14 |TRANSAKSI

BERITA tentang penyerangan Rumah Sakit Omaruru muncul di televisi beberapa saat setelah J menerima kabar dari Tea jika helikopter mereka rusak. Ia membatalkan semua rencananya hari itu demi bisa menjemput teman-temannya. Tea sudah mengirimkan koordinat. Lokasinya dua jam berkendara dengan mobil dari tenda mereka.

Dari kejauhan, J dapat melihat nyala api unggun di samping helikopter yang teronggok miring di tengah gurun. Ketika jipnya berhenti di samping heli rusak itu, ia baru sadar api unggun yang dibuat teman-temannya cukup besar sampai dapat digunakan untuk memanggang seekor antelop muda. Tidak banyak kayu kering yang bisa dipakai sehingga mereka mencabut salah satu kursi heli agar bisa dibakar.

Tea mengulurkan seekor ulat panggang dari pohon mopane. Ulat jenis itu berlimpah di sini. Setelah dipanggang, warnanya berubah hitam dan teksturnya agak kering. Sebagai camilan, ulat itu bisa jadi sumber protein yang baik.

Semua orang duduk mengelilingi antelop panggang. Baunya lumayan harum, meski J tahu hewan itu tidak diberi bumbu apa-apa. Bagas yang menembak antelop itu tadi, lalu Challa yang menguliti dan membersihkan organnya. Challa juga yang didapuk sebagai head chef makan malam mereka karena dialah satu-satunya pribumi di sini, makanya lebih paham bagaimana cara mengolahnya.

Tatapan J langsung terpaku pada Katlyn. Ia berjalan mendekat. Katlyn sedang menggigit daging bakar di samping Looney. Sejak J tiba, Katlyn tak memandangnya sama sekali.

"Kamu terluka." Ia berjongkok di sebelah Katlyn, mengamati perban yang mengelilingi lengannya.

"Keserempet peluru waktu nyelamatin aku." Looney menyahut. "Boleh minta obat nggak? Kakiku gosong, nih." Ia menunjukkan luka bakar di pahanya, berharap diberi obat kuat secara cuma-cuma.

J merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak yang mirip wadah rokok. Ia membuka tutup kotak itu sebelum menyerahkan sebutir pil hijau pada Looney.

"Kamu juga harus minum ini." J mengulurkan satu untuk Katlyn. "Nggak berbahaya. Obat ini bisa mempercepat kesembuhanmu," imbuhnya ketika Katlyn tampak ragu.

Akhirnya, Katlyn menerimanya.

"Helinya kelihatan parah." Kepala J menoleh ke arah Tea yang asyik mengunyah ulat panggang.

"Beyond repair." Tea menjawab setelah menelan. "Kami diserang waktu di rumah sakit. Mereka siapa?"

J menggeleng. "Kita akan cari tahu besok. Udah dapet sampelnya?"

Tea menunjuk kotak abu-abu di sebelah Challa duduk.

"Apa ada kemungkinan mereka ngelacak kita sampe sini?"

Pertanyaan Katlyn membuat perhatian J beralih padanya lagi. "Mungkin."

"Kalau gitu, tenda kita nggak aman."

"Malem ini, kupastiin kalian bisa istirahat dengan aman di sana."

"Mereka membunuh semua orang."

J tak menyahut. Katlyn menghela napas lelah. "Ratusan orang tewas. Apa alasan mereka ngebantai semua orang kayak gitu? Apa ini ulah Krotos juga?"

"Siapa pun yang ngirim mereka, nggak ada hubungannya sama Krotos."

"Tahu dari mana?"

"Krotos baru ngirim orang-orangnya ke Namibia setelah berita tentang penyerangan rumah sakit menyebar ke mana-mana." J memandang mereka semua secara bergantian. "Hancurin wadah virus kayak Rumah Sakit Distrik Omaruru sama aja ngacauin rencana awal Krotos buat nyebarin D6 sebanyak mungkin ke seluruh dunia."

"Ngelawan Krotos aja udah ngerepotin, sekarang nambah musuh baru?" keluh Looney lesu.

"Aku nggak lihat mereka sebagai musuh."

Semua orang memandang J dengan ekspresi yang sama. Penasaran.

"Musuh Krotos bisa jadi sekutu kita," lanjut J.

"Mereka ngebantai penduduk sipil yang nggak bersalah!" Katlyn sontak mengamuk.

"Kitten, aku belum selesai." J menyentuh lutut Katlyn agar lebih tenang. "Aku punya firasat tentang alasan mereka nyerang rumah sakit distrik yang terisolasi. Itu bisa jadi cara musnahin sumber virus, mencegahnya menyebar ke mana-mana. Tujuan mereka sama kayak kita. Hanya caranya aja yang beda."

"Itu cara yang gila!" Kedua pupil Katlyn melebar.

"Aku juga curiga kalau penyerang Bu Miranda kemarin adalah mereka. Sebelum kita, mereka lebih dulu ngawasin Bu Miranda secara diam-diam."

Miranda tampak terkejut.

"Satu-satunya alasan yang bisa kupikirin saat ini, mereka pengin musnahin virus itu sampai ke akar-akarnya, termasuk para penciptanya." J menambahkan.

"Bukannya Krotos juga gitu?"

Gelengan J menanggapi. "Krotos menarget kamu dan tantemu supaya bisa memonopoli virus itu. Mereka nggak ingin ada pihak lain di luar mereka yang tahu tentang D6. Tujuannya adalah menguasai pasar senjata pemusnah massal demi rencana tatanan dunia baru."

"Jadi maksudnya, pihak misterius yang nyerang rumah sakit tadi ngelakuin pembantaian buat memutus rantai penyebaran virus D6?" Looney setengah merenung ketika mengatakannya. "Dengan begitu, mereka nggak perlu vaksin lagi. Sumber virusnya dihabisi sebelum menyebar jadi pandemi. Gitu?"

J mengangguk. "Ini masih sebatas dugaan. Aku mau mastiin besok."

"Ada apa sama besok?" Katlyn ikut bangkit saat J berdiri. Ia mengekor di belakang J yang berjalan ke mobil, menjauh dari semua orang.

"Transaksi vaksin. Krotos menjual vaksin pertama buatan mereka besok." Lelaki itu mengambil sebotol air dan membuka tutupnya sebelum mengulurkannya pada Katlyn.

"Kamu dapat info dari mana? Kamu pergi ke mana seharian ini?"

"Aku kira kamu nggak peduli aku pergi ke mana."

Dahi Katlyn berkerut. Ia mendekat selangkah. "Kamu ninggalin aku sendirian sama minions psiko kamu! Mereka semua gila!" ujarnya setengah berbisik.

J terkekeh, ikut-ikutan maju selangkah. "Ada tantemu."

"Aku bersyukur kamu mempertemukan kami, tapi dia tetep orang asing bagiku. Aku hampir nggak kenal dia sama sekali."

J menatap langsung mata Katlyn, mengamatinya. "Kamu khawatirin aku?" Senyumnya perlahan merekah. "Makanya, kamu jadi bawel begini."

Katlyn tak lagi menatapnya. Ia menurunkan pandangan ke dada J yang tertutup kaus hitam. Ia sendiri tak tahu kenapa merasa gelisah seperti ini sejak bangun tidur di tengah gurun dan tak melihat J di mana-mana.

"Kamu yang nyeret aku ke masalah ini. Seharusnya kamu nggak biarin aku sendirian." Lagi-lagi, Katlyn berbisik. Ia merasa tangannya disentuh, tetapi tidak mampu menepisnya. Sekarang ia bingung dengan dirinya sendiri.

"Kamu bikin aku ninggalin Timmy dan terjebak di tengah-tengah ... perang!" Katlyn menatap tanah di bawah kakinya. "Nggak adil kalau kamu pergi entah ke mana tanpa ngasih tahu aku juga! Memangnya aku ini apa? Pajangan?" Ia merasakan tangannya digenggam. Katlyn mencari-cari alasan untuk menepisnya, tetapi belum menemukan satu yang pas.

"Maaf."

Katlyn mengangkat wajahnya, mempelajari ekspresi J sekaligus mencari kesungguhan di sana.

"Nggak akan kuulangi lagi. Maaf." Ibu jari J menyentuh pipinya.

"Aku pengin cepet pulang."

"I know."

"Tapi, kamu nggak akan biarin aku pulang. Iya, 'kan?"

J memandangnya lama. "Maaf, Kitten." Balasan tersebut membuat Katlyn memejamkan mata, frustrasi. "Gini aja, deh. Setelah kita balik ke tenda, aku janji akan biarin kamu hubungi Timmy. Gimana?"

Katlyn membuka matanya perlahan, mencari-cari jejak kebohongan dari ekspresi J. Setelah sekian lama mengamati, kali ini instingnya mengatakan jika J bersungguh-sungguh.

***

"Biar kulihat lukamu." J menarik tangan Katlyn yang sehat agar cewek itu duduk di sebelahnya.

"Nggak pa-pa, tadi udah diobati—" Katlyn menggigit lidahnya. Ia hampir keceplosan kalau Challa yang mengobati lukanya. Jika J tahu, Katlyn cemas laki-laki itu akan memenggal tangan Challa, lalu memberikan potongan tangan itu pada buaya di sungai dekat tenda dengan senang hati.

Mereka kembali ke tenda pada dini hari. Sampai matahari terbit, mereka punya waktu beberapa jam untuk beristirahat.

"Lukanya nggak dalem." Celetukan J membuat perhatian Katlyn kembali padanya. Perban yang membebat lengan Katlyn sudah dilepas. Kini, J sedang membersihkan luka itu dan mengolesinya dengan salep antibiotik.

"Aku nggak ngerasa sakit sama sekali." Katlyn baru menyadarinya sekarang. "Obat kuat yang tadi kamu kasih juga ada anti-nyerinya?"

J mengangguk singkat. "Jantungmu akan berdegup kencang semalaman. Adrenalin. Meskipun nggak ngantuk, kamu tetep harus istirahat. Meditasi juga bisa."

J benar. Tubuh Katlyn sedang amat bersemangat sekarang. Dia suka efeknya.

"Obat itu satu-satunya buat kamu. Nggak ada lagi yang lain," lanjut J seakan berhasil membaca pikiran Katlyn.

"Kenapa?"

"Nanti kamu hiperaktif."

Jadi, itu sebabnya J membatasi obat kuat untuk Looney. Jika dalam keadaan normal saja Looney sudah gila, apalagi dalam keadaan hiperaktif?

"Lukanya bakal sembuh dalam beberapa hari. You'll be fine." J menutup luka Katlyn dengan perban baru. "Kamu agak pendiam." J menyentuh telapak tangannya ketika selesai, membuat Katlyn memandangnya. "Mikirin apa?"

Katlyn menggeleng. "Bukan apa-apa."

"Ekspresimu nunjukkin kalau ada yang lagi ganggu pikiranmu. Apa?"

Bibir Katlyn bergerak hendak mengatakan sesuatu, tapi ragu.

"Tell me, Kitten. Aku nggak bisa baca pikiran."

"Semisal ... kamu tadi ada di sana, apa yang akan kamu lakuin ke pasien-pasien itu?" Akhirnya, Katlyn bersuara.

Pertanyaan Katlyn dimengerti sepenuhnya oleh J. Selama perjalanan kembali ke tenda tadi, Tea sudah memberitahunya detail tentang peristiwa di Omaruru termasuk perdebatan kecil Bagas dan Katlyn.

J terdiam agak lama. Ia memikirkan baik-baik apa yang harus dikatakan pada Katlyn tanpa membuatnya salah paham. "Kurasa aku akan sibuk ngelakuin hal yang sama kayak Looney. Sejujurnya, aku nggak peduli sama semua pasien di sana."

Katlyn terperangah. Seharusnya ia dapat menduga ini, tapi tetap saja terkejut.

"Lalu, kenapa kita ke Namibia?"

J terkekeh kecil. Katlyn tidak tahu mana dari kata-katanya yang lucu.

"Mau jalan-jalan sebentar?"

Katlyn tak perlu pikir panjang untuk mengiakan ajakan J. Lelaki itu membantunya berdiri, lalu memimpin jalan keluar tenda. Ia juga membawa papan terbangnya dengan satu tangan.

Semua orang, selain Looney dan Tea, sudah tertidur lelap di tempat masing-masing. Usai bertukar kabar dengan Tamara, energi Looney masih berlebih akibat mengonsumsi obat kuat. Sambil menunggu kantuk datang, ia membersihkan belati-belatinya sekaligus mengasahnya.

"Istirahat, Tea. Biar aku yang ngawasin." J melewati Tea yang masih sibuk memelototi layar di depannya.

Tea hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas seraya bangkit dari kursi. Tubuhnya tampak lunglai setelah lembur berhari-hari.

J mengajak Katlyn menuruni bukit. Tanah di bawah mereka landai. Katlyn dapat berjalan tanpa kesulitan. Namun, J tetap memeganginya sepanjang perjalanan. Dia cemas Katlyn terpeleset dan jatuh berguling-guling ke bawah.

"Kami pengambil risiko," ujar J memulai. "Alasan aku biarin Bagas bergabung ke misi ini salah satunya karena itu. Dia bisa berpikir dan ngendaliin situasi. Dia fokus, sedangkan kami ... kamu bisa lihat sendiri. Kami suka bahaya. Kami suka menantang kematian."

"Itu nggak menjawab pertanyaanku."

"Kalau kamu bisa mengaitkannya satu sama lain, sebetulnya pertanyaan kamu udah terjawab, Kitten."

"Tapi, pasien-pasien itu juga manusia!"

"Sekali lagi kubilang, aku nggak peduli sama mereka. Dalam kasus ini, bukan aku yang jadi pahlawannya. Aku cuma relawan yang berharap dibayar para pemimpin dunia karena udah mencegah wabah masuk ke teritori mereka." Kemudian dia menggerutu, "Kuharap bayarannya gede biar modalku balik, sih."

Katlyn menatapnya dengan mulut separuh terbuka.

"Aku nggak peduli dengan situasi dunia. Aku juga nggak punya empati pada pasien-pasien yang terpapar. Itu bukan urusanku," lanjut J. "Yang jadi urusanku adalah kamu. Mendiang mamamu pernah bikin aku bersumpah sebelum beliau meninggal." J balik menatap Katlyn. "Dia minta aku lindungin kamu apa pun yang terjadi. Dia juga nyuruh aku buat mencegah virus itu bocor dan berakhir jadi pandemi." Ia tersenyum tipis. "Itu kali pertamaku bikin sumpah pada orang mati."

Katlyn ingin sekali menonjok wajah J karena sudah mengatakan itu tentang Mama. Tapi jika dipikir sekali lagi, tidak ada yang salah. Mama memang sudah jadi orang mati.

"Kedengerannya kalian deket." Katlyn tersenyum pahit.

"Cuma beliau yang nggak nganggep aku psikopat." J terkekeh. "Dia anggep aku sebagai orang yang bekerja buat dia, hargain kerja kerasku. Cuma dia yang anggep aku sebagai manusia."

Kalimat ironis J sama sekali tidak berbanding lurus dengan ekspresi dan nada bicaranya.

"Nggak banyak hal yang kupeduliin di dunia ini, Kitten. Bahkan jika dunia sekarat sekalipun, aku masih bisa tidur nyenyak. Aku ngelakuin ini karena berutang sumpah ke mamamu. Aku nggak peduli kalau semua orang mati asal bukan kamu. Hidupmu akan panjang, aku jamin."

Katlyn mendengkuskan tawa rendah. "Kamu nggak bisa memprediksi umur seseorang."

"I'll make sure of it."

Napas Katlyn tercekat. Janji J barusan terdengar seperti ancaman. "Karena kamu telanjur berjanji sama mamaku dan berharap dapat bayaran atas jasa-jasamu?"

"Plus, I love you." J mengedikkan sebelah bahunya. "The world might turn to hell, but I'll build a little paradise for your sanctuary." Ia tersenyum simpul. "Itu kalau rencana kita nggak berhasil."

Rencana yang paling praktis dan egois seolah Katlyn pasti menyetujuinya.

"Apa besok kamu akan pergi lagi?" tanya Katlyn mengalihkan topik.

"Mungkin. Kenapa?"

Katlyn menggeleng, tak tahu alasannya menanyakannya.

"Looney dan Bagas yang kukirim buat pergi. Kalau kamu mau aku di sini, aku nggak akan pergi," imbuh J.

"Apa misi besok berbahaya?"

Lelaki itu tertawa kecil. "Berbahaya versi kamu dan versiku jelas berbeda." Ketika melihat Katlyn menelan ludah, senyumnya lenyap. "I won't go, then."

"Gimana kalau mereka butuh kamu?"

Kedua ujung bibir J menekuk ke bawah. "Aku bingung. Dari sikapmu, kamu kelihatan berat kalau kutinggalin, tapi masih nanyain hal sebaliknya. Apa bahasa semua cewek begini? Bilang A, maunya B. Katakan sejujurnya. Apa maumu?"

Katlyn tak mengangkat pandangannya dari dada J.

"Kat?"

"Kamu bisa pergi besok. Aku cemas sama kenekatan Looney. Harus ada orang yang cegah dia ngelakuin hal bodoh," ujar Katlyn akhirnya.

"Ada Bagas."

"Looney cuma mau dengerin kamu."

J tersenyum kecil. "Aku janji nggak akan lama."

"Jangan mati." Kali ini, Katlyn menatap J tepat di mata. "Kembalilah dengan selamat. Pastiin Looney dan Bagas juga kembali. Aku muak sama kematian di sekelilingku."

Ekspresi J susah ditebak. Ia memandang wajah Katlyn cukup lama sampai cewek itu merasa canggung sendiri.

"Boleh cium nggak?"

"Nggak!"

Usai mengatakannya, Katlyn berbalik menuju tenda tanpa ba-bi-bu.

Sambil memandangi punggung Katlyn yang menjauh, J cemberut. Namun, kekecewaannya tak berlangsung lama. Ia memasang kacamata inframerah, lalu menjatuhkan papan terbangnya. Lelaki itu menaiki papannya. Dalam sekejap, ia sudah melesat cepat membelah kegelapan.

***

Transaksi itu dilaksanakan di Windhoek, ibu kota Namibia. Yang jadi pembelinya adalah perwakilan Gedung Putih. Hal ini baru diketahui J kemarin. Sebelum teman-temannya tiba di Omaruru, pihak Gedung Putih sudah mengunjungi tempat itu lebih dulu untuk melihat sendiri situasi di sana.

Patrick James, juru bicara Gedung Putih, sengaja dikirim langsung untuk melakukan transaksi dengan Elliot Krotos. Namun, yang datang justru wanita berkulit pucat dengan rambut hitam. Sang juru bicara menyandarkan punggungnya ke kursi, mengamati Revita dari kepala sampai kaki. Wanita itu tersenyum, sadar sepenuhnya kalau sedang diamati.

"Kenapa malah seorang juru bicara yang dikirim kemari?" tanya Revita dalam bahasa Inggris.

"Pak Presiden ingin saya mewakili Gedung Putih untuk menyampaikan beberapa hal." Patrick cukup sopan untuk tidak memperhatikan belahan dada Revita yang membusung di depannya. Wanita itu mengenakan pakaian kontroversial dengan alasan suhu Namibia yang panas.

"Pak Presiden ingin agar Krotos menjual vaksin itu hanya kepada kami."

Revita tertawa karena menganggapnya sebuah lelucon.

Patrick tidak tersinggung. Dia justru melanjutkan, "Kami juga ingin agar vaksin itu diuji coba secara massal di Namibia terlebih dahulu."

Revita memberi isyarat pada salah satu suruhannya untuk menunjukkan video pada Patrick. "Rumah sakit distrik di Omaruru dihancurkan kemarin," ungkapnya selagi Patrick menonton.

"Siapa mereka?"

"Kelompok militan. Mereka tentara buangan Afrika Selatan yang membuat organisasi beranggotakan mantan pasukan militer gabungan dari Botswana, Namibia, dan Afrika Selatan. Kami curiga mereka nggak bergerak sendirian. Pasti ada pihak lain yang mendanai kegiatan mereka." Revita tersenyum penuh arti sembari melipat tangannya di atas meja. "Kami dengar pihak kalian pernah mendanai pemberontakan beberapa negara—"

Patrik menyela, "Saya tidak tertarik membahas masalah di luar wabah ini, Nona."

Revita masih tersenyum.

"Kami juga sudah lihat footage keributan di Omaruru. Siapa anak perempuan yang meledakkan tank dan menghabisi hampir seluruh pasukan sendirian?"

Senyum Revita memudar. "Kami sedang menyelidiki itu."

Patrick mengangguk sekilas. "Pastikan dia atau siapa pun yang membayarnya tidak merepotkan kita nantinya. Lalu, tentang vaksin itu ... berapa persen efektivitasnya?"

"Tujuh puluh persen," jawab Revita, memperhatikan kukunya yang dilapisi nail-art.

Lagi-lagi Revita membuat isyarat kepada para laki-laki di belakangnya untuk membawa masuk sebuah kerangkeng besi yang berisi manusia. Orang yang dikurung di dalamnya sedang meringkuk. Tubuhnya kurus kering dan berkeringat. Ketika ia mengangkat kepala, kedua matanya mengalami pendarahan. Sebuah monitor sengaja ditempelkan di sisi kerangkeng untuk menunjukkan kondisi organ vital si pasien.

Kerangkeng itu sengaja ditempatkan cukup jauh dari meja mereka, dilapisi dengan dua sekat agar semua orang yang ada di ruangan ini tidak terkontaminasi virus.

"Gejala tahap tiga."

Revita bangkit, lalu membuka kotak besi di depannya untuk mengambil sebuah botol kaca berukuran lima mililiter dan jarum suntik steril. Cairan di dalam botol itu berwarna bening. Usai mengisi jarum suntiknya, ia meletakkannya di atas meja agar bisa diambil oleh dokter yang bertanggung jawab.

Patrick dan semua orang dari pihaknya yang hadir hari itu memperhatikan apa saja yang terjadi di dalam kerangkeng besi. Revita mengamati setiap gurat ekspresi mereka. Ia tersenyum tipis ketika pasien dalam kerangkeng mengerang lemah karena kesakitan saat disentuh.

"Berapa lama?" Patrick memandang Revita.

"Perlu setengah jam sampai vaksinnya bereaksi."

Patrick mengecek jam tangannya. Ia punya waktu dua jam di sini, jadi ia putuskan untuk menunggu dengan sabar.

***

"Itu Revita, 'kan?"

Entah sudah berapa kali Looney menarik-narik lengan kaus J agar pertanyaannya segera dijawab. Lelaki itu sedang mengintai bangunan mirip gudang di depan mereka lewat teropong termal yang memungkinkan para penggunanya dapat mengamati aktivitas di dalam gedung lewat panas tubuh. Looney dan Bagas masing-masing membawa teropong yang lebih canggih darinya. Mirip teropong night vision, hanya saja teropong buatan Tea itu dapat melihat menembus dinding atau penghalang. Tidak heran jika Looney dapat menemukan sosok Revita di antara semua orang yang ada di dalam gedung.

J menurunkan teropongnya dengan dahi berkerut.

Ini tidak benar. Informasi yang didapatkannya kemarin menunjukkan kalau Elliot Krotos sendiri yang akan melakukan transaksi dengan Patrick James.

"Ada apa?" Bagas dapat merasakan kegelisahan J.

"Itu kakakku. Aku nggak memprediksi dia yang akan datang."

Di lain pihak, Looney tampak bersemangat.

"Misi kita lebih penting, Looney. Belum saatnya," tegur J.

"Ha! I don't care!" Looney melompat turun dari atap gedung terbengkalai yang jadi tempat persembunyian mereka.

"Dia punya dendam pribadi?" tanya Bagas.

Rahang J mengeras karena Looney akan mengacaukan misi mereka. "Kayaknya kamu harus kerja sendiri kali ini."

"No problem. Akan saya urus Patrick. Pastikan saja Looney nggak membuat situasi makin runyam." Bagas menyusul Looney turun dari gedung dengan bantuan tali pengaman yang terhubung di pinggangnya.

Tak ingin tertinggal lebih jauh, J menyusul Bagas dan Looney setelah mengenakan masker gas filternya.

***

Satu jam telah berlalu sejak vaksin disuntikkan ke tubuh si pasien. Kondisinya berangsur-angsur membaik. Pendarahan di kedua matanya telah berhenti. Kini, pasien itu dapat duduk tegak dan balik memandangi mereka dengan lesu. Suaranya parau, minta dikeluarkan dari kerangkeng. Karena tubuhnya kekurangan nutrisi, ia tak sanggup berdiri.

"Bagaimana?" tanya Revita.

"Bagaimana dengan permintaan untuk menyuplai vaksin hanya kepada kami?" Patrick justru balik bertanya.

Revita mencondongkan tubuhnya. "Memonopoli vaksin kami berarti Anda setuju untuk membayar ekstra, 'kan?"

"Tuan Krotos harus paham kalau apa yang dia lakukan adalah demi negaranya."

Revita tertawa. Makin lama, tawanya makin kencang. Kedua matanya sampai basah karena terbahak-bahak. Ia perlu waktu beberapa detik untuk menghilangkan kegeliannya.

"Anda lucu sekali, Tuan James." Revita menghela napas seraya tersenyum lebar. "Kami nggak peduli siapa pembeli kami. Kalau mereka bisa membayar dengan harga yang cocok, vaksin itu akan jadi milik mereka, no offense."

"Berapa yang kalian minta?"

"Suplai vaksin atau biaya monopoli pembelian?" Senyum Revita tak juga luput dari wajah cantiknya.

"Monopoli."

"Seratus juta dolar."

"That's insane!"

Revita mengerucutkan bibir. "Mau terima atau nggak, toh, bukan kami yang rugi. Oh iya ...," wanita itu memiringkan kepalanya sedikit, "kami dengar, Cina juga sedang meneliti virus ini. Mungkin kalian bisa beli vaksinnya dari mereka." Ia mengedipkan satu matanya, merasa sudah memberikan solusi terbaik.

"Anda tahu itu akan sangat terlambat!"

"Justru karena saya tahu, makanya saya nawarin."

Revita tertawa lagi. Ia puas menjadi satu-satunya orang yang memegang kendali di sini.

Akhirnya, Patrick bangkit sembari merapikan jasnya. "Kami akan segera mengabari Anda." Ia menyuruh seseorang untuk mendorong peti besar ke hadapan Revita. Sebagai gantinya, wanita itu menyerahkan sebuah anak kunci berukuran kecil beserta lima digit kode di atas kartu berbahan lentur pada Patrick.

"Kontainernya ada di luar." Revita bangkit dari kursinya untuk membuka peti. Di dalamnya terdapat tumpukan emas batangan yang berkilau ditimpa cahaya matahari dari atap berlubang di langit-langit. Revita menyuruh anak buahnya menghitung jumlah emas yang ada di dalam.

"Senang berbisnis dengan kalian." Revita mengulurkan tangannya pada Patrick untuk berjabat.

Mendadak Revita memekik saat sebuah peluru mengenai bahunya. Darah merembes keluar dari luka itu. Ia menekannya dengan tangan lain agar pendarahannya berhenti seraya mengedarkan pandang ke sekeliling. Para pengawalnya langsung mengacungkan senjata ke berbagai arah dalam posisi siaga mencari-cari pelaku.

"Temukan penyusupnya!" seru Revita.

Patrick hanya datang bersama dua pengawal Gedung Putih karena mengira transaksi hari ini akan berlangsung lancar dan rahasia, berbeda dengan Revita yang membawa lebih dari selusin orang Krotos. Mereka membentuk barisan di sekeliling Revita untuk melindunginya.

Seseorang jatuh dari atas. Secara teknis, ia sengaja melompat turun dengan gaya sok keren. Sosok itu mendarat dengan dua kaki dan seringaian lebar di wajahnya.

"I know you," desis Revita ketika mengenali siapa yang telah menembaknya.

"Anthony Penalosa. Toni. Ingat dia?" tutur Looney, menyegarkan ingatan Revita tentang mendiang omnya yang tewas di penjara. "You killed him merciless. Ada dendam yang harus dituntaskan hari ini juga." Ia mengeluarkan belati dari sarungnya.

Senyum Revita perlahan terbit. "Lunette Rynn Bianca, putri tunggal Thomas Penalosa dari Kartel Bermuda. What an honor to see the demon herself."

Wanita itu sudah mengabaikan rasa sakit di bahunya. Ia meletakkan kedua tangannya di depan mulut dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat.

Wajah ceria Looney mendadak lenyap. Kini, rautnya datar dan dingin.

"Adikku ada di sini, kan? Di mana dia?" Revita mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"He's not here to protect you!"

"Oh, Looney." Revita terkekeh. Sepatunya bergemeletuk saat berjalan mendekat ke arah Looney. "Kamu kalah jumlah, Sayang."

Para pengawalnya tidak menurunkan kewaspadaan meski mereka tidak mencegah Revita mendekati musuh tanpa perlindungan. Looney mengacungkan pistol ke arah Revita yang terus tersenyum. Tak ada gurat ketakutan sama sekali dari ekspresinya.

Tak lama, pistol di tangan Looney terlempar jauh karena seseorang menembak.

"You promised!" Looney berteriak geram ke arah J yang berdiri di pagar pembatas di atas mereka.

"Bukan waktunya balas dendam!" J balas berseru.

Revita menyeringai tipis. "Hello, Brother."

Begitu Revita lengah, Looney melompat ke depan untuk menarik rambut bagian belakang Revita sampai dia menjerit kesakitan. Tubuh Revita ditarik paksa agar kepalanya sejajar dengan Looney. Orang-orang Krotos menahan tembakan karena isyarat Revita.

Bukannya merasa terancam, Revita justru tertawa. Ia mencengkeram pergelangan tangan Looney dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menekan ujung sebilah pisau lipat ke perut bagian samping Looney, tepat di ginjal.

Dalam satu hunjaman, Revita menusuk perut Looney sekuat tenaga. Jambakan di rambutnya tidak juga terlepas. Ekspresi Looney masih datar-datar saja. Terkejut pun tidak.

Looney mendengkus. "Nggak inovatif. J juga punya trik yang sama denganmu. Aku belajar dari ahlinya." Ia mengentak kepala Revita lebih keras sampai wanita itu bersumpah kalau ada segumpal rambut yang copot dari kulit kepalanya.

"What are you waiting for? Kill her! Kill her now!" jerit Revita pada para pengawalnya.

Mereka awalnya saling pandang, lalu beringsut maju untuk menyerang. Mereka sengaja tidak menggunakan senjata api karena khawatir Revita terkena peluru nyasar.

Looney melepaskan cengkeramannya untuk meladeni. Beruntung dirinya habis menelan satu butir obat kuat pagi ini, jadi adrenalinnya berbanding lurus dengan stamina.

J mengamati dari pagar pembatas lantai dua sambil mengusap dahinya yang berpeluh. Rencananya kacau balau. Seharusnya misi ini dilakukan dengan membiarkan Patrick James mendapatkan kunci, lalu mereka merampok kontainer vaksinnya kemudian. Mereka tidak akan terlibat keributan, baik dengan pihak Krotos atau Amerika Serikat. Well, maksudnya meminimalisir keributan. Pihak Amerika Serikat tetap akan memburu mereka, tetapi itu bisa dipikir nanti.

J menoleh ketika mendengar pekikan Looney begitu tubuh kecilnya dilempar sampai membentur dinding. Ia jatuh di atas tumpukan kayu bekas yang sebagian besar lapuk karena dimakan rayap.

J mencengkeram pagar pembatas. Ia melompat turun dari lantai dua.

"Honey, you won't survive today." Ucapan Revita hampir memecah konsentrasinya.

J cukup yakin saraf sensorik Revita bagian reseptor sudah putus. Bagaimana caranya dia masih menyeringai lebar begitu, padahal bahunya habis kena tembak?

Revita duduk di atas kursi untuk menonton keributan di depannya. Kepala keamanan Revita setia berdiri di samping, memastikan mereka bisa siap pergi kapan pun Revita ingin.

J tak punya waktu untuk berbasa-basi karena dari ekor matanya, ia kembali melihat tubuh Looney terpental sejauh beberapa meter, ditembaki senapan berkaliber besar. Bukan Looney namanya kalau lari ketakutan atau menyerah. Remaja itu bangkit sambil batuk-batuk serta memegangi dadanya yang nyeri kena tembak. Rompi antipeluru buatan Tea telah menyelamatkan nyawanya beberapa kali hari ini.

J merebut pistol yang habis digunakan untuk menembaki Looney dengan tangan kosong seraya menghindari serangan yang datang bertubi-tubi ke arahnya. Ia mengaitkan lengannya pada salah satu orang Krotos yang menjadi lawannya sebelum menembakkan peluru ke pelipis kiri sang korban. Darah menyiprati baju dan wajah J. Ia meringis jijik karena tangannya penuh dengan isi kepala orang yang baru saja dibunuhnya. Lelaki itu buru-buru mengibaskan tangannya di udara.

Di lain pihak, Looney mengaitkan salah satu ujung gagang belatinya ke rantai besi mini yang ia miliki. Ia menarik napas dalam-dalam untuk mengembalikan fokusnya. Bukan demi membantu J yang mulai kewalahan menghadapi lima orang sekaligus, melainkan untuk memburu Revita yang sedang balik memandangnya.

"Let's get out of here. She's lunatic!" Revita menyadari arti tatapan Looney. Pengawalnya membantu Revita berdiri. Ia berjalan tertatih menuju pintu keluar sambil dipapah.

Looney berlari mengejarnya. Ia melempar ujung lain rantai besinya seperti laso sampai melingkari salah satu kaki Revita. Wanita itu langsung jatuh tersungkur begitu Looney mengentak rantainya.

Pengawalnya membidik kepala Looney dengan pistol, tetapi dia lebih gesit menghindar. Ia melompat ke depan dan menendang pergelangan tangan si pengawal sampai pistolnya terlempar.

"Beraninya sama anak kecil!" Looney menghunuskan belatinya, tetapi meleset.

Tubuhnya yang jauh lebih pendek dari si pengawal menjadi keuntungannya untuk bergerak lincah menghindar. Sesekali Looney menendang dan memukul bagian-bagian vital saat lawannya lengah. Salah satu kerugiannya adalah jika ia tertangkap. Seperti saat ini, contohnya.

Leher Looney serasa diremukkan oleh lengan kekar sang lawan. Tubuhnya sudah terangkat ke udara dan senjatanya merosot ke lantai. Looney sibuk mengembalikan oksigen ke paru-parunya. Selagi Looney tercekik, Revita berjalan tertatih menuju pintu keluar.

Looney membenturkan kedua ujung sepatunya hingga muncul senjata rahasia kecil. Ia menendang selangkangan lawannya dengan sepatu berujung besi tajam sampai sang lawan menjerit. Cengkeraman di lehernya terlepas. Ia merangkak menghindari lawan yang sekarang sedang merintih kesakitan sambil memegangi selangkangannya yang berdarah.

Ia menghirup oksigen banyak-banyak, mengembalikan rona di wajahnya. Diraihnya senjata yang teronggok di lantai, lalu bangkit. Pandangannya mengedar ke sekeliling, mencari-cari keberadaan Revita meski lehernya terasa nyeri.

Sayang, Looney terlambat. Revita telah lenyap. 

.

.

.

Ebook C.R.T Vol. I sudah tersedia di Google Playbook. Klik link di bio, yaa...


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top