Prolog
Sebuah pukulan mendarat sempurna di pipi Digma. Tanpa jeda, dua kali tinjuan langsung menyasar perutnya juga. Dan terakhir, tangan cowok berpenampilan berandal itu menarik paksa dagu Digma ke atas.
“Lo mulai main-main sama gue?” hardik cowok dengan wajah beringas itu. Kedua matanya melotot, menatap Digma tak berkedip. Seolah Digma adalah mangsa yang tak akan pernah ia lepas. “Lo sengaja bikin nilai gue jelek?”
Digma yang masih menahan rasa perih di ujung bibir akhirnya angkat suara. “Sumpah, Ger. Otak gue emang kapasitasnya segitu. Salah lo lah, nyuruh ngerjain PR lo, kok, sama gue.”
Satu tendangan lagi-lagi mendarat di perut Digma. Membuat cowok itu kembali terhempas jatuh dan membuat kepalanya sedikit terbentur closet berdiri. Lantai toilet laki-laki kini terasa dingin di tangan Digma, sedingin tatapan empat orang berandal di sekelilingnya.
“Oh, jadi salah gue?” tanya Gery penuh intimidasi. Senyum liciknya kini terlihat mengerikan. Tangannya lalu memberi kode kepada Alex untuk memberikan sesuatu.
Alex yang tidak peka, membuat Gery mengeplak kepala teman segengnya itu. “Kasih gue susu basi, Bodoh!” perintah Gery tak sabaran lalu meraih sekotak susu yang Alex berikan dari saku celana.
Tak butuh waktu lama bagi Gery untuk membuka susu itu dan menumpahkan semua isinya di kepala Digma hingga membuat sekujur tubuh cowok itu basah dan bau.
“Awas kalo lo macem-macem lagi sama gue,” ancam Gery. “Sampai jumpa besok, Bodoh!”
Digma yang merasakan dingin dan lengketnya susu basi itu hanya diam terduduk di lantai, hingga akhirnya Gery dan gengnya keluar karena merasa amarahnya sudah cukup tersalurkan dengan memberi Digma pelajaran.
Setelah ditinggal sendirian, perlahan Digma berdiri. Menumpukan kedua tangan di kedua sisi wastafel. Ia menatap bayangan dirinya yang berantakan di depan cermin tanpa ekspresi. Kepalanya yang kaku, ia putar ke kanan kiri perlahan. Pegal rasanya harus selalu menatap laki-laki bajingan itu. Tak lupa ia mengelap kasar sedikit darah dari luka di ujung bibirnya.
“Sialan! Pukulan Gery tiap hari tambah kuat aja kayaknya.” Digma memutar lengan kanannya, mulai merasakan nyeri di tulang belikat.
Ia juga mengendus pakaiannya. “Hobi kok numpahin susu basi. Curiga gue di rumahnya nyetok sekardus, ada kali basi semua.”
Saat Digma sedang membersihkan wajah dan pakaiannya, tiba-tiba seorang gadis masuk ke toilet sambil berjalan mundur dan bersembunyi di balik salah satu bilik. Kepalanya masih menyundul ke luar, seperti mengamati apakah ada orang yang mengikutinya atau tidak.
Setelah yakin merasa aman, cewek itu akhirnya keluar dari bilik dan langsung terkejut saat melihat keberadaan Digma di depan wastafel.
“Kok laki-laki ada di sini?” kaget gadis itu dengan mulut ternganga.
“Iya, kan, ini tempat nongki para cowok,” jawab Digma santai sambil menunjuk closet berdiri yang biasa dipakai para siswa laki-laki.
Melihat benda yang asing di toilet wanita, membuat mata cewek itu semakin melebar. Wajahnya kini memerah malu. “Sorry, gue kesasar.”
“Oalah,” jawab Digma malas sambil kembali membersihkan diri. Ia mengibaskan tangan memberi kode agar cewek itu segera pergi. “Lain kali pake Gmaps, biar nggak kesasar,” tambahnya sarkas.
Tak menanggapi omelan Digma, cewek itu malah gagal fokus melihat penampilan dan kondisi cowok dihadapannya. Rambut hitam yang berantakan, wajah putih dan mulus yang penuh lebam, serta seragam yang menyelimuti tubuh proporsionalnya terlihat basah dan kusut.
“Lo … habis di-bully, ya?” selidik gadis itu. Raut wajahnya kini berubah iba.
“Ah, nggak kok. Udah biasa ini, santai aja. Silakan keluar ….” Kalimat Digma menggantung mencari nama gadis itu di name tag, “Fara …,” ucapnya ragu, dan sepertinya Digma tak asing dengan wajah gadis itu.
“Kalo lo butuh bantuan, kasih tau gue ya,” pesan Fara masih memandang kasihan cowok itu.
“I-iya …,” jawab Digma ragu-ragu. Tak disangka ada siswa yang memedulikannya. Seingat dia tingkat ketidakpedulian siswa-siswi di sekolah ini benar-benar sudah parah, alias tak ada yang berani melawan Gery, sang penguasa sekolah.
“Gue Fara. Gue ketua PKS tahun ini. Kalo ada apa-apa lo harus bilang ke gue. Lo nggak boleh terluka sendiri–” ucapan Fara tiba-tiba terpotong karena Digma yang mendorong paksa punggung Fara agar keluar dari sana.
“Udah sana keluar! Betah amat di kamar mandi cowok.” Digma melipat tangan di dada. “Gue nggak kenapa-napa. Mau lo ketua PKS, ketua drumband, ketua rohis, gue nggak peduli. Terima kasih atas perhatian lo tadi. Gue mau cabut dari sini.”
Samar, Fara mendengar seseorang memanggil namanya dengan keras di lorong kamar mandi sekolah. Fara sontak gugup kembali. Rupanya orang itu belum lelah juga mencari keberadaan Fara. Sebelum pergi, ia berpesan sesuatu pada Digma.
“Minggu pagi, temui gue jam sembilan di Dearest Cafe. Ada sesuatu yang harus gue omongin,” pinta gadis itu sebelum berlari ke tempat lain.
Author Note:
Duh, baru prolog, Digma dah dipukulin aja sih, Kak?
Siapa nih yang ngucap gini dalem hati? Jangan ya dek ya ....
Tenang aja gaes, di bab selanjutnya Digma bakalan ku sayang kok.
"Jangan percaya sama author, gue masih di siksa nih sampe bab 7," keluh Digma sambil melihat author-nya kabur.
Haha, pokoknya kalian liat aja yaa, pantengin terus kedepannya. Stay tune terus! Masukin keranjang biar ada notif dari Digma, siapa tau dia minta tolong kalian☺️🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top