Menerima Kenyataan
" Lo harus bisa nerima kenyataan. Karena, dalam kehidupan nggak selalu bahagia. Lo juga akan merasakan duka."
***
Angel duduk di sofa menatap langit-langit rumah. Angel masih mengingat kejadian di cafe, saat melihat Indri bersama Dalfi. Angel berpikir, apakah Indri menguntitnya? Angel tak ingin masalah ini akan berdampak buruk bagi persahabatannya dengan Clara. Angel menutup mata dan memijit pelipis. Kepalanya berdenyut nyeri memikirkan jalan keluar dari masalah yang sedang di hadapinya. Sebuah tangan dari belakang mengambil alih pekerjaan tangan Angel memijit pelipisnya. Angel membuka mata, lalu menegakkan tubuhnya. Angel menggeser duduknya ketika seseorang itu duduk di samping Angel.
"Ada masalah apa? Cerita sama gue."
"Nggak usah basa-basi Van. Apa alasan lo dekatin gue, dan pacarin Clara? Lo punya tujuan buruk?" tuding Angel menatap Devan yang menatap dirinya.
"Udah berapa gue bilang. Gue cinta sama lo. Bukan sama Clara," bantah Devan.
"Oh, gue baru tahu kalau nggak cinta bisa ciuman," sarkas Angel.
Raut wajah Devan berubah. Angel tersenyum miring memandang raut wajah Devan. Angel bangkit dari duduknya.
"Mau seberapa banyak lagi alasan lo Van? Gue tahu siapa lo! Nggak mungkin lo punya tujuan baik, kalau lo dekati gue sama Clara."
Devan ikut bangkit dari sofa, berdiri berhadapan dengan Angel. Devan memegang bahu Angel. Angel menatap Devan dengan tatapan tidak bersahabat.
"Alasan gue cuma nggak mau lo jadi cewek player Ngel. Gue nggak mau lo gonta-ganti cowok," dalih Devan.
Angel melepaskan tangan Devan dari bahunya. Angel masih belum yakin dengan alasan yang diutarakan Devan.
"Gimana dengan Clara Van? Apalagi alasan lo buat dia, hah?"
"Orang tua Clara butuh investasi saham karena perusahaannya terancam bangkrut. Lalu, orang tua Clara meminta bantuan dengan perusahaan Devan Corp. Orang tua Clara ingin menjodohkan Clara sama gue," terang Devan.
Angel bergeming di tempat. Angel ingat ucapan Indri saat itu, jika orang tua Clara telah berubah. Jadi, orang tua Clara tidak benar-benar berubah? Hanya karena ingin perusahaannya aman? Angel tidak habis pikir dengan pikiran orang tua Clara. Padahal, Clara menganggap jika orang tuanya telah berubah dan sadar. Angel tahu perusahaan Devan Corp adalah milik orang tua Devan. Karena Devan adalah anak tunggal, karena itu nama perusahaan orang tua Devan diberi nama Devan Corp.
"Jadi, maksud lo dekati Clara cuma main-main Van?" Nada bicara Angel naik dua oktaf.
"Gue terpaksa Ngel. Orang tua gue suka sama Clara. Lo tahu Clara polos kan? Dan Clara bisa dapatin hati orang tua gue dengan kepolosannya," dalih Devan.
Angel menatap sinis Devan. Devan hanya menampilkan mimik wajah seolah-olah Devan memang terpaksa berpacaran dengan Clara.
"Lo pikir gue percaya Van? Lo salah kalau gue bisa masuk dalam jebakan lo!"
Angel berlalu pergi meninggalkan Devan yang tersenyum miring menatap kepergian Angel.
Tunggu tanggal mainnya, Angel sayang. Batin Devan tersenyum devil.
***
Raut wajah Indri cemberut. Indri menatap jalanan di depannya. Sementara Dalfi fokus dengan roda kemudi menatap jalanan di depannya. Indri salah, ketika ikut menyusul Dalfi naik ke lantai dua cafe yang dia datangi. Indri sangat kesal, ketika mendapati Dalfi masuk ke ruangan, dan sialnya Indri mengikuti Dalfi. Indri baru mengetahui, jika cafe yang dia datangi merupakan milik Dalfi ketika salah satu karyawan Dalfi menggoda Indri pacar Dalfi yang dia bawa ke cafe miliknya.
"Gara-gara lo, gue jadi biang gosip sama karyawan lo," ketus Indri.
"Loh, salah gue? Kan, lo yang ngikutin gue."
"Salah lo! Karena lo juga, gue jadi nggak bisa selidiki Angel," balas Indri tak mau kalah.
Indri tak suka melihat tawa mengejek Dalfi. Indri melirik sekilas Dalfi yang tersenyum lebar tanpa beban. Indri lupa, kapan terakhir kali dirinya tersenyum lebar tanpa beban seperti Dalfi. Raut wajah Indri berubah sendu. Dalfi melirik Indri sekilas. Dalfi yang khawatir menepikan mobil di tepi jalan.
"In, lo baik-baik aja?" tanya Dalfi ketika Indri mengalihkan tatapan ke luar jendela.
"Gue nggak apa-apa."
Dalfi tahu perubahan suara Indri. Dalfi membuka safety belt, lalu mengusap pundak Indri.
"Kalau lo mau nangis, jangan di tahan. Lo keluarin apa yang lo rasain."
Indri menghapus cairan di pelupuk matanya cepat, lalu memandang Dalfi.
"Siapa yang nangis? Nggak usah sok tahu!" ketus Indri.
"Dasar, keras kepala! Omong-omong, cowok yang bernama Fabian itu kenapa bisa jadi Kakak tiri lo?"
"Kenapa lo jadi bahas Fabian, sih?" protes Indri kesal.
"Kenapa? Gue penasaran In. Kenapa lo selalu menghindar setiap ketemu sama dia."
"Oh, jadi lo stalker gue, heh?"
"Sedikit."
Dengkusan Indri membuat Dalfi tertawa. Dalfi berdehem kembali dalam mode serius.
"Fabian mantan lo?" tanya Dalfi to the point.
"Udah deh, nggak usah bahas Fabian. Gue malas," kata Indri berdecak kesal.
"Lo belum bisa move on dari Fabian karena kalian udah jadi adik, kakak?" tebak Fabian tepat sasaran.
"Sok cenayang!" ketus Indri.
"Gue bukan cenayang. Dari cara lo memperlakukan Fabian gue udah bisa sedikit banyak nebak. In... lo boleh benci sama Fabian. Gue nggak tahu kejadiannya kayak apa. Tapi, dari percakapan lo yang gue dengar dengan Fabian soal Mama, gue saranin lo temui Nyokap lo. Karena, kita nggak tahu sampai di mana ajal menjemput."
"Lo doain Nyokap gue mati?" skeptis Indri.
"Bukan. Lo udah lama kan tinggal sendirian? Apa lo nggak rindu kasih sayang dari orang tua lo? Harusnya, lo bersyukur In, masih ada keluarga lengkap dan sayang sama lo."
"Fabian bukan keluarga gue," desis Indri mengalihkan tatapan ke depan.
"Dia keluarga lo In. Meski, bukan sedarah. Lo harus bisa nerima kenyataan. Karena, dalam kehidupan nggak selalu bahagia. Lo juga akan merasakan duka."
Ucapan Dalfi menyentil perasaan Indri. Indri sadar, jika dirinya egois. Indri sangat menyayangi Mamanya. Namun, keputusan Mama Indri saat itu sangat menyakiti hatinya. Bahkan, sampai detik ini Indri masih belum bisa menerima kenyataan. Indri selalu merasa dunia nggak adil untuknya. Sejak kepergian Papanya, Indri harus merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Indri sakit, kecewa dan marah. Untuk saat ini, Indri belum siap jika menapaki rumah apalagi tinggal bersama dengan Fabian dan juga Papa barunya.
"Gue harap, pikiran lo terbuka dengan apa yang gue katakan In. Gue hanya ingin lihat lo bahagia. Karena, keluarga adalah kebahagiaan yang paling utama diatas segalanya."
Dalfi melirik Indri yang masih diam mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dalfi membiarkan Indri merenungkan apa yang di ucapkannya. Dalfi kembali memutar roda kemudi kembali bergabung ke jalan raya dengan pengendara lainnya.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top