2 | MERMAID KAT

KATLYN memandangi lagi kartu nama di tangannya, lalu mengangkat kepala untuk menatap bangunan tua peninggalan Belanda yang berdiri di depannya. Bangunan itu dulunya punya cat putih sebelum berubah kecokelatan dimakan zaman. Kalau bukan karena bangunan tersebut tidak dekat dengan tempat kerjanya, Katlyn tidak akan mau mendatangi indekos murah yang lebih mirip lokasi uji nyali ini.

Masalahnya, dia punya utang kartu kredit yang harus dibayar padahal penghasilannya tidak seberapa. Ada adik yang harus dibiayai dan mulut yang harus diberi makan. Kalau dia tetap bertahan di rumah kontrakan lama tanpa mencari kerja sampingan, hidupnya tidak akan bertahan. Katlyn punya waktu satu setengah jam untuk tiba ke tempat kerja. Ia menyempatkan diri mampir kemari agar bisa segera melihat indekos baru dan orang yang akan memberinya pekerjaan.

Pintu ganda di depannya mendadak dibuka dari dalam. Di baliknya, berdiri seorang wanita berusia awal tiga puluhan dengan senyum cerah.

"Selamat datang! Kamu Katlyn yang tadi telepon, 'kan?" Wanita itu langsung keluar untuk menghampiri Katlyn yang masih berdiri di serambi depan. Melihat Katlyn mengangguk kaku dan balas tersenyum, wanita itu mengulurkan satu tangan. "Nama saya Tamara. Saya pemilik bangunan ini."

"Salam kenal, Mbak." Katlyn buru-buru membalas uluran tangan Tamara.

Tamara menuntun Katlyn masuk. "Yuk, mari masuk!"

Seperti penampilan luarnya, interior rumah tua ini juga kuno. Lumayan terawat, tetapi sejak Katlyn menginjakkan kaki ke dalam untuk pertama kali, hawa suramnya terasa sekali. Dingin. Jendela besarnya menyerap panas dari luar sehingga hawa di dalam bangunan mirip oven kecuali dipasangi air conditioner.

Hampir segala furnitur di rumah ini berbahan kayu jati. Beberapa masih dalam kondisi yang bagus, sedangkan sisanya layak diloakkan. Mungkin si empunya rumah mempertahankan segala furnitur tua ini karena nilai historisnya.

Katlyn memandangi lantai ubin tempat kakinya menapak. Sedikit berdebu, bahkan jejak ujung sepatunya tercetak di atas lapisan debunya.

"Di daerah ini memang banyak sekali rumah bekas Belanda. Beberapa sudah diambil alih pemerintah, sedangkan sisanya masih dimiliki oleh keluarga secara turun-temurun, termasuk rumah ini," ungkap Tamara selagi mereka menaiki tangga kayu curam yang berderit.

"Rumah ini punya keluarga Mbak Tamara?"

"Bukan. Saya beli dari satu keluarga Tionghoa. Daripada diratakan jadi tanah, lebih baik dijadikan tempat tinggal."

Katlyn mengangguk-angguk.

Lampu gantung di atas mereka kelihatan kusam dan berdebu. Mungkin tidak sempat dibersihkan karena lokasinya yang terlalu tinggi.

"Sampai hari ini, baru ada tiga kamar yang terisi. Dua di atas, satu di bawah. Saya tinggal di bawah sama keponakan saya, Luna. Di atas, ada Bu Ika sama dua anaknya. Di sebelahnya, ada Marko sama adiknya. Dapur hanya ada satu di bawah. Kamar mandinya di luar kamar. Satu di atas dan satu di bawah. Namanya juga bangunan kolonial. Semoga kamu maklum."

Katlyn memperhatikan sekeliling. Biasanya, di rumah tua ada lukisan besar pemiliknya yang terdahulu. Namun, sejauh mata memandang, dinding rumah ini tidak dipasangi satu pun lukisan selain bunga-bunga dan pemandangan.

"Masalah pekerjaan yang saya tawarkan kemarin ...," Tamara berhenti di puncak tangga, "semua orang dewasa di rumah ini punya mobilitas tinggi. Sering keluar kota, termasuk saya sendiri. Karena itu, saya, Bu Ika, dan Marko sepakat cari babysitter sekaligus penjaga rumah. Menurut kamu, gimana?"

"Babysitter untuk ...," Katlyn menghitung dalam hati, "empat orang anak, betul? Anak Bu Ika dua orang, keponakan Mbak Tamara, dan adiknya Marko?"

Tamara mengangguk sambil tersenyum. "Kamu punya keluarga?"

"Saya punya adik laki-laki berumur sebelas tahun. Autis ringan." Katlyn perlu mengungkapkan ini sejak awal agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan di kemudian hari. Walaupun Timothy tampak seperti anak yang normal, tingkahnya dalam bersosialisasi terkadang cukup membuat sakit kepala. Jangan sampai anak-anak yang tinggal di sini jadi berkelahi karena ulah adiknya.

Ada perubahan ekspresi di wajah Tamara. Hanya beberapa detik sebelum wajah itu kembali tersenyum. "Adik Marko punya masalah penglihatan. Tunanetra. Dua anak Bu Ika normal, tapi tingkah mereka seperti pasukan setan kecil dari neraka. So, kamu harus sadar dengan apa yang akan kamu hadapi." Ada nada jenaka dalam suara Tamara.

Katlyn mengerjap. Menghadapi anak berkebutuhan khusus akan menguras banyak emosi dan energinya. Mengurus Timothy saja sering membuatnya darah tinggi, apalagi tambah dua anak nakal lain.

"Kalau Luna bagaimana?"

Tamara mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Luna anak normal, hanya agak pendiam. Kamu bisa minta tolong dia sewaktu-waktu kalau butuh. Dia anak baik, kok. Selain ke sekolah, Luna jarang keluar rumah. Saya perlu orang untuk memastikan dia makan tepat waktu dan menemaninya mengerjakan pe-er."

"Umurnya berapa?"

"Sekarang udah SMA. Baru kelas X, sih."

Ah, seorang remaja stabil. Baiklah, Katlyn tidak akan menjadi orang dewasa sendirian di sini. Yah, itu pun jika ia memutuskan menerima pekerjaan yang ditawarkan Tamara.

"Kamu akan menerima upah minimum kota setiap bulan dari saya."

Katlyn mengangguk. Benaknya sibuk menimbang-nimbang.

"Marko dan Bu Ika juga sama," lanjut Tamara.

Katlyn sontak menatapnya. "Gimana maksudnya?" Ia khawatir salah paham.

"Kamu akan digaji secara terpisah. Dari saya, Marko, dan Bu Ika. Masing-masing dari kami akan ngasih kamu upah minimum kota. Kamu keberatan?"

Otak Katlyn sibuk menghitung. Saat ini, upah minimum Kota Surabaya di atas empat juta, dikalikan tiga sama dengan dua belas koma sekian juta. Ini lebih tinggi dari gajinya sebulan di Seaworld!

"Atau biar lebih praktis, saya transferin sekaligus aja." Tamara mengerucutkan bibir, memikirkan kemungkinan yang lebih efisien. "Selama bekerja di sini, kamu juga dapat fasilitas indekos gratis. Makan tiga kali sehari, saya sediakan. Biasanya pegawai restoran saya yang kirim kemari. Jam kerjanya dimulai hanya jika kamu dibutuhkan. Saya janji nggak akan ganggu waktu kerjamu di Seaworld. Kalaupun terpaksa, Luna yang akan gantikan kamu. Di sini nggak ada jam malam, tapi saya akan sangat berterima kasih kalau penghuni rumah ini sudah di rumah sejak pukul sepuluh malam," imbuh Tamara panjang lebar.

Sekarang, Katlyn menelan ludah. Upah dan fasilitas. Dia pasti gila kalau sampai menolak tawaran ini. Dapat tawaran begini rasanya sudah seperti kejatuhan durian dari langit!

"Saya terima."

Tamara mengernyit. "Saya kira kamu sudah menerimanya sejak awal datang kemari."

Katlyn terkekeh malu, membuat Tamara ikut tersenyum. Mereka baru sadar kalau sejak tadi mengobrol di tangga.

"Jadi, kapan kamu mau pindah kemari, Katlyn?"

Ujung telunjuk Katlyn mengetuk permukaan kayu yang menjadi pegangan tangga. "Besok saya off. Mungkin sekitar pukul sebelas siang ke atas karena packing saya belum selesai. Dan ... tolong, panggil saya Kat aja, Mbak."

Tamara mengangguk. "Butuh bantuan? Saya bisa kirim pegawai dari restoran saya untuk bantu kamu packing dan pindahan."

Katlyn buru-buru menolak. "Nggak perlu. Barang di rumah saya juga nggak banyak, kok."

Setelah berkeliling dan membahas kontrak secara singkat, Katlyn langsung pamit karena hampir terlambat pergi bekerja. Untung lokasi tempat kerjanya tidak terlalu jauh dari rumah ini.

Selama di perjalanan naik ojek, kepala Katlyn dipenuhi rencana kepindahan serta prospek upah yang akan didapatnya bulan depan. Jika ditambah gaji di Seaworld, uangnya cukup untuk membayar cicilan utang kartu kredit dan biaya terapi Timothy. Sepanjang perjalanan itu, dia sering senyum-senyum sendiri. Namun, mendadak senyumnya lenyap ketika baru menyadari sesuatu yang ganjil.

"Mbak Tamara tahu dari mana aku kerja di Seaworld?" gumam Katlyn.

"Ha? Apa, Mbak?" Sopir ojek menoleh sedikit agar bisa mendengar Katlyn.

"Hah? Iya, Pak." Katlyn juga tidak dengar sopir ojek barusan bilang apa. Jadi, dia jawab 'iya, iya' saja biar dianggap mendengarkan topik apa pun yang sedang dibahas.

***

High Bay Seaworld baru dibuka dua tahun lalu di dekat Pelabuhan Tanjung Perak dan menjadi satu-satunya wahana hiburan dunia air yang ada di Surabaya. Pemiliknya adalah salah satu keluarga konglomerat yang menjadikan Seaworld ini sebagai hadiah ulang tahun ketujuh belas bagi putri bungsu di keluarga mereka. Kebetulan putri bungsu di keluarga itu suka sekali memelihara ikan hias. Sebagai bentuk apresiasi orang tuanya, maka dibangunlah Seaworld untuk si bungsu.

Katlyn juga pernah merasakan hidup berkecukupan seperti itu. Dulu, sebelum papanya dipenjara karena kasus suap dan mamanya gantung diri. Lalu dalam semalam, semua harta Katlyn lenyap. Keluarga besar dari kedua pihak orang tuanya tidak ada yang mau mengakui mereka sebagai bagian dari keluarga. Mereka adalah aib. Tidak ada yang sudi mengulurkan tangan untuk membantu. Ia dan Timothy hidup terkatung-katung dengan uang seadanya di kantong serta cincin peninggalan mamanya yang kemudian Katlyn jual untuk biaya hidup dan tempat tinggal.

Selama tiga tahun, Katlyn dan Timothy hidup miskin. Ia juga terpaksa putus kuliah di semester enam. Jangankan kuliah, untuk makan saja mereka kesulitan. Tak ada uang, makan nasi basi pun jadi. Nasi basi bikin diare, tinggal puasa dengan minum air putih campur garam-gula biar jadi oralit. Yang penting tubuh mereka terhidrasi.

Baru dua tahun ini saja kehidupan mereka membaik sejak Katlyn mendapatkan pekerjaan. Hasil kerjanya cukup untuk mengontrak rumah petak satu kamar, membayar sekolah dan biaya terapi Timothy, serta membeli peralatan mekap murah untuk menunjang pekerjaannya di Seaworld.

Janesa. Nama itu terasa menyakiti gendang telinganya sekaligus menimbulkan pahit di ujung lidah ketika disebut.

Katlyn bisa saja menghabiskan seluruh hidupnya yang menyedihkan dengan mencari Janesa sampai ke ujung dunia. Akan tetapi, kehadiran Timothy membuatnya harus berpikir panjang. Dendam tak terbalaskan itu sudah dipendam Katlyn jauh-jauh dalam lubuk hatinya. Seluruh waktu Katlyn telah dihabiskan untuk mencari uang demi bisa makan. Bagi Katlyn, bertahan hidup jauh lebih penting dibanding balas dendam.

"Dua jam lagi, kamu on show. Hari ini banyak yang dateng buat nonton kamu."

Ghea, rekan kerja Katlyn, muncul dari arah belakang, hampir mengagetkan Katlyn yang sedang serius mengecek keadaan Bobby si Penyu yang menjadi tanggung jawabnya selama bekerja di wahana ini.

"Bobby oke?" Rekannya itu berdiri di luar kolam buatan tempat eksaminasi sementara sambil meletakkan tangan di kedua pinggang.

"Oke. Jadwal ketemu dokter belum berubah. Aku lihat ada satu tonjolan di dekat sirip kanan Bobby, khawatir tumor atau semacamnya." Katlyn berusaha menenangkan penyu seukuran galon air yang berusaha melepaskan diri darinya. Seragam kerja Katlyn sudah basah di bagian depan karena cipratan sirip Bobby yang kuat.

"Lebih baik kamu siap-siap sekarang, deh. Biar aku yang pindahin Bobby ke tangki."

"Serius nggak pa-pa?"

Ghea tersenyum. " Aku bisa minta bantuan ke yang lain. Waktunya mepet, nih. Aku lihat udah banyak pengunjung yang dateng, nungguin atraksi mermaid."

Akhirnya, Katlyn melepaskan Bobby, membiarkannya berkeliling kolam buatan yang tidak seberapa besar. Ia menegakkan tubuh, memandangi celana dan bajunya yang basah. Ghea mengulurkan satu tangan untuk membantu Katlyn keluar dari kolam.

***

Atraksi putri duyung yang jarang ditawarkan oleh wahana dunia air Indonesia hanya dapat ditemukan di High Bay. Katlyn menjadi salah satu dari tiga putri duyung bersertifikasi dan dianggap profesional. Padahal, dulu ia mendapatkan dua sertifikasi free diver sekaligus scuba diver semata-mata karena hobinya menyelam bebas di lautan Bahama demi mendapat pengalaman menyelam yang lebih menantang dan menyatu dengan lautan. Itu dulu, sewaktu keluarganya masih punya uang berlebih hingga bisa membiayai perjalanannya ke luar negeri untuk sekadar liburan.

Kalau sekarang, jangankan ke Bahama atau Mediterania. Dapat kesempatan menyelam saja, ia sudah sangat bersyukur. Apalagi hobinya itu memberi upah untuk membiayai hidup.

Katlyn punya ruang ganti khusus untuk dirinya sendiri. Berkat Baron, atasannya, ia jadi punya privasi untuk melakukan persiapan sebelum show dimulai.

Setelah mengunci ruangan, Katlyn melepas bajunya yang basah hingga meninggalkan two-piece bikini sewarna kulit. Ia mengambil sunscreen dari meja rias, lalu mengoleskannya ke seluruh tubuh yang terekspos. Sambil menunggu sunscreen meresap ke kulit, Katlyn mengaplikasikan riasan tebal anti air ke wajahnya.

Pekerjaan Katlyn mengharuskannya berada di bawah air seharian. Riasan tebal akan kelihatan cantik alami di dalam air. Untuk mencegah mata merah dan iritasi, Katlyn meneteskan lubricant eye gel ke masing-masing matanya. Sesekali, ia minum air yang sudah direndam dengan potongan timun dan daun mint untuk menjaga tubuhnya tetap terhidrasi selama bekerja. Rambut Katlyn yang dicat abu-abu silver sudah diolesi conditioner dan vitamin tadi pagi agar tetap sehat dan lembut.

Selesai dengan persiapan dan riasan, Katlyn menutupi tubuhnya dengan bathrobe, lalu mengambil ekornya di dalam koper. Ekor itu terbuat dari silikon yang dipesan langsung dari Florida. Harganya mencapai dua puluh lima juta rupiah. Baron membantunya meyakinkan para investor untuk memodali para putri duyung yang bekerja di sini dengan atribut terbaik demi mengundang banyak pengunjung datang, terutama dari kalangan anak-anak.

Kini, Katlyn sudah sangat siap. Ia keluar dari ruangannya dan menuju akuarium raksasa tempat show-nya berlangsung. Hari ini, ia bertugas berdua dengan Rendra tanpa dampingan putri duyung yang lain. Dirinya cukup difavoritkan oleh para pengunjung sebagai atraksi utama.

***

Katlyn meniti tangga besi yang membawanya ke atas akuarium. Jika melongok ke bawah, permukaan airnya bergerak-gerak hingga menimbulkan riak akibat arus buatan di dalam.

"Siap, Kat?" Rendra, penyelam yang hari ini bertugas sebagai pendampingnya, muncul ke permukaan.

Katlyn mengangguk sebelum melepas bathrobe untuk mulai memasang ekornya. Meskipun ekornya dibuat dari bahan terbaik, tetap saja ia selalu ngos-ngosan acap kali memasangnya. Sama seperti hari ini, dada Katlyn bergerak naik-turun karena kelelahan. Ia memasang atasan yang memiliki motif dan sisik yang sama dengan ekornya.

Setelah melakukan pemanasan ringan dan menghirup napas dalam-dalam, Katlyn menjatuhkan dirinya ke dalam air.

Berada di dalam air menjadi satu-satunya obat bagi Katlyn. Di sana, ia bisa bergerak bebas mengikuti arus sambil menari tanpa lelah. Melupakan sejenak fakta tentang Papa yang ada di balik jeruji besi, melupakan fakta kalau ia dan Timothy adalah anak-anak piatu yang hidup tanpa ibu, dan melupakan fakta kalau tak ada keluarga yang mengakui mereka.

Di bawah air, ia bisa menjadi dirinya sendiri.

Akuarium raksasa ini punya kedalaman dua puluh lima meter sampai ke dasar dan dilengkapi dengan terumbu karang buatan. Di dalamnya ada ratusan spesies ikan yang berenang bebas bersama Katlyn. Selain difungsikan sebagai wahana hiburan, Seaworld tempat Katlyn bekerja juga dijadikan tempat konservasi makhluk laut sebelum dilepas ke habitat aslinya.

"Ayo kita coba panggil putri duyungnya! Sama-sama, ya? Satu, dua, tiga ... Mermaid Kat!"

Dari dalam akuarium raksasa yang dilapisi kaca pelindung tebal, samar-samar Katlyn mendengar para pengunjung memanggil namanya. Mereka dipandu oleh Lila, si Guide. Suaranya hanya sayup-sayup karena telinga Katlyn sudah teredam sepenuhnya oleh air.

Tadinya Katlyn bersembunyi di balik terumbu karang raksasa untuk melakukan pemanasan agar tubuhnya terbiasa. Panggilan dari para pengunjung menjadi kodenya untuk muncul. Rendra mengulurkan sebuah tabung oksigen yang dilengkapi alat agar Katlyn bisa mengisi ulang paru-paru lewat mulut. Oksigen yang sekarang memenuhi dadanya akan menjadi stok selama empat menit ke depan. Pengalaman Katlyn selama bertahun-tahun membuatnya kuat menahan napas selama lima menit di dalam air. Sekarang, ia sedang berusaha menambah toleransinya agar bisa bertahan menjadi enam menit.

Setelah napasnya diisi ulang, Katlyn memberi kode pada Rendra yang menunjukkan bahwa atraksi mereka bisa dimulai. Memenuhi panggilan pengunjung yang makin keras, Katlyn menyembulkan kepalanya di balik terumbu karang, mengintip mereka secara terang-terangan. Beberapa orang berseru saat melihatnya. Ekspresi Katlyn disetel takut sekaligus penasaran seakan baru pertama kali melihat para pengunjung.

Ketika para pengunjung meneriakkan namanya sekali lagi dengan lebih lantang, Katlyn memberanikan diri untuk keluar dari persembunyian.

Semua orang berseru takjub melihat penampakan putri duyung biru yang punya rambut indah. Di dalam akuarium raksasa itu, pemandangan Katlyn begitu surreal, seperti makhluk dongeng yang muncul dari tempat magis.

Mereka bersorak sambil bertepuk tangan. Rasa takjub tak pernah lepas dari ekspresi pengunjung. Katlyn tersenyum kecil, tampak malu-malu sekaligus misterius. Wajah Katlyn sangat jelita, sama sekali tak kelihatan jika sedang mengalami kesulitan menahan napas di bawah tekanan air. Tidak ada gelembung yang muncul dari mulut atau hidungnya. Katlyn sangat natural.

Ingin melihat para pengunjung lebih dekat, ia memberanikan diri untuk berenang menuju kaca pembatas. Katlyn menempelkan satu telapak tangannya di sana. Anak-anak berebut ke depan untuk mendapat perhatiannya. Katlyn tersenyum lebih lebar sambil mengedipkan mata dan berenang pergi menjauhi kerumunan. Ia bersembunyi di balik terumbu karang di mana Rendra sudah menunggunya agar bisa mengisi ulang paru-paru untuk empat menit berikutnya.

Kali kedua Katlyn muncul di hadapan pengunjung, wajahnya berseri-seri. Ia juga melambaikan tangan. Gerakannya anggun dan indah, bahkan para orang dewasa yang menonton hampir teryakinkan kalau putri duyung memang nyata berkat kemunculan Katlyn yang memesona setiap pasang mata.

Rambut silver keabu-abuan Katlyn menari mengikuti arus bawah air, membuatnya tampak sedang mengenakan mahkota. Ia menunjukkan beberapa trik dengan meniupkan ciuman gelembung ke arah pengunjung.

Seruan takjub tak henti-hentinya terdengar. Katlyn berenang ke sana kemari dengan lincah seakan seumur hidupnya memang sudah dihabiskan di dalam air.

Tak lama, seorang penyelam muncul dari balik terumbu karang. Itu Rendra. Sandiwaranya sudah dimulai.

Katlyn memasang ekspresi terkejut sambil berenang mengitari penyelam itu seakan baru kali ini melihatnya. Katlyn ragu-ragu menjulurkan satu tangan untuk menyentuh tabung oksigen si penyelam, tidak lama kemudian ia menyingkir ketakutan. Si penyelam tampak tidak rela melepaskan Katlyn. Ia berenang mengikuti Katlyn yang panik karena ketakutan. Seekor paus orca kemudian muncul dari arah belakang. Salah satu atraksi utama lain adalah Louis, seekor paus orca berusia empat tahun yang dikonservasi sebelum dilepas ke samudra jika sudah cukup dewasa untuk mencari makan sendiri.

Demi menghindari kejaran si penyelam, Katlyn meraih sirip Louis agar bisa dibawa pergi sejauh mungkin. Si penyelam ditinggalkan sendirian. Pengunjung anak-anak berseru kesal, bahkan ada yang menangis histeris karena Katlyn pergi. Si penyelam telah mengganggu Katlyn. Selama sandiwara dalam air itu berlangsung, Lila menjelaskan alur cerita serta pesan-pesan moral yang ada di baliknya.

"Jadi, adik-adik sekalian, gimana caranya supaya Mermaid Kat bisa datang lagi?" tanya Lila lewat pengeras suara.

"Jangan kotori laut!" Para pengunjung yang didominasi anak-anak balas berseru.

"Apa lagi?"

"Nggak boleh usik kehidupan di laut!"

"Ayo, coba panggil Mermaid Kat lagi supaya bisa kasih cium ke kalian semua. Hitungan tiga kayak tadi, ya? Siap?"

Mendengar namanya dipanggil, Katlyn muncul dari balik terumbu karang. Louis sempat membawanya ke permukaan untuk mengisi ulang udara di paru-parunya selagi Rendra menjadi fokus pengunjung.

Katlyn meniupkan ciuman gelembung berbentuk hati dari balik kaca pembatas. Ia melambaikan tangan pada anak-anak yang melompat kegirangan karena bisa melihatnya lagi. Dada Katlyn membuncah oleh rasa haru. Melihat antusiasme pengunjung menjadi salah satu doping dan alasannya bertahan bekerja di sini. Ia bersyukur mendapatkan pekerjaan yang ia sukai dan nikmati. Tak banyak orang yang seberuntung dirinya.

Lambaian tangan Katlyn berhenti ketika melihat sosok familier dari kejauhan. Sosok itu mengenakan topi dan pakaian serbahitam. Ia berdiri di dekat pilar, sedang menontonnya juga. Jantung Katlyn berdegup kencang karena dilanda kepanikan.

Janesa?

Katlyn berenang ke atas agar bisa mendapatkan sudut pandang yang lebih baik.

Baru dua kali ia berkedip, sosok itu sudah menghilang di antara lautan manusia. Sesering apa pun tatapan Katlyn mengedar, sosok itu tak dapat ditemukan. Dia lenyap tanpa jejak.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top