5 | TENGGELAM

KEBINGUNGAN menghampirinya begitu Katlyn membuka mata siang itu. Untungnya hari ini ia kebagian sif sore, jadi punya waktu istirahat lebih banyak untuk memulihkan flu yang kemarin sempat menyiksanya.

Ia baru menyadari kalau Timothy tidak ada di sebelahnya, tempat di mana ia biasa tidur. Katlyn buru-buru turun dari kasur untuk mencarinya. Jangan sampai Timothy melihat tiga pencuri yang digantung di—oh, sudah tidak ada!

Tiga pencuri yang dilihatnya semalam tidak terlihat di mana-mana. Katlyn berlari menuruni anak tangga. Matanya memperhatikan lantai tepat di mana ia melihat darah dari leher salah seorang pencuri yang tertembus pensil.

Bersih! Tak ada bekasnya sama sekali!

"Timmy!" seru Katlyn cemas. "Timothy!" Ia berlari ke foyer menuju pintu depan. Begitu melihat Timothy sedang bermain bersama Noir di serambi, ia menghela napas lega. "Timmy, dipanggil Kakak, kok, nggak nyahut, sih?"

Timmy hanya menoleh sebentar sebelum melanjutkan main lempar tangkap bersama Noir. Noir yang melempar, Timothy yang mengejar. Mereka menggunakan ranting kayu kecil yang entah ditemukan di mana.

"Minggir, Mbak!" Katlyn agak terperanjat karena bentakan seseorang. "Sori, ngagetin. Lo jangan di situ, mobil box gue mau lewat!"

Katlyn buru-buru mengamankan Timothy dan Noir ke beranda. Mereka mengamati seorang cewek memakirkan mobil box besar di depan rumah.

"Mau nganter barang, Mbak?" tanya Katlyn.

"Kagak." Cewek berkacamata tebal yang wajahnya berkilau karena minyak sekaligus merah meradang berkat jerawat itu turun dari kursi pengemudi. Dia mengenakan sandal jepit, celana training, serta kaus lusuh bergambar tokoh kartun kuda poni. "Ibu kosnya ada?"

Katlyn menggeleng. "Kalau jam segini masih kerja. Mbak siapa?"

Cewek itu mengelap telapak tangannya yang basah karena keringat ke celana sebelum mengulurkannya pada Katlyn. "Tasya. Gue penghuni baru di sini."

Katlyn membalas uluran tangannya. Tatapan Katlyn tak lepas dari mobil box besar di depannya seraya bertanya-tanya apa saja yang dibawa oleh calon tetangga barunya itu.

Katlyn menyentuh masing-masing pundak Noir dan Timothy. "Kenalan dulu sama Kak Tasya."

Noir dan Timothy bergeming. Kedua bocah itu hanya mendongak ke arah Tasya.

"Anak-anak suka yang cakep. Mungkin mereka ngerasa serem lihat muka gue yang jerawatan." Tasya hanya meringis.

Katlyn buru-buru menggeleng. "Bukan! Bukan gitu. Ini Timothy, adikku. Dia punya autis ringan, jadi kemampuan sosialisasinya buruk. Moody-an." Ia mengacak kepala Timothy sebelum beralih pada Noir. "Yang ini Noir. Dia pake kacamata soalnya—"

"Noir buta, Kak," sahut Noir. Bocah itu menyeringai, memamerkan giginya yang ompong di depan.

Tasya mengangguk. "Bagus, deh. Jadi nggak berisik."

Katlyn tersenyum kecil. Entah apa reaksi Tasya jika nanti bertemu Angkasa dan Jagad. "Mau dibantu nurunin barang?"

"Nggak usah! Gue mau ke samping. Di situ ada pintu yang langsung ke ruang bawah tanah. Gue tinggal di sana."

Katlyn bahkan tidak tahu jika bangunan ini punya rubanah. Kalau keadaan bangunan utama saja setua dan semuram ini, lalu bagaimana dengan keadaan di bawah?

"Katanya banyak hantunya, emang iya? Serius angker?"

"Nggak tahu. Belum pernah turun."

"Eh, ada tamu!" Bu Ika tiba-tiba muncul dari belakang Katlyn, membuatnya terperanjat.

"Siang, Bu. Saya Tasya. Penghuni baru di ruang bawah tanah." Tasya melambai dengan senyum amat lebar.

Bu Ika tertawa kecil. Katlyn tidak melihat letak lucunya di mana.

"Selamat datang kalau begitu! Saya buru-buru mau berangkat kerja." Ia beralih menatap Katlyn dan berujar, "Titip anak-anak, ya, Kat? Sebentar lagi, mereka pulang sekolah. Suruh mereka makan siang nanti. Saya udah kelar masak tadi. Kamu juga harus makan dulu sebelum kerja."

Katlyn mengangguk. Dia teringat kejadian semalam. "Bu, maling yang kemarin—"

Bu Ika mengibaskan tangan. "Udah dibawa Marko ke kantor polisi tadi pagi. Tenang aja! Duluan, ya!"

Mereka semua memandangi kepergian Bu Ika sampai wanita itu menghilang di belokan.

"Di sini rawan maling, Kat?" Pertanyaan Tasya membuat Katlyn fokus lagi padanya.

"Semalem memang ada maling, padahal di rumah ini nggak banyak yang bisa dicuri. Perabotannya tua semua."

Tasya mengangguk-angguk. Ia memandangi muatan di dalam mobil box-nya. Sepertinya dia perlu menyiapkan sistem keamanan canggih di rumah ini. Ah, kalau perlu, perangkap maling sekalian.

***

"Udah enakan, Kat?"

Katlyn baru selesai memberi makan Bobby si Penyu ketika Baron menghampirinya sore itu.

"Udah." Katlyn tersenyum kecil. "Ngomong-ngomong, nanti malem saya boleh pake akuarium?"

"Buat?"

"Nyelam biasa aja. Dulu, saya punya kebiasaan berenang tiap kali saya ngerasa kurang enak badan. Keluar dari air, badan saya langsung enakan. Bukan berarti badan saya masih nggak enak, saya cuma pengin—"

Baron tertawa sambil menyentuh lengan Katlyn sekilas. "Boleh. Pake aja. Siapa yang larang-larang?"

"Boleh?" Katlyn memastikan.

Baron mengangguk. "Kalau kerjaanmu kelar, mau apa juga terserah. Tapi, keamanan tetap nomor satu, ya? Ajak salah satu penyelam yang lagi kosong buat jadi buddy kamu. Jaga-jaga semisal kamu tenggelam. Akuarium itu dalemnya berpuluh-puluh meter, Kat. Apa pun bisa terjadi di sana."

"Saya penyelam bersertifikasi, lho, Bos."

"Iya, tahu. Tapi, kamu sendirian. Emang mau waktu kaki kamu keram dan tenggelam nggak ada yang nolongin kamu? Sekalipun seorang pro, butuh kehati-hatian juga."

Katlyn akhirnya mengangguk. Ia bukannya mau berenang di kolam dangkal malam-malam. Yang mau ia selami itu akuarium raksasa. Wajar kalau bosnya waswas.

"Protokol keamanan tetap yang utama, kok," jawab Katlyn. Baron mengangguk puas mendengar jawabannya. "Ada apa Bos ke sini? Tumben."

Memang bukan hal biasa bagi Baron datang langsung ke area eksaminasi. Jika sedang ingin, Baron hanya berkeliling ke area yang biasanya didatangi pengunjung. Bosnya itu suka mencari tahu apa yang dilihat dan dipikirkan oleh pengunjung. Kalau ada yang mengganjal di penglihatannya, ia pasti buru-buru menegur tim yang bersangkutan sebelum kena komplain dari pengunjung langsung.

"Tadi siang, kamu dapat tawaran buat ngisi acara private pool party di Hotel Antoinette. Mereka baru buka cabang baru di daerah Surabaya Barat," jawab Baron.

"Kapan?"

"Weekend ini. Dari pukul sepuluh malam sampai dua pagi."

"Kok, malem banget?" Katlyn tak kuasa membayangkan harus berendam di kolam renang sampai dini hari. Suhu di kolam renang jarang ada yang bisa diatur sesuai keinginan. Jelas-jelas masuk angin begitu naik ke permukaan.

"Kolam renangnya ada waterfall jacuzzi-nya, kok. Kalau kamu kedinginan bisa langsung berendam di jacuzzi."

"Kalau jacuzzi-nya lagi penuh dipake tamu, gimana?"

"Tinggal gabung, kan, bisa. Biasanya mereka ngasih tip besar."

Oke, tip besar. Tawaran yang cukup menggoda.

"Kalau ini bikin kamu merasa lebih baik, Wenda sudah terima job ini. Pihak Antoinette minta dua putri duyung untuk menghibur para tamu. Semisal kamu nggak bersedia, saya berencana nawarin job ini ke Yesi." Baron menyebutkan dua putri duyung lain dengan santai. Ia cukup mengerti keengganan Katlyn karena tahu cewek itu punya jadwal show esok harinya.

"Saya mau, kok," sergah Katlyn buru-buru. Jika bekerja di malam akhir pekan bisa membuatnya dapat uang tambahan, tentu dia tak akan menolak. Katlyn hanya perlu mencari tahu hotel macam apa Antoinette itu agar bisa merencanakan pertunjukan yang menarik minat para tamu di pesta tengah malam.

***

Seperti yang sudah direncanakan, Katlyn naik ke atas akuarium dengan meniti besi-besi penopang yang dijadikan tempat berpijak bagi para keeper, penyelam, dan putri duyung. Di sana minim cahaya. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari dalam akuarium. Lampu-lampu sengaja dimatikan ketika jam operasional berakhir.

Katlyn hanya mengenakan bikini di balik bathrobe-nya. Ia menenteng sepasang fin atau sirip yang dipasang di kaki penyelam. Malam ini, ia tidak menggunakan alat bantu pernapasan apa-apa. Katlyn cenderung menyukai selam bebas agar paru-parunya terbiasa sekaligus untuk latihan selama berkarier jadi putri duyung.

"Sejam cukup, Kat?" tanya Rendra yang baru selesai merapikan peralatan menyelamnya ke dalam rak khusus yang terbuat dari besi tahan korosi.

"Cukup. Kalau aku nggak naik setiap enam menit baru kamu turun, ya!"

Rendra mengangkat jempolnya sebelum menyalakan timer di ponsel. Demi dapat tiga kotak piza dari Katlyn, Rendra rela pulang larut hari ini. Selain karena iming-iming piza, dia juga memiliki tujuan tertentu. Dia suka pada kesederhanaan Katlyn. Sudah sederhana, jago diving, pendiam, cantik pula! Benar-benar tipe yang jarang ditemukan.

Lamunan Rendra tentang Katlyn harus terhenti karena bunyi timer yang memekakkan telinga. Ia langsung mematikan timer, lalu mendekat ke air untuk menunggu Katlyn muncul. Suara langkah kaki yang sedang meniti tangga besi membuat Rendra mengangkat kepala.

"Siapa?"

Tak ada sahutan.

Jam operasional berakhir sejak tadi. Wahana juga sudah kosong. Rendra tidak khawatir kalau ada pengunjung yang tersesat sampai ke atas sini karena jalan masuknya cukup tersembunyi dari mata pengunjung.

"Ghea?" panggil Rendra sekali lagi. Masih tidak ada sahutan, tetapi suara langkah kaki kian mendekat.

Rendra menegakkan tubuhnya lantaran merasa ada yang tidak beres. Ia baru akan berjalan ke arah tangga saat sebuah jarum ditembakkan dari kegelapan dan menembus kulit leher di bawah telinganya. Rendra memegangi lehernya yang terasa tersengat. Mendadak, kepalanya serasa berputar-putar. Ia jatuh ke lantai sekian detik kemudian.

***

Akibat ambisinya untuk menambah toleransi agar dapat menahan napas selama mungkin di dalam air, Katlyn jadi lupa kalau ada Rendra yang menunggunya di atas. Rekan kerjanya itu pasti khawatir Katlyn tidak juga muncul ke permukaan untuk mengambil napas. Tadi, ia sempat lupa diri dan mengikuti Louis si Paus Orca menyelam sampai area pertunjukan lumba-lumba yang kedalamannya mencapai tiga puluh meter.

Akuarium dan tempat pertunjukan itu memang terhubung agar Louis dan enam ekor lumba-lumba di wahana ini punya ruang bebas untuk bergerak. Tubuh mereka akan makin besar seiring waktu terutama Louis, jadi mereka perlu tempat yang luas agar tidak merasa terkekang sampai stres. Meski di lautan bebas lumba-lumba menjadi mangsa paus orca, di tempat ini mereka dibesarkan bersama hingga insting predator Louis menjadi tumpul.

Begitu Katlyn muncul ke permukaan, ia langsung celingukan mencari sosok Rendra.

"Ren?" panggil Katlyn sambil mengusap wajahnya dari air. Ia mendongakkan kepala ke atas, ke tempat Rendra terakhir terlihat.

Ingin memastikan kalau Rendra tidak ikut terjun ke air demi mencarinya, Katlyn memanjat naik lewat tangga besi yang tersedia untuk memeriksa tabung oksigen di rak. Ia melepas fin yang membalut kakinya, meletakkannya di lantai.

Jumlah tabungnya masih sama. Rendra tidak ikut ke bawah untuk mencarinya.

"Cari siapa?"

Astaga, Katlyn hampir terpeleset karena kaget. Ia buru-buru memungut bathrobe yang tadinya hanya diletakkan secara sembarang di lantai. Katlyn langsung menutupi tubuhnya.

"Janesa? Di mana Rendra?" tuntut Katlyn. Tatapannya terpaku pada sudut gelap tempat suara Janesa berasal.

Lelaki itu muncul dari kegelapan. Langkahnya pelan, tapi pasti. Gayanya mirip predator kelaparan yang percaya diri mendapatkan mangsanya malam ini.

Begitu sosoknya terpapar cahaya dari akuarium, Katlyn menelan ludah. Entah kenapa firasatnya buruk sekali tentang Rendra.

"Temenmu lagi tidur di pojokan. Nggak usah cemas." Janesa dapat menebak isi kepala Katlyn hanya lewat ekspresi.

"Kamu apain dia?"

"Nggak diapa-apain, kok." Cuma diracunin dikit lewat jarum kecil tajam yang ditembakkin dari jarak jauh pakai alat yang dimodifikasi Tasya. "Kenapa belum pulang?" tanya Janesa.

"Bukan urusanmu!"

"Ck! Judes amat!"

"Otakmu ke mana, sih? Kenapa dateng ke sini malam-malam? Ini bukan tempat yang bisa dimasuki seenaknya!"

"Asal kamu tahu ...," Janesa mendekat selangkah, "nggak ada satu pun tempat di dunia ini yang nggak bisa aku masuki."

Termasuk hatimu. Janesa ingin menambahkan, tapi cemas Katlyn jadi takut.

Katlyn otomatis mundur setiap kali Janesa mengambil satu langkah ke arahnya.

Lihat, 'kan? Didekati begini saja, Kitten-nya sudah ketakutan, padahal Janesa sama sekali tidak berniat melakukan hal buruk padanya.

"Jangan dekat-dekat! Su-sudah kubilang aku akan bunuh kamu kalau kita ketemu lagi!" Katlyn meraba-raba sekitar, mencari senjata yang bisa digunakan untuk melukai Janesa. Ia meraih tabung oksigen mini, mengacungkannya tinggi-tinggi. "Aku bisa bunuh kamu pake ini!"

Janesa memperhatikan tangan Katlyn yang gemetar.

Katlyn dapat inspirasi baru. Daripada menyakiti Janesa dan membuatnya dipenjara, kenapa tidak melemparkannya saja ke dalam air? Dulu sewaktu masih pacaran, mereka pernah bolos kuliah diam-diam untuk berlibur bersama di Bali selama tiga hari dua malam. Selama di Bali, Janesa selalu menolak jika diajak berenang ke laut, apalagi menyelam. Lelaki itu bilang tidak mahir berenang.

Katlyn menghambur ke depan untuk mendorong tubuh lelaki di depannya. Janesa jelas terkejut dengan tingkah Katlyn yang tiba-tiba.

"Kitten, kamu ngapa—"

Tidak ada yang lebih memuaskan Katlyn daripada suara tubuh Janesa yang tercebur. Riak di permukaan air akuarium makin ribut ketika Janesa berusaha keluar dari air, tetapi gagal. Ternyata Janesa tidak bohong. Dia memang tak bisa berenang. Perlahan, tubuh Janesa tertarik ke bawah. Lelaki itu sudah kepayahan untuk mencoba menyelamatkan diri.

Nah, kenapa sekarang jadi Katlyn yang takut? Beginikah rasanya membunuh orang? Katlyn tidak suka kegelisahan dan rasa bersalah yang menyeruak sehingga memutuskan untuk memasang kembali fin ke kedua kakinya.

Tanpa pikir panjang, ia melompat ke dalam akuarium.

***

Katlyn merasa cukup lega ketika mendapati tubuh Janesa diam tak bergerak, hampir tenggelam ke dasar. Dengan begitu, Janesa tak akan terlalu banyak mengisi paru-parunya dengan air akibat megap-megap minta ditolong. Katlyn langsung meraih dan menariknya ke permukaan. Menyadari jika Janesa masih tak sadarkan diri, Katlyn berenang menuju area atraksi lumba-lumba yang tepiannya lebih mudah dinaiki daripada tangga besi di atas akuarium.

Beberapa lumba-lumba yang familier dengan sosok Katlyn bergantian mendorong tubuh Janesa demi mengurangi bebannya. Hewan mamalia berotak cerdas itu juga sesekali melompat ke permukaan seakan memberi Katlyn semangat. Katlyn tak sanggup menahan senyumnya. Ia berjanji dalam hati untuk memberi lumba-lumba ini snack tambahan besok pagi.

Begitu Katlyn kesulitan menarik tubuh Janesa dari air, dua ekor lumba-lumba membantunya mengangkat laki-laki yang tak sadarkan diri itu dari bawah. Kerja sama mereka tidak direncanakan, tapi berhasil. Kepala para lumba-lumba muncul ke permukaan sambil memekikkan suara khas mereka. Katlyn menggumamkan terima kasih, kemudian para lumba-lumba menghilang ke dalam air.

Sewaktu kursus untuk mendapatkan sertifikasi free diver profesional dulu, Katlyn juga diajari cara-cara menyelamatkan rekan yang tenggelam. Karena itu pula, ia jadi punya sertifikasi CPR alias Resusitasi Jantung dan Paru. Biasanya diperlukan untuk membantu korban serangan jantung atau tenggelam yang tidak sadarkan diri.

Karena dorongan rasa kemanusiaan itu pula, Katlyn tanpa ragu melakukan kompresi pada dada Janesa disertai pemberian napas buatan. Sebanyak apa pun Katlyn melakukan kompresi, lelaki itu tak juga memuntahkan air dari mulutnya. Katlyn panik. Ia mendekatkan telinganya ke jantung Janesa untuk memastikan lelaki itu masih hidup.

Jantung Janesa masih berdetak. Degupnya juga kencang dan kuat. Lalu, kenapa Janesa tidak sadar juga?

Katlyn mengerang frustrasi karena ia sudah kelelahan, tetapi tak menyerah untuk melakukan CPR. Sekujur tubuhnya yang tadi sempat mengering sekarang jadi basah lagi oleh keringat. Kedua lengannya juga gemetar minta diistirahatkan.

Saat sedang memberikan napas buatan untuk yang entah keberapa kalinya, tiba-tiba Katlyn merasa tubuhnya direngkuh. Usahanya untuk menarik diri dari bibir Janesa langsung gagal karena lelaki itu malah membuat tugas memberi napas buatan berakhir menjadi ciuman. Janesa melumat bibir Katlyn cukup agresif. Lidahnya menerobos masuk dengan lancang untuk mencicipi lidah Katlyn. Cewek itu berusaha berontak dengan sisa-sisa tenaga. Pekikannya ditelan oleh Janesa.

Untuk ukuran orang yang habis tenggelam, Janesa punya tenaga yang tak masuk akal.

Tubuh Katlyn berangsur-angsur melemah dalam dekapan Janesa. Posisinya masih berada di atas.

"Lepasin," bisik Katlyn setengah terengah.

Satu sudut bibir Janesa terangkat. Ia memindahkan tubuh Katlyn ke samping dengan hati-hati, lalu mengurungnya dengan satu lengan. Mungkin khawatir Katlyn kabur darinya.

Katlyn memejamkan mata. Dadanya bergerak naik-turun, entah karena kelelahan atau gairah. Satu tangannya terangkat untuk menutupi kedua matanya. Situasi ini di luar bayangannya.

"Kamu masih peduli," ujar Janesa lirih di telinga Katlyn. Cewek itu perlu waktu untuk mengendalikan diri. Selama itu pula, Janesa memeluknya dari samping.

Sungguh, Katlyn tidak punya tenaga untuk menghindar apalagi kabur.

"Kamu sengaja, ya?" Katlyn balas bergumam.

"Separuh iya, separuh nggak. Siapa suruh dorong aku ke air?"

Katlyn menurunkan tangannya. Ia masih terengah saat memandangi langit tanpa bintang di atas mereka.

"Aku nyesel banget nyelametin kamu. Seharusnya aku biarin aja mati di dalem sana." Katlyn bangkit duduk setelah melepaskan diri dari pelukan sepihak Janesa.

Lewat darat, jarak tempat atraksi ke akuarium cukup jauh. Jalurnya memutar. Tubuh Katlyn bergidik karena angin berembus menerpa tubuhnya yang hampir telanjang.

Katlyn berdiri, Janesa juga ikut berdiri. Ia melepaskan kausnya yang basah untuk diberikan pada Katlyn.

"Tutupi badan kamu pake ini," ujarnya.

Janesa mana rela Katlyn berkeliaran di tempat umum dengan bikini begini? Waktu jadi putri duyung, tubuh bagian bawahnya masih tertutup kostum. Lah, sekarang? Jangankan orang lain, Janesa saja merasa panas dingin melihat seluruh kulit Katlyn yang mulus terpampang jelas.

Untungnya Katlyn tidak sok jual mahal sampai menolak kausnya. Cewek itu langsung mengenakannya. Sekarang, giliran tubuh bagian atas Janesa yang telanjang. Kulit Janesa yang pucat dinodai oleh beberapa bekas luka memanjang di bahu sampai dada yang ditutupi tato tribal. Ini bukan pertama kali Katlyn melihatnya, jadi ia memalingkan wajah bukan karena malu. Lebih karena muak.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Katlyn berjalan menuju pintu keluar. Janesa mengekor di belakang.

"Kitten ...."

"Aku bukan Kitten-mu lagi!" hardik Katlyn tanpa menoleh. Ia tahu Janesa masih mengikutinya, makanya sengaja mencari jalan menuju ruang ganti yang jarang dilewati oleh karyawan. Kalau sampai ada yang melihat mereka bersama-sama, pasti akan banyak orang usil yang bertanya.

"Aku mau mandi." Katlyn tidak tahu setebal apa wajah Janesa sampai dengan tidak tahu malunya masih mengikutinya ke mana-mana. "Ruang ganti kamu ada shower-nya, 'kan?"

Katlyn tidak menjawab. Langkahnya masih cepat dan terburu. Ia mengendap-endap sebelum berlari menuju ruang gantinya sendiri. Ketika hendak menutup pintu, salah satu kaki Janesa menahannya.

"Let me in."

Mata Katlyn membelalak. "Udah gila, ya? Pergi sana!" bentaknya.

"Ayolah, aku perlu mandi. Badanku lengket kena air garam, nih. Ada kaus ganti nggak?"

"Nggak ada!"

Janesa mendorong pintunya sampai ia masuk ke dalam, lalu mengunci pintu rapat-rapat. Sekarang mereka terjebak di dalam ruangan kecil itu. Katlyn kehabisan kata-kata.

"Kamu mau mandi duluan atau aku? Atau mandi bareng sekalian?" Janesa menyeringai karena ide itu.

"Janes—"

"Kita bicara setelah bersih dan kenyang. Aku janji akan jawab semua pertanyaan kamu. Jadi, tolong kerja samanya, ya, Sayang. Hm?"

Seandainya bisa, Katlyn ingin sekali mencakar wajah Janesa sampai terkoyak-koyak. Entah bagaimana, ia malah diam saja. Amarahnya luntur. Ia lelah dan berhubung Janesa membahas 'kenyang', perut Katlyn tiba-tiba berbunyi. Cewek itu otomatis memeluk perutnya sendiri, harga dirinya jatuh.

Janesa mengulum senyum sambil mengamati sekeliling untuk mencari baju bersih yang bisa dipinjam.

"Aku yang mandi duluan," ucap Katlyn kemudian sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.

***

Usai menghubungi petugas keamanan untuk memberi tahu jika Rendra masih ada di atas akuarium, Katlyn baru bisa bernapas lega. Setidaknya kini ada yang memastikan kalau Rendra baik-baik saja.

Katlyn ingin sekali meninggalkan Janesa yang sedang mandi setelah menyembunyikan semua bajunya. Namun, kalau nanti dia keluar dari sini dengan tubuh telanjang bulat, bukankah menambah masalah baru?

Ah, bikin sakit kepala saja!

Katlyn sudah selesai berbenah untuk bersiap pulang ketika pintu kamar mandi terbuka. Janesa keluar dengan tubuh basah dan telanjang bulat.

Jantung Katlyn hampir copot. Untung responsnya cepat. Ia langsung membalik badan. Wajahnya merah padam.

"Kok, nggak nyiapin aku handuk, sih?" tegur Janesa. Ia meraih sendiri handuk yang habis dipakai Katlyn dari gantungan. "Mana baju buat aku?"

Katlyn menunjuk lipatan kaus polo ukuran besar serta celana kargo di atas meja. Seragam kerja itu didapatnya dari hasil membongkar kabinet. Kebetulan ada persediaan dengan ukuran Baron di sana. Bosnya itu sering lupa membawa seragam cadangan, jadi sering meninggalkannya di kantor. Daripada hilang, Katlyn berbaik hati menyimpankannya.

"Punya siapa?" tanya Janesa.

"Bosku."

"Ah, males banget pake baju dia!" gerutu Janesa, tetapi tangannya tetap meraihnya dari meja rias Katlyn.

Lelaki itu mengambil dompet basah yang hanya terisi uang tunai dari atas meja. Pasti Katlyn yang mengeluarkannya supaya Janesa tidak lupa.

Janesa tersenyum tipis. Mungkin Katlyn juga sudah membuka-buka isi dompetnya. Cewek itu tidak akan menemukan apa-apa di sana karena memang hanya berisi uang tunai tanpa satu pun tanda pengenal.

"Kita makan dulu, baru aku anter kamu pulang."

Katlyn memutar tubuhnya agar mereka bisa berhadapan. Ia cukup yakin Janesa sudah selesai berpakaian. Warna biru gelap cukup kontras di kulit Janesa yang pucat. Tato tribal yang terhubung dari punggung, bahu, dada, sampai ke lengannya menunjukkan Janesa bukan karyawan di sini. Orang-orang yang bekerja di High Bay Seaworld tidak diizinkan punya tato. Selama ini, Janesa selalu mengenakan pakaian tertutup ditambah jaket sehingga tato-tatonya terlindung dengan baik.

"Aku nggak mau lagi berurusan sama kamu," ujar Katlyn memulai. "Penjelasan apa pun tentang masa lalu yang kamu rasa perlu dijelasin udah nggak penting lagi buatku. Aku udah ikhlas melepas segalanya. Bertahun-tahun aku berusaha mungutin serpihan hidupku lagi. Jangan bikin aku hancur untuk yang kedua kali. Aku punya Timothy untuk dibesarkan. Kalau sampai aku hancur lagi gara-gara kamu, aku nggak yakin bisa bertahan hidup sebaik sekarang."

Tidak ada indikasi tertentu dari kalimat Katlyn yang menunjukkan dia memaafkan Janesa.

"Fine, tapi aku akan tetap nganter kamu pulang."

Katlyn hampir tak memercayai pendengarannya. Respons Janesa seolah meremehkannya.

"Kenapa kamu pikir kita belum berakhir setelah apa yang udah kamu perbuat? Hatimu itu terbuat dari apa, sih?"

"Makanya kita perlu bicara, Kitten." Janesa membujuk. "Masalah kita berdampak ke banyak hal. Seenggaknya kamu kasih aku kesempatan buat jelasin."

"Oke, kamu punya waktu dua menit." Katlyn mengatur timer di jam tangannya.

"Dua menit mana cukup?"

"Tinggal satu menit lima puluh lima detik lagi." Katlyn masih memandangi jam tangannya.

"Kat—"

"Sekarang satu menit lima puluh."

Janesa mendengkus. "Mama kamu nggak bunuh diri." Ia memandangi cewek itu lama, ingin tahu setiap perubahan ekspresi yang dibuat oleh Katlyn ketika mendengar kabar ini pertama kali. Detik-detik yang hilang tadi ia gunakan untuk memilah kabar mana yang akan membuatnya mendapatkan perhatian Katlyn.

Katlyn mengangkat wajahnya dengan ekspresi kosong. "Apa maksudmu?"

"Kamu denger apa yang kubilang. Mamamu meninggal bukan karena bunuh diri."

"Jelasin sekarang!"

Janesa menyandarkan pinggulnya ke tepian meja rias. "Legacy Biopharma dan Krotos Enterprises. Semua ini tentang mereka."

Katlyn mengernyit karena Janesa menyebutkan nama perusahaan farmasi multinasional tempat mendiang mamanya pernah jadi chief deputy dan papanya menjadi salah satu pemegang sahamnya. Sekarang, Katlyn tidak tahu bagaimana nasib saham papanya yang ada di sana. Ia juga tidak peduli. Ia anggap segala hal yang dulu dimiliki keluarganya diambil alih oleh pemerintah sebagai sitaan atas kerugian negara yang ditanggung akibat ulah papanya. Katlyn tak berani mengklaim apa-apa.

Katlyn dengar Legacy Biopharma sudah bangkrut sebelum diakuisisi oleh perusahaan asing yang merupakan anak perusahaan Krotos Enterprises, produsen senjata terbesar yang berbasis di Amerika. Namun, apa hubungannya dengan kematian mama dan kasus suap papanya?

Janesa menarik sebuah kursi dengan kaki. Ia menyuruh Katlyn duduk. Jika ingin mendengar seluruh kisahnya, Katlyn butuh tumpuan agar tidak jatuh.

Tanpa mengatakan apa-apa, Katlyn duduk.

"Enam tahun lalu, aku dibayar untuk mencuri virus D6 dari lab mamamu. Yang bayar juga orang Legacy Biopharma, konflik internal. Konflik itu dimanfaatin pihak lain buat wujudin ide gila yang ada hubungannya sama tatanan dunia baru. Okay, I know this sounds absurd, but ain't talkin' bullshit." Janesa menggaruk pelipisnya sambil berusaha menemukan alur yang urut plus rinci tapi singkat dan mudah dimengerti Katlyn. "Kebetulan pihak luar ini punya otak yang sinkron dengan otak kakakku. Sama-sama gila. Pihak luar yang kumaksud adalah Krotos Enterprises."

"Revita?"

Janesa tertegun. Ia tidak menyangka Katlyn ingat tentang Revita. Padahal waktu masih pacaran dulu, nama Revita hanya muncul sekali karena tidak sengaja disebutkan oleh Janesa. Semata-mata akibat hanyut terbawa perasaan waktu mereka sedang membahas keluarga masing-masing.

Akhirnya, Janesa mengangguk. "Kebetulan yang disengaja, Revita dekat sama salah satu petinggi Krotos Enterprises. Mereka sering terlibat perang saudara negara-negara di Afrika. Uganda, Sudan, Somalia, Ethiopia ... sebutkan semua, pasti Krotos yang jadi pemasok senjatanya."

Katlyn masih menunggu sampai Janesa menjelaskan bagian tentang keterlibatan keluarganya. Lelaki itu balik menatap Katlyn, kelihatan ragu untuk meneruskan.

"Aku nggak suka kita bicara di sini."

Janesa benar. Seluruh lampu wahana akan segera dipadamkan. Sebaiknya mereka keluar sebelum terkunci di dalam.

Akhirnya, Katlyn bangkit. "Mau bicara di mana?"

"Rumahmu. Kita aman di sana."

"Aman?" Katlyn mendengkus. "Satu-satunya orang yang berbahaya di sini itu cuma kamu."

Janesa menegakkan tubuhnya. "Trust me. Di luar sana, ada banyak orang yang jauh lebih berbahaya dariku. Kamu akan ketemu mereka suatu saat. Cepat atau lambat."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top