10 | DUNEDIN

KARENA tidak diberi tahu mereka akan pergi berapa lama, Katlyn hanya membawa tas tote berisi satu setel pakaian terbaik yang bisa dikenakan untuk bertemu papanya. Papa harus tahu jika dirinya dalam keadaan baik dan sehat agar tak merasa kepikiran selama menjalani masa tahanan.

"Urusanmu udah beres?" tanya Katlyn begitu menyadari tidak biasanya Janesa hening sejak tadi.

"Hm?"

"Kamu bilang perlu ngelakuin sesuatu, makanya kamu nurunin aku di rumah."

"Iya."

Keheningan ini terasa canggung. Ingin sekali dia bertanya tentang urusan apa yang dimiliki Janesa tadi. Namun, bibirnya terkunci rapat. Baginya, semakin sedikit yang dia tidak tahu, maka akan semakin baik. Katlyn tidak ingin terlibat kejahatan apa pun yang Janesa lakukan.

"Di mana lokasi Papa ditahan?" tanyanya lagi.

"Dekat bandara."

Dahi Katlyn berkerut bingung. "Kenapa di sana?" Muncul kecurigaan dalam hatinya. Dia cemas ditipu lagi.

"Ada tempat khusus yang nggak bisa dimasuki orang sembarangan. Di sana aman. Lagi pula, praktis juga. Setelah jenguk papamu, kita pergi ke Selandia Baru."

"Hah?" Katlyn melongo. "Mau apa ke sana?"

"Ketemu tantemu."

Katlyn teringat ucapan Janesa tentang tante yang tidak pernah ditemuinya selama ini. "Tapi, aku nggak bawa paspor."

Janesa tertawa kecil seolah apa yang dikatakan Katlyn sangat lucu. Saat menyadari raut datar Katlyn, ia berdeham. "Kamu nggak bisa pake paspormu. Begitu namamu muncul di data maskapai, sama halnya kamu ngundang para pemburu mendatangimu."

"Terus ke luar negeri nggak pake paspor? Visa?"

Secanggih-canggihnya Janesa, mereka tetap butuh data diri untuk laporan ke imigrasi supaya diizinkan masuk ke negara asing. Itu menurut Katlyn. Melihat ekspresi santai laki-laki yang membawanya, Katlyn mulai berpikir yang tidak-tidak.

Nggak mungkin dia bisa memalsukan paspor atau visa!

"Gimana sama Timmy?" Katlyn mulai mencemaskan keselamatan adiknya. Meninggalkan Timothy sendirian di Surabaya terlalu berisiko.

Janesa terdiam cukup lama sebelum menyahut, "Udah saatnya aku ngenalin kamu ke semua anggotaku."

Mereka berhenti di sebuah hanggar tua dekat bandara lama. Area di sekitar sini tampak sepi dan terbengkalai. Begitu sampai, mereka bertemu lelaki dengan seragam tentara yang dilengkapi persenjataan. Janesa hanya menurunkan sedikit kaca mobilnya, menunjukkan sebuah medali kecil.

Usai memastikan keaslian medali itu, mobil mereka diizinkan lewat.

"Apa itu tadi?" Kepala Katlyn terus melihat ke belakang. "Itu medali apa?" tanyanya lagi.

"Tempat ini masih milik Angkatan Udara. Seperti yang kubilang, nggak semua orang boleh masuk ke sini, kecuali yang berkepentingan."

"Dan sekarang kamu bekerja sama dengan militer?" Dahi Katlyn berkerut dalam. Setahunya, Janesa itu penjahat. Tentara tidak bergaul dengan penjahat, kecuali jika Janesa kenal salah satu perwira yang menguntungkannya. Bukankah tadi Janesa menyinggung tentang anggota yang dia miliki?

"Ini bukan medali." Janesa mengeluarkan benda yang dimaksud Katlyn dari kantong celananya. "Ini tokenku. Orang-orang yang tahu tentang token ini punya utang budi padaku."

Kali ini, Katlyn dapat melihat benda yang tadinya dia kira sebagai medali adalah sebuah koin perunggu berdiameter setengah telapak tangan. Koin itu memiliki gambar timbul berbentuk huruf C.

"Apa artinya huruf itu?"

"C untuk Citadel, bisa juga Cinta." Lelaki itu menyeringai tipis.

Katlyn membuang muka. "Seseorang dari Angkatan Udara punya utang budi sama kamu?"

"Jabatannya agak lebih tinggi dari itu. Belum saatnya kamu tahu."

Ketika turun dari mobil, mereka disambut beberapa tentara lain. Tak ada satu pun kata yang terlontar. Ekspresi mereka datar-datar saja sambil sesekali memperhatikan Janesa dari kepala sampai kaki sebelum mengarahkan menuju pos pemeriksaan di depan pintu hanggar. Mereka diperiksa secara terpisah. Lewat anggukan kepala, Janesa mengisyaratkan agar Katlyn bekerja sama.

Penggeledahan terhadap Katlyn berlangsung cepat. Ponsel, dompet, dan segala aksesori yang dikenakannya hari ini diletakkan ke dalam satu wadah plastik. Dia tidak diizinkan membawa apa-apa. Janesa digeledah di sisi satunya. Tiap kali ia melewati metal detector, alat itu terus-terusan berbunyi.

Katlyn diperbolehkan mendekat agar bisa mengintip apa yang sedang terjadi. Dia dibuat terkejut karena mendapati wadah plastik milik Janesa penuh dengan senjata tajam serta alat-alat aneh dan misterius.

Pisau lipat sudah tidak terhitung jumlahnya. Bentuknya juga macam-macam. Katlyn hanya bisa mengenali satu jenis saja di antara puluhan benda kecil lain termasuk jam tangan.

"Nggak boleh pake jam tangan?" tanya Katlyn ketika mereka berjalan beriringan menaiki tangga di belakang seorang petugas yang jadi penunjuk jalan.

"Di dalamnya ada jarum bius. Habis dibongkar tadi." Janesa agak menggerutu.

Seperti pada umumnya, hanggar tua yang mereka datangi cukup besar untuk dijadikan tempat penyimpanan tiga pesawat sekaligus. Meski bukan hanggar terbesar, tempat itu masih fungsional. Bedanya, di atas hanggar terdapat sebuah ruangan luas yang dijaga oleh selusin tentara.

"Kenapa Papa dipindahin ke sini?" bisik Katlyn.

"Nggak tahu."

"Bukan kamu yang mindahin?"

"Presiden sendiri yang milih tempatnya."

Katlyn terpana sampai kakinya berhenti melangkah. Pak Presiden masih berhubungan dengan Papa? Jadi, yang dimaksud Janesa tentang orang yang punya utang budi padanya tadi adalah presiden?

"Seberbahaya apa situasi yang lagi kita alami sekarang?" tanya Katlyn hati-hati.

Lelaki itu mengedikkan sebelah bahu dengan gaya santai. "Anggap aja kita lagi berada di ambang perang dunia ketiga."

Mereka tiba di depan pintu kayu sederhana. Petugas yang mengantarkan mempersilakan mereka masuk untuk menunggu di dalam.

"Kamu aja yang masuk. Lebih baik aku nunggu di luar," ujar Janesa.

***

Ruangan berukuran lima kali enam meter itu hanya berisi sebuah meja dan tiga kursi di tengah-tengah. Katlyn duduk di salah satu kursi yang tersedia. Tidak ada jendela di sana. Satu-satunya penerangan berasal dari lampu yang dipasang di beberapa titik di atas langit-langit.

Belum lama Katlyn menunggu, pintu di belakangnya terbuka. Ia bergegas berdiri dan menyambut Wishnu Sudiro.

"Papa!" Katlyn menghambur ke pelukan papanya.

Wishnu tersenyum lega saat mendapati sang putri kini berada dalam jangkauannya.

"Sehat-sehat, kan, Nak?" Wishnu jadi orang pertama yang melepaskan pelukan mereka agar bisa mengamati putri sulungnya dari kepala sampai kaki. Tangannya terulur untuk membelai kepala sang putri.

Katlyn mengangguk. "Timmy juga, tapi dia nggak bisa ikut." Dia baru menyadari kalau papanya tidak mengenakan baju tahanan.

"Papa senang melihatmu di sini. Sayangnya, kamu nggak punya banyak waktu."

Wajah Katlyn pias seketika. "Sebenarnya apa yang terjadi, Pa? Kenapa banyak tentara di luar? Papa terlibat apa?"

"J belum ngasih tahu?" Wishnu balik bertanya.

"J?" Katlyn mengernyit.

"Laki-laki yang membawamu ke sini. Memangnya dia memperkenalkan diri sebagai siapa?"

Tentu saja papanya kenal Janesa. Mengapa Katlyn terkejut begini?

"Dia bilang namanya Janesa," jawab Katlyn setelah dapat mengendalikan diri. "Bukannya dia yang bikin Papa dipenjara?"

Wishnu menghela napas panjang. "Sebaiknya kita duduk dulu." Dia menarik kursi dan menuntut Katlyn duduk di sana. "J membantu mamamu dan membuat Papa dipenjara. Apa dia sudah cerita tentang virus?"

Katlyn mengangguk lagi.

"Mamamu mengorbankan dirinya supaya virus itu nggak jatuh ke tangan Krotos. Bukan hanya mengorbankan diri, tapi juga keluarga kita dan orang-orang yang terlibat dalam penemuan virus itu. Harga yang setimpal untuk mencegahnya digunakan sebagai senjata biologis."

"Lalu, apa hubungannya Papa sama semua ini? Papa, kan, seorang menteri! Kenapa Papa biarin diri Papa ditangkap karena kasus korupsi?"

"Papa dan mendiang mamamu adalah pemegang saham terbesar Legacy Biopharma. Orang-orang yang ingin melihat Papa hancur menggunakan kesempatan itu untuk mengada-adakan kasus demi membuat Papa melepas saham sehingga Elliot Krotos bisa membelinya."

"Orang-orang? Siapa?"

"Musuh politik. Kamu nggak perlu tahu demi keselamatanmu sendiri."

Katlyn mendengkus seraya membuang muka. "Jadi, itu sebabnya Pak Presiden lindungin Papa secara diam-diam dengan cara mindahin Papa ke sini?"

Wishnu mengangguk. "J memberi tahu Pak Presiden kalau nyawa Papa berada dalam bahaya jika dibiarkan di dalam lapas. Bagaimanapun juga, Papa satu-satunya saksi hidup atas kejatuhan Legacy Biopharma dan keterlibatan Krotos di dalamnya."

"Apa gunanya Papa jadi saksi kalau nggak ada pengadilan?"

"Katlyn ...." Wishnu mendesah pelan. "Mamamu mengorbankan diri karena nggak sanggup melakukan perlawanan. Krotos punya koneksi di mana-mana. Daripada melihatmu dan Timothy diburu mereka, Mama memilih nekat mengakhiri hidup bersama rekan-rekannya. Situasi Papa sekarang nggak jauh beda dari saat Mama membuat keputusan itu."

"Ini nggak masuk akal buat Kat, Pa! Kenapa Mama begitu?" Air mata Katlyn berderai. "Mama bukan orang yang gampang putus asa! Kematian bukan jalan satu-satunya! Lalu, kenapa Pak Presiden nggak membantu kita? Bukannya Papa dan beliau adalah teman dekat selama ini?"

"Nggak semua orang di parlemen adalah pendukung beliau, Kat. Kami dikelilingi musuh politik yang bersedia menghalalkan segala cara untuk melihat kami hancur. Krotos hanya salah satu kesempatan yang berhasil mereka manfaatkan. Masalah ini nggak sesederhana yang kamu pikir."

"Dan menggunakan Janesa bisa selesein semuanya?" Katlyn tersenyum getir. "Dia orang yang membunuh Mama! Apa Papa nggak masalah dengan itu?"

Kedua ujung bibir Wishnu menekuk ke bawah. "Katlyn, ada hal-hal yang harus dikorbankan untuk—"

"Itu nggak benar! Mama nggak harus berkorban demi virus itu! Ada cara yang lebih baik daripada mati konyol dan menghilangkan nyawa para ilmuwan yang terlibat!"

Tatapan Wishnu mengeras. "Pengorbanan mamamu bukan hal konyol yang dipilih tanpa pertimbangan. Virus itu tercipta karena Legacy Biopharma. Kami bertanggung jawab untuk memusnahkannya sebelum jatuh ke tangan yang salah. Yang harus kamu tahu tentang Krotos, Katlyn, membunuh bukan hal yang sulit bagi mereka."

Ya, Katlyn tahu itu. Dia sendiri pernah mengalami rasanya diburu. Jika bukan karena Janesa, dirinya pasti sudah mati saat ini.

"Kepergian mamamu untuk memastikan virus itu terhapus dari sejarah. Niatnya hampir berhasil kalau saja Edward nggak mencuri dari kami."

Nama Edward pernah disinggung Janesa sebelumnya. Dialah salah satu ilmuwan yang kabur membawa sampel virus D6.

"Seharusnya kita tetap bersama." Suara Katlyn bergetar saat mengatakannya. "Apa kalian nggak mikirin Kat sama Timmy sama sekali saat membuat rencana itu? Kat dan Timmy nggak pernah bersedia untuk ditinggalkan. Kami masih perlu orang tua."

Kalau saja papanya tahu apa saja yang telah Katlyn lewati selama lima tahun belakangan ini.... Sekeras apa pun Katlyn berusaha menjelaskan, lidahnya tetap kelu. Di balik mutlaknya keputusan papanya, Katlyn dapat melihat duka yang belum sepenuhnya terhapus lewat sorot matanya. Kehilangan orang yang dicintai dan berakhir dipenjara sudah cukup membuat papanya sengsara. Katlyn tidak ingin menambah bebannya. Papa hanya harus tahu kalau dirinya dan Timothy berhasil bertahan hidup dan melewati semua ini dengan baik.

"Papa mau Katlyn gimana sekarang?" Katlyn menelan kekecewaannya. Jika ia bisa berpura-pura selama ini, ia pasti bisa melakukannya lagi.

Wishnu menatap wajah putrinya agak lama sebelum menjawab, "Temui tantemu, Miranda. Dia satu-satunya orang yang tersisa di dunia ini yang memahami virus itu sebaik Mama. Yakinkan dia untuk membuat vaksin dan antivirusnya."

"Tante Miranda?"

Wishnu mengangguk. "Dulu, mama dan tantemu jadi salah satu ilmuwan yang dikirim ke Kongo untuk meneliti ebola. Mereka salah satu orang yang bertanggung jawab atas terciptanya virus D6. Sewaktu kamu berusia empat tahun, mereka bertengkar hebat dan mengakibatkan tantemu pergi dari Indonesia."

"Bertengkar karena apa?"

"Kamu bisa menanyakan itu saat berjumpa dengannya." Wishnu tersenyum sendu. "Mama nggak pernah mengungkit pertengkaran itu. Ada kebencian yang mereka tahan selama bertahun-tahun."

Jadi, itu sebabnya Katlyn tidak ingat apa pun tentang Miranda. Selain karena Mama tidak pernah menyinggungnya, ingatan Katlyn juga sudah mengabur karena tantenya itu menghilang sejak ia masih balita.

"Tante Miranda ditemuin sama ..." Kalimat Katlyn menggantung.

Lagi, Wishnu mengangguk. "Mama membayar J. Dialah yang berhasil melacak dan menemukan tantemu, Nak. Di hari-hari terakhir hidupnya, mamamu ingin tahu di mana lokasi Miranda karena punya firasat suatu saat dia akan kembali."

"Gimana cara Katlyn yakinin Tante Miranda?" Katlyn menggeleng pelan. "Kat nggak ngerti apa-apa tentang virus ini."

Wishnu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk simbol infinity atau tak terhingga dalam bilangan. Itu kalung milik mendiang mamanya.

"Berikan kalung ini padanya. Dia pasti percaya kamu dikirim oleh Papa dan Mama," ujar Wishnu seraya meletakkan kalung itu dalam genggaman Katlyn. "J akan mengantarmu ke sana. Masalahnya, Miranda sudah tahu siapa yang membunuh mamamu. Dia pasti membenci J setengah mati."

Katlyn mengamati kalung itu. "Rasanya menyakitkan sewaktu tahu Papa lebih memercayai dia daripada anak Papa sendiri."

"Demi keselamatanmu dan Timmy. J bisa melindungi kalian berdua. Seenggaknya dia berutang itu kepada kita."

"Apa yang membuat Papa begitu percaya ke J?"

"Karena sebenarnya bukan dia atau Krotos yang Papa takuti." Wishnu menggenggam tangan Katlyn. "Wanita itu akan datang mencari kalian."

"Wanita itu? Siapa, Pa?"

Belum sempat Wishnu menjawab, pintu sudah dibuka dari luar. Petugas yang mengantar Wishnu datang kembali untuk menjemputnya. Waktu mereka sudah habis.

***

Ucapan Papa tentang wanita yang ditakutinya terngiang di kepala Katlyn. Papanya tidak sempat menceritakan lebih detail tentang identitas wanita yang harus ia waspadai karena petugas langsung membawanya pergi.

"Kamu nggak pa-pa?" Janesa agak cemas dengan sikap diam Katlyn yang tidak biasanya.

Katlyn balas memandangnya. Terkadang dia tidak habis pikir dengan betapa berpengaruhnya keputusan lelaki itu untuk memilih pihak mana yang akan didukungnya saat ini.

Katlyn hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.

Seperti janjinya, Janesa membawa Katlyn ke landasan sepi yang hanya diisi satu pesawat jet pribadi entah milik siapa. Mereka benar-benar akan pergi ke Selandia Baru.

"Pesawat ini punya siapa?" tunjuk Katlyn saat turun dari mobil.

"Punya klien."

"Kenapa nggak naik pesawat komersial?"

"Alasannya sama dengan kamu yang nggak boleh pake paspor asli selama bepergian denganku."

Mendadak Katlyn merasakan bahunya ditepuk dari belakang. Ketika menoleh, ia mendapati teman serumahnya berada di hadapannya dengan senyum lebar. Katlyn melihat sekeliling untuk memastikan jika sosok di depannya itu nyata.

"Tasya? Kamu lagi ngapain di sini?"

Tasya menenteng tas hitam sebelum melemparkannya ke arah Janesa. Tas itu kelihatan amat berat. Masih untung Janesa tidak ambruk saat dilempari tanpa aba-aba.

"Panggil gue Tea selama kita dalam misi," kata Tasya.

"Ada yang bisa jelasin kenapa temen serumahku ada di sini?"

Tasya sudah berlari kecil di anak tangga yang tersedia untuk naik ke pesawat. "Gue anggota CRT!" teriaknya sebelum menghilang ke dalam pesawat.

Katlyn masih tidak mengerti.

"Semua teman serumah kamu, kecuali anak-anak dan Tamara, adalah anggota timku," timpal Janesa sebelum ikut naik.

"Luna juga?"

Janesa menunggu Katlyn di puncak tangga pesawat. "Kita akan ketemu dia di Selandia. Dia udah nunggu kita sejak kemarin."

Mungkin karena Katlyn sudah terbiasa terkejut belakangan ini sehingga dirinya tak merasakan apa pun lagi sekarang.

***

Mereka sudah mengudara dengan aman ketika Katlyn melepas sabuk pengaman. Tasya tidak bergabung dengannya karena punya tugas sebagai kopilot. Dalam beberapa waktu ke depan, Katlyn terjebak bersama Janesa di kabin.

Selain uang tunai NZD dan baju ganti untuk Katlyn, ternyata tas hitam yang dilempar Tasya juga berisi dokumen pribadi seperti paspor, KTP, dan KK. Berbeda dengan paspor biasa, paspor diplomatik bersampul hitam seperti yang dibawa Katlyn; tidak membutuhkan visa untuk pergi ke negara-negara tertentu karena diperuntukkan bagi yang ditugaskan melakukan perjalanan diplomatik. Katlyn punya paspor sejenis ini juga saat papanya masih menjabat sebagai menteri.

Begitu melihat isi paspornya, Katlyn sontak terperangah. Paspor itu memiliki foto dirinya yang berarti identitas ini juga miliknya. Ia membolak-balik paspor. Bahkan sudah ada cap resmi di sana, tetapi nama yang tertera bukanlah dia. KTP dan KK Katlyn menerangkan bahwa dirinya sudah menikah. Kepala keluarganya? Junaidi Hasan.

Katlyn melirik Janesa yang sedang memperhatikannya secara terang-terangan di kursi seberang.

"Siapa Junaidi?"

Janesa tersenyum, lalu mengulurkan tangan kanannya. "Hai, Dara. Kenalin aku Juned, suamimu."

Katlyn menepis tangannya, mengundang tawa lelaki itu. "Kenapa ada KK palsu segala di sini?"

"Kurirnya bilang sepaket. Ada buku nikahnya juga, tuh."

"Kalau ketahuan, gimana?"

"Biasanya aku pake dokumen asli, tapi palsu. Kali ini yang ngeluarin Kemenlu sendiri. Dokumen-dokumen itu asli semua, tapi nggak pake data pribadi kita."

Katlyn benar-benar bingung. Mana mungkin pemerintah Indonesia memberikan identitas palsu begini pada warganya?

"Situasi kita saat ini memungkinkan apa yang mustahil." Ekspresi Janesa seolah dapat mendengar isi kepalanya.

Katlyn menjejalkan kembali dokumen-dokumen itu ke dalam tas. Sebagai gantinya, ia menarik sebuah gaun tembus pandang berwarna merah tua. Penyangga bahunya hanya berupa tali tipis yang dikenal Katlyn sebagai spaghetti strap.

"Ini punya siapa?" Katlyn mengangkat gaun itu dengan ujung jarinya.

"Kamu. Aku yang milihin. Bagus nggak?"

"Kenapa aku harus pake ini?"

"Otakku yang revolusioner ini selalu mikirin soal kesejahteraan kamu." Janesa mengedipkan satu mata. "Kamu cuma bawa satu baju ganti. Perjalanan kita memakan waktu."

Katlyn mengembalikan baju itu untuk melihat baju-baju bermerek lain yang sama pendeknya. Sepertinya Janesa baru saja memborong seluruh isi toko Victoria's Secret. Semua isi tas ini lebih pantas disebut lingerie daripada baju! Alhasil, tas itu berakhir dilempar Katlyn ke lantai. Janesa cemberut.

"Gimana ceritanya kamu dan Tasya bisa kerja sama?"

Janesa menyilangkan kakinya sembari menyandarkan punggung dengan nyaman ke kursi. "Kami pertama kali ketemu di Citadel."

"Citadel itu apa?"

"A place you wouldn't like to visit."

Katlyn mengerutkan dahi, ekspresinya tak percaya. "Apa menyenangkan menipuku begini?"

Janesa memiringkan kepalanya sedikit. "Kalau kamu tahu mereka yang tinggal di indekos itu adalah kaki tanganku, kamu nggak akan sudi tinggal di sana."

"Semua ini skenario kamu?" Katlyn ikut menyandarkan punggungnya ke kursi. "Hidupku ternyata berada dalam genggamanmu selama ini, dan aku terlambat sadar."

"Nggak juga. Kamu yang milih kerja di High Bay. Kamu yang milih nerima kartu nama Tamara waktu nyari tempat tinggal baru. Aku cuma mulusin jalanmu, mudahin semuanya buat kamu."

Katlyn memandang Janesa yang sedang tersenyum tipis padanya.

Sadar kalau tatapan Katlyn lebih mirip tatapan curiga daripada tatapan cinta, akhirnya Janesa menghela napas berat. "I'm not done loving you. Aku menyesal karena nggak ada di sana waktu kamu sendirian. I'm sorry. Aku ingin perbaikin semuanya. Us."

Kenyataan bahwa Janesa juga melunasi semua utangnya di bank sama sekali tidak membuat Katlyn lega atau senang. Baginya, utang tetaplah utang. Krediturnya saja yang berubah. Ia mendadak lesu membayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang-utang itu. Sama saja artinya ia harus terlibat dengan Janesa dalam waktu yang lama.

"Dari ekspresimu, sepertinya kamu nggak memercayai satu pun kata-kataku barusan," lanjut Janesa.

"Does it matter?"

"Apa kamu masih pengin bunuh aku?"

Kali ini Katlyn benar-benar mempelajari ekspresi Janesa. "I've killed you many times in my head. Killing you now wouldn't change a thing."

"You hate me that much?" Janesa melipat kedua tangannya di atas perut. "Nggak pa-pa. Orang bilang benci dan cinta cuma dibatasi sebuah garis tipis."

Katlyn yang muak dengan kepercayaan diri laki-laki itu hanya bisa membuang muka, memilih tidur. Pembicaraan mereka otomatis berakhir.

Karena pesawat ini tidak dipinjamkan satu paket dengan pilot dan pramugari, Janesa mengambil sendiri selimut dari kabinet yang tersedia untuk menutupi tubuh Katlyn. Cewek itu hanya menggeliat kecil tanpa terbangun.

Janesa sudah sempat tidur beberapa jam selama mereka mendarat di salah satu bandara Australia untuk mengisi bahan bakar. Ia terbangun tepat sebelum pesawat lepas landas, melanjutkan perjalanan menuju Dunedin.

Tasya muncul dari kokpit dengan wajah kusut, lalu mengempaskan tubuhnya di atas kursi kosong. "Gantian, Jok!"

"Pilotnya gimana?" Janesa menyahut tanpa menoleh. Dia membetulkan letak selimut Katlyn sambil berjongkok di sebelah kursinya.

"Masih fit sampai Dunedin, katanya." Tak perlu waktu lama bagi Tasya untuk terlelap. Ia kelelahan setelah belasan jam berada di kokpit bersama salah satu minion Janesa yang dibayar untuk jadi pilot utama.

Janesa mengecup puncak kepala Katlyn seraya bangkit. Ia mematikan lampu kabin untuk membiarkan dua cewek itu beristirahat sebelum menghilang di balik pintu kokpit.

***

Seumur hidupnya, Katlyn sudah dua kali pergi ke Selandia Baru. Dua-duanya untuk liburan bersama keluarga. Bentang alam Selandia Baru mengingatkan Katlyn akan pemandangan di Norwegia dan Swedia, hijau berbukit dengan banyak pegunungan.

Ah, ini perasaan nostalgia yang kedatangannya tidak tepat. Katlyn jadi ingat waktu terakhir kali pergi ke Auckland untuk menemani mamanya mengisi seminar. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Namun, rasanya seperti baru kemarin. Ketika ia tanpa sengaja melihat Janesa, ingatan itu langsung menguap tanpa bekas.

Di bandara, sudah ada orang yang menunggu mereka.

"Namanya Naomi. Dia diutus KBRI." Tasya memberi informasi pada Janesa dengan suara lirih. "Dia juga intel. Be careful," lanjutnya.

Janesa lebih dulu mengulurkan tangan pada wanita muda berparas tegas yang menyambut mereka.

"Halo," sapa Janesa dengan senyum lebar.

"Selamat datang di Dunedin! Saya Naomi dari Kedubes. Mari, saya antar!" Naomi cukup tahu untuk tak menyapa ketiga tamunya dengan nama. Hanya dengan melihat tanda pengenal yang dikalungkan di masing-masing leher mereka, ia langsung mengenali tamu-tamunya.

Mereka mengikuti Naomi melewati jalur khusus hingga tak perlu mampir ke imigrasi untuk memeriksa keabsahan dokumen-dokumen yang mereka bawa.

"Bapak berpesan untuk langsung mengantar kalian ke lokasi," lanjut Naomi.

"Bapak siapa?" Katlyn mencolek bahu Janesa, penasaran dengan sosok 'Bapak' yang dimaksud.

Janesa hanya mengedikkan bahu, enggan menjawab. Katlyn menelan kekesalannya. Ia baru mengerti untuk tak banyak bicara selama di bandara setelah Janesa menempelkan telunjuknya di depan bibir.

Mobil jemputan sudah menunggu di parkiran. Naomi mempersilakan semua tamunya naik lebih dulu, sedangkan ia duduk di depan. Selama itu pula, mereka tidak terlibat percakapan. Semuanya sepakat dalam diam untuk tak saling bicara.

Katlyn tidak mengikuti perkembangan keheningan itu karena lagi-lagi jatuh tertidur. Janesa meletakkan kepala Katlyn di atas bahunya agar dapat bersandar dengan nyaman.

Mobil yang mengantar mereka berhenti di depan sebuah rumah yang lokasinya berada di daerah St. Clair. Rumah berarsitektur kuno zaman Victoria itu berdiri menjulang dengan pemandangan laut di belakangnya.

Debur ombak dan embusan angin menyambut ketika mereka turun dari mobil. Tanpa diberi aba-aba, Janesa dan Tasya sama-sama memandang sekeliling. Pemukiman itu sepi karena jam telah menunjukkan waktu lewat tengah malam. Pintu-pintu rumah penduduk sudah tertutup rapat dan lampu rumah mereka dimatikan.

"Semoga beruntung!" Naomi menyalami Janesa, Katlyn, dan Tasya secara bergantian sebelum kembali ke dalam mobil. Pengantar mereka pergi tak lama kemudian.

Katlyn mengamati mobil tersebut menjauh dalam diam. Naomi sang utusan Duta Besar hanya bertugas menjemput dan mengantar mereka tanpa pertanyaan? Memikirkannya cuma membuat kepala Katlyn makin pening.

Tasya menjadi orang pertama yang berjalan cepat memasuki rumah. Jika ada yang lebih mengejutkan Katlyn, serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh laki-laki tinggi dan bertubuh tegap terhadap Janesa adalah yang paling tidak terduga. Begitu mereka masuk ke dalam rumah, tubuh Janesa didorong dan dibanting ke lantai. Katlyn terlalu terkejut untuk dapat bereaksi.

Penyerang Janesa bukanlah suku Māori yang merupakan penduduk asli Selandia Baru, melainkan sosok laki-laki berkebangsaan sama seperti mereka.

"Who the hell are you?" teriak Janesa. Lengannya dikunci ke belakang tubuh dalam posisi menyakitkan. Seolah belum cukup, ia juga ditindih oleh laki-laki yang menyergapnya. Orang itu memiliki potongan rambut cepak khas militer.

Katlyn membeku di tempat. Walaupun sudah beberapa kali menyaksikan kekerasan secara langsung, ia tetap belum terbiasa. Anehnya, baik Luna maupun Tasya bergeming mengamati penyerangan itu. Katlyn baru menyadari kehadiran Luna yang sedang duduk-duduk di atas kursi dekat perapian.

"Kalau kamu lupa saya, mungkin kejadian di Sudan bisa mengingatkanmu," jawab si Penyerang.

Janesa mengerang kesakitan saat pergelangan tangannya ditekan. Tubuhnya kalah besar dari penyerangnya, padahal Katlyn separuh berharap Janesa tetap tengil seperti biasa saat menghadapi ancaman. Melihatnya kesakitan di lantai mau tak mau membuatnya kasihan juga.

"Masa nggak kenal dia siapa?" Tasya memandang penyerang Janesa dengan wajah berseri-seri. Ia terkesima. "Ini kapten yang salah satu anggotanya lo tembak waktu di Sudan. Kejadian empat tahun lalu, ingat?"

"Apa aku harus ingat semua orang yang kubunuh?" Janesa bertanya sarkas seraya berusaha melepaskan diri dari penyerangnya. "Kamu kiriman Phoenix?"

"Saya sudah menunggu saat-saat ini." Nada suara si Penyerang mirip Terminator. Well, tubuhnya memang sebesar Terminator dengan kulit sawo matang.

Tidak ada yang menyadari Luna mendekat untuk menempelkan alat kejut listrik ke leher si Penyerang. Dia langsung kejang begitu arus listrik melumpuhkan mekanisme ototnya. Luna mengulurkan tangan untuk membantu Janesa bangkit.

"Serius, aku nggak inget dia." Janesa membersihkan bagian depan bajunya sebelum mengacak kepala Luna sebagai ungkapan terima kasih.

"Namanya Bagas. Kukira dia intel biasa. Ternyata pernah dikirim ke Sudan? Pasukan elite, dong?" tanya Luna tak suka. Dia bukan penggemar aparat hukum, militer, dan sebangsanya. Bukan hal yang mengejutkan mengingat Luna lahir dan besar di tengah-tengah usaha kartel narkoba. Sejak kecil, ia didoktrin untuk menjauhi orang-orang sejenis mereka.

Tasya mengangguk. Ia berjongkok di samping Bagas untuk membantunya duduk. "Maaf, kami nggak langsung ngenalin Anda."

Apa Katlyn salah lihat? Tasya sedang mengerlingkan mata pada laki-laki itu?

Bukannya menjawab, Bagas justru menggeram ke arah Janesa. Ia ingin menyerang lagi. Sayangnya, dia perlu waktu sampai otot-ototnya dapat digunakan kembali.

Janesa memandang ke arah Katlyn yang kelihatan masih terkejut. Ia berjalan tertatih ke arahnya. "Are you okay?"

Katlyn menelan ludah sebelum mengangguk. "Kamu?"

Mendapat pertanyaan berkonotasi perhatian untuk pertama kali dari Katlyn membuat Janesa semringah. "Aku nggak pa-pa. Sebaiknya kamu langsung istirahat."

Katlyn mengangguk cepat.

"Ada kamar kosong di atas. Biar Kak Tea sekamar sama aku. Boys tidur di bawah. Ada dua kamar. Jangan bunuh-bunuhan, ya!" Luna menatap Janesa dan Bagas bergantian sebelum pergi ke dapur untuk memanaskan segelas susu di microwave.

Kenyataan bahwa Tasya dan Luna ternyata berkomplot dengan Janesa masih terasa seperti mimpi bagi Katlyn. Ia tak tahu bagaimana harus menyikapinya.

Tanpa sadar, Katlyn berusaha membuat jarak tertentu. Untungnya, Luna dan Tasya tampak tak keberatan dengan hal itu. Mereka tahu Katlyn masih perlu waktu untuk terbiasa.

***

"Jodoh gue muncul di depan mata."

Looney mendengar Tea bergumam di sebelahnya. "Selera Kak Tea yang kayak gitu?" tunjuknya pada Bagas yang sedang duduk untuk memulihkan diri di meja makan.

"Bertahun-tahun setelah misi di Sudan berakhir, ternyata kami ketemu di sini. Apa namanya kalau bukan jodoh?" Tea justru balik bertanya.

Mereka langsung berkumpul setelah Katlyn tidur. J memimpin rapat kecil untuk membahas situasi dan hasil pengintaian Looney.

"Bu Miranda libur ngajar besok," ujar remaja itu.

Setelah mengundurkan diri dari Legacy Biopharma, Miranda memutuskan menjadi dosen pengajar di universitas setempat. Selain itu, Miranda juga merangkap jabatan sebagai Kepala Departemen Mikrobiologi dan Tim Riset Virologi yang tersebar di seluruh Dunedin.

"Kalau lagi libur ngajar, Bu Miranda biasanya pergi ke supermarket pagi-pagi. Siangnya, dia ke lab dan lanjut kerja sampe malem." Looney melanjutkan.

Tea meletakkan secangkir teh panas ke hadapan Bagas. Laki-laki itu kelihatan masih berusaha mengembalikan sistem kerja otot-ototnya.

"Rileks." Tea menepuk pelan lengan Bagas, sesekali curi kesempatan untuk merasakan padatnya otot laki-laki itu di bawah sentuhannya. Ia bersorak dalam hati karena bayangannya sama persis dengan realitas.

"Perimeter aman?" tanya J.

Looney langsung melempar pandangan ke arah Bagas. "Kami diawasi."

"Sejak kapan?"

"Sejak kemarin. Mereka cuma mengawasi. Kami nggak tahu mereka orang Krotos atau bukan."

Mengabaikan rasa lelah dan kantuk karena perjalanan jauh, Tea mengambil laptop yang tergeletak di atas meja makan. Setelah yakin laptop itu sudah tersambung ke internet, ia membobol sistem keamanan data kota agar bisa mengintip rekaman CCTV yang tersebar di beberapa titik di sekitar rumah ini. Pencariannya tidak pernah jauh dari area St. Clair. Sejak Looney pergi ke Selandia Baru, Tea sering kali mengawasi daerah sekitar sini. Atas permintaan J, tentunya.

"Ciri-ciri?" Tea tak mengangkat kepala dari layar.

"SUV putih. Bentuknya mencolok dan mudah diingat. Kami nggak lihat pengendaranya. Beberapa kali kedapatan berkeliling di sekitar sini. Kecepatannya melambat tiap kali melewati rumah Bu Miranda." Kali ini, Bagas ikut menyahut.

Tak butuh waktu lama bagi Tea untuk memperoleh footage mobil. Mobil itu mencolok di antara sepinya lalu-lalang kendaraan yang lewat.

"Nah, dapat!" Tea memutar laptopnya agar J dapat memastikan sendiri sosok-sosok yang ada di dalam SUV putih.

"Mereka bukan orang Krotos." J cukup yakin dengan tebakannya. "Siapa pun mereka pasti tahu sesuatu tentang Miranda. Kita nggak boleh mengambil risiko. Semakin cepat kita bawa Miranda ke Omaruru, semakin baik." J memandang Tea. "Peralatanmu udah siap semua?"

"Codet dan beberapa anak buahnya udah bawa barang-barang gue ke sana. Mereka masih nyari lokasi buat bangun basecamp kita."

"Kita butuh senjata."

"Sori, gue nggak bawa. Ke sini pake paspor diplomatik bikin jantung gue mau copot. Sungkan mau bawa senjata banyak-banyak."

Looney mengangkat tangannya ke udara. "Aku udah ada." Ia memang selalu membawa senjatanya sendiri.

"Saya juga ada." Bagas menimpali.

"Selain para pengendara SUV itu, apa ada ancaman lain?" tanya J, memandang Looney dan Bagas bergantian.

Yang dipandang kompak menggeleng.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top