12 | MANIPULATIF
"KUKIRA hanya Profesor saja orang Indonesia yang ada di Dunedin," ujar Challa dalam bahasa Inggris.
Sejak melihat Katlyn pertama kali, tatapan Challa tidak lepas darinya. Ini memang kali pertama Challa bertemu orang Melayu selain Miranda.
"Di Otago nggak ada orang Indonesia sama sekali?" Katlyn mengernyit heran. Universitas yang dimaksud Katlyn pasti punya mahasiswa dari seluruh belahan dunia. Mana mungkin Indonesia bukan salah satunya.
"Ada, tapi aku tidak pernah bertemu mereka."
Miranda menepuk-nepuk pundak Challa. "Dia ini lebih suka ngabisin waktunya di lab daripada sosialisasi."
Senyum masih belum hilang dari wajah Katlyn. Challa tidak kelihatan se-nerdy itu. Manis, memang. Tubuhnya juga bugar, menandakan orang sesibuk Challa masih punya waktu untuk berolahraga.
Candaan Miranda membuat Challa tersipu. Berbeda dengan Challa, tengkuk Katlyn justru terasa dingin. Seketika ia menoleh dan mendapati J sedang bersandar di dinding, mengamati mereka. Katlyn buru-buru menghampirinya.
"Ada apa?" Katlyn sengaja menghalangi pandangan J dari Challa.
Kini, lelaki itu menatap Katlyn. Cukup lama sampai Katlyn merasa canggung sendiri. Tatapannya terkesan menuduh seolah Katlyn baru saja melakukan kesalahan lalu ketahuan.
"Jangan bikin Challa pingsan gara-gara kamu nggak suka dia!" gumam Katlyn sambil menunduk.
Tentu saja J mendengarnya. Terbukti dari ekspresi masam yang ia tunjukkan. "Ada yang mau kubahas," J berujar.
Katlyn mengangkat kepalanya. "Apa?"
"Kita berangkat ke Namibia hari ini."
Katlyn menoleh ke belakang di mana Miranda dan Challa masih mengobrol. "Menurutmu, Tante Miranda udah setuju bantuin kita?"
"Kita bawa paksa."
Katlyn menatapnya lagi. Kedua matanya menyipit curiga. "Diculik, maksudnya?"
J mengangguk singkat. "Si Charlie punya dua pilihan. Dibunuh di sini atau dibawa ke Namibia juga."
"Challa." Katlyn setengah berbisik untuk meralat. Ia menarik lengan lelaki itu menjauh dari jarak dengar Miranda dan Challa. "Masa mau angkut orang sembarangan?"
"Dari gelagatnya, tantemu pasti setuju bikin vaksin. Wabah ini, kan, gara-gara dia juga. Kalau si Chanai, aku nggak peduli. Bawa atau bunuh, terserah kamu."
Katlyn heran bagaimana J bisa mengatakan itu semua dengan ekspresi datar.
"Kenapa harus dibunuh, sih?" Kedua alis Katlyn membentuk satu garis lurus. "Namanya Challa, bukan Chanai." Ia membayangkan roti pipih asal India yang dicelup kuah kari. Sekarang perutnya jadi lapar.
"Dia tahu kita di sini."
"Kamu cemas dia bocorin informasi ke siapa pun yang lagi nyariin kita?"
"Nyari kamu dan tantemu. Bukan 'kita'."
Entah apa gunanya J selalu menekankan kalau yang sedang dalam keadaan terdesak saat ini adalah Katlyn seorang. Terdengar seperti Katlyn yang mengemis minta ditolong, sedangkan J yang berlagak jadi pahlawannya.
"Aku nggak minta dibantu, lho," tepis Katlyn.
"Tapi, kamu butuh aku."
"No, kamu yang butuh aku."
"Fine! Kita saling membutuhkan. Resmi balikan?"
Katlyn geleng-geleng kepala, tak habis pikir. Percuma saja bicara pada tembok. Buang-buang tenaga. Mau marah juga tidak ada gunanya.
Looney berdiri di depan mereka, memandang dengan ekspresi datar. "Keputusannya apa? Chacha mau dibawa juga atau dibunuh?"
Mata Katlyn membelalak ngeri. Ia tidak perlu bertanya siapa 'Chacha' yang dimaksud.
"Kita bawa dia! Nggak ada bunuh-bunuhan!" Katlyn berbisik heboh, cemas kalau suaranya terdengar sampai ke telinga Miranda dan Challa.
"Sori, Kak. Pendapat dia yang lebih penting." Looney menunjuk J dengan raut lempeng-lempeng menghanyutkan.
Kedua tangan Katlyn otomatis mencengkeram lengan J. "Please, nggak adil buat Challa. Dia nggak tahu apa-apa."
Bibir J membentuk satu garis lurus. "Siapa yang bisa jamin dia bukan mata-mata? Kita masih belum tahu siapa yang mau tantemu mati."
"Maka dari itu, kita bawa aja dia! Nggak ada bunuh-bunuhan lagi! Please?" Kalau Katlyn harus berlutut di depan J, dia akan melakukannya dengan senang hati asal Challa tidak dihabisi. Ia sudah cukup melihat darah hari ini.
"Kenapa? Kamu suka dia?"
Looney memutar bola mata. Tidak ingin terseret dalam pusaran masalah rumah tangga, ia putuskan untuk menyingkir. Mungkin dia akan kembali lagi nanti untuk mengonfirmasi keputusan tentang Challa jika J sudah siap diajak bicara.
"We've just met him! Bisa nggak, sih, kepalamu mikir hal selain itu?" Katlyn memandangnya tak percaya.
"Justru itu! Kita baru ketemu dia, kenapa kamu bersikeras dia dibiarin hidup?"
"Kenapa kamu bersikeras bunuh dia?"
"Udah kubilang terlalu riskan biarin orang lain tahu keberadaan kita di sini!"
"Dia cuma mahasiswa tanteku!"
"Aku nggak peduli dia siapa!"
"Tapi, tadi kamu ngasih aku pilihan, 'kan? Aku mau kita bawa dia. Masa kamu udah berubah pikiran, sih?"
"Iya, aku memang berubah pikiran."
J menarik pisau lipat dari sepatunya. Katlyn panik. Ia menghalangi J mendekati Challa.
Mereka sudah jadi tontonan semua orang di rumah itu, bahkan Miranda dan Challa juga ikut mengintip apa yang sedang keduanya ributkan.
Raut wajah J masih sama. Datar dan susah ditebak.
"Dia udah di sini. Apa perlu kulakuin sekarang?" J memainkan pisau lipat di tangannya.
"Whoa ... Bro, what's happening here?" Challa menyeruak di antara mereka, melindungi Katlyn. Ia merasa ada yang tidak beres setelah mendengar ribut-ribut keduanya. Walaupun tak mengerti bahasa Indonesia, ia cukup yakin kalau mereka sedang mendebatkan sesuatu, apalagi setelah melihat ekspresi gelisah Katlyn. Begitu J mengeluarkan pisau, ia refleks mendatangi Katlyn, cemas kalau lelaki itu melakukan hal buruk padanya.
J menyeringai tipis. Katlyn hafal seringaian itu. Jadi, ia mendorong tubuh Challa ke samping sebelum menarik J menjauh dari semua orang. Mereka memang butuh privasi.
***
Katlyn membawa J ke garasi. Meskipun pintu garasinya masih terbuka lebar, setidaknya mereka jauh dari pendengaran semua orang di rumah.
Tanpa Katlyn sadari, sebenarnya J sudah menyimpan pisau lipatnya sejak tadi. Lelaki itu mengeluarkan pisau hanya untuk menggertak demi melihat ekspresi Katlyn.
"Kamu nggak bisa seenaknya ngancem-ngancem bunuh orang nggak bersalah! Aku tahu hobimu memang begitu, tapi sekali aja, bisa nggak kamu nunjukkin simpati dan empati ke orang lain?"
J mengangkat satu tangannya di udara. "Kitten, darling ... permintaanmu terlalu banyak."
Katlyn memegangi pelipisnya. "Intinya kamu nyuruh aku milih antara biarin Challa mati di tangan kamu atau bawa dia ke Namibia supaya dia nggak bocorin informasi ke siapa pun. Gitu, 'kan?"
"Berubah pikiran, Sayang. Aku mau dia mati." Bahkan, lelaki itu mengatakannya dengan santai.
Katlyn tak percaya harus melalui negosiasi nyawa dengan orang gila ini. Ia lalu mengembuskan napas perlahan-lahan, menghitung dalam hati satu sampai sepuluh supaya degup jantungnya stabil. Berada di sekitar J sama dengan menguji akal sehatnya. Ia perlu menguasai diri secepat mungkin agar tidak ketularan sinting.
"Aku masih bisa berubah pikiran, lho." J menatap mata Katlyn. Ia mengambil satu langkah mendekat. Kini, Katlyn harus mendongak agar bisa balik menatapnya. "Tapi, ada syaratnya."
J tersenyum tipis karena melihat pergolakan batin dari ekspresi Katlyn.
"Yakin mau dengar?" lanjut J.
Katlyn mengangguk. "Aku nggak akan ngebiarin kamu bunuh orang nggak yang bersalah. Kegilaan kamu udah nggak masuk akal."
J memutar bola mata. "Mana ada gila yang masuk akal?"
Dengan kata lain, J mengakui kalau dirinya tidak waras.
"Anyway, syarat yang kumaksud tadi nggak susah-susah amat, kok." J mengurung kepala Katlyn menggunakan kedua tangannya yang bertumpu pada dinding. "Kiss me."
Dahi Katlyn berkerut tak mengerti.
"Kiss me. Not just a peck. I want to be kissed passionately by you."
Katlyn mendengkuskan tawa kecil.
"Kalau nggak mau, aku juga nggak rugi, sih." J mengedikkan bahunya.
Tangan Katlyn terkepal. Sorot matanya menunjukkan kalau dia teramat marah sekarang. "Nggak tahu malu!"
"Sebut aku sesukamu. Kamu tahu aku nggak gampang terpengaruh," tantang J seraya membelai pipi Katlyn dengan buku jarinya.
Sebelum Katlyn sempat berpikir panjang, ia berjinjit agar bisa mengecup pipi kiri J. Aduh, jantungnya berdegup menyakitkan. Keringat dingin muncul di dahi Katlyn, padahal suhu St. Clair tidak sepanas itu. Rasanya seperti habis mengecup kematian.
Hidung J berkerut tak setuju. "Udah kubilang aku maunya dicium."
Kaltyn mengelap telapak tangannya yang berkeringat ke permukaan celana. Mulutnya terkunci rapat.
J mendesah kecewa sambil memandang lantai. Tidak lama, ia kembali menatap Katlyn. Kali ini wajahnya sudah tak sekecewa tadi.
"Aku kasih contoh, ya?"
Katlyn otomatis menggeleng cepat-cepat. Ia tahu apa yang diinginkan J. Dia hanya tidak mau memberikannya.
"You're wasting time, Kitten."
Katlyn menelan ludah. Ia juga tahu kalau yang mereka lakukan sekarang membuang waktu. Tatapan J turun ke bibirnya cukup lama. Entah karena pengendalian dirinya cukup kuat atau niat J memang untuk mempermainkan sejak awal, kini ia tersenyum samar mengamati ketidaknyamanan gadis di depannya.
Jangan jatuh ke perangkap yang sama dua kali.
Mendadak J meniup kedua matanya lembut, membuat Katlyn mengerjap.
"Nggak usah tegang gitu sampe lupa kedip," godanya sambil terkekeh.
Katlyn tidak merasa ada yang lucu. "Kamu udah berubah pikiran?" tanyanya penuh harap.
"Aku belum dapat yang kumau."
J menyingkirkan beberapa helai rambut putih yang menutupi mata dan pipi Katlyn. Senyum tipis tak juga hilang dari wajah lelaki itu. Kelihatannya dia sedang senang. Kalau dia senang, apakah niat membunuhnya hilang?
"I'm waiting," ujar J setengah berbisik, membangunkan bulu kuduk di seluruh tubuh Katlyn.
Katlyn menelan ludah lagi. Seharusnya ia tidak usah berharap muluk-muluk pada J. Sekali pembunuh tetaplah pembunuh. Kini, lelaki itu memenuhi pikiran dan ruang geraknya. Katlyn merasa sesak, tetapi tak dapat melarikan diri. Sekali ia mencoba, mungkin pisau lipat J sudah bersarang ke kepala Challa. Laki-laki itu akan membuat Katlyn menyesal selama sisa hidupnya di dunia.
"Tutup matamu." Katlyn berbisik.
J tak perlu menunggu Katlyn menyuruhnya dua kali. Dengan senang hati, ia menutup mata. Akan tetapi, dia tidak bodoh. Tangannya tetap mengurung Katlyn supaya tidak kabur. Tubuh mereka terlindung oleh rak peralatan. Siapa pun yang kebetulan mencari mereka sampai garasi tak akan melihat mereka kecuali benar-benar mendatangi rak peralatan.
Satu tangan J melingkari pinggulnya, sedangkan tangan lain menyentuh lehernya, menyibak beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan. Kalau mau, dia bisa mencium Katlyn lebih dulu saat itu juga.
Tapi, tidak. Katlyn tahu J hanya mempermainkannya. Jika Katlyn menolak atau berontak, J akan membunuh Challa semudah ia menepuk nyamuk. Kalau bukan dia, maka Looney yang akan disuruh. J sengaja membuat nasib Challa berada di tangan Katlyn untuk mendapatkan apa yang dia mau.
Manipulatif. Sial!
Katlyn menarik kerah jaket J, lalu mencium bibirnya. J menyambut. Begitu bibir Katlyn menyentuhnya, J menarik tubuh Katlyn lebih dekat. Ia ingin meleburkan tubuh mereka jika memungkinkan. Keengganan hati Katlyn dapat dirasakan J lewat caranya mencium. Ia tak peduli. Ia membalas ciuman Katlyn dengan antusias, memiringkan kepala Katlyn agar mendapatkan sudut yang diinginkan.
Pada detik berikutnya, J-lah yang mengendalikan ciuman. Lelaki itu menganggap keengganan Katlyn sebagai undangan yang tak terucap. Ia sepenuhnya sadar jika Katlyn terpaksa melakukannya. Ia tetap tidak peduli. Baginya, ciuman tetaplah ciuman.
Wajah Katlyn merona habis-habisan ketika masuk lagi ke dalam rumah. J mengekor di belakangnya dengan raut angkuh. Sebuah seringaian puas juga menghiasi bibirnya.
Katlyn berjalan melewati perapian dengan langkah lebar, sama sekali tidak menoleh walau tahu Bagas, Looney, dan Tea menunggu mereka. Langkah lebarnya saat menyeberangi ruangan lebih mirip berlari. Terlalu buru-buru.
J mengempaskan tubuhnya di atas sofa tepat di samping Tea. Senyum konyol belum juga hilang dari wajahnya.
"Gue pengin nonjok muka lo!" Tea mengerutkan hidungnya, jijik.
Looney memutar bola mata. Hanya Bagas yang tidak mengerti apa maksudnya, tetapi ia memilih diam. Lagi pula, bukan urusannya.
Miranda dan Challa bangkit dari duduk saat Katlyn tiba.
"Kebetulan Challa mau pamit. Dia harus balik ke lab." Miranda berujar setelah melihat ada yang tidak beres dari ekspresi Katlyn.
"O-oke." Katlyn tidak tahu mengapa dirinya malah tergagap seperti orang bodoh. Ia menelan ludah sewaktu memandangi Miranda dan Challa bergantian.
"You alright?" tanya Challa.
Katlyn mengangguk cepat. Challa, mantan pacarku yang psikopat itu mau menculikmu. Pilihannya itu atau mati di sini. Mau pergi jalan-jalan lihat zebra di Afrika?
Katlyn menggeleng karena monolog di kepalanya terdengar amat salah.
"Kamu kelihatan pucat, padahal tadi mukamu merah sekali waktu datang. Kamu sakit?" Miranda buru-buru mengecek suhu Katlyn dengan menyentuh pipinya.
"Nggak pa-pa, kok." Katlyn hanya sanggup berujar lirih.
Challa baru akan menyentuh bahunya, tetapi niatan itu langsung disesalinya begitu jemarinya hampir diremukkan oleh seseorang.
"No touching," J berujar datar.
Challa berteriak kesakitan saat J mencengkeram jari-jarinya.
"Ja-jangan!" Katlyn memegangi pergelangan tangan J. "Astaga, kamu udah janji!"
Teriakan Challa berhenti saat tubuhnya mendadak ambruk ke lantai. Tea yang membuatnya jatuh tertidur dengan menyuntikkan jarum bius ke lehernya dari belakang. Laki-laki malang itu kini berbaring di dekat kaki Tea. J juga sudah melepaskan cengkeramannya.
Miranda buru-buru berjongkok untuk memeriksa kondisi mahasiswanya. "What have you done?!"
"Kami putuskan untuk membawanya juga ke Namibia. Dia akan berguna." J menatap Challa yang tak sadarkan diri dengan tatapan sinis.
Sungguh, jantung Katlyn jungkir balik hanya dengan melihat wajah dingin J. Berbanding terbalik dengan tadi saat ia mencium Katlyn di garasi.
"Pesawat kita udah nunggu di bandara. Bawa barang apa pun yang Anda butuhkan. Sepuluh menit lagi, kita berangkat." J melanjutkan, menghentikan protes apa pun yang hampir dikeluarkan oleh Miranda.
***
Rasa lelah sisa perjalanan dari Surabaya ke Dunedin belum sepenuhnya hilang. Sekarang, Katlyn dipaksa melalui perjalanan panjang dari Dunedin menuju Omaruru. Untuk pertama kalinya, Katlyn ingin dibius oleh Tea. Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari itu jelas akan menguras energi dan mentalnya. Lebih baik dia tidur sampai Namibia.
Satu-satunya hal yang Katlyn syukuri adalah kehadiran dua orang pramugari yang melayani kebutuhan mereka selama di pesawat. Setidaknya Katlyn tidak akan mati kelaparan menunggu J menunjukkan tempat penyimpanan makanan.
Di hari pertama perjalanan mereka, Miranda dan Challa ditempatkan di kabin terpisah dengan Katlyn. Itu saat Tea bertugas sebagai kopilot, sedangkan J mengawasi semua orang seperti sipir penjara. Looney duduk satu kabin dengan Miranda dan Challa, memastikan mereka tidak membuat keributan di dalam pesawat.
Katlyn sempat mendengar ribut-ribut di kabin belakang. J tidak tampak terusik. Ia duduk dengan menyilangkan kaki sambil main rubik di kursi sebelah Katlyn. Keributan itu pasti asalnya dari Challa. Katlyn merasa kasihan dengan laki-laki itu. Sudah dibuat pingsan, bangun-bangun malah pindah benua.
"Challa nggak bawa paspor, 'kan?"
"Nggak usah khawatirin paspor." J menyahut tanpa mengangkat kepala dari rubik 6x6 di tangannya. "Chewbacca asalnya dari Namibia. Harusnya dia berterima kasih dapat kesempatan mudik gratis," lanjutnya.
Kemarin Charlie, lalu Chanai, sekarang Chewbacca. Katlyn curiga sebenarnya J hanya ingin memelesetkan nama orang yang tidak disukainya.
Tak lama, keributan itu hilang. Katlyn mencemaskan keadaan tantenya.
"Aku mau lihat tanteku."
Katlyn baru akan bangkit saat J berkata, "Stay!" Nadanya datar dan dingin sampai membuat Katlyn merinding. Ia kembali duduk dengan patuh.
"Jujur aja, aku nggak percaya sama tantemu," ujar J tanpa diminta.
"Kenapa?"
"Pada dasarnya, aku nggak percaya siapa-siapa."
"Anggota timmu juga?"
"Kecuali mereka."
"Aku?"
"Aku juga nggak percaya kamu. Bisa aja kamu selama ini sok polos buat mengelabuiku." J berhasil menyelesaikan rubiknya dalam waktu singkat. Ia meletakkan rubik itu di atas pangkuan agar bisa memandang Katlyn. "Kalaupun kamu menipuku, aku juga nggak terlalu ambil pusing."
"Kalau aku bunuh kamu diam-diam, gimana?"
J tersenyum simpul. "Jika niatmu sekuat itu, aku udah mati sejak kamu mendorongku ke air pertama kali."
Alih-alih membantah, Katlyn malah membuang muka.
J mengambil headphone, lalu memasangkannya ke kedua telinga sebelum memutar lagu band kesukaannya. Sambil mendengarkan lagu dengan volume kencang, ia mengacak kembali rubiknya agar dapat disusun ulang.
J menggantikan pilot utama agar Tea bisa beristirahat selama perjalanan dari Perth menuju Madagaskar. Katlyn bersyukur sekarang sang sipir sedang sibuk, jadi ia bisa menyelinap ke kabin belakang.
"Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan CRT dengan tujuan Windhoek, Namibia. Kapten J di sini memberikan pengumuman secara langsung dari kokpit. Penerbangan ini akan kita tempuh dalam waktu dua hari, jadi disarankan Anda sekalian mencari kegiatan yang bermanfaat selama di pesawat."
Tea yang baru saja memulai istirahatnya langsung terbangun. Ia segera menarik selimut sampai kepala agar bisa meredam suara mengesalkan J dari speaker.
"Perlu kami sampaikan bahwa tujuan penerbangan ini bukan untuk safari melihat jerapah. Kita punya misi penting demi keberlangsungan hidup umat manusia. Jika kalian merasa sedang diculik atau semacamnya, jangan kege-eran merasa penting. I'm talking about you, Chupa Chups."
Jika Chupa Chups yang dimaksud adalah Challa, berarti J kacau sekali. Challa tidak mengerti bahasa Indonesia.
"Untuk menghindari rasa bosan, silakan nikmati hidangan yang telah disiapkan oleh pramugari kami. Dilarang keras saling membunuh, apalagi menggunakan senjata api di dalam pesawat. Jika ada kebocoran di badan pesawat akibat tembakan, nyawa ditanggung masing-masing."
Tea menggeram dari bawah selimut.
"Khusus untuk Kitten ...."
Katlyn mendengkus sambil mengerutkan hidung, merasa risi namanya disebut oleh J lewat pelantang suara.
"Kamu boleh jalan-jalan asal jangan keluar dari pesawat. Talk with your auntie as you want, tapi bukan sama Chupacabra. Looney akan jadi mata dan telingaku. Kalau aku dengar ChalkZone lays his eyes on you or ... he puts those dirty hands on you, I'll kill him happily. Don't expect regret from me. Atas nama maskapai CRT, kapten J dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat menikmati penerbangan ini. Terima kasih atas pilihan Anda untuk terbang bersama kami."
Challa dan Looney sudah tertidur lelap di kursi masing-masing saat Katlyn tiba di kabin belakang. Kepala Miranda mendongak begitu Katlyn duduk di depannya. Sikap keponakannya itu amat canggung dan rautnya kikuk.
Katlyn menyapa Miranda dengan suara lirih.
"Kamu pacaran sama bajingan itu?" Tatapan Miranda tajam menghunus jantung Katlyn.
"Ng-nggak. Kami nggak ada hubungan apa-apa."
Keluarganya tak perlu tahu tentang masa lalu hubungan mereka. Sejujurnya, Katlyn sudah cemas kalau rahasia kecil itu sampai diketahui Miranda dan Papa.
"Kenapa dia bersikap begitu sama kamu?"
"Nggak tahu." Katlyn mengatakannya sambil menunduk dalam-dalam. "Apa Kat boleh nanya sesuatu?"
Miranda mengangguk. Ia punya firasat kalau Katlyn penasaran dengan hubungannya dan Rosita.
"Apa menurut Tante, wabah ini bisa diatasi sebelum jadi pandemi?"
Miranda agak tertegun oleh pertanyaan itu. Sama sekali di luar bayangannya. Ia tidak menyangka Katlyn akan lebih mencemaskan wabah yang diakibatkan virus D6 daripada hubungan keluarganya.
"Tante nggak tahu, Kat."
Katlyn mendesah kecewa. "Seandainya Kat bisa bantu Tante. Kat nggak ngerti apa-apa tentang virus ini."
"Begitu pula dengan jutaan bahkan miliaran orang lain, Kat. Mereka nggak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Tante akan mengusahakan yang terbaik. Ada Challa. Dia salah satu mahasiswa terbaik Tante."
Tatapan Katlyn beralih pada laki-laki berkulit gelap yang sedang tidur setengah mendengkur di kursi sebelah. Ia tersenyum sendu. Ada percikan rasa iri karena tantenya membanggakan Challa. Seandainya dulu Katlyn tidak putus kuliah, mungkin saat ini ia sedang meneruskan pendidikan S-2 di luar negeri seperti Challa. Merantau ke tempat asing demi mendapatkan pengalaman dan ilmu baru.
"Kamu nggak ingin bertanya sesuatu tentang mendiang mamamu?"
Katlyn memandang Miranda. Ada jeda cukup lama sampai ia akhirnya menggeleng pelan. "Sikonnya lagi kurang baik buat bahas topik sensitif. Tante pasti capek. Kat mau kita membicarakan Mama dalam situasi yang menyenangkan."
Miranda menghela napas berat. Apa yang dikatakan Katlyn memang benar. Rosita berhak dikenang, tetapi tidak dalam kondisi seperti sekarang.
***
"Weeheeheehee dee heeheeheehee weeoh aweem away. In the jungle the quiet jungle. The lion sleeps tonight ...."
Semua orang saling pandang saat Looney menyanyikan lagu khas kartun The Lion King, mengalahkan deru baling-baling helikopter. J ikut terkekeh karena merasa terhibur.
Gurun Kalahari tidak segersang gurun lainnya karena tanahnya masih mampu menyimpan cadangan air. Semak dan tanaman perdu dapat ditemukan sejauh mata memandang. Tanahnya cokelat kemerahan, ditumbuhi pepohonan akasia berbatang kokoh sebagai tempat teduh bagi para hewan liar di sana. Meski kelihatan lebih subur, suhu di sini sama keringnya dengan gurun di daerah lain.
Helikopter mereka mendarat di bawah bukit kecil berpermukaan datar. J dan Tea yang mengendarai helikopter berjenis Airbus itu. Asalnya dari mana, Katlyn sudah tidak penasaran. Satu-satunya yang ia pikirkan hanyalah seberapa banyak uang J sebenarnya sehingga mampu mengakomodasi perjalanan mereka kemari.
Stamina laki-laki itu juga seakan tak ada habisnya. Katlyn tidak bermaksud mengamati. Namun, hatinya waswas jika J tiba-tiba kolaps di tengah perjalanan. Wajah Tea saja sudah lesu. Ada bayangan hitam di bawah matanya. Jangankan Tea, Katlyn pun merasa energinya terkuras selama perjalanan ke Namibia.
Sebuah tenda besar dengan delapan penopang kayu kokoh telah berdiri di tengah-tengah gurun. Tempatnya ada di atas bukit kecil yang dikelilingi padang tandus berbatu. Mereka membutuhkan sekitar tiga jam dari Hukuntsi, Botswana, untuk sampai ke sana dengan helikopter. Pemerintah Namibia menutup akses penerbangan internasional karena wabah di Omaruru, jadi mereka terpaksa transit di tempat terpencil negara tetangga.
Sejauh mata memandang, tidak ada apa-apa lagi selain hewan liar dan semak belukar gurun. Oh, ada sungai kecil di dekat tenda. Lumayan ada pemandangan yang menyegarkan mata.
"Sungai itu ada buayanya?" Mata Kaltyn menyipit untuk melihat lebih jelas.
"If you're looking for crocodiles, yes. They are there." Wajah Challa masih bersungut-sungut. Kelihatannya dia masih kesal karena diculik sampai Namibia. Energinya habis di perjalanan. Kini, dia lebih jinak dan sudah berhenti berusaha meloloskan diri.
"Where do you live?"
"Windhoek."
"Too bad we didn't go there."
Challa mengedarkan mata ke sekeliling. "The crazy guy over there will kill me after all." Ia menunjuk J dengan dagu. Dari sorot matanya, ia masih kelihatan tidak terima dibawa ke kampung halamannya tanpa persetujuan. "I have relatives in the north. Owambo people. I am from Ndonga tribe."
"Have you heard about the plague?"
"Omaruru? Yes. I was about to go home to see if my family was okay. Thanks to you, I can see them now."
Katlyn meringis. Ia ragu jika J akan membiarkan Challa pergi selama wabah ini belum berakhir.
"Who are they? Who are you?" Baru kali ini Challa punya kesempatan untuk menanyakannya secara langsung.
Katlyn menoleh ke belakang, memperhatikan semua orang yang tampak sibuk menyusun bawaan. "They are a group of people who want the plague to end as soon as possible. And me ... well, I'm the same as you. I was taken too."
Bagas dan Tea meletakkan barang-barang mereka di dalam tenda. Tidak ada bilik khusus yang dapat dijadikan sebagai kamar tidur. Namun, ada tumpukan kasur lipat di sudut, lengkap dengan selimut tipis dan bantal.
J melempar sebutir pil pada Tea, baru kemudian pada Looney.
"Just one a day."
Tea langsung menelan pil. Looney cemberut. "Boleh dapet dua nggak?" Ia berniat untuk bernegosiasi.
J menggeleng cepat. "Nanti kamu hiperaktif."
Looney mendesah kecewa. Mau tak mau, Katlyn jadi penasaran juga. "Itu apa?"
"Obat."
"Obat apa?" selidik Katlyn.
"Obat kuat."
"Buat apa?"
"Kamu banyak tanya, Sayang."
Bagas yang sejak tadi mengamati mereka akhirnya menyahut juga, "Kalian pakai narkoba?"
"Bukan." Kedengarannya J sengaja menjawab singkat-singkat untuk menyulut emosi orang-orang yang diajak bicara. "Kalau mau berguna, pergi sana sama Looney buat masang pengintai perimeter."
Bagas mendengkus. Dia tidak biasa disuruh-suruh. Meski begitu, dia tetap bangkit dari kursi lipatnya. Barang yang dia bawa juga tak banyak. Tidak ada yang bisa disusun. Dia perlu membuang energi yang tersimpan selama perjalanan di pesawat. Daripada tidak ada kegiatan, lebih baik membantu si Cebol melakukan apa yang disuruh Joker.
"Kalian nggak capek?"
Bagas memandang Tea dan Looney bergantian. Fisik mereka tidak bisa disamakan dengan fisik prajurit sepertinya. Badan mereka pasti pegal karena kelamaan berada di pesawat.
"Udah minum obat." Looney menjulurkan lidahnya, pil berwarna hijau masih belum sempat ditelan, jadi dia ingin menunjukkannya pada Bagas.
"Pil itu mirip steroid?"
Steroid yang dimaksud Bagas adalah jenis doping yang biasa digunakan para atlet sedunia agar stamina mereka tetap kuat serta agresif. Bukan berarti penggunaannya diperbolehkan atau dianggap normal. Biasanya, doping seperti steroid akan disuntikkan ke tubuh atlet untuk meningkatkan pertumbuhan otot, produksi darah, daya tahan tubuh, dan membuat pemakainya kebal terhadap rasa nyeri dan sakit. Manfaatnya banyak, risiko dan efek sampingnya juga tak kalah banyak. Intinya, doping sejenis steroid amat berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian jika disalahgunakan.
"Mirip." Tea yang sedari tadi diam ikut menyahut. Ia membuka kotak-kotak peralatannya, lalu duduk di depan sebuah layar besar. "Tapi, nggak seberbahaya steroid. Itu pil homemade. Masih ada herbalnya."
"Aku bawa beberapa pil." J menyeringai tipis. "Boleh minta kalau mau. Orang-orang seperti kita harus tetap waspada selama misi. Ini daerah rawan. Siapa tahu Krotos atau sekutunya nyerang kita tiba-tiba pake hujan meriam."
Jika boleh jujur, sebenarnya Bagas tertarik. Tapi, ia tahu motif J. Jika ia menerima pil itu dan ketahuan, kariernya di militer pasti hancur dalam sekejap. Dasar licik!
"Nggak, makasih." Bagas mengambil kunci dari tangan Tea yang terulur. Di sebelah helikopter mereka tadi ada sebuah jip. "Saya penasaran siapa yang menyiapkan tempat ini dan segala isinya."
"Orang-orangnya Joker," jawab Tea tanpa mengangkat kepala. Ia punya kesibukan baru sehingga ketertarikannya pada Bagas terlupakan sejenak. "Papan surfing lo ada di kotak sebelah kaki gue, nih, Jok!" Cewek itu menendang kotak hitam yang kelihatan berat.
J membuka kotak yang dimaksud dan mengeluarkan sebuah papan skate tanpa roda. Papannya berwarna hitam dan tidak sepanjang papan skate pada umumnya, hanya lebih lebar sedikit. Papan itu amat ringan karena terbuat dari serat karbon. Dari dalam kotak yang sama, J juga mengambil smartwatch sebelum mengenakannya di pergelangan tangan.
"Baterainya mana?"
Tea melirik sekilas. "Udah gue masukkin ke dalem. Cadangannya gue simpen. Daripada entar dipake Looney, bikin bom."
J mengangguk. Ia menyalakan papan di tangannya sampai mengeluarkan bunyi berdengung pelan. Tea tidak bohong. Dia sudah memastikan papan J dilengkapi baterai.
"Kalian mau ke mana?" Katlyn lelah, tetapi tidak bisa menahan rasa waspada bercampur penasaran ketika Looney dan Bagas keluar dari tenda. Kini, J juga ikut menyusul.
"Mau nginstal sistem keamanan di sekeliling tenda kita. Harus dilakuin secepatnya biar waktu kontainer dateng, kita bisa tenang. Lebih baik kamu istirahat. Tantemu sama Churros udah teler, tuh."
Miranda dan Challa sudah beristirahat di kursi dan kasur lipat yang tersedia sambil memejamkan mata.
"Kamu bilang tentang kontainer tadi. Kontainer apa?"
"Laboratory container. Laboratorium mini di dalam kontainer. Kita harus pastiin area ini aman sebelum kontainer itu datang besok pagi."
"Maksudnya, lab buat Tante Miranda sama Challa?"
J mengangguk.
Katlyn melihat matahari hampir tenggelam di ufuk. "Udah mau malem. Kalau ada singa, gimana?"
Wajah Katlyn menggemaskan saat mengutarakan kecemasannya. Setidaknya bagi J. "Di sini adanya hyena. Mereka nggak akan kemari. Tendanya punya lampu. Nanti Tea juga bakal nyalain api di depan tenda buat masak. Binatang buas takut api."
"Gimana sama kamu? Looney? Bagas? Di luar bahaya kalau malem. Belum lagi ada nyamuk malaria."
J menatap Katlyn cukup lama sebelum tersenyum simpul. "Istirahat." Ia sempat menyentuh kepala Katlyn sekilas sebelum pergi. Baginya, kecemasan Katlyn tak beralasan.
Obat kuat yang tadi ditelan mulai bereaksi. Tubuh J mendadak jadi lebih segar. Kantuknya hilang dan pegalnya lenyap. Kalau Maniak ingin pensiun, lebih baik dia jualan obat kuat supaya cepat kaya raya.
J melempar papan surfing-nya ke bawah. Papan itu tidak langsung menghantam tanah berbatu, melainkan mengambang di udara. Ia meletakkan satu kakinya di atas papan, mengecek keseimbangannya selagi memasang alat komunikasi di telinga.
"Jok, gue kirimin tiga drone di belakang lo. Kontrolnya ada di Looney."
J mendengar jelas suara Tea. Seperti perkataannya, tiga drone terbang dari dalam tenda, melesat cepat melewatinya menuju mobil Looney dan Bagas yang sedang melaju di depan. J memasang kacamata hitam yang sudah dimodifikasi Tea agar tidak kelilipan selama perjalanan.
"Berapa yang harus diinstal?"
"Sepuluh. Oh iya, papan lo udah gue upgrade. Gue jamin lebih lincah dari prototipe kemarin."
J menaiki papannya. Karena sudah beberapa kali mencoba papan yang sama, keseimbangan J jadi lebih terlatih. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan agar papannya dapat bergerak perlahan sekaligus membuatnya terbiasa. Satu tangannya menyentuh ujung papan, membuat posisi tubuhnya setengah berjongkok. Papan itu bergerak stabil menuruni bukit berbatu tanpa terkendala. Dengungnya tidak sekeras versi prototipe yang dibuat Tea beberapa bulan lalu. J mulai menyukai papan ini.
J semakin mencondongkan tubuhnya ke depan. Selama itu pula, papannya melesat cepat membelah udara, menyusul mobil Looney dan Bagas serta tiga drone di atas kepala mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top