Janesa untuk mencari tahu apa yang harus dilakukan. "Yang di dalem freezer itu bukan mayat, Kak," lanjut Luna dengan suara tegas.
Katlyn menenggelamkan kepalanya di atas lutut. "Terus apa?"
"Itu boneka praktikumnya Kak Marko. Sengaja aku umpetin."
"Boneka apa yang besarnya kayak manusia, Luna?" Suara Katlyn terdengar letih. Kalaupun Luna mengakui makhluk di dalam freezer itu betulan mayat seseorang, Katlyn tidak akan terkejut.
Janesa turun dari meja tempatnya jadi pasien jahitan Luna, lalu memeriksa hasil karyanya lewat pantulan di cermin yang menjadi hiasan dinding. Ia mengumpat pelan. Padahal, lukanya hanya satu garis lurus, tetapi Luna menambahkan beberapa garis melengkung lain hingga jahitannya membentuk kepala kuda bertanduk alias unicorn. Janesa sibuk menahan rasa sakit sampai tidak sadar lukanya dijadikan prakarya.
Ketika ia memelotot ke arah Luna, remaja itu hanya mengedikkan bahu, pura-pura tidak tahu. Ia membereskan peralatannya dari meja makan.
Suara desahan napas Katlyn membuat perhatian Janesa teralihkan.
"Biar kulihat." Cewek itu bangkit dan menyuruh Janesa mendekat agar bisa mengecek hasil kerja Luna. Dahinya langsung berkerut.
"Kamu belajar jahit luka di mana, Lun?" tanya Katlyn sambil menyentuh kulit di dekat jahitan Janesa yang memerah. Lelaki itu bertelanjang dada sejak tadi. Luna menggunting kaus polo milik Baron supaya praktis. Lagi pula, kaus itu sudah bolong dan penuh darah. Tidak layak dipakai lagi.
"Di sekolah, aku ikut ekskul PMR, Kak." Luna berdusta, jelas.
"Nggak ditutup dulu biar steril?"
Aktivitas Luna dalam membereskan kotak peralatannya terhenti. "Oh iya, lupa," gumamnya sebelum mengeluarkan kembali semua peralatannya, mencari-cari perban.
***
Janesa meminum obat anti nyeri yang baru diberikan Katlyn. Menurut Katlyn, malam ini Janesa akan mengalami demam ringan. Janesa menurut saja walau sebenarnya tidak butuh obat-obatan. Tubuhnya terbiasa mendapat luka. Luka tusuk seperti ini hanya ringan saja baginya.
"Cuma ada hoodie ini." Katlyn mengulurkan hoodie tebal yang ukurannya cukup besar untuk menutupi tubuh bagian atas Janesa yang telanjang.
"No problem."
Janesa langsung mengenakannya dengan senang hati. Harumnya seperti Katlyn.
Katlyn menggigit bibir bawahnya, kelihatan khawatir. "Kamu bilang kalau kamu dibayar untuk bunuh mamaku." Ia duduk agak jauh dari Janesa, sengaja memberi jarak. "Gimana caranya?"
Air matanya terancam keluar lagi. Katlyn buru-buru menunduk. Ia hampir menyesali keputusan untuk bertanya ini-itu pada Janesa. Mama sudah lama pergi. Mengulik masa lalu hanya akan membuat hati Katlyn sakit, tetapi dirinya perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya.
"Aku menawarkannya sebutir racun. Racun itu sengaja kupilih supaya mama kamu nggak ngerasain sakit saat ... you know." Janesa menatap telapak tangannya seolah sedang menghakimi apa yang telah kedua tangannya perbuat di masa lalu. "Timku yang lain menyabotase TKP supaya kematian mama kamu terlihat seperti tindakan bunuh diri. Kami juga menyuap pihak kepolisian supaya nggak melakukan visum. Mama kamu nyuruh aku lakuin hal yang sama ke semua orang yang berkaitan dengan penemuan virus D6."
Janesa mengangkat kepala, menatap Katlyn yang balik menatapnya dengan wajah lembap. "I did everything I could to hunt and kill them all. Everyone, kecuali satu ilmuwan bernama Edward. Dia berhasil kabur dan bawa satu sampel D6."
Katlyn menundukkan kepala. Air matanya tumpah lagi.
"Pengorbanan mamamu bukannya nggak beralasan, Kat. Orang-orang Krotos bisa ngelakuin apa aja demi dapetin virus itu. Dengan musnahin virus, vaksin yang belum jadi, dan habisin semua orang yang terlibat dalam pembuatannya, diharapin bakal ngehapus sejarah dan fakta tentang D6. Mama kamu berkorban untuk kepentingan banyak orang," lanjut Janesa.
"Dia nggak perlu mati! Ilmuwan lainnya juga nggak perlu mati!" sergah Katlyn tajam.
"Kalau bukan aku yang melakukannya, orang-orang di Krotos Enterprises termasuk Revita, akan maksa mereka memproduksi virus itu secara massal. Seluruh keluarga mereka akan dibantai sebagai ancaman." Janesa menghela napas. "Krotos yang ngirim informasi anonim untuk penjarain papa kamu. Semata-mata demi bikin Legacy Biopharma bangkrut dan membeli perusahaan itu kemudian. Mereka melakukan semuanya sekaligus. Sumber daya mereka nggak terbatas."
Katlyn memalingkan wajahnya ke pintu, tak mampu menatap Janesa lebih lama.
"Kenapa kamu ngasih tahu aku semua ini?"
"I need you."
Katlyn menatapnya geram. "Buat apa lagi?"
"Untuk mempertemukan kamu sama tantemu. Aku butuh kalian berdua untuk mencegah wabah D6 menjangkiti seluruh penduduk dunia."
Informasi itu membuat kedua mata Katlyn mengerjap bingung. "Mak-maksudmu?"
Janesa mengangguk. "Krotos sudah dapat sampel virus itu. Mereka sedang melakukan uji sampel di beberapa negara dalam jumlah kecil. Orang-orang nggak berdosa yang jadi kelinci percobaannya. Hanya menunggu waktu sampai WHO mengumumkan wabah ini sebagai pandemi global."
Katlyn semakin pucat pasi.
***
Tan Mental Hospital merupakan rumah sakit jiwa milik perusahaan induk Tan Group yang tak lain adalah klien J. Fasilitasnya lengkap dan dibuat seaman mungkin untuk para pasien. Itulah sebabnya bangunan ini dilengkapi taman dan halaman yang amat luas agar para penghuni bisa berjalan-jalan jika jenuh karena terlalu lama terkurung di dalam.
Kecuali, satu orang pasien.
Pasien khusus ini ditempatkan di bangsal bawah tanah mirip bungker tanpa sinar matahari. Tidak ada yang boleh berkunjung ke sana selain para dokter dan perawat. Bangsalnya juga memiliki sistem keamanan maksimum, khusus didesain untuk mengurung pasien sepertinya.
Karena sudah lewat tengah malam, sebagian besar lampu di gedung ini dipadamkan. Penerangan di sekitar lorong bawah tanah menjadi temaram karena minimnya cahaya. Monoton adalah satu-satunya kesan yang dapat dilihat dari lapisan beton di sepanjang lorong. Suram dan dingin.
Senandung pelan yang menggema menyambut J ketika menuruni tangga bawah tanah. Ia hafal dengan suara ini. Suara Revita. Nadanya membawa perasaan muram sekaligus putus asa bagi pendengarnya. Hanya sekilas, karena detik berikutnya suara tawa sudah melengking memenuhi lorong.
Memang tidak salah, ini Revita.
J mengeluarkan jam saku dari balik jaketnya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Berada di bawah sini akan membuat seseorang kehilangan ritme waktu. Siang atau malam tidak akan tahu bedanya.
Seorang perawat laki-laki bertubuh tegap berpapasan dengan J di lorong. Perawat itu mengenakan seragam putih dari atas sampai alas kaki. Ia mengangguk singkat seraya menyerahkan kartu akses kamar rawat Revita.
Usai menyerahkannya, sang perawat pergi meninggalkan bangsal untuk memberikan kakak-beradik itu privasi.
Revita berhenti bersenandung tatkala mendengar kunci pintu besi kamar rawatnya terbuka.
"Well, well, well ... lihat, siapa yang datang!" Saat sedang bercakap-cakap, suara Revita cenderung serak. Bagi orang yang baru mengenalnya, suara itu terdengar sensual dan menggoda.
Kamar rawat Revita terang benderang, memungkinkan J untuk melihat bagaimana kondisi kakaknya dengan jelas.
Revita adalah cetakan sempurna J. Kulit mereka sama-sama pucat, hidung mancung, dan bibir sama-sama tipis kemerahan. Hanya saja, rambut panjang sehitam arang yang dulunya indah itu kini kelihatan lepek dan awut-awutan.
"Jarang mandi, Rev?" J menarik kursi, duduk dengan tubuh bagian depan bersandar pada punggung kursi.
Tawa Revita lagi-lagi menggema, melengking nyaring dan jernih. Revita mengayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang sambil menarik-narik ujung baju putih yang ia kenakan. Sengaja. Ia ingin menyembunyikan kuku-kukunya yang sudah tak cantik lagi karena banyak yang lepas dan patah. Ujung jarinya juga lecet-lecet. Ada bercak darah samar yang mengotori lengan bajunya.
J sempat melirik dinding dekat tempat tidur yang bernoda. Nodanya memanjang kemerahan berbentuk seperti cakaran. Tampaknya Revita menghabiskan waktu luangnya untuk menggaruk dinding sampai kuku-kukunya copot.
"Kangen Kakak, ya, J?" tanya Revita dengan seringaian lebar. Saking lebarnya, Janesa sampai khawatir wajah kakaknya robek.
"Krotos masih menghubungimu?"
Revita memiringkan kepala sedikit, mengamati adiknya lamat-lamat. "I'm locked here, J. Gimana caranya aku tahu dunia luar?"
J mengedikkan bahu. "You always have your way."
Revita meletakkan kedua tangannya di bawah dagu, kelihatan sengaja ingin membuat J kesal. Adiknya itu memang paling sebal kalau Revita justru bermain-main saat ia sedang serius. Sayang, kali ini usahanya gagal. Hal yang Revita belum tahu, J menempa mental dan kesabarannya selama bertahun-tahun sejak mereka berpisah.
"Aku lihat hal yang berbeda darimu." Revita menunjuk wajah J sambil menyipitkan mata. "Hal yang seharusnya nggak ada, tapi entah kenapa justru ada." Dia mengerucutkan bibir, menikmati permainan tebak-tebakan dengan dirinya sendiri. "You look ... happier."
Usai mengatakannya, Revita meludah ke lantai seolah kata keramat yang barusan ia ucapkan membakar ujung lidahnya.
Giliran J yang menyeringai. "Aku merasa lebih sehat dan senang sejak kamu tinggal di sini, Revi."
Revita tersenyum mencemooh. "Mungkin karena kamu lupa rasanya darah yang mengalir di antara jari-jarimu. Lupa rasanya kenikmatan karena mendengar teriakan orang yang kamu siksa dengan kedua tanganmu sendiri." Kedua ujung bibir Revita menekuk ke bawah, merasa simpati saat Janesa menatapnya dengan wajah datar. "Kamu nggak pantas jadi sok suci, J."
J berhasil mengendalikan dirinya. "Aku terlalu muda dan naif waktu itu. Mengidolakanmu, padahal hal yang kamu lakukan cuma mencuci otakku."
Revita menyemburkan tawa geli yang memuakkan. Kemudian, ia mendesah dramatis. Perubahan mimik mukanya yang begitu cepat membuat bulu kuduk J berdiri.
"Apa yang direncanakan Krotos?" tanyanya. Lelaki itu mengertakkan gigi.
"Seandainya aku tahu, mana sudi aku memberitahumu?"
"Aku punya waktu semalaman buat meladeni kamu, Revi."
"Revi, Revi, Revi! Kenapa terus memanggilku begitu? Kamu lupa namaku?" Revita menyeringai. "I am still your Raline." Tiba-tiba ia mengerjap, ekspresinya berubah lagi. "Kudengar kamu merekrut anggota baru. Putri tunggal pemimpin Kartel Bermuda Thailand. Lunette? Luna?"
Mendengar nama minion-nya meluncur dari bibir Revita, emosi J menggelegak. Ia mencengkeram ujung sandaran kursi yang didudukinya, menahan ekspresinya sedatar mungkin.
"I'm wondering now, apa kamu sudah memberitahunya kalau kamu orang yang membocorkan lokasi persembunyian omnya ke Interpol? Atau ... tentang siapa yang kamu bayar untuk menghabisi nyawa omnya di penjara?" Revita terkekeh.
J masih bertahan untuk mengendalikan diri. Revita hanya sedang bermain-main. Ia ingin mengetes kesabaran sang adik. Mereka berdua sama-sama tahu kalau segala hal yang berkaitan dengan Luna di masa lalu merupakan ide Revita.
"Oh, oh! Aku juga dengar tentang anak-anak Rosita." Revita coba mengingat-ingat seraya membelai pergelangan kakinya yang dikelilingi rantai besi. Kulit di sekitarnya lecet dan mulai membengkak. "Katlyn Amara Sudiro? Mantan pacarmu, 'kan? Apa dia tahu kalau kamu yang membunuh—"
"SHUT UP! SHUT THE F*CK UP!"
Ternyata J gagal menahannya. Ia sudah berusaha sekuat tenaga agar Revita tidak tahu apa pun tentang Katlyn dan Timothy. Akan tetapi lihat sekarang, mau seketat apa pun pengamanan di rumah sakit jiwa ini atau sejauh apa pun Revita dikurung, informasi tetap akan diterima olehnya.
Tawa melengking Revita memekakkan telinga J. Ingin rasanya ia membekap mulut Revita sampai mati. Revita tertawa sambil menengadahkan kepalanya, terbahak-bahak sampai wajah pucatnya memerah.
"Sekarang aku tahu kenapa kamu kelihatan beda setelah sekian lama, J." Revita mengusap ujung matanya yang basah dengan telunjuk penuh darah kering. "Ternyata karena Katlyn." Ia bertepuk tangan antusias. "I can't wait to see her!" Kemudian, ia tertawa lagi. Suaranya lebih kencang daripada tadi.
"Kamu nggak akan bisa keluar dari sini!" desis J.
"Yeah, yeah, yeah. Lock me up as you want, but my grudge will still hunt you down. Katlyn akan mati, Sayang. Pasti," kikik Revita, merasa antusias dengan ide-ide yang bermunculan di kepalanya.
J melompat dari kursi untuk menghambur ke depan. Kedua tangannya mencekik leher pucat Revita. Suara tercekik mengganggu keheningan ganjil di kamar rawat itu. Tidak ada yang dapat menghentikan J.
"Kamu. Nggak. Bisa. Apa. Apa!" ancam J. Bunyi rantai yang melingkari kaki Revita menjadi latar belakang ucapannya.
Dengan jemari terluka, Revita mencengkeram lengan J. Lidahnya menjulur untuk memberi ruang pada udara. Leher Revita hampir remuk dalam genggaman sang adik.
Air mata berkumpul di pelupuk mata J, menghalangi pandangannya pada wajah Revita yang sekarat. Ia hampir membunuh kakaknya.
J mengentak tubuh Revita, melemparnya kembali ke atas ranjang.
Revita batuk-batuk hebat. Ia meraup oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya lewat mulut.
"Krotos akan mengeluarkan aku dari sini." Selagi mengumpulkan kesadaran, Revita masih sempat-sempatnya membual. "Di hari aku keluar nanti, akan kujamin kalian semua mati! Termasuk kamu!" raungnya.
J mendengkuskan tawa sinis. "Keep dreaming, Revi. Keep dreaming." Ia menendang kursi sampai terlempar membentur dinding. Dengan hati panas, J membanting pintu kamar rawat.
Tawa Revita masih melengking, bahkan ketika J menyusuri lorong temaram bawah tanah menuju pintu keluar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top