3 | SARANG PENJAHAT

TINGGAL di bangunan lama seperti ini membawa sensasi tersendiri. Jika biasanya Katlyn waswas karena debt collector, kali ini ia waswas dengan penampakan terutama di lorong-lorong gelap dan sudut-sudut rumah yang tidak dipasangi lampu.

Sejak ia melihat anak-anak di rumah ini tampak tidak peduli dengan hal-hal mistis, barulah Katlyn merasa lebih tenang. Ia yakin hantu dan sebangsanya lebih suka muncul untuk mengerjai anak-anak. Namun selama tinggal di sini, anak-anak yang ia jaga justru lincah seperti tak terusik, apalagi Noir, bocah tunanetra adik Marko. Walaupun tidak dapat melihat sekeliling, Noir suka sekali berlarian ke sana kemari dengan Timothy. Katlyn sampai harus ikut berkejaran dengan mereka demi memastikan Noir tidak mematahkan lehernya karena membentur dinding atau jatuh dari tangga.

Katlyn lega adiknya betah tinggal di sini. Semoga dalam waktu yang lama jika debt collector tidak menemukan mereka.

Langkah Katlyn berhenti di undakan ketiga anak tangga. Ia heran melihat Jagad, anak bungsu Bu Ika, sedang berdiri membelakanginya di ujung tangga.

"Jagad?" Katlyn turun ke bawah untuk menepuk pundak bocah itu. Jagad masih bergeming. "Kamu kenapa?"

Bukannya menjawab, Jagad malah berjalan menjauhinya. Setelah beberapa langkah barulah ia berhenti.

Katlyn mengernyit karena tingkah Jagad yang aneh. Ia melihat sekeliling, mencari-cari sosok Angkasa, kakak Jagad. Biasanya Jagad dan Angkasa tak terpisahkan.

Katlyn memekik tertahan ketika Jagad menjatuhkan diri ke lantai. Kedua tangannya menopang tubuh dari belakang. Bocah itu kayang! Bukan hanya itu, kedua matanya juga melotot dengan lidah yang dijulurkan. Mengerikan.

Ia hampir pingsan. Kelihatannya bocah itu kesurupan. Kedua kaki Katlyn terasa lumpuh, membuatnya terduduk di lantai, tak mampu lari ke mana-mana. Wajahnya pucat pasi saat melihat Jagad bergerak ke arahnya dengan gerakan ganjil dan ekspresi menakutkan.

"Astaga, Jagad!" Pekikan nyaring seorang wanita yang baru keluar dari dapur mengagetkan mereka. Memang bukan hanya Katlyn yang kaget, melainkan Jagad juga. Bocah itu langsung bangkit dan kabur ke atas di mana Angkasa sudah menunggu sambil terpingkal.

Tawa dua setan kecil itu berdengung di telinga Katlyn. Tubuhnya masih lemas bagai agar-agar.

Wanita yang tadi memekik buru-buru menghampiri Katlyn dengan segelas air di tangan. "Aduh, maaf-maaf. Anak-anak saya pasti bikin kamu jantungan terus selama saya tinggal pergi."

Katlyn menggeleng pelan, meminum air yang diulurkan. "Bu Ika?"

Wanita di depannya tersenyum. "Iya. Saya ibunya Jagad sama Angkasa. Kamu Katlyn, penghuni kamar sebelah Marko, 'kan?"

"Iya, Bu." Katlyn berdiri dengan bantuan Bu Ika. "Baru kali ini saya dikerjai mereka. Kemarin-kemarin mereka anteng, Bu."

Bu Ika mendecakkan lidah. "Jangan percaya keantengan mereka! Ndableg banget mereka itu! Nakal! Saya aja nggak ngerti waktu kemarin hamil mereka ngidam apa kok sampe gedenya jadi begitu," omelnya pada bayangan anak-anak yang sudah menghilang ke kamar di atas. Suara tawa mereka masih terdengar sampai bawah. "Kamu nggak ada penyakit jantung, 'kan? Maaf, ya, Katlyn."

"Nggak apa-apa. Namanya juga anak-anak. Panggil saya 'Kat' aja, Bu."

Bu Ika mengangguk. "Saya belum kasih penyambutan buat kamu. Nanti saya masakkin makanan enak, deh. Hari ini pulang jam berapa?" Ia mengamati penampilan Katlyn yang amat rapi.

"Pukul delapan malam, biasanya. Saya berangkat kerja dulu, ya, Bu. Mau ngejar bus." Katlyn buru-buru berpamitan.

"Hati-hati di jalan." Bu Ika melambai dengan senyum lebar.

Katlyn hanya mengangguk cepat. Ia membetulkan tali sepatunya yang lepas sebelum membuka pintu rumah. Di depan serambi telah menunggu seseorang dengan motor sport besar berwarna hitam, serasi dengan jaket, celana, sepatu bot kombat, dan helm yang dikenakannya. Katlyn menengok ke dalam rumah, siapa tahu ada penghuni yang sedang ditunggu pengendara motor itu.

"Aku nungguin kamu."

Katlyn merasa bak disiram es begitu mendengar suara familier ini. Kepalanya perlahan kembali menoleh ke depan agar bisa memastikan sosok asing itu adalah orang yang dikenalnya. Sudah lima tahun. Selama itu pula, suaranya terpatri di sudut terkecil alam bawah sadar Katlyn.

Apa ia sedang berhalusinasi?

Beberapa minggu lalu, ia membayangkan Janesa muncul di Seaworld. Bayangan itu membuatnya bermimpi buruk selama dua hari berturut-turut. Butuh waktu seminggu baginya untuk yakin kalau dirinya hanya merasa kelelahan hingga membayangkan hal yang tidak-tidak. Janesa pasti sudah gila jika memutuskan kembali ke kehidupan Katlyn. Kalaupun tidak gila, maka Janesa pasti menginginkan sesuatu darinya.

Sosok berpakaian hitam itu melepas helm full face dari kepala. Ia memandang Katlyn sambil tersenyum lebar. Senyum yang selama beberapa tahun ini dianggap Katlyn sebagai salah satu contoh seringaian iblis.

"Mau kerja? Aku anter, ya?"

Katlyn berpegangan pada pintu. Jantungnya mencelus. Sosok yang ia kira hanya halusinasi itu ternyata bisa bicara. Dia nyata.

"Ja-Janesa?"

Wajah Katlyn yang sebelumnya masih pucat akibat rasa terkejut habis dikerjai anak-anak Bu Ika, kini makin pucat pasi. Kepalanya terasa ringan hingga harus berpegangan pada apa pun di dekatnya agar tidak merosot ke lantai.

Bug!

Katlyn memekik tertahan sebelum jatuh tak sadarkan diri.

Ekspresi Janesa menggelap. Ia melompat dari motor dan membiarkan kendaraannya itu rebah ke aspal. Dengan gerakan cepat, Janesa meraih kerah seragam Luna, mencekik lehernya sekaligus mendorongnya ke dinding.

***

"Apa-apaan?" hardik J penuh emosi.

Bagaimana dia tidak emosi? J belum selesai bicara dengan Katlyn saat Looney tiba-tiba datang dan memukul cewek itu sampai pingsan.

"Ngapain ke sini?" Looney berontak dari cengkeraman J. Lelaki itu mencekiknya kuat sampai tubuh kecil Looney terangkat ke udara dan posisinya jadi lebih tinggi dari kepala J. Ia megap-megap kehabisan napas.

Tanpa aba-aba, lutut Looney menyentak ke atas dan menghantam dagu J dengan amat keras. Cengkeramannya terlepas dan membuat Looney merosot jatuh. Kakinya yang sudah terlatih langsung memijak kuat menopang tubuh. Tidak memberi kesempatan J menguasai diri, Looney memanjati tubuh lelaki itu dan berakrobat sampai membuat J yang jauh lebih tinggi darinya terbanting ke lantai.

J mengaduh kesakitan sambil memegangi pinggangnya yang nyeri.

"Ini masih pagi!" seru Bu Ninja. Wanita itu berlarian ke pintu depan bersama Tamara karena mendengar ribut-ribut.

Melihat Katlyn yang tergeletak pingsan, Tamara buru-buru menghampirinya.

"Kalian apain dia, sih?"

Bukannya menjawab, J malah menjegal kaki Looney dengan kakinya sendiri sampai dia jatuh berdebum ke lantai. Looney yang kesal langsung meraih kaki J untuk dipiting dengan posisi mengunci yang menyakitkan.

"Lepas!" J baru akan bangun ketika Bu Ninja menahan leher lelaki itu, ikut mengunci tubuh bagian atasnya. J tak berdaya karena dikeroyok dua orang gila sekaligus.

"Ada apa, Looney?" Bu Ninja menuntut penjelasan dari Looney, mengabaikan J yang berontak meminta dilepaskan.

"Si Bodoh ini pagi-pagi muncul di depan pintu, bikin Kak Katlyn kaget!" jawab Looney.

Bu Ninja yang ikut kesal akhirnya menjentikkan telunjuk ke dahi pucat J berkali-kali. J mengaduh kesakitan. Dahinya sampai memerah. Bu Ninja mengabaikan rintihannya. Ia masih menjentikkan ujung telunjuknya untuk menyiksa si Joker.

Noir, Angkasa, Jagad, dan Timothy berdiri tak jauh dari mereka. Anak-anak itu tertegun dengan ekspresi bingung lantaran melihat keributan yang ditimbulkan oleh para orang dewasa.

Menyadari anak-anak mengamati pemandangan toxic yang sedang terjadi, Tamara tergopoh menghampiri mereka.

"Ayo, ke dapur! Sarapan dulu!" Tamara menggiring anak-anak menuju dapur, meninggalkan Katlyn yang masih tergeletak di lantai serta tiga orang dewasa yang saling bergulat di dekat serambi.

"Pasti gara-gara dia cemburu ngelihat Kak Kat ngobrol sama bosnya kemarin! Ngaku, J!" desis Looney.

"Argh!" J merasakan lututnya hampir putus. "Kalian nggak ada hak larang-larang, Sialan!"

"Dia tinggal di sini biar kita lebih mudah melindunginya! Dia aman, maka kita juga akan aman, J! Sadarlah!" Kali ini, Bu Ninja ikut menyanggah. Ia heran dengan cara berpikir J yang menurutnya terlalu berisiko. "Kalau dia pergi gara-gara kamu, kita juga yang akan kerepotan!"

"Lepasin dulu!" J mengerang kesakitan.

Bu Ninja dan Looney saling pandang. Tak lama, keduanya kompak mengangguk, lalu melepaskan J. Mereka bangkit dari lantai. Bu Ninja langsung menghampiri Katlyn.

"Ayo, bawa dia ke sofa! Kasihan." Bu Ninja mengecek denyut nadi Katlyn yang masih tak sadarkan diri.

Looney membetulkan seragamnya yang kusut dan berantakan. "Pergi dulu!"

Tanpa menoleh lagi, Looney keluar untuk berangkat ke sekolah. Ia hampir terlambat gara-gara J.

Lelaki itu bangkit. Ia berjalan tertatih sambil meringis untuk menghampiri Katlyn. Meski kakinya sakit, ia mampu mengangkat tubuh Katlyn dengan mudah agar dipindahkan ke sofa. Rasanya seperti mimpi ketika dapat menyentuh Katlyn lagi. Selama perjalanan ke sofa ruang tamu, tatapan J tidak lepas dari wajah Katlyn. Hal itu juga tak luput dari perhatian Bu Ninja.

J membaringkan tubuh Katlyn secara hati-hati. Ia juga menyibak rambut yang menutupi wajah pucat Katlyn dengan lembut, seakan apa pun yang dilakukannya secara gegabah dapat menghancurkan Kitten yang rapuh.

"Sebenarnya kamu ini mikir apa, sih, J?" Bu Ninja berdiri di belakang sambil bersedekap. Raut wajahnya jelas menuntut penjelasan.

"Aku mau ada di kehidupannya, kali ini sebagai diriku sendiri."

"Bukan begini caranya! Melibatkan perasaan dalam misi bisa berbahaya. Bukan hanya kamu, tapi kita semua. Kamu yang paling tahu soal ini, J." Suara Bu Ninja melembut. "Saya nggak menyalahkan Looney karena bersikap spontan dengan membuatnya nggak sadarkan diri. Kamu belum membicarakan rencana hari ini dengan kami. Wajar Looney bersikap impulsif seperti tadi."

"Tapi, nggak harus dengan mukul dia, 'kan?"

Bu Ninja menghela napas. "Kalau saya yang lebih dulu lihat, dia pasti pingsan kena jarum beracun dari tangan saya. Sekarang, coba jelaskan apa rencanamu untuk dia. Saya mau dengar."

"Sudah kubilang aku mau hadir di hidupnya dengan jadi diriku sendiri. Dengan begitu, aku bisa lebih mudah lindungin dia." J bersikeras.

"Kamu pasti sedang berkhayal, J. Dia membencimu."

"Iya, tahu."

"Terus kenapa nekat?"

"Oke, kuakuin aku memang nekat tadi. Kukira dia akan jadi Katlyn yang sama dengan yang dulu kukenal. Mudah luluh karena hal-hal kecil dan perhatian spontan."

"Kecil?" ulang Bu Ninja tak percaya. "Muncul tiba-tiba di depan mukanya lima tahun setelah bikin hidupnya hancur begitu, kamu anggap kecil, J?" Wanita itu geleng-geleng kepala. "Sepertinya Tea benar. Kamu memang nggak waras."

Usai mengatakan itu, Bu Ninja pergi. Kalau terus berada di ruangan yang sama dengan J, ia khawatir mereka berakhir saling membunuh.

Di lain pihak, J masih merasa kalau keputusannya sudah benar. Dia bisa melakukan apa pun yang dia mau termasuk membuat Katlyn kembali padanya. Lelaki itu memandangi wajah Katlyn. Satu-satunya hal berbeda pada diri Katlyn hanyalah rambutnya. Dulu, Katlyn tidak suka menata rambut dengan gaya-gaya aneh, apalagi mewarnai rambutnya sampai jadi gulali begini.

Bukan berarti rambut silver keabu-abuan ini kelihatan jelek. Justru sebaliknya, Katlyn terlihat lebih muda dan segar seperti perempuan awal dua puluhan padahal usianya sudah dua puluh enam. Tiga tahun lebih tua dari J.

Katlyn masih cantik. Di mata J, walaupun Katlyn membotaki rambutnya dan pakai baju karung goni, ia akan tetap terlihat cantik.

J mengulurkan satu tangan untuk membelai pipi Katlyn yang hanya sedikit lebih gelap dari kulitnya. Jika bukan karena rambut hitamnya, mungkin orang-orang akan mengira kalau J punya kulit albino karena terlalu pucat.

"Kamu milikku, Kitten," bisiknya lembut, tetapi penuh penekanan. "Dari dulu sampai sekarang, kamu tetap milikku." J bangkit dari posisinya yang setengah berjongkok di samping Katlyn. "Akan kubuat kamu sadar kalau kamu itu milikku."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top