11 | PENGINTAI

KATLYN jadi orang pertama yang bangun pagi itu. Setelah bersiap-siap, ia turun untuk menyiapkan sarapan. Isi dapur itu sangat lengkap. Kulkas penuh dengan bahan makanan, kabinetnya juga. Katlyn mengocok sepuluh butir telur dengan mayones seraya menyiapkan roti panggang. Ada banyak sosis di kulkas, jadi ia berniat memanggangnya juga.

"Masak apa, Kak?"

Jantung Katlyn hampir copot saat mendapati Luna sudah rapi dengan pakaian hitam-hitam, berdiri di samping countertop. Rambut Luna diikat ekor kuda seperti biasa. Yang membedakan hanyalah sebuah rantai besi kecil yang digulung di pinggangnya. Di sisi satunya tersimpan belati dengan gagang hitam. Tak hanya itu, kedua tangan Luna juga sudah terlindung sarung tangan berwarna senada.

"Sarapan." Katlyn tak tahu lagi harus merespons apa. Ia merasa canggung sekaligus takut.

"Boleh request rotinya agak gosongan dikit? Biar krispi." Luna menarik kursi di depan Katlyn sebelum mengambil sebutir apel dari atas meja. "Maaf, ya, Kak."

Katlyn mengangkat kepala, tak paham dengan maksud Luna.

"Kami nggak bermaksud membodohi Kakak. Saking nyamannya tinggal di rumah itu, aku sampai ngerasa lagi nggak berpura-pura," lanjut Luna sambil mengunyah apelnya.

Katlyn hanya mengangguk.

"Kalau kita pulang ke Surabaya hidup-hidup, rumah itu akan dibalik nama buat Kakak."

Kocokan telur di tangan Katlyn terhenti.

Luna mengangguk yakin. "Rumah itu boleh buat Kak Kat sama Timmy. Kami akan pergi dari hidup Kakak begitu misi ini selesai." Dia tersenyum lebar, memamerkan barisan giginya yang berderet rapi.

"Kenapa kalian ngelakuin ini?" Akhirnya, Katlyn menyuarakan rasa penasarannya.

Luna terdiam cukup lama. "It's just a job."

"Tapi, kamu masih terlalu muda terlibat ini semua, Lun."

"Usia nggak menentukan pengalaman, Kak."

"Jadi, kalian ngelakuin ini karena dibayar?" tanya Katlyn. Luna mengangguk. "Siapa yang bayar kalian?"

"J."

"J? Janesa?"

Luna mengangguk lagi. "Dia mempertaruhkan banyak bitcoin untuk misi ini. Kalau kami berhasil dan kembali hidup-hidup, semua bitcoin yang dia punya dibagi rata ke anggota tim."

"Istilahnya, dia lagi kerja bakti ngurusin umat manusia," timpal Tasya yang baru turun dari lantai dua. "Kalau gue jadi dia, sih, bodo amat mau dunia ngadain perang. Gue tinggal rebahan di bungker bawah tanah tahan nuklir sambil nungguin masa depan." Berbeda dengan Luna, Tasya mengenakan kaus dan celana training seperti hari-hari biasanya saat di rumah.

"Kenapa dia ngelakuin itu?" Katlyn masih tak paham.

Luna dan Tasya saling pandang sebelum sama-sama menatap Katlyn yang bingung.

"Menurut Kakak, kenapa?"

"Nggak tahu! Risikonya terlalu besar buat kalian."

"Dia ngelakuin ini biar bisa balikan sama lo." Tasya menunjuk dada Katlyn. "Jangan ngeremehin berapa derajat gesernya otak Joker. Bagi gue, dia lebih sinting dari kakaknya. Kalau udah bucin, tolol banget." Cewek itu tertawa kecil, memandangi Katlyn dengan tatapan dingin. "Jadi, kalau gue kebetulan tahu lo memperalat kelemahan dia, gue jamin lo nggak bakal bisa ketemu Timothy selamanya."

"Did you just threaten her?" Luna memiringkan kepalanya sambil menahan senyum.

Tasya mengedikkan sebelah bahu.

Tunggu sebentar, apa hanya Katlyn yang merasa situasi ini terbalik? Kenapa Tasya dan Luna lebih mencemaskan Janesa yang notabene ... ah, sudahlah!

"CRT itu apa?" Akhirnya, Katlyn menemukan topik baru. "Kemarin Tasya—maksudku, Tea bilang kelompok kalian bernama CRT."

"Cute Rainbow Team. Aku yang ngasih nama. Imut, 'kan?" Luna menjawab dengan wajah semringah.

Katlyn mengangguk. Dia sendiri tidak tahu apa alasannya mengangguk.

***

"Lagi ngapain?"

Tea mengulurkan segelas teh panas pada Bagas yang sedang duduk di depan perapian. Cewek itu sempat melihat Bagas diam-diam mengamati mereka sarapan. Prajurit itu tak terbiasa sarapan, jadi ia hanya makan sebutir apel di dekat perapian dan jauh dari CRT maupun Katlyn.

"Duduk." Bagas menjawab singkat.

"Ih, saya juga tahu kalau Kapten lagi duduk. Sambil mikirin apa? Saya?"

Bagas hanya meliriknya sekilas. "Temanmu itu, si J ... dia ada hubungan apa dengan Bu Miranda?"

"Nggak ada hubungan apa-apa, tuh." Tea mengedikkan bahu.

"Bagaimana dia tahu tentang Bu Miranda?"

"Rahasia, Capt."

Kedua alis tebal Bagas menyatu, wajahnya mendung. Namun, kemendungan itu tidak mengurangi rasa kagum Tea terhadapnya.

"Kapten kelihatan benci banget sama Joker."

"Nama aslinya Joker?"

"Nggak. Panggilan dari saya. Kelakuan dia mirip Joker soalnya."

"Joker secara terminologi atau karena mirip tokoh musuhnya Batman?" Sebelah alis Bagas terangkat.

Tea meletakkan tangannya di bawah dagu, kelihatan tertarik. "Kapten suka komik Batman juga?"

"Saya benci dia karena membunuh salah satu anggota saya."

Tea memutar bola matanya dengan efek dramatis. "Lalu, kenapa Kapten setuju dikirim ke sini?"

"Perintah atasan. Saya akan membunuhnya setelah misi ini berakhir." Rahang Bagas mengeras.

"Kapten lihat cewek berambut putih yang di sana itu?" tunjuk Tea pada Katlyn. "J membunuh mamanya, jeblosin papanya ke penjara, dan bikin hidupnya jungkir balik dalam semalam. Sekarang? Mereka suami-istri di Kartu Keluarga."

Bagas melihat mereka secara bergantian. Ekspresinya hampir tak percaya.

"Looney?" Tea masih melanjutkan.

"Kenapa sama dia?"

"J bunuh omnya bertahun-tahun yang lalu. Omnya itu ... sensor." Tea membuat gestur mengunci mulut. Asal-usul Looney yang terkait erat dengan bisnis narkoba keluarganya merupakan informasi yang amat rahasia. "Sekarang, J anggap dia minion kesayangannya, sedangkan Looney menganggapnya panutan."

"Bagaimana dengan kamu? Apa yang dilakukan si J ke kamu?"

"Well, not much. Dia ngebantai seluruh keluarga saya, termasuk kakek dan nenek, juga anjing dan kucing kesayangan saya. Dia juga ngebakar rumah saya sampe jadi debu."

Rahang Bagas mengeras. Wajahnya sekaku dinding bata perapian di dekat mereka.

Tea menggelengkan kepala, ekspresinya masih serius. "Cuma bercanda, Capt! Saya nggak punya keluarga sebesar itu. Saya yang bunuh mama saya, terus J yang ngeluarin saya dari penjara anak." Setelah beberapa detik, ia melanjutkan, "Well, kidding again. Mama saya seorang pelacur. Dia ninggalin saya di panti asuhan waktu saya masih balita."

Lalu, dia terbahak, membuat Bagas menatapnya lama.

Sambil menyeka air mata gelinya, Tea kembali berujar, "You know what? Forget it! Saya dilahirkan oleh batu. Takdir saya dan J bertubrukan. Kebetulan kami punya hobi yang sama."

Bagas yang sejak tadi berusaha keras untuk menyaring informasi mana yang betulan dan mana yang tidak, mendadak tergagap. "Ho-hobi apa?"

Serius, Tea berhasil membuatnya bingung. Ia jadi batal bersimpati.

"Mencuri dan membunuh hanya salah duanya."

Bagas menatap lantai yang tiba-tiba kelihatan menarik. "What's with you people?"

Tea mengangguk setuju sambil meletakkan telapak tangannya di salah satu pundak Bagas. "Yeah, what's with us people?"

***

Seperti yang dikatakan Looney semalam, Miranda keluar dari rumahnya cukup pagi untuk belanja ke supermarket. Sosok Miranda tak mengingatkan Katlyn akan mamanya sama sekali. Apa betul mereka bersaudara?

Begitu mobil Miranda keluar dari halaman rumahnya, mereka mengekor di belakang menggunakan Volvo yang cukup pasaran. Mereka menjaga jarak sedikit agar Miranda tidak curiga.

"Nah, kok, pas banget mereka ngikutin hari ini?"

Ucapan Looney membuat seisi mobil ikut menoleh ke samping. Sebuah SUV familier muncul dari tikungan dan berhenti di depan mobil Miranda, menghalanginya.

J melihat sekeliling. Jalanan yang dipilih Miranda cukup jauh dari mata penduduk. Pembatas di sebelah kanan memisahkan mereka dari batu karang dan laut, sedangkan sebelah kiri berbatasan dengan pemukiman sepi. Siapa pun yang ada di balik SUV itu cukup pintar memilih lokasi.

Miranda turun dari mobil sembari mengomel dalam bahasa lokal pada pengendara SUV putih. Mobil CRT juga sudah berhenti di pinggir jalan. Karena bukan mobil mencolok, mereka kelihatan seperti warga lokal yang ikut-ikutan ngerem karena mobil di depannya berhenti secara tiba-tiba.

"Looney?" Cukup satu kata dari J untuk membuat Luna turun dari mobil. Ia mengendap-endap dari samping agar tak terlihat oleh pengendara SUV maupun Miranda.

J membuka pintu mobil, hendak menyusul. Namun, tangan Katlyn menahannya.

"Mau ngapain?"

"Looney sendirian," jawab J. Ia merasa agak terharu karena mengira Katlyn mengkhawatirkannya.

"Biar saya saja." Bagas mengeluarkan pistol miliknya sebelum turun dari mobil.

J menggerutu karena kalah cepat dari Bagas. Alih-alih menyusul mereka, ia berpindah tempat duduk ke kursi depan, menggantikan Bagas di balik kemudi.

"Kenapa Luna dipanggil Looney?"

Pertanyaan Katlyn membuat J dan Tea saling pandang.

J tersenyum tipis sebelum menjawab, "You'll see why."

***

Menyadari pengendara SUV yang menghalangi perjalanannya bukanlah penduduk lokal, Miranda mengeluh dalam bahasa Inggris. Para pengendara itu turun bersamaan dari SUV putih. Jumlahnya empat orang dan semuanya laki-laki. Ekspresi mereka datar saat mendekat.

"Would you please move your car?" tanya Miranda sesopan yang ia bisa karena para pengendara itu tampaknya tak peduli dengan ucapannya.

Salah satu dari mereka mengacungkan pistol ke kepala Miranda.

"W-what are you doing?" Miranda otomatis mengangkat kedua tangannya, ketakutan. Ia tak menyangka akan bertemu dengan orang-orang asing bersenjata di hari liburnya.

Sebuah belati melesat cepat dari samping kepala Miranda sampai menancap tepat sasaran ke salah satu mata orang yang mengacungkan pistol. Miranda hampir yakin kalau ujung belati itu tembus ke otak. Kedua matanya membelalak lebar. Ia sontak memekik, berjongkok sambil menutupi kepalanya sebagai perlindungan diri.

Bunyi tembakan mengalahkan suara debur ombak pagi itu. Dari arah belakang, muncul seorang remaja perempuan yang melempar rantai besi pada sosok penyerang Miranda. Rantai besi itu mengelilingi leher laki-laki berkepala plontos yang memegang senjata api. Dalam satu sentakan, laki-laki itu jatuh berlutut.

Remaja itu menaiki pundak laki-laki penyerang Miranda, lalu menancapkan belati lain ke belakang dagunya. Kini si penyerang beralih menjadi korban. Belati itu lebih panjang daripada belati pada umumnya, mirip pedang mini dengan gagang hitam. Ujungnya mampu menembus tenggorokan.

Miranda berteriak ngeri, sedangkan remaja perempuan itu menyeringai lebar.

Tak berhenti sampai di situ, seorang laki-laki tegap berkulit sawo matang mendadak muncul dari samping untuk mematahkan lengan penyerang lain yang hendak menembak mereka. Penyerang itu berteriak kesakitan saat lengannya dipatahkan dalam satu entakan.

Looney menarik belati dari dua korbannya, lalu berjalan mendekati Miranda.

"Anda baik-baik aja?" tanyanya sambil mengulurkan satu tangannya yang bersih dari darah untuk membantu Miranda bangkit.

"Ka-kamu orang Indonesia?"

Looney mengangguk. Di lain sisi, Bagas mengacungkan dua senjata di tangannya pada satu pengendara SUV yang tersisa, mencegahnya bertindak nekat.

"Who sent you?" Bagas menghardik.

Orang yang ditanya hanya bergeming. Ia memandang Miranda dengan tatapan datar seraya mengacungkan pistol ke arahnya.

"Put your gun down!"

Peringatan Bagas tidak diindahkan. Suara tembakan terdengar bersamaan dengan lemparan pisau lipat mengenai telinga si penembak. Tembakan itu mengenai bahu Looney yang memang berdiri di depan Miranda untuk melindunginya. Pisau yang menancap melubangi gendang telinga si penyerang sampai ambruk ke tanah sambil mengerang kesakitan.

Looney menggeram marah karena peluru yang mengenai tubuhnya. Ia berlari cepat ke arah penembaknya dengan sorot mata penuh dendam.

"Jangan!" Peringatan Bagas terlambat. Looney telanjur menggorok leher si penyerang dengan belatinya. Tak butuh waktu lama sampai dia tewas seperti yang lain.

"Dasar bodoh! Sekarang kita kehilangan sumber informasi!" seru Bagas pada Looney yang sedang mengelap cipratan darah dari wajahnya dengan punggung tangan.

"He shot me." Looney menyahut tanpa rasa bersalah.

"Tapi, kamu pakai lapisan antipeluru!"

Bagas benar. Peluru itu tak melukai kulit Looney karena terhalang rompi antipeluru tipis di balik baju. Looney justru mengedikkan bahunya. Sudah telanjur, mau apa memangnya?

"Good job!" J menerima pisau lipat penuh darah dari tangan Looney. Dialah yang melempar pisau itu tepat sasaran sebelum peluru ditembakkan oleh si penyerang.

"Good job apanya?! Nggak ada yang selamat buat ditanya mereka suruhan siapa!" balas Bagas masih menghardik.

"Doesn't matter. Mereka udah mati. Masalah kita jadi berkurang satu." J menimpali dengan santai.

Katlyn merasakan lengannya disenggol oleh Tea. "Udah kejawab belum kenapa Luna dipanggil Looney?"

Dalam bahasa Inggris, Looney berarti gila. Gila yang berbahaya.

Katlyn mengangguk. Ia menelan rasa mual yang naik ke kerongkongannya ketika melihat tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan di aspal. Sayang, sang tante tidak sekuat keponakannya. Tak seperti Katlyn, Miranda justru sibuk mengeluarkan isi sarapannya pagi ini di sebelah mobil.

***

Selagi Tea bertugas membersihkan bekas darah dan jejak peluru di TKP, Looney malah terjebak dengan Bagas. Remaja itu menoleransi kehadiran Bagas bukan karena menyukai sifatnya yang tegas atau potongan rambutnya yang cepak, apalagi keahliannya dalam menggunakan senjata dan gaya bertarungnya. Looney bersedia semobil dengan Bagas karena prajurit itu tidak berpengalaman dalam menghilangkan jejak.

Sejak tadi, Looney menggerutu karena J tidak membawa Maniak ikut serta. Kalau ada dia, Looney tak perlu jadi orang yang bertugas menemani Bagas untuk menghilangkan mayat-mayat pengendara SUV putih. Jumlahnya ada empat orang. Looney membunuh tiga orang di antara mereka, sedangkan si Kapten hanya satu.

Bagas mendengar Luna menghela napas panjang.

"Jadi begini cara kalian menghilangkan jejak?" gumam Bagas. Suaranya terbawa angin sehingga Looney tak dapat mendengarnya dengan jelas.

Saat ini, mereka sedang memandangi dasar tebing tempat mobil SUV dan mayat-mayat di dalamnya sengaja dijatuhkan. Mereka membawa mobil berisi mayat itu untuk disabotase agar tampak seperti kecelakaan. Bagas membiarkan SUV itu melaju ke arah tebing. Kini, mobil itu sudah lenyap ditelan ombak bersama jejak-jejak pergumulan mereka.

Seharusnya Tea menjemput mereka sekarang. Keduanya kompak menoleh ke asal suara klakson yang sengaja dibunyikan beberapa kali. Mereka melihat Tea melambai dari balik kemudi mobil.

"Lo pada nggak masuk angin bediri di atas tebing gitu?" seru Tea.

Bagas mengekor di belakang Looney yang berjalan lebih dulu menuju kendaraan jemputan mereka.

***

Katlyn menawarkan sebotol air pada Miranda yang sedang duduk bersandar dengan mata separuh terpejam di kursi tengah. Ia menemukan botol tersebut di laci depan. Kelihatannya masih layak minum walaupun segelnya sudah dibuka.

J membawa mereka menuju pantai yang sepi. Lelaki itu sudah keluar mobil untuk memberi mereka privasi.

Miranda mengatur napasnya agar kembali stabil. Wajahnya tidak sepucat tadi. Kini, ia mulai dapat mengenali sekitarnya setelah episode panik menyaksikan pembantaian di depan mata.

"Tante udah nggak pa-pa?" tanya Katlyn hati-hati.

Miranda menegakkan kepalanya, menoleh sedikit agar bisa memandang Katlyn lekat-lekat.

"I think I've seen you before, but I'm not sure. Kalian siapa?"

"Tante nggak ngenalin ... Katlyn?" Dia menggigit bibir. Ekor matanya justru mencari-cari keberadaan J di luar. Lelaki itu sedang merokok sambil menatap laut.

Seakan punya ikatan batin yang kuat dengan Katlyn, J menoleh. Karena kaca film mobil milik Miranda tidak terlalu gelap, lelaki itu dapat bertemu pandang dengannya. Jika Katlyn tak salah lihat, J menyunggingkan senyum miring. Tak lama, tatapannya kembali ke laut. Hanya dengan melihatnya saja, Katlyn merasa punya keberanian untuk menghadapi Miranda sendirian.

"Katlyn?" Miranda mempelajari sosok di depannya lamat-lamat. "Katlyn Amara, putri Rosie?"

Pupil Miranda melebar. Punggungnya sontak menegak. Ia mengamati Katlyn dengan mulut separuh terbuka. Disentuhnya rambut Katlyn. "Rambutmu ..."

Katlyn terkekeh canggung. "Rambut Kat dicat," jawabnya kikuk, tiba-tiba menganggap keputusannya untuk mengecat rambut sewarna uban terasa seperti dosa.

"Oh, Kat ...."

Katlyn agak terkejut saat Miranda menarik tubuhnya perlahan untuk direngkuh erat.

"Dulu, kamu kecil sekali."

Ia mendengar Miranda menangis tersedu-sedu di belakang punggungnya. Katlyn balas memeluk. Ia masih tak dapat menentukan perasaan apa yang dominan menguasainya. Mereka berpelukan cukup lama. Katlyn membiarkan Miranda menumpahkan tangisnya puas-puas.

"Kat punya adik," Katlyn bergumam.

Miranda melepaskannya. "Oh, ya?" Wajah wanita itu memerah. Sebagian akibat air mata, sebagiannya lagi karena kebahagiaan.

Katlyn mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Ponsel itu tak dapat digunakan karena tidak menggunakan data roaming. Ia membuka album untuk menunjukkan foto-foto Timothy.

"Namanya Timmy. Timothy."

Miranda menutup mulutnya sendiri karena perasaan haru. Ia tak pernah tahu kalau Rosita melahirkan anak lain setelah Katlyn lantaran selama ini dia sendiri yang menutup seluruh akses komunikasi dari keluarganya.

"Manisnya." Miranda bergumam, ekspresinya sendu mirip ekspresi penyesalan.

Jika sebelumnya Katlyn tidak dapat melihat sedikit pun kemiripan antara Miranda dan mamanya, sekarang Katlyn menemukannya. Mamanya dan Miranda punya hidung serta lesung di bawah bibir yang sama. Jika Miranda tersenyum, Katlyn dapat melihat mamanya juga tersenyum.

"Kat nggak pernah tahu keberadaan Tante sebelum ini." Bibir Katlyn sudah bergerak sendiri tanpa diminta. "Kat kira kami sendirian."

Miranda mendongak untuk menatapnya. Mereka saling berpandangan cukup lama dengan mata yang berkaca-kaca.

"Katlyn ...." Miranda menggenggam tangan sang keponakan. "I couldn't put my regret into words."

Jika saja ia memberi kesempatan pada Rosita, mungkin ia tidak akan hidup dalam bayang-bayang penyesalan sampai sekarang. Rosita lebih dulu meninggal sebelum mereka sempat bicara, apalagi berbaikan.

"I know." Katlyn balas menggenggam. "Ada alasan kenapa Kat nyari Tante jauh-jauh kemari."

Miranda menghapus air matanya. Kali ini ekspresinya serius. "Siapa orang-orang itu?" Kabar apa pun yang dibawa Katlyn pasti bukanlah kabar baik.

"Kami juga nggak tahu mereka siapa."

"Lalu, siapa orang-orang yang bersama denganmu?" Sekarang ia mencari-cari sosok driver yang membawa mobil mereka sampai ke sini. Ia baru benar-benar menyadari siapa laki-laki yang bersama Katlyn sejak tadi. Giginya bergemeletuk.

"Pokokōhua!" Miranda mengumpat pelan dalam bahasa Māori sebelum membuka pintu.

"Loh, Tante mau ke mana?"

Melihat Miranda mendadak turun dari mobil sambil menggumamkan bahasa yang tidak ia pahami maksudnya, seharusnya Katlyn dapat menduga tujuannya. Papa pernah memberitahunya tentang ini agar dia dapat mengantisipasi.

"You, little shit! You killed her, didn't you? You killed Rosie!" Miranda menjerit sambil menjambak rambut J dengan penuh emosi. Bukan hanya menjambak, Miranda juga memukulinya.

"Aduh, aduh!" Lelaki itu tak memperhitungkan amukan wanita paruh baya yang terlalu tiba-tiba ini.

"Tante, jangan!" Katlyn berusaha memisahkan mereka.

Kepala J dibawa ke sana kemari oleh tangan Miranda. Cengkeramannya begitu kuat. Katlyn cemas kalau-kalau J menusuk tantenya jika kehabisan kesabaran. Ia menyeruak di antara mereka, menjadi tameng bagi J agar Miranda berhenti memukulinya.

"Minggir, Katlyn! Dia ini pembunuh mamamu!"

"I know!" Katlyn balas berseru.

J bersembunyi di balik tubuh Katlyn yang lebih pendek darinya. Ia memeriksa kepalanya sendiri, cemas rambutnya pitak kena jambak. Kulit rahangnya juga terasa perih terkena cakaran Miranda. Ia hampir yakin luka itu akan membekas di wajahnya.

"Kitten, aku disakiti," bisik J.

"Shut up!" bentak Katlyn.

J manyun, meski tak beranjak dari balik tubuh Katlyn.

"Apa pun yang dikatakannya padamu, trust me. It's all lies! He's nothing more than a psycho puppet for his sister!" Dada Miranda bergerak naik-turun dengan tatapan masih terkunci pada J.

"I'm a cute puppet after all."

Katlyn dapat mendengar J bergumam. Ia memutuskan untuk mengabaikan komentar tidak penting itu. Katlyn lebih penasaran sejauh apa keluarga besarnya tahu tentang kakak-beradik itu.

"Tante tahu tentang Revita juga?"

"Oh, Kat ... aku tahu semua kebusukan mereka! Now, let me kill him!"

Miranda berusaha meraih J dari balik tubuh Katlyn, tetapi dia berhasil menahan kedua lengan wanita itu.

"Tante harus dengar kami dulu."

"I told you, girl! Everything he said to you—"

"Virus D6 sudah memakan korban!"

Nah, Katlyn sudah mengatakannya. Ia berharap Miranda berhenti memukuli Janesa agar mereka bisa duduk untuk mendiskusikan masalah ini bersama.

Bukannya terkejut, Miranda justru tertawa. Terbahak-bahak pula!

"He said that?" tanyanya di sela-sela tawa.

"Papa juga bilang begitu."

Tawa Miranda seketika berhenti. "Papamu?"

Katlyn mengangguk. Ia buru-buru melepaskan kalung yang sejak kemarin menggantung di lehernya bersama kalung rosario, kemudian memberikannya pada Miranda.

"Mengapa Wishnu bisa terlibat dengan mereka?" Miranda menekuri kalung berliontin simbol infinite yang sama dengan yang ia kenakan selama ini.

"Janesa nggak bekerja sama dengan kakaknya lagi. Dia yang bawa Kat ke sini untuk ketemu Tante."

Miranda menyunggingkan senyum ironi. "Jadi, namanya Janesa? Terus kenapa kalau dia nggak bekerja sama dengan kakaknya? Dia tetap pembunuh berdarah dingin!"

Katlyn tak akan membantah soal itu.

"Aku boleh ngomong nggak?" J berbisik lagi.

Katlyn menggeleng cepat. Ia cemas apa pun yang dikatakan J akan membuat Miranda semakin tersulut. Sejauh yang Katlyn tahu, J tak becus dalam hal komunikasi. Kecuali dengan anggota timnya, tentu saja. Jangankan Miranda, Katlyn saja sering gemas. Bagaimana jika tantenya tidak sengaja terbunuh saat mereka berdebat?

"Bisa kita duduk untuk bicarakan ini?" Katlyn mencoba sekali lagi.

Miranda mengembuskan napas dalam-dalam. Ia memandang Katlyn dan kalung di tangannya bergantian. Tak lama, ia mengangguk samar. Tatapannya masih kurang ramah pada J.

***

Miranda menggigiti kukunya sambil berjalan mondar-mandir di depan perapian. J sudah berhenti mengamatinya karena kepalanya langsung pusing mengikuti gerakan Miranda yang mirip setrikaan. Mereka semua sudah berkumpul di rumah milik Miranda. Looney dan Tea bertugas mengawasi keadaan sekitar dari jendela lantai dua. Siapa tahu ada SUV lain yang datang dengan pasukan dan persenjataan lebih lengkap yang dikirim untuk membunuh sang ilmuwan.

Bagas memperkenalkan diri sebagai utusan pemerintah. Itu saja. Tanpa tanda pengenal ataupun surat tugas. Ia beralasan misi ini rahasia sehingga tidak memerlukan catatan resmi.

Berita tentang wabah di beberapa negara sudah disiarkan di mana-mana. Seluruh saluran berita menayangkan wabah dengan gejala aneh mirip ebola di beberapa negara. Miranda menonton saluran berita internasional yang menayangkan kondisi salah satu rumah sakit di Namibia. Sudah ada pasien yang tewas di sana. Akibat berita wabah itu, masyarakat dunia dibuat ketakutan, bahkan satu provinsi di India dinyatakan lockdown. Beberapa negara juga melarang warganya bepergian ke luar negeri. Miranda dan Katlyn ikut menonton dengan wajah pucat pasi.

"Chaos!" pekik Miranda.

Katlyn setuju dengannya. Baru kali ini ia menyaksikan langsung berita tentang virus yang diceritakan J. Lelaki itu terbukti jujur.

"Apa televisi Indonesia juga menayangkan ini?" Katlyn menunjuk televisi yang sedang mereka tonton.

J mengedikkan bahu acuh tak acuh.

"Terakhir yang saya tahu, pemerintah Indonesia sudah mempertimbangkan larangan bepergian ke luar negeri juga," Bagas menyahut.

J duduk di atas sofa dengan posisi setengah berbaring. Sepatu botnya diangkat ke atas, merasa seperti di rumah sendiri. Gayanya santai betul. Hanya dia satu-satunya yang tidak terpengaruh dengan berita di televisi.

"Apa ini artinya Anda bersedia membuat vaksin atau antivirusnya?"

Miranda meletakkan kedua tangan di pinggang seraya menatap J tepat di mata. "Kenapa aku harus setuju?"

"Anda jadi satu-satunya ilmuwan yang tahu tentang virus itu. Kami berekspektasi tinggi, lho."

Miranda mendengkus. "Inilah yang kumaksud! Akhirnya kejadian juga, kan!" Ia menggerutu sebelum memandang Katlyn. "Sudah kukatakan pada mamamu kalau virus turunan itu suatu saat akan membunuh semua orang! Nggak ada yang percaya padaku! Mereka kira dengan membiarkan virus itu bermutasi dapat memudahkan mereka mencari formula untuk antivirusnya. Bodoh! Lihat sekarang!" racau Miranda.

"Nggak ada gunanya nyalahin orang-orang yang sudah mati." J menimpali dengan nada menyebalkan, setidaknya bagi Katlyn. "Sori, Kitten. Aku nggak bermak—"

Katlyn mengangkat satu tangannya untuk menyuruh J tutup mulut.

"Sudah kukatakan pada mamamu untuk menghentikan eksperimennya, tapi dia bersikukuh meneruskan! Dia bahkan mempertimbangkan tawaran Revita! Astaga, kenapa jadi begini?" Miranda memegangi pelipisnya yang mendadak nyeri.

Ia tidak menyangka virus yang bertahun-tahun lalu pernah ditentangnya itu malah menimbulkan banyak korban. Bukannya mendapat antivirus ebola malah menciptakan virus jenis baru.

Katlyn tak mengira kalau Miranda sama sekali tidak tahu tentang apa yang terjadi pada virus D6. Tidakkah dia penasaran dengan kabar virus yang dia kembangkan sendiri?

"Kalau Revita tahu tentang Tante, berarti Krotos juga tahu."

J kontan menggeleng. "Revita cuma kenal mamamu. Bu Miranda mengundurkan diri dari Legacy Biopharma lebih dari dua dekade lalu."

"Kematian mamamu pasti berhubungan sama bajingan ini karena dulu dia mencariku!" Miranda menunjuk J.

"Is it?" Katlyn meminta konfirmasi dari laki-laki yang sedang menikmati hari santainya di atas sofa. "Mencari Tante Miranda untuk apa?" lanjut Katlyn.

"Mendiang mama kamu bayar aku buat melacak adiknya. Dia berpesan agar bawa tantemu kembali ke Indonesia untuk bantu dia bikin antivirus. Tapi, tante kamu nolak. Selama beberapa bulan, aku bolak-balik Selandia-Indonesia buat jadi pengantar pesan." J mengembuskan napas lewat mulut. "Untung dibayar," gumamnya.

Ia ingat betapa menderitanya kena jetlag karena harus bolak-balik dua negara. Dua bersaudari itu sama-sama keras kepala. J sudah mencoba menawarkan solusi dengan berkirim surel. Namun, Miranda tak pernah membalas surel yang dikirim oleh sang kakak. Jadilah J yang diutus menyampaikan pesan Rosita agar sampai ke penerima. Itu pun harus mengalami pengusiran berkali-kali oleh Miranda karena dianggap sebagai penguntit. Sejak itu, J berjanji dalam hati untuk tidak menerima job yang berhubungan dengan pertikaian antarsaudara, terutama perempuan.

Dengan kata lain, J mengenal dua bersaudari itu lebih dulu daripada Katlyn.

Cewek itu tersenyum getir karena mendapati dirinya baru menyadari sejak awal J sudah memperalatnya. Katlyn menjalani hubungan sendirian karena perasaan J yang semu untuknya. Kalau dirinya versi lebih muda menyadari ini, mungkin dia akan kecewa.

"Sekarang, Anda menyesal karena nggak pulang ke Indonesia dari dulu-dulu! Virus keburu bocor, vaksinnya nggak ada." J memutar bola mata.

Bagas menatap J dengan pandangan sinis. "Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kamu nggak usah ngomong!"

"Mulut siapa?" J menunjuk bibirnya sendiri. "Suka-suka pemiliknyalah!"

Tanpa banyak bicara, Bagas mengokang pistolnya, lalu mengarahkan senjata itu ke wajah J. Katlyn melompat dari kursinya untuk melerai mereka.

"Please, fokus dulu!" Nada Katlyn terdengar letih. Dari balik tubuh Katlyn, J menyeringai tipis pada Bagas. "Dan kalau aku nggak salah ingat, kamu sendiri yang bilang kalau kamu yang musnahin vaksinnya sebelum satu sampel virus dibawa kabur," todong Katlyn pada J. Tatapannya menghakimi.

J mengerucutkan bibir, gayanya saat sedang mengingat-ingat sesuatu. "Vaksin yang itu belum diuji klinis." Ia merutuki Edward, si ilmuwan pencuri virus. Kenapa tidak sekalian mencuri virus dengan vaksinnya? Setidaknya mereka punya secercah harapan untuk meneruskan formula vaksin yang sudah ada.

"Rosie nggak meninggalkan catatan?" Miranda tiba-tiba bersuara.

Semua orang kompak menatap J. Yang ditatap hanya mengerutkan hidung sembari mengingat-ingat. "Catatan apa, ya?"

"Orang-orang seperti kami seenggaknya punya catatan tentang apa yang kami lakukan. Kalau bukan catatan, pasti ada rekaman. Eksperimen dan perkembangannya. Mungkin kita bisa menemukan catatan tentang formula itu di barang-barang peninggalan Rosie." Miranda memperjelas maksudnya.

Katlyn tampak berpikir. "Ruang kerja Mama selalu dikunci. Sewaktu Papa ditahan KPK, rumah kami digeledah. Semua barang disita, termasuk dokumen-dokumen yang ada di ruang kerja Mama."

J berdeham tak nyaman. "Sewaktu ditugasin untuk 'memusnahkan' segala hal tentang D6, aku juga nggak pilih-pilih. Semua dokumen di lab yang berkaitan tentang D6 sudah kubakar. Di komputer juga. Mustahil ada yang terlewat." Ia tidak bermaksud terdengar bangga karena telah melakukan pesan terakhir Rosita dengan baik.

Miranda mendekat ke arah Katlyn. "Siapa yang menyita dokumen-dokumen itu?"

"KPK."

J menggeleng tidak setuju. "KPK memang menangkap papamu. Bukti-buktinya diambil dari kantor papamu. Tapi, bukan mereka yang menggeledah rumahmu pertama kali."

"Terus siapa yang menggeledah rumahku waktu itu?"

"My sister. Kalau memang dia nemuin catatan mamamu di sana, formulanya ada di tangan dia. Tapi, Revita bukan orang yang ngerti masalah virus-virusan. Aku bahkan ragu dia ngerti isi catatan mamamu." Ia menatap Katlyn cukup lama. "Kalau mau, dia bisa berikan catatan itu pada Krotos."

Jantung Katlyn mencelus. "Krotos?" bisiknya.

"Dia bisa aja ngasih catatan itu, bisa juga nggak."

"Bukannya mereka bersekongkol?"

"Revita bisa bersekongkol dengan siapa pun, tapi dia nggak pernah naruh kepercayaan ke orang selain diri sendiri." J sangat yakin mengenai hal ini.

"Wishnu nggak pernah membahas tentang catatan ini pada kalian?" tanya Miranda.

J dan Katlyn saling pandang sebelum menggeleng.

"Aneh. Harusnya Wishnu tahu sesuatu tentang itu."

Katlyn mengernyit. "Tante nggak percaya Papa?"

"Bukan begitu, Katlyn. Sedikit aneh kalau papamu sama sekali nggak menyinggung tentang catatan yang kumaksud tadi. Bisa jadi memang catatan itu nggak ada."

"Atau ada, tapi disembunyiin." J menimpali. Ia bangkit. "Nggak ada gunanya berspekulasi. Anda bisa buat vaksinnya atau nggak?"

Katlyn memutar bola matanya. "Bikin vaksin itu nggak segampang kamu bunuh orang!" Ia menusuk pinggang J dengan telunjuk cukup keras sampai lelaki itu mengaduh.

"Terus? Sia-sia, dong, aku bawa kamu kemari?"

Katlyn mendongakkan kepalanya ke atas. "Please, just shut up!"

"Amunisi saya banyak." Bagas menawarkan pistolnya. Katlyn menggeleng. Dia tak akan mengotori tangannya.

Mereka dikejutkan oleh suara langkah kaki Looney yang menuruni tangga dengan setengah berlari. Ia sudah siap memegang belati di tangan saat berdiri di hadapan mereka.

"Kita kedatangan tamu," ujarnya datar. Ia berjalan menuju pintu.

Bagas mengekor di belakang Looney.

"Oh, no! Jangan di rumahku!" Miranda memegangi pelipisnya, cemas tentang prospek pertumpahan darah seperti di jalan tadi. Jantung Katlyn mendadak berdegup kencang, bahkan J sudah menarik pisau lipat dari sepatunya.

Sekarang, mereka menunggu.

Looney berdiri di sisi kanan pintu. Belati di tangan kiri, sedangkan rantai besi seukuran tali karmantel di tangan kanan. Sekarang Katlyn paham apa fungsi rantai tersebut. Looney menggunakannya sebagai laso. Mungkin selain unicorn, Looney juga penyuka tokoh Wonder Woman. Kawan satu universe Batman itu suka membawa laso ke mana-mana.

Bagas mengacungkan senjata di sisi kiri pintu, posisi siap menembak.

Ting tong

Janesa menaikkan sebelah alisnya. Kenapa penyerang mereka repot-repot menekan bel?

"Professor? Are you home?"

Miranda buru-buru menghampiri pintu depan. Ia menyuruh Looney dan Bagas menurunkan senjata mereka. J juga sudah mengembalikan pisau lipatnya ke dalam sepatu.

"Itu mahasiswa post-graduate saya. Sembunyikan senjata kalian!"

Looney menoleh ke arah Janesa, meminta konfirmasi. Setelah lelaki itu mengangguk, barulah Looney menurunkan belatinya. Ia berbalik menuju perapian, duduk-duduk di sofa. Status siaga sudah berubah menjadi normal seiring dengan menurunnya ritme jantung Katlyn.

"Professor?"

Miranda membuka pintu dengan senyum lebar. "Challa!" sapanya.

Seorang laki-laki tinggi berkulit hitam balas tersenyum. Ia sedang mengangkat kotak yang penuh dengan kertas serta buku.

"You asked me to move these." Bahasa Inggris Challa agak beraksen. Bukan aksen Selandia Baru. Ketika laki-laki itu balas tersenyum, senyumnya menyenangkan dan menular.

"Thank you, Challa."

"It's heavy. I'll put them inside." Miranda tidak sempat mencegah karena Challa sudah melewatinya masuk ke dalam rumah. Ia berniat baik agar Miranda tidak sakit punggung karena membawa kotak yang terlalu berat. "Oh, you have guests."

Katlyn tersenyum seraya menghampiri Challa untuk mengambil tiga tumpuk box file dari atas kotak yang dibawa Challa, meringankan bebannya.

"I'm Katlyn, her niece from Indonesia."

J sudah gatal ingin menghapus ekspresi terpukau Challa saat menatap Katlyn. Ia menarik kembali pisau lipat dari sepatunya. Looney mendorong pelan betis laki-laki itu dengan ujung sepatu, mengingatkannya kalau yang sedang bertamu itu mahasiswa Miranda.

"Jangan gila, deh!" tegur Looney.

Challa dan Katlyn menghilang ke ruangan lain di sebelah tempat mereka berkumpul.

"Tolong jangan buat keributan di depan mahasiswa saya." Miranda memberi peringatan sebelum menyusul.

J sontak mendengkus seraya mengembalikan lagi pisau lipatnya ke dalam sepatu. "Bawa jarum bius?"

"Buat apa aku bawa begituan, J? Mending bawa ini." Looney mengangkat belatinya di depan wajah. Dia belum mengerti maksud J menanyakan jarum bius.

"Kalau membuat vaksin dari awal, saya khawatir akan makan banyak waktu. Apa kita sempat?" Bagas menghampiri J dan Looney yang masih membahas jarum bius.

"Nggak. Keburu abis manusia di bumi nungguin vaksinnya jadi." J menjawab dengan nada sebal. Tatapannya tak lepas dari pintu di mana Katlyn dan Challa menghilang.

"Terus rencana kalian apa?"

"Tergantung Miranda. Kita perlu sediain segala sumber daya yang dia butuhin untuk support pembuatan vaksinnya. Mau jadinya kapan, terserah. Yang penting kita berusaha."

"Kenapa kedengarannya pasrah sekali?"

Kini, tatapan J beralih pada Bagas yang sejengkal lebih tinggi darinya. "Ada saran yang lebih baik?"

Hatinya sudah kesal karena menyaksikan sendiri tatapan laki-laki lain pada Kitten-nya. Sekarang, Bagas ikut-ikutan membuatnya kesal. J mulai memikirkan rencana cadangan untuk mengajak Katlyn bersembunyi di bungker antinuklir. Jika dunia mau perang, silakan. Yang penting Katlyn aman bersamanya.

"Kita ambil catatan Bu Rosita dari Revita."

Looney tertawa kecil karena ide yang tercetus dari mulut Bagas. "Dia ada di rumah sakit jiwa," sahutnya.

"Um, about that ...." Janesa menggaruk ujung hidungnya yang mancung. Ia belum sempat memberi tahu Looney tentang kaburnya Revita dari RSJ.

Wajah geli Looney mendadak berubah datar. "Kenapa sama dia?"

"Dia kabur."

"Kapan?"

"Dua atau tiga hari yang lalu."

"Krotos yang membantunya?"

"I think so."

Looney menyeringai lebar. "Good." Di antara anggota CRT yang lain, mungkin hanya dia yang menanti pertemuan dengan Revita. "So, I can kill her. Kamu nggak akan bisa menghentikanku kali ini."

J mengusap tengkuknya, tak nyaman. Ia mengembuskan napas berat. "Kalau secara spontan aku melindunginya, will you kill me too?"

Looney mengamati J dengan penuh pertimbangan. "I've been thinking about that too."

"Any closure?"

Looney mengedikkan bahu. "Not yet. Kita lihat aja nanti."

Bagas menjentikkan jarinya di udara, menghentikan percakapan dramatis yang tidak ia mengerti permulaannya ini. Kalau Looney ingin membunuh J, sebaiknya bocah itu mengantre. Bagas juga punya urusan yang belum selesai dengan lelaki itu.

"Kita nggak bisa hanya diam dan menunggu vaksin itu jadi. Ada kemungkinan pihak-pihak lain juga berdatangan ke negara yang terdampak seperti Namibia."

J mengangguk singkat. "Amerika. Mereka tukang ikut campur. Krotos pasti memperalat mereka dengan iming-iming vaksin yang nggak mereka punya."

"Maksudmu, Krotos hanya punya sampel virusnya, tapi bukan vaksinnya?" tanya Bagas memastikan.

"Semacam itu. Tujuan utama mereka adalah genosida."

"Tunggu sebentar!" Looney mengernyit. "Virus itu nular nggak, sih?"

"Bu Rosita pernah bilang kalau virus itu menular lewat cairan; darah, ingus, dan kotoran," jawab J. "Kenapa? Takut ketularan?"

Looney mengangguk. "Tante Mara nggak ngizinin aku mati sebelum naik kelas tahun ini." Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Kamu boleh pulang kalau mau."

Looney mengangkat satu tangannya ke udara dengan hidung berkerut. "Bukan itu poinku! Kalau jadi Krotos, aku nggak mungkin bocorin virus buat uji coba tanpa jaminan."

J dan Bagas mendengarkan.

"Kalau aku terpapar virus juga, gimana? Sesuka-sukanya aku sama uang, tapi kalau aku mati juga kena virus, uangnya buat apa?" lanjut Looney sambil menatap Janesa penuh arti.

Mengerti dengan arah pembicaraan Looney, akhirnya J menyeringai tipis. Ia mengacak rambut Looney, merasa bangga.

"Mereka sudah punya vaksinnya." Laki-laki itu menyuarakan kesimpulan Looney. "Kakakku nggak akan ngelakuin sesuatu yang terlalu berisiko."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top