O N E

ᴀᴜʀᴇʟɪᴏɴ

AKU bisa merasakan sesuatu, berdenyut-denyut seirama detak jantung, sesejuk tangan Paxtof, sepanas Permukaan. Tanah yang kembali bergetar membuat aku tersentak, secara refleks berdiri, teringat kenapa aku berada di sini, apa yang terjadi beberapa menit yang lalu.

Aku bertumpu pada kakiku dengan goyah, mataku kupaksa untuk membuka, perlahan tapi pasti jarak pandang mataku mulai menjernih, bersamaan dengan lagu sedih yang beberapa saat lalu terngiang, kini hanya tinggal kenangan belaka, hanya menyisakan kenyataan berupa puing-puing yang berserakan.

Tapi aku sadar akan satu hal-aku telah menyia-nyiakan beberapa menit dengan meratap. Menyia-nyiakan masa hidup seseorang dengan tenggelam pada keterpurukan.

Namun tidak lagi. Tidak akan.

Di tengah kemelut batin serta kekacauan panca inderaku sendiri, aku melihat beberapa bangunan yang tersisa bernasib serupa dengan yang mengubur orang yang aku sayangi. Aku merasa kaku sekaligus goyah, aku sedih sekaligus hampa, tetapi apa peduliku?

Kusikut orang yang menahan bahuku, lalu tanpa menengok aku mulai berlari—menyongsong reruntuhan yang menggunung. Aku mendaki, memperkirakan, dan mulai mengais gila-gilaan. Sama sekali tidak peduli dengan kekacauan di sekitar.

Aku terus mengambil, melempar sekeping demi sekeping reruntuhan dengan asal. Aku ingin bersuara, berteriak, tetapi saat aku membuka mulut, aku justru tersedak oleh segala jenis cairan yang mengalir melalui wajahku. Keringat, darah, ingus, air mata-terutama air mata.

Aku benci ini benci menjadi tidak berguna aku benci ini aku benci menjadi manusia tolol nir kemampuan aku benci tangisanku sendiri aku benci batu-batu sialan ini benci benci benci!

Jauh di dalam kepalaku, ada bagian yang menjerit, memohon supaya aku berhenti memaki, memohon supaya aku menangis saja. Namun aku tidak mau menurut, aku menolak untuk menyerah. Bahkan saat sarung tangan dari Tonia yang kupakai rusak, koyak oleh gesekan reruntuhan yang keras dan berat. Aku tak peduli lagi.

Tujuanku hanya satu.

Mengeluarkan Acres.

Brengsek! Keparat! Keparaaat!! Pikiranku memaki setengah terisak, setengah murka saat tidak mampu menyingkirkan reruntuhan dengan ukuran paling besar. Aku mencoba sekali lagi. Bagian reruntuhan itu bergeming dengan keras kepala, saking gigihnya aku mencoba, tubuhku tersentak ke belakang. Tanpa bisa dicegah aku jatuh berguling beberapa kale ke bawah, hingga kemudian nyata sudah aku jatuh di atas tanah berdebu.

Hentikan, Ellie. Tidak ada gunanya. Hentikan. Dia sudah pergi.

Aku semata-mata menggertakkan gigi. Kutumpukan siku, kuangkat wajahku, merasa berang luar biasa.

Saat aku hendak merangkak kembali ke puncak reruntuhan, seseorang berdiri di sampingku, sepatu botnya yang berhak tergores-gores. Aku hanya sempat mendongak sebentar saat dia tanpa berkata-kata mulai menyingkirkan reruntuhan. Hanya dengan sekali angkut dan kibas, aku sudah menemukan apa yang kucari, apa yang tak bisa kujangkau dengan tangan biasaku, berikut keputuasaanku akan nir kemampuan.

Telungkup. Posenya saat tertidur.

Pose yang sama seperti saat aku melihatnya di Arcade Illysiumstone, hanya beberapa kursi jauhnya dariku. Armor UrsaMayor yang-entah bagaimana berhasil melekat kembali di tubuhnya—rusak parah. Retak, serpihannya bercampur-aduk dengan berbagai macam hal.

Dia berdarah. Amat sangat banyak darah, aku seharusnya sudah tahu, dan sadar akan hal itu. Akan tetapi, diriku tetap saja merasa dingin dari ujung kaki sampai kepala. Aku juga tahu, sama seperti hal lainnya, percuma saja menyebut namanya, namun tetap saja itulah yang pertama kali aku lakukan.

"Acres ..." tak lebih keras dari bisikan, lebih menyayat daripada sebilah logam.

Ravindra mengangkat tubuh Acres tanpa menyentuhnya. Lututku masih goyah oleh duka, tetapi begitu Ravindra mulai berlari. Aku, tanpa memikirkan kelemahan yang makin menyiksa, mulai meluruskan tungkai, berlari seirama dengan ayunan kaki Ravindra.

Indira sudah melatihku dengan keras untuk menghadapi hari ini, walaupun aku terluka, bukan hanya rombeng di luar. Kepayahan. Aku tetap bergerak sesuai insting. Insting yang sekiranya sudah mendarah daging. Sesuatu yang sudah pasti ada dalam diri siapapun.

Aku menyiapkan Jadrové, merasakan benda itu pada tangan-tanganku yang kini tanpa sarung tangan, membelainya seperti seorang kekasih. Mengokang, tidak berkedip saat membidik. Korban pertamaku terjatuh dengan tubuh berkelojotan, hanya beberapa meter dari tempatku semula berpijak. Korban kedua dan ketiga mengikuti tak lama setelahnya. Bukan tembakan yang mengenai kelemahan tetapi tetap ampuh melumpuhkan.

Melalui ujung mata aku melihat tangan seorang perempuan yang belum pernah kulihat mengeluarkan pendar biru. Holo atau sesuatu menyerupai Glass Gate.

Pendar itu menyelubungi kami bertiga, praktis membuat Acres yang di tempatkan di tengah-tengah formasi aman dari sasaran UrsaMayor yang mengejar.

Dengan satu tangan, gadis itu membentuk semacam jarum es yang pernah diperlihatkan oleh Denaya di pertempuran dulu. Jarum-jarum itu menjatuhkan lebih banyak UrsaMayor daripada yang bisa kulakukan dengan Sequoia milikku.

"Oasis!! Kami butuh Oasis!" teriak Ravindra pada Gamma di pelipisnya. Dia menggeram, ujung matanya jelalatan melirik ke arahku, lalu Acres bolak balik. Untuk sesaat matanya bergetar. Hanya sekejap tetapi tetap saja membuat perutku mencelus, sedikit kehilangan keseimbangan begitu tahu implikasi dari tatapannya. Aku tersentak saat Ravindra memukul pelipisnya sendiri dengan amat keras. "Sialan! aku tak bisa—"

Dentuman menggelegar, menggetarkan tanah yang kupijak, memotong makian Ravindra, menggoyahkan lariku selama sesaat. Lariku melambat barang sekejap, dengan ngeri menatapi dua gedung bobrok di depan kami miring ke dalam dengan gerakan lambat, siap bertumbukan satu sama lain. Tidak banyak waktu untuk memutar haluan. Dengan UrsaMayor yang mengejar di belakang kami. Satu-satunya jalan yang mulus tanpa gundukan reruntuhan hanya di bawah dua gedung maut itu.

Ravindra tak berhenti, tak ragu sedikitpun saat dia berlari menyongsong bencana di depan kami. Mulut Ravindra bergerak, matanya membelalak, suaranya terdengar jauh di tengah gemuruh yang melanda, walaupun begitu aku mengerti apa yang mulutnya nyatakan.

"Lari! Cepat! Lebih cepat!" Begitu yang kubaca dari gerakan mulut serta situasi yang sedang kami hadapi.

Gadis di sebelahku menyumpah-nyumpah dalam bahasa Sector Quattro.

Aku mengikuti teladan Ravindra, percaya pada pemuda itu, pada instingnya.

Aku tidak menengok ke mana-mana saat berlari di bawah dua gedung yang mulai bertumbukan, tetapi aku bisa merasakan getaran yang membahana di sekelilingku, mampu menangkap gerakan tangan Ravindra yang bebas berusaha menyingkirkan puing-puing dengan ukuran besar yang berjatuhan bagai hujan-meringankan beban gadis yang memunculkan tameng. Tameng holo gadis itu kian menebal seiring langkah kami, dan bisa kulihat dampak dari usaha dalam mempertahankan kekuatan tamengnya.

Titik peluh bermunculan dari bawah hidung dan pelipisnya, berkali-kali dia berusaha keras untuk tidak berjengit saat reruntuhan menghantam tameng. Hanya dahi serta ujung hidungnya saja yang mengkerut-kerut.

Kali ini aku tak bisa melakukan apapun untuk menolong Ravindra ataupun si Gadis Sector Quattro, selain berlari. Walaupun begitu debu yang pekat membutakan tidak bisa dicegah oleh siapapun. Alhasil memaksa kami bertiga suapay menerjangnya dengan berani.

Sebab memang tak ada pilihan.

Suara dari tumbukan dua gedung membuat adrenalin makin terpacu, segalanya diperparah dengan hujan puing-puing yang berat nan mematikan. Beberapa terlontar karena kemampuan Lodestar Ravindra, sisanya tak mampu menembus tameng gadis berambut hijau.

Rasanya hampir seperti berabad-abad lamanya kami berlari, kerangka gedung itu seakan-akan hanya tinggal berjarak beberapa meter saja dari atas kepala kami. Siap menggencet kami, mengubur kami dalam keadaan hidup atau mati, dengan kondisi tubuh terburai atau remuk redam. Tak dapat dikenali lagi.

Beberapa hari yang lalu aku mungkin takkan peduli, tetapi sekarang, aku peduli. Bukan untuk Ravindra atau gadis yang membantu kami atau aku, atau bahkan orang lain, tetapi untuk tubuh yang terguncang-guncang pelan mengikuti gerakan lengan Ravindra.

Aku akan bertahan hidup untuk melihat pemuda itu bernapas lagi.

Untuk sesaat yang singkat aku merasa Acres sedang tidur. Aku harap dia hanya tertidur.

Aku memalingkan wajah cepat-cepat. Rasa sesak di dada dan dingin yang kembali merambati tulang punggunglah yang memaksaku berbuat begitu.

Dan saat itulah, aku melihatnya.

Dia terlihat perkasa, menyeramkan, sama sekali tak mirip dengan manusia yang beberapa jam yang lalu kupukul serta kuremukkan kedua tangannya. Ada pendar berbahaya di mata itu, pendar yang sama sekali tak berwarna biru.

Merah. Merah pekat seperti warna mata Yorick. Rambutnya lepek oleh keringat atau darah. Aku tak tahu darimana asal darah yang menyembunyikan hampir keseluruhan wajah rupawannya, memberi dirinya kesan seakan baru saja keluar dari danau darah.

Aku terpana, tak mampu mengalihkan pandang.

Kadarius mengangkat tangan, seakan-akan berniat menyongsong kedatanganku dengan pelukan. Tetapi aku tahu bukan itu tepatnya yang dia lakukan. Bunyi kretakan di belakangku menggema. Aku menengok—sekilas saja—tapi sudah lebih dari cukup untuk melihat hal yang sama di arena, apa yang bisa dia lakukan dengan tombak-tombak kayu.

Kadarius melakukannya lagi, bedanya kali ini tanpa bantuan tombak.

Akar-akar maha besar itu mencuat begitu saja dari kedalaman tanah, menembus kerangka gedung yang sudah rubuh, menerjang sekawanan UrsaMayor malang yang tidak sempat menghindar. Seperti sarang laba-laba yang hidup, sulur itu memilin, menyula dan mengoyak UrsaMayor manapun yang terperangkap dalam belitannya menjadi dua, menjadi serpihan-serpihan daging berbalut logam.

Aneh bahwa aku memperhatikan detail mengerikan itu dalam kurun waktu beberapa detik.

Kurasa ...

Aku terkesiap, kilauan katana menyilaukan tepi pengelihatanku, menimbulkan dering tak tertahankan saat aku memutar tumit. Tiada waktu untuk berteriak memperingatkan.

Tubuhku berdiri mantap, menghadap Kadarius. Membidik.

Kadarius mengakhiri tembakan tidak sempurnaku dengan menghentakkan kaki, memunculkan pilar logam yang segera saja mengakhiri riwayat UrsaMayor tidak beruntung, yang coba-coba mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku terengah, terbelalak oleh kenyataan bahwa jika saja aku terlambat beberapa detik, kepala Kadarius takkan lagi berada di tempat yang semestinya.

Bairpun aku membenci Kadarius setengah mati, membayangkan bahwa aku akan kehilangan satu lagi orang yang kukenal, membuatku mual. Barangkali itulah yang menjadikan aku tidak tega.

Aku tidak tahu apa yang merasuki tubuhku saat ini, tetapi aku memutuskan untuk bertahan dekat Kadarius, membantunya menghalau UrsaMayor sebanyak yang kubisa.

Ravindra sudah lama menghilang bersama gadis berambut hijau. Acres aman bersama mereka. Aku yakin. Aku percaya sebab tak ada siapapun lagi yang bisa kupercayai selain mereka. Aku selamat gara-gara mereka berdua, aku bisa sejauh ini karena mereka. Sudah seharusnya aku memberi mereka balasan dengan mempercayai mereka barang sedikit.

Yang mengejutkan adalah bahwa tak ada satupun dari mereka bertiga yang keberatan aku memutuskan untuk berjuang, bukannya lari menyelamatkan diri bersama dengan pemuda yang mencintaiku. Aku justru berdiri setegar Tembok Perbatasan di samping pemuda yang sudah membuatku terumbang-ambing oleh kebencian belakangan ini.

Ini bukan tentang perasaan, ini hanya soal harga diri. Dan juga demi diriku sendiri.

Aku tak tahu berapa lama lagi kami berdua akan bertahan di sini. Aku benar tentang para UrsaMayor, saat satu dari mereka mati, yang lainnya akan datang menggantikan, yang lebih kuat dan cerdik.

Seperti malware. Menyebalkan.

Aku sudah mengganti daya peluru sebanyak enam kali, dan sekarang hanya tersisa empat bar daya peluru. Aku jadi makin membenci Sector Dva karena ini—karena mereka menyediakan UrsaMayor keparat ini. Aku juga bertanya-tanya di manakah Lichas yang lain, kenapa mereka membiarkan pemimpin mereka bekerja sendirian?

Aku benci semua ini.

Aku terkesiap saat mendengar derak statis di telingaku. "Ellie, kita takkan lama berada di sini. Saat aku bilang lari, kau harus lari ke arah gedung yang berasap beberapa blok di belakangmu. Lari secepat-cepatnya. Kau mengerti?"

Aku tak tahu bagaimana suara Kadarius bisa berada dalam kepalaku. Aku benci sensasi itu. Kugertakkan gigi, sembari menembak dua UrsaMayor sekaligus. Biarpun tumbang mereka ternyata sempat menekan pelatuk, alhasil dua peluru dari dua UrsaMayor yang tumbang itu menyerempet bahu serta leherku. Sontak memunculkan desis dari mulutku.

Sialan!

Aku pernah bilang pada Kadarius bahwa aku tidak akan kehilangan siapapun lagi, bahwa aku tak seperti dirinya. Aku masih tidak bisa menerima, bagian darimana perkataanku yang tidak dimengerti oleh Kadarius.

"Kita akan pergi bersama-sama!" aku membalas dengan keras, langsung dari mulut, bukan hanya sekedar suara lemah lewat kepala. Aku memang membenci Kadarius tetapi kehadirannya beberapa saat yang lalu telah membantu aku meloloskan Acres dari mau, setidaknya. Mau tak mau aku berhutang budi padanya.

Kali ini selagi dua anggota gerak pada tubuh Kadarius sibuk, menuntun panca inderanya untuk lebih fokus, dia tidak bisa memelototiku atau menatapku dengan pandangan frustasi setengah merendahkan seperti bagaimana Avgustin merespon jiwa keras kepalaku yang mendarah daging. Biarpun begitu, suara Kadarius sudah lebih dari cukup untuk memberitahu kalau dia saat ini cukup kesal denganku. "Aurellion semua akan jadi lebih mudah apabila kau—"

"Kadarius, semua akan jadi lebih mudah apabila kita berdua saling mendukung," aku menyenggol pinggang Kadarius dengan siku. Tidak lembut. Berharap dia mengerti. Menembak seorang UrsaMayor yang mencoba peruntungan dengan menyelinap di antara jalinan sulur Kadarius. "Pergi bersama-sama, atau tutup mulut dan gunakan kepala Sector Wan milikmu sebaik-baiknya."

Kadarius membalas wacanaku dengan meremukkan satu UrsaMayor, melempar mayatnya melewati atas kepalaku. Dia tak lagi memberenggut, atau coba-coba menukasku, hanya berkata. "Kalau begitu kau juga, dengar apa saja yang kukatakan."

Walaupun masih merinding gara-gara melihat ekspresi Kadarius saat dia melempar mayat UrsaMayor tadi, aku tetap saja mengangguk. Mengeluarkan suara dari sela-sela gigi yang terkatup rapat. "Oke."

Dengan intruksi dari Kadarius, kami berdua bergantian dalam posisi menyerang, bergantian saling melindungi titik buta masing-masing. Tanganku yang tergores dan terluka terasa pedih, terkena keringat, belum lagi bergesekan dengan permukaan Jadrové yang panas. Barangkali malah sudah melepuh.

Aku berkali-kali mesti berteriak pada bagian diriku yang lemah, ketakutan, kepayahan. Membuat bagian itu jadi tenggelam dengan angan-angan bahwa ini akan segera berakhir. Aku akan selamat. Kadarius juga. Aku akan bisa melihat Acres lagi. Acres sudah berada jauh dari sini.

Jadi aku tak memprotes saat Kadarius bilang, selagi kami bergantian menyerang, jikalau kami akan mundur secara perlahan-lahan.

Sialnya, para UrsaMayor mengetahui apa yang sedang kami lakukan. Mereka mengubah taktik serangan. Berdengung dari berbagai arah, sekarang mereka bukan hanya sekadar mencoba-coba. Mereka bersungguh-sungguh.

Aku tak tahu jenis senjata apa yang ditembakkan oleh mereka. Apapun itu. Benda itu sudah membuat sulur-sulur Kadarius merangas. Memang masih bisa tumbuh tetapi tidak sekuat tadi.

Aku tidak bisa bertahan lebih lama daripada ini, dan sepertinya Kadarius juga berpikiran sama.

Aku berbalik menghadap Kadarius, berniat mengutarakan rencana lain tapi wajah serta tubuh tegap itu keburu berkelebat menghilang dalam sekejap.

Logam besi kembali melebur dengan tanah, kubah sulur melayu.

Berikutnya giliranku.[]

Total : [2243 words]


"Dosa tidak akan menghancurkanmu dengan segera,
Dosa akan membuatmu mengiba-ngiba sepanjang hidup."

-Your Fav Author, Kahnivore
Call me Pras, Kahn, Kahni or Karnip.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top