1 | FIRENZE

Milan, Italia

Bunyi sepatu bot bertemu lantai marmer bergambar mozaik mengganggu keheningan khidmat di dalam katedral. Di bangku terdepan sudah berkumpul setengah lusin laki-laki berjas yang berdiri mengelilingi seorang lelaki tambun dengan kalung emas berbentuk tengkorak, seolah dia membutuhkan banyak pengawal untuk melindunginya saat berdoa.

J, si pemilik sepatu bot, menyusuri lorong kosong yang diapit bangku-bangku panjang jemaat sambil menyiulkan lagu Stand by Me. Satu tangannya mengayun-ayunkan jam saku ke depan dan belakang. Ketika bertemu pandang dengan para pengawal berjas itu, dia berhenti bersiul. Alih-alih ketakutan, J malah menyeringai tipis.

"You're late."

Laki-laki yang tadinya sedang khusyuk berdoa di depan altar langsung berdiri ketika J berada cukup dekat.

J menggenggam jam saku untuk memperhatikan waktu kedatangannya sebelum membalas, "Not at all." Ia sedikit tersinggung lantaran kredibilitasnya sebagai orang yang selalu tepat waktu diusik.

Laki-laki itu mengedikkan kepalanya sedikit, memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk pergi. Hanya dua orang yang paling ia percayai tetap tinggal di sisinya.

"They're going to be on your team." Aksen Italia sangat kental dalam bahasa Inggris-nya.

Dahi J berkerut samar. "I always work solo, Alessandro."

Salah satu dari pengawal Alessandro itu menyalakan pemantik untuk cerutunya. "You will need them."

J mengamati mereka satu per satu. Lelaki tegap berwajah datar yang tadi menyalakan pemantik api memiliki tubuh besar dan kekar. J menyentuh bingkai kacamatanya seraya mendengarkan dengan saksama lewat alat komunikasi yang terpasang di telinganya.

"Jangan bergerak! Mau gue scan dulu mukanya lima detik." Suara statis terdengar selama Tea melakukan kendali jarak jauh. "Oke, dapat. Gigio Pioli, pernah jadi anggota pasukan khusus yang dikirim PBB ke Afganistan. Dinyatakan hilang setelah terbukti jadi bagian dalam upaya genosida desa kecil di Afganistan selama bertugas."

Kini, J beralih memandang seorang wanita berambut pirang di samping kanan Alessandro Scaroni. Gerakan kepalanya hampir tak kentara.

"Vittoria Belluci, mantan anggota kelompok sindikat kriminal di Sisilia. Kestabilan mentalnya dipertanyakan." Tea tertawa kencang sampai membuat telinga J berdengung sebentar. "Mirip kawan kita, si Maniak. Dia pernah ketangkep gara-gara ngerendem mantan bosnya hidup-hidup dalem tangki cairan asam!"

Selama Tea memberi informasi, perhatian J tak lepas dari sosok Alessandro Scaroni, klien yang membayarnya mahal untuk mencuri berlian langka aset negara. Alessandro adalah salah satu klien kaya raya yang rela membayar dengan harga tinggi demi mendapatkan berlian yang diinginkan istrinya.

"... you'll be handsomely paid after the work is done, My Friend." Alessandro menutup pidato yang tak sempat J hayati tadi lantaran terlalu sibuk menyerap informasi dari Tea.

"See you tomorrow at Milano Centrale, then."

Merasa cukup dengan basa-basi, J memutar tubuhnya menuju pintu keluar.

"Tea? Bu Ninja?" gumam J.

"Ya?" Balasan Tea dan Bu Ninja terdengar secara hampir bersamaan. "Saya di sini, J."

"Siap-siap. Ada perubahan rencana."

***

Kenapa Florence disebut Florence, sedangkan orang Italia sendiri menyebutnya Firenze?

Bahasa Italia punya sejarah etimologi yang panjang karena menjadi salah satu bahasa turunan. Dahulu, Kota Florence bernama Florentia bagi orang-orang berbahasa Latin, lalu berubah jadi Fiorenza ketika orang-orang mulai berbahasa Italia Kuno. Kemudian, pendatang dan turis yang tidak menjadikan bahasa Italia maupun Latin sebagai bahasa ibu terpeleset lidah dan merasa lebih mudah menyebutnya dengan 'Florence' saja.

Namun, bukan itu alasan dia di sini. J sedang melihat-lihat peta jalur kereta menuju Florence bukan demi belajar sastra atau menikmati wisata sejarah yang ditawarkan. Ada alasan yang lebih mulia—mencari nafkah.

Untuk itulah ia punya rencana untuk membajak sebuah kereta ekspres yang menjadi alat transportasi bermuatan berlian langka pecahan mahkota milik Ratu Kerajaan Kdszfoszcg dan diakui sebagai harta nasional Italia. Ia tidak ingat nama kerajaan yang dimaksud. Kapasitas otaknya tidak mampu menampung sejarah. Yang ia ingat hanyalah dapatkan berlian langkanya, lalu pulang ke pelukan Kitten.

J menggaruk dahinya. Otaknya sering tidak sengaja ingat Katlyn. Setelah memastikan Katlyn sekarang berada di tempat yang seharusnya, di bawah perlindungan si Minion Tersayang alias Looney, J merasa lebih tenang bekerja di luar negeri.

Ah, memikirkan Katlyn membuat wajahnya tersipu. Buru-buru ia menutupi kulit pucat yang sekarang merona di balik helm full face-nya.

"Keretanya sebentar lagi berangkat! Lo di mana, sih?!" Suara Tea lagi-lagi membuat gendang telinga J tergelitik.

"Iya, bentar. Aku masih parkir motor. Nyari parkiran yang ada kanopinya susah bener." J turun dari motornya. "Terus ditutupin pake apa biar motorku nggak kepanasan sama kehujanan?"

"Lo niat kerja nggak, sih? Dapet berliannya, lo bisa beli motor lagi seratus biji! Udah, tinggalin aja di situ! Lagian, lo ngapain juga bawa-bawa motor segede gaban? Mana mencolok lagi! Emang lo—"

J melepas alat komunikasi dari telinganya. Suara Tea mirip knalpot bobrok. Tak enak didengar sama sekali.

Beep beep beep!

J tak menghentikan langkah menuju stasiun selama ia mengecek pager yang berbunyi. Di layar kecil hitam putihnya muncul pesan:

[BANGSAT! DNGRIN GW NGMNG!]

J menekan tombol untuk membaca pesan berikutnya.

[LO DIAWASI. ARAH JAM 3!]

Tanpa benar-benar menoleh, J memperhatikan sosok yang dimaksud Tea lewat ekor matanya. Ada laki-laki yang sedang bersandar di tiang lampu seberang jalan sambil membaca koran. Bagi J, penampilan orang itu mencolok. J bisa melihat lampu imajinatif di atas kepalanya yang menunjukkan kalau dia seorang penguntit atau mata-mata yang dikirim Alessandro Scaroni.

Beep beep beep!

Kali ini, pesan lain datang dari Bu Ninja.

[On position.]

***

Gigio Pioli dan Vittoria Belluci menjadi penumpang kereta menuju Firenze. Mereka duduk di kelas ekonomi, kelihatan saling bertukar kode lewat gestur minor di jari atau lirikan mata. Kereta ini akan membawa mereka sampai Stasiun Santa Maria Novella di Firenze. Berlian yang mereka targetkan sedang berada di gerbong paling belakang sebelum akhirnya turun dan dibawa menuju destinasinya, Museum Opicio delle Pietre Dure.

Perjalanan ini akan memakan waktu setidaknya dua jam. Sepuluh menit dari sekarang, J—si bocah Asia misterius yang dibayar Alessandro untuk memimpin misi—akan memberi kode. Mereka tidak tahu akan seperti apa bentuk kodenya. Yang pasti setelah kode itu muncul, mereka harus bergegas menuju gerbong belakang.

Selagi menunggu, mereka meminum kapucino dari cup plastik sambil memakan kue. Sedikitnya penumpang yang naik kereta ini menjadikan suasana di gerbong amat tenang. Hanya terdengar musik jaz lembut dari speaker yang dipasang di suatu tempat.

Mendadak tubuh mereka terantuk ke depan. Kapucino dalam gelas Vitto tumpah hingga mengotori celananya. Nasib Gigio tak kalah apes, badannya tersungkur ke depan sampai mengakibatkan wajahnya membentur kursi dengan keras.

Mungkin inilah kodenya.

Pulih dari keterkejutan, mereka langsung bergegas keluar dari gerbong ekonomi.

Kereta hanya tersendat sebentar tadi. Kini, mereka telah melanjutkan perjalanan lagi. Hanya saja kecepatan kereta makin bertambah. Kalau tidak buru-buru, kereta lebih dulu sampai di Firenze.

Gerbong paling belakang dijaga oleh aparat keamanan dengan persenjataan standar. Tak masalah bagi Gigio dan Vitto karena keduanya percaya diri dapat melumpuhkan mereka dengan mudah. Tugas mereka adalah memberi J waktu sampai bocah itu dapat membuka brankas baja antipeluru, tempat penyimpanan berlian yang mereka targetkan. Mereka tak tahu tempat penyimpanannya akan seperti apa.

Begitu J berhasil mendapatkannya, mereka berdua akan membunuhnya. Alessandro yang memberi perintah khusus untuk melenyapkan J agar tidak perlu membayar jasa yang harganya terlalu mahal. Memang pada dasarnya Alessandro pelit, tapi anggaplah pekerjaan itu bisa sekaligus melenyapkan saksi. Nama J akan lenyap seiring waktu dari dunia bisnis gelap. Terdengar mudah jika dipikirkan. Tubuh J tak sebesar mereka. Pasti mudah mematahkan tulang-tulangnya, lalu dibuang keluar dari kereta.

Ketika pintu gerbong ujung dibuka, sepuluh aparat langsung menegakkan kepala dengan waspada. Ada jeda keheningan selama beberapa detik sampai Vitto mengeluarkan dua buah pistol yang ujung larasnya sudah dipasangi peredam suara.

Tak tak tak!

Tiga orang tewas karena tembakan tepat di kepala. Berkat supresor, suara senjata yang ditembakkan Vitto terdengar lebih ramah di telinga, tetapi efeknya tetap saja mematikan.

Berbeda dengan Vitto yang memilih senjata api, Gigio lebih suka memasang brass knuckles di kedua tangan agar bisa bertinju sambil meretakkan kepala korbannya. Sekali pukul, seorang laki-laki dewasa bertubuh setinggi hampir dua meter langsung roboh tak sadarkan diri. Gigio menikmati kekerasan. Ia menyeringai lebar seraya mengayunkan tinjunya ke segala arah.

Para korban mereka tak punya kesempatan untuk mempertahankan diri sendiri. Belum sempat membidik atau menembak, kepala mereka keburu tertembus peluru Vitto. Salahkan saja arogansi pemerintah yang mengira berlian mereka akan melewati perjalanan nyaman dan tenang sampai nekat mengirimkan aparat keamanan loyo untuk berjaga.

Dinding dan lantai kereta hampir sepenuhnya dinodai genangan darah segar. Vitto mengelap pipinya yang terkena cipratan. Ia menyeringai lebar bagai orang gila. Vitto menoleh ketika lengannya disenggol oleh Gigio.

Di depan mereka masih berdiri satu korban lagi. Seorang wanita awal empat puluhan tanpa ekspresi. Tubuhnya lebih pendek karena berasal dari Asia. Melayu, barangkali. Wanita itu memandangi tubuh-tubuh bergelimpangan di lantai. Biasanya, orang akan langsung muntah begitu melihat pemandangan semengerikan ini. Namun, tidak dengan wanita Asia di depan mereka. Wajahnya juga tidak tampak pucat atau menunjukkan raut ngeri.

Selesai memandangi tubuh-tubuh di lantai, wanita itu mendongak sambil tersenyum lebar.

"Aduh, makasih, lho, udah bikin ringan kerjaan saya. Ditungguin dari tadi nggak dateng-dateng. Begitu dateng langsung paw paw paw, bablas semuanya!" Ia bertepuk tangan.

Vitto dan Gigio saling berpandangan. Malas berbasa-basi, Vitto langsung menembakkan senjatanya.

Meleset. Vitto belum pernah meleset. Hal itu sempat membuatnya tercengang sesaat.

Vitto kembali menembakkan dua pistolnya sekaligus. Peluru-peluru yang dimuntahkan menembus jendela kereta, sedangkan sang target bergerak lincah menghindarinya. Ia berakrobat di udara, padahal ruangan itu tak cukup besar. Sejurus kemudian, wanita itu menghilang di balik meja. Ini benar-benar penghinaan bagi karier Vitto sepanjang bekerja menjadi pengawal.

Di atas meja, tergeletak sebuah kotak berbahan baja. Dalam sekali lihat, semua orang bisa langsung tahu jika kotak itu punya sistem keamanan yang tinggi. Karena terlalu fokus dengan kotak baja, Gigio tak sempat melihat shuriken tajam yang dilempar ke arahnya hingga telak bersarang di dahi. Gigio langsung roboh dengan mata melotot, tewas seketika.

Shuriken lain datang bertubi-tubi seperti peluru. Vitto berhasil menghindar dan bersembunyi di balik meja bar yang terbalik. Satu shuriken berhasil menggores pipinya sebelum menancap di dinding. Vitto membelalak karena baru pertama kali melihat senjata kecil berbentuk bintang yang dilempar ke sana kemari. Meski kecil, senjata itu baru saja membunuh Gigio dalam sekejap.

Kesempatan bersembunyi itu Vitto gunakan untuk mengisi amunisi. Ia baru akan mengokang senjatanya ketika dentuman keras hampir membuat telinganya tuli.

Boom!

Seperempat sisi gerbong hancur dan lenyap terbawa angin.

Vitto mencari pegangan pada apa saja di dekatnya agar tidak terjatuh dari kereta. Ia panik karena separuh tubuhnya kini berada di luar gerbong, terekspos. Akibat bom yang meledak secara tiba-tiba di dekatnya, kini telinga Vitto tuli sebelah. Darah mengucur dari lubang telinganya.

Siapa orang-orang gila ini?

Pintu yang memisahkan gerbong terbuka. Seseorang masuk dengan santainya sambil bersiul lantaran ledakan yang baru ditimbulkan dari bom buatan Looney berakibat cukup fatal. Ia mengenakan sepatu bot kombat, senada dengan warna kausnya.

"Edan kamu, J! Ngebom, kok, nggak bilang-bilang?! Jantungku rontok gara-gara kaget! Kualat kamu sama orang tua! Dasar kurang ajar!" Wanita shuriken yang jadi lawan Vitto sedang berjongkok sambil memeluk kotak baja. Rambutnya berantakan tertiup angin.

J langsung menghampiri untuk membantunya berdiri.

Wanita shuriken menunjuk ke arah Vitto yang sekarang kepayahan untuk menahan diri sendiri agar tak terlempar dari kereta.

"Tinggal satu. Diapain?" tanya wanita itu.

"Ya dimatiin, dong!" decak J.

"Kamu ajalah! Saya udah capek."

"Aku nggak bawa senjata."

"Senjata saya juga udah ilang gara-gara jatuh tadi."

J menggaruk lehernya. "Aku lagi males kalau harus bikin tangan kotor." Ia mengeluarkan jam saku dari balik jaketnya. "Nah, semenit lagi, kita mesti turun. Tea udah nungguin kita di deket-deket sini." Kemudian, ia beralih memandang Vitto. "Biarin ajalah dia! Paling entar mati sendiri gegara kelempar dari kereta."

Cengkeraman tangan Vitto memang sudah tidak sekuat tadi. Separuh tubuhnya juga berada di luar. Jika ia melepas pegangan, tubuhnya akan terseret kereta. Pasti langsung tewas.

"Gimana turunnya? Keretanya, kan, udah kamu bajak. Remnya dibikin blong, ya?"

"Nggak, setengah jam lagi juga berhenti. Masih ada warga sipil di dalam."

Mereka berjalan bersisian menuju gerbong yang hancur, masih terlibat obrolan ringan sampai keduanya melompat dari kereta secara bersamaan.

Vitto tidak punya waktu untuk memikirkan mereka. Nyawanya sendiri juga sedang terancam.

***

Beberapa Hari Kemudian

Tea tidak mengangkat kepala dari kabel-kabel tipis di tangannya. Sudah satu jam ia berkutat, namun kotak baja yang mereka bawa dari Italia tak kunjung terbuka. Ia sudah berhasil menghilangkan chip pelacak yang terpasang di kotak baja ini sejak masih di Italia. Hanya saja, dia tidak menyangka kalau membobol kotak penyimpanan bersistem keamanan tinggi akan serepot ini. Kotak sialan di depannya cuma bisa dibuka oleh sidik jari dan retina mata seseorang bernama Eros Zucchero, kurator museum yang bekerja untuk pemerintah Italia sebagai penanggung jawab berlian langka.

Di ruangan ini, tidak ada seorang pun yang punya keahlian khusus untuk membobol penyimpanan berkeamanan tinggi. Biasanya, mereka bergantung pada J yang menyandang predikat sebagai pencuri dan pencopet profesional. Tapi kali ini, J berkilah kalau sistem keamanan pada kotak baja itu terlalu canggih baginya. J hanya mampu mengatasi brankas bersistem micro-controller yang menggunakan PIN dan password.

"Rumah ini sebenarnya nggak jelek-jelek amat."

"Angker," sahut Looney, anggota termuda, sebelum ia menggigit apel di tangan. Remaja itu duduk di kursi kayu sambil memaju-mundurkan tubuhnya dengan kaki. "Namanya juga bangunan lama. Ditambah, Kak Maniak nyimpen mayat di dalem freezer."

Kini, Tea melirik Maniak yang sedang melabeli botol-botol berisi cairan kimia di meja seberang ruangan.

"Kok, nggak langsung dimusnahin, sih?" Tea berdecak sebal karena tak mengerti alasan Maniak membawa mayat seseorang jauh-jauh dari Jakarta ke Surabaya.

Maniak menoleh sekilas. "Sa ada eksperimen. Perlu tubuh manusia buat diuji coba. Memang ko mau jadi objek uji coba sa?"

"Kemarin matinya gara-gara apa?" Tea balik bertanya.

"Dicekik."

"Cowok atau cewek?"

"Lelaki. Sa curiga motifnya karena asmara." Gaya Maniak sudah seperti penyidik yang biasa muncul di televisi untuk memberi keterangan pada wartawan.

"Oh, homo?"

"Mungkin," sahut Maniak cuek seraya melanjutkan pekerjaannya.

"Lo homophobic, ya?"

"Homophobic itu apa, Kak?" tanya Looney.

"Homofobia, orang yang takut dan nggak nerima kenyataan kalau ada gay di muka bumi ini. Benci sama mereka yang jadi lesbian atau homo. Maksudnya, yang cewek pacaran sama cewek, cowok sama cowok." Tea menjelaskan dengan sabar.

Looney mengangguk maklum, tak terkejut sama sekali. Ia lahir dan besar di Thailand. Meskipun seumur hidupnya dihabiskan di tengah-tengah ladang opium bersama papa dan mendiang omnya, dia tidak kampungan. Acara televisi dan reality show Thailand sering memunculkan tootsie, sebutan bagi lelaki yang bertingkah dan berpakaian seperti perempuan.

"Bukan kodrat laki-laki sama laki-laki!" sanggah Maniak.

"Halah!" Tea memutar bola mata. "Sukanya nyiksa orang sampe mati, pake ngomongin kodrat segala. Nggak cocok." Sekarang, ia melepas kabel di tangannya, memandangi Maniak secara terang-terangan. "Lagian, lo ada masalah apa, sih, sama orang-orang gay? Asal lo tahu, gue ini biseksual."

Bukan hanya Looney yang mengernyit, Maniak juga. Laki-laki itu meletakkan botol kaca terakhir yang baru ia labeli dengan tulisan H₂SO₄ atau Asam Sulfat. Cairan di dalamnya bening mirip air putih.

"Itu istilah apa lagi?" tanya Maniak bingung.

"Artinya, siang gue bisa nyipok cewek, malemnya ML sama cowok."

"Mamayo!" pekik Maniak. "Tra mungkin!"

"Dih, kenapa nggak mungkin?"

"Ko tra cantik! Jerawatan! Kerjaannya halu sama laki-laki kemayu yang rambutnya mirip helm gayung!"

Tea sontak menggebrak meja. Ia tersinggung idola-idola boyband-nya dihina berkepala helm gayung.

"Bacot sembarangan! Minta maaf! Kalau dibandingin, lo dan idola-idola gue juga mirip bumi sama langit! Pake ngehina segala! Sadar diri, bangsul!"

"Eh, sa bicara bukan tanpa bukti! Sekarang sa tanya, seumur hidup apa ko pernah pacaran? Gimana bisa ko mendiagnosis diri jadi bhayseksuwal?"

"Bukan urusan lo kali!"

Looney menggaruk dahi. Kalau berkumpul, selalu saja ada pertikaian tanpa darah begini.

Perdebatan Maniak dan Tea disela desahan panjang J. Lelaki itu melempar ponselnya ke atas meja, lalu memandang Looney dengan wajah ditekuk. Sejak tadi, ia duduk tanpa suara di ujung meja. Semua orang tadinya mengira ia sedang nonton film bisu di ponsel.

"Looney," panggil J. Yang dipanggil sontak mengangkat kepala. "Entar malem, pasangin penyadap di Seaworld, ya? Aku bisa gila mata-matain Katlyn lewat kamera yang nggak ada suaranya! Aku nggak bisa baca gerak bibir."

J mengacak rambutnya frustrasi karena sejak tadi tidak bisa menangkap isi percakapan Katlyn dan Baron lewat kamera pengintai.

"Biasanya juga nggak masalah," sahut Looney heran.

"Iya, kemarin-kemarin emang nggak masalah. Tapi, sekarang aku curiga kalau bosnya naksir dia!"

Tea menyeringai kecil. Kekesalannya pada Maniak langsung terlupakan. "Belum move on, Jok?"

Singkatan dari Joker. J paling kesal dengan panggilan itu karena merasa dirinya lebih keren dari tokoh villain di komik Batman. Kali ini, J tidak menggubrisnya. Ia masih uring-uringan.

Merasa diabaikan, Tea melempar obeng dengan ujung tajam ke arah J. Lelaki itu bahkan tak mengangkat kepala saat menangkap obeng yang hampir mengenai wajahnya. Obeng itu dikembalikan ke atas meja.

"Jangan gampang baper, Jok! Kita dalam misi." Tea mengatakannya dengan nada serius. Kalau dibiarkan, lama-lama J ini bisa keblinger. Semua orang di ruangan ini tahu sejarah percintaan J dan Katlyn. Mulai dari melihat langsung sampai mendengar ceritanya. Intinya sama: tragis.

"Nggak usah ngajarin!" J bangkit karena menyadari percakapan Katlyn dan Baron sudah berakhir lewat ponselnya. Bersamaan dengan itu, muncul Bu Ninja dengan membawa dua kantong zip berisi bola mata manusia dan sepotong jari tangan.

"Tuh!" Bu Ninja melempar bawaannya ke atas meja.

"Good job!" J menepuk pundak Bu Ninja yang dibalas dengkusan sinis. Bu Ninja sebal sekali karena disuruh J mencuri organ Eros Zucchero, padahal spesialisasinya bukan itu!

"Mati nggak, Bu?" tanya Tea seraya mengangkat dua kantong bening di depannya dengan ujung jari. Ia jijik sekaligus ngeri. Bulu kuduknya berdiri tanpa diantisipasi.

Bu Ninja menggeleng. "Langsung dibawa ke rumah sakit buat transplantasi mata. Kok, ya, kebetulan ada korban meninggal karena kecelakaan yang dibawa hari itu juga. Saya curiga ada yang ngatur!" Ia melirik J yang terkekeh tanpa perasaan.

"Aku cuma ngatur sikon supaya korban kecelakaannya dibawa ke rumah sakit yang sama. Kecelakaannya alami, suer!" Untuk membuktikan kesungguhannya, J mengangkat dua jari ke udara. "Selesaikan! Katlyn lagi otw ke sini. Nggak lucu kalau dia lihat aku tiba-tiba nongol."

Kesan pertama pertemuan kedua mereka setelah lima tahun harus bagus. Looney juga bangkit.

"Mau ke mana?" tanya J.

"Ngikutin Kitten-mu. Biasa."

J menyuruh Looney duduk lagi dengan isyarat tangan. "Looney pasti capek. Mulai hari ini dan seterusnya, biar aku yang antar jemput dia."

Hati J rasanya riang membayangkan bisa melihat Katlyn dari jarak dekat. Sudah terasa seperti mereka sedang berpacaran lagi. Dengan langkah ringan dan mulut bersiul, J keluar dari ruangan itu.

Klik.

"At last!" Tea memekik karena kotak baja mereka akhirnya terbuka.

Bu Ninja, Maniak, dan Looney mendekat untuk melihat apa isinya.

Sebuah berlian cemerlang berbentuk oval dengan ukuran cukup besar membuat mata mereka membulat takjub. Mereka bukan ahli batu permata, tetapi jika ditelisik dari sejarahnya yang dimulai sejak masa Renaissance di abad ke-15, maka harga berlian ini pasti tak terhingga jika dilepas ke pasar gelap.

"Katanya cuma pecahan dari mahkota?" Looney agak bingung dengan ukuran yang katanya 'pecahan' ternyata sebesar ini. "Terus bentuk utuhnya gimana?"

"Gara-gara ini, kita bakal diburu," gumam Tea. Ia memandang Bu Ninja yang sama cemasnya. "Kenapa, sih, si Joker doyan banget ngoleksi musuh? Nggak cukup kita hidup di bawah bayang-bayang selama ini?"

"Mana saya tahu, Tea? Yang jelas, J selalu memikirkan semuanya matang-matang. Dia nggak akan membiarkan kita semua dalam bahaya. Dia lebih baik dari kakaknya."

"Revita?" Tea mendengkus. "Mereka punya DNA yang sama. Kalau kakaknya aja nggak waras, kemungkinan besar adiknya juga." Ia menegakkan tubuhnya. "Besok, gue pindah kemari, deh, biar ngerasa aman kalau ada lo semua di sekitar gue."

Looney mengangguk. "Ide bagus. Ada kamar kosong di bawah. Cukup besar buat nampung Kakak sama alat-alat Kakak. Gudang bawah tanah juga ada. Tapi, ya gitu, angker banget. Tetangga sebelah rumah pernah cerita kalau ada yang bunuh diri di situ."

Tea mengibaskan tangan. "Gue nggak takut sama gituan kalau ada lo, Maniak, Bu Ninja. Lo semua lebih bengis daripada setan."

"Emang kerjaan setan apa, sih, Kak?" tanya Looney.

"Eksistensi mereka cuma buat nakut-nakutin manusia. Kalau manusianya nggak takut, ya udah. Mereka jadi pengangguran."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top